Esther membaca berkas di tangan. Poin pertama membuat Esther seketika membulatkan matanya.
“Perjanjian macam apa ini?” protes Esther. Jelas sekali tertulis di sana, bahwa Esther harus datang ketika Arion memanggilnya. “Kau kira aku ini pelayanmu?” imbuhnya. Arion memiringkan kepalanya. Senyum tipis terbit di bibir tebalnya. “Kakak ipar, apa kau lupa apa yang aku miliki?” ucap Arion yang seketika membuat Esther mengatupkan bibirnya. Ingin sekali Esther memaki, tetapi dia sadar atas posisi. “Jadi kau ingin mengancamku?” Arion menggeleng pelan. “Tentu tidak, aku hanya ingin kau mempertimbangkannya, Kakak ipar. Coba baca poin selanjutnya,” kata Arion. Esther mendecak. Dia lantas menuruti keinginan Arion. Poin kedua membuatnya terdiam. Di mana Arion akan mengabulkan apa pun yang Esther inginkan. Dan Esther membutuhkan hal itu. Esther perlu menyelidiki tentang Tiara. Dia juga ingin membalas dendam kepada orang-orang yang telah menyakitinya. Dan Esther berpikir akan menggunakan kesempatan ini untuk mewujudkan keinginannya. Esther kembali melanjutkan membaca berkas. Poin ketiga, sangat menguntungkannya. Dia lantas menatap Arion dengan mata menyipit. “Kau mengancamku, dan kau juga menyuapku?” Arion seketika tertawa mendengar hal itu. “Tenang saja, harta yang aku miliki, tidak ada sangkut pautnya dengan Dawson Group,” pungkasnya. Esther tidak keberatan dengan poin ketiga. Meski ia tidak terlalu membutuhkannya. Apa yang ia miliki sangatlah cukup baginya. Tetapi, bukan itu bagian terpenting dari semua ini. Dirinya adalah wanita bersuami. Apakah pantas menerima tawaran semacam ini. Apa ini bisa dikatakan selingkuh? “Jadi hal terpenting dari semua poin ini adalah, kau mengajakku berselingkuh?” Esther menatap Arion. Pria itu cukup terkejut dengan sarkasme yang dilontarkan Esther. Dia tidak menyangka bahwa Esther akan mengetahui niatnya. Tetapi, sebenarnya bukan itu tujuan utamanya. Arion kembali menyeringai. “Aku hanya menawarkan bantuan. Kakak ipar, apa kau tidak ingin membalas suamimu?” Esther terdiam. Dia meletakkan berkas di atas meja. Lalu menaikkan satu kakinya bertumpu pada kaki lainnya. “Tentu saja aku ingin.” Esther kembali meraih berkas, membaca kembali poin-poin terpenting. Dan perhatiannya kembali pada poin terakhir. “Kalau begitu tanda tangani!” ucap Arion. “Kenapa aku harus?” Esther menatap Arion tak gentar. “Karena aku memegang kartu asmu, Kakak ipar,” balasnya santai sembari memainkan ponselnya. “Asal kau tahu, jika video itu tersebar, bukan hanya aku. Tapi kau juga akan hancur,” sergah Esther. Lagi-lagi Arion tersenyum. “Aku justru menantikan hal itu, Kakak ipar.” “Dasar gila!” Setelah mengatakan itu Esther lantas membubuhkan tanda. Tanpa peduli dampak yang akan terjadi di masa depan. Yang terpenting saat ini, Esther menemukan cara untuk membalas dendam. Arion tersenyum penuh kemenangan. Dia lantas menoleh ke arah Eric yang berdiri di belakangnya. Kedua matanya bergerak-gerak, mengisyaratkan sesuatu. Eric segera meraih berkas yang baru saja ditanda tangani oleh Esther kemudian berpamitan keluar. “Kalau begitu saya permisi dulu.” “Tunggu, Eric. Aku…” Esther hendak mengejar Eric, namun tangannya ditahan oleh Arion. Esther menoleh. Tiba-tiba, dia ditarik sehingga ia terjatuh ke pelukan Arion. “Hei, apa yang kau lakukan?” “Karena kau sudah di sini, bagaimana kalau kita memulai saja perjanjiannya,” bisik Arion yang membuat Esther seketika merinding. “Apa maksudmu?” “Aku tahu kau tidak bodoh, Kakak ipar.” Ibu jari Arion menyusuri bibir Esther yang dilapisi lipstik berwarna pink muda. Jantung Esther berdegup dengan sangat kencang. Entah perasaan macam apa yang dia rasakan kini. Takut, mungkin saja. Bagaimana bila orang lain melihatnya? “Jangan takut, Kakak ipar. Ruangan ini sangat tertutup. Tidak akan ada yang melihat kita,” bisik Arion. Esther mendorong pelan dada bidang pria itu. “Kumohon jangan sekarang,” kata Esther. “Tapi aku menginginkannya sekarang, Kakak ipar.” Arion mengeratkan pelukannya pada pinggang Esther seolah tak membiarkan wanita itu lolos darinya. Esther menutup mata, menahan gejolak dalam dada. Perasaan ini sungguh sangat berbahaya. Dalam hati Esther mencoba menolak rasa yang hadir dengan tiba-tiba. Namun, ia sendiri tidak bisa menolak sentuhan yang diberikan oleh adik iparnya. Perlahan Esther mulai pasrah, menerima sentuhan yang Arion berikan. Satu tangan pria itu menyusup dari balik roknya. “Uh, Arion!”Esther membaca berkas di tangan. Poin pertama membuat Esther seketika membulatkan matanya. “Perjanjian macam apa ini?” protes Esther. Jelas sekali tertulis di sana, bahwa Esther harus datang ketika Arion memanggilnya. “Kau kira aku ini pelayanmu?” imbuhnya. Arion memiringkan kepalanya. Senyum tipis terbit di bibir tebalnya. “Kakak ipar, apa kau lupa apa yang aku miliki?” ucap Arion yang seketika membuat Esther mengatupkan bibirnya. Ingin sekali Esther memaki, tetapi dia sadar atas posisi. “Jadi kau ingin mengancamku?”Arion menggeleng pelan. “Tentu tidak, aku hanya ingin kau mempertimbangkannya, Kakak ipar. Coba baca poin selanjutnya,” kata Arion. Esther mendecak. Dia lantas menuruti keinginan Arion. Poin kedua membuatnya terdiam. Di mana Arion akan mengabulkan apa pun yang Esther inginkan. Dan Esther membutuhkan hal itu. Esther perlu menyelidiki tentang Tiara. Dia juga ingin membalas dendam kepada orang-orang yang telah menyakitinya. Dan Esther berpikir akan menggunakan kesempat
Esther membuka mata, untuk melihat sosok itu, dan seketika dia membulatkan mata. Sementara Erland tampak terkejut melihat kehadiran lelaki yang kini berdiri tepat di hadapannya. “Kenapa kau bisa ada di sini?” Arion mengulas senyum tipis. Dia menghempaskan tangan Erland dengan kasar. “Kau lupa, ada bagianku di perusahaan ini. Tapi tenang saja, aku sedang tidak ingin mengungkitnya, aku hanya ingin menuruti keinginan kakek untuk berjalan-jalan di sekitar sini. Tapi aku justru melihat pemandangan seperti ini,” jawab Arion. Erland mendengkus kasar. “Ini bukan urusanmu!” “Memang, tapi urusan rumah tangga bukankah sebaiknya diselesaikan di rumah.” Arion lantas menatap Esther. “Kakak ipar, sebaiknya kau pulang saja,” tegurnya. Esther tampak kesal, sekaligus gugup secara bersamaan. Bagaimanapun, keberadaan pria ini membuatnya teringat dengan kejadian malam itu. “Kau tidak punya hak untuk mengusirku!” kata Esther. Arion malah tersenyum. “Dia memang benar, kau pulang saja. Kita bicara
Esther terdiam untuk beberapa saat. Keterkejutan terlihat di wajahnya. Eric adalah orang kepercayaan Erland selama bertahun-tahun. Dan hari ini, Esther mendapati pria itu dipecat. Apa yang terjadi sebenarnya? “Eric,” panggil Esther. Dia harus mencari tahu lebih banyak lagi. “Ya, Nyonya,” jawab Eric di seberang. “Sejak kapan kamu dipecat?” tanya Esther penasaran. Suara di seberang kembali terdengar. “Sudah satu tahun yang lalu, Nyonya.” “Apa?” Esther jelas saja kaget. Sudah selama itu, tetapi tidak ada yang memberitahunya. “Eric, kenapa kau tidak bilang padaku!” Nada bicara Esther berubah protes. Hening sejenak. Sebelum akhirnya Eric menjawab, “Maaf, Nyonya. Semua atas permintaan Tuan. Tuan memperingatkan saya supaya saya tidak mengadu pada Nyonya.” Esther memejamkan matanya erat-erat. Entah apa tujuan Erland menyembunyikan hal ini. Namun, Esther yakin, semua yang terjadi ada sangkut pautnya dengan Tiara. “Apa kamu melakukan kesalahan?” “Hanya kesalahan kecil, Nyonya. Tapi en
Esther mengepalkan kedua tangannya. Perasaannya campur aduk. Sedih, kesal, marah, dan yang pasti muak. Apa yang baru saja dia dengar dari mulut suaminya, sungguh sangat menyakitkan. Tidak hanya membawa wanita lain dalam rumah tangganya, Erland bahkan membawanya hingga ke atas ranjang mereka. “Erland, di rumah ini banyak sekali kamar. Dia bisa tidur di kamar lain.” Corrina berdiri dari kursinya, dia menatap menantu pertamanya. “Tiara juga istri Erland, jadi dia berhak tidur di kamar Erland.” Setelah lama diam, akhirnya Corrina angkat bicara. “Kak Erland, kalau Kak Esther tidak suka aku tidur di kamar Kakak, biar aku tidur di kamar lain saja,” sela Tiara sendu. Erland menatap Tiara. Wanita itu tidak lagi menangis, namun kata-katanya membuat Erland tidak tega. “Itu adalah kamar kami, harusnya kau tahu diri!” seru Esther tidak terima. Bagaimanapun, Esther harus mempertahankan haknya. “Kau juga harus tahu diri. Kau tidak punya hak di rumah ini, Esther. Jadi Tiara bisa tidur
Jantung Esther serasa terhenti saat itu juga. Dia menahan napas yang terasa sesak, sebelum akhirnya melepasnya dengan kasar. “Apa yang kau katakan?” Arion tersenyum nakal. “Bukankah sudah jelas? Kakak ipar, aku tahu kau tidak tuli,” bisik Arion tepat di telinga Esther yang membuatnya merasa merinding. Kali ini Esther tidak tinggal diam. Dia mendorong Arion sedikit menjauh, lalu berdiri tegap, melipat kedua tangan di perut, seolah hendak memberi perlawanan. “Aku ini Kakak iparmu! Beraninya kau meminta hal semacam itu padaku!” sentak Esther. Lagi-lagi pria itu tertawa. Seperti orang yang baru saja menang lotre. Arion terlihat sangat senang. “Kakak ipar, permainanmu sangat memuaskan. Apa perlu aku memutar lagi videonya? Supaya kau tahu bagaimana liarnya dirimu tadi malam.” Arion mengeluarkan kembali ponselnya, lalu memainkannya di tangan. “Hentikan!” pekik Esther yang justru membuat Arion kembali tertawa. Berbanding terbalik dengan Esther yang merasa geram. Entah mengapa di
Esther menjatuhkan tubuhnya ke atas kasur tanpa sempat melepas sepatu hak tingginya. Kepalanya yang serasa dipukul palu membuatnya terbang ke alam mimpi dengan sangat cepat. Sementara sosok yang sejak tadi memperhatikan Esther kini tersenyum miring. Arion Dawson baru saja tiba di negeri ini, tetapi dia justru dikejutkan dengan kedatangan wanita yang tak lain adalah kakak iparnya sendiri. “Sambutan yang sangat mengesankan, Kakak ipar,” gumamnya. Dengan senyum yang masih terpahat di bibir seksinya, dia beranjak dari sofa. Dia mengunci pintu terlebih dahulu sebelum akhirnya menuju ke atas ranjang. Dia berjongkok, melepas sepatu milik Esther lalu meletakkannya di lantai. Merasa sebuah sentuhan, Esther pun kembali tersadar. Dia membuka mata, dan melihat sosok pria yang mirip suaminya. Esther pun tersenyum. Tanpa pikir panjang, dia menarik kerah kemeja pria itu, dan membuatnya terjatuh di atas tubuhnya. “Temani aku malam ini,” bisiknya. Esther perlu melampiaskan segalanya, ter