"Tuan Walker, Nona Muda ini bayinya sudah meninggal dari dalam. Sepertinya, beliau mengalami benturan yang cukup serius. Kami terpaksa harus melakukan proses caesar malam ini juga."
Suasana ruangan rumah sakit itu penuh dengan ketegangan. Para dokter bergerak cepat, mempersiapkan segala sesuatu untuk operasi darurat. Di ruang tunggu, seorang pria duduk dengan tenang, namun wajahnya memancarkan kekhawatiran yang tak dapat disembunyikan. Tuan Walker, seorang CEO ternama, memegangi ponselnya, seolah menunggu kabar buruk. "Lakukan yang terbaik. Semua biayanya akan ku tanggung," katanya. Suara Adam Sky Walker datar, namun tajam. Itu bukan sekadar pernyataan, tetapi lebih seperti perintah yang tidak bisa dibantah. "Baik. Bagaimana dengan bayinya nanti? Apakah Anda meminta kami sekalian mengurusnya?" tanya salah satu dokter, memecah keheningan sejenak, matanya memandang pria itu penuh hormat namun penuh keraguan. "Pastikan wanita itu selamat. Untuk bayinya, bawa saja ke kamar jenazah. Aku yang akan mengurusnya." Adam Walker menjawab tanpa ragu. Kata-katanya seolah dipenuhi dengan rasa kehilangan yang begitu dalam, namun tetap dingin, terkesan seperti seorang yang sudah terbiasa dengan kesedihan semacam itu. "Baik, Tuan." Alasan mengapa Adam menolong wanita ini karena ... dulu saat kuliah bersama, Adam menyukai Aurora. Sayangnya, dia terlambat dan Samuel lebih dulu mencuri start. **** Tiga jam berlalu, suasana di rumah sakit tampak mencekam. Proses operasi berjalan dengan penuh risiko, namun akhirnya, Aurora, wanita yang tak sadar selama beberapa waktu, mulai membuka matanya perlahan. Kepalanya terasa pusing, dan tubuhnya terasa sangat lelah. Namun, ada sesuatu yang sangat asing yang dirasakannya— perutnya kosong. Tidak ada gerakan atau kehangatan dari dalamnya. Ketika matanya mulai fokus, ia melihat seorang pria berdiri di samping tempat tidur, mengenakan jas formal yang terlihat terlalu rapi untuk berada di rumah sakit. Kini, Aurora memandang pria itu, dan walaupun matanya masih kabur, ia merasa mengenali sosok tersebut. CEO dari perusahaan tempat suaminya bekerja. "Si- siapa, Anda?" Suara Aurora terdengar serak, kebingungan, dan sedikit takut. Ia merasakan sesak di dada, namun mencoba menenangkan diri. Namun, rasa panik itu semakin membesar. "Kau jelas mengenal aku," jawab Tuan Walker, nada suaranya tenang namun penuh makna. Ia menatap Aurora dengan pandangan yang tajam, namun tidak dengan empati. Ya, sebelumnya Adam memang mencari tahu siapa wanita ini. Lantas, anak buahnya menginfokan jika Aurora adalah seorang istri dari karyawannya. Setelah ditelusuri lebih lanjut, ternyata Aurora dibuang suaminya sendiri dan itu tak bisa Adam maafkan. Perasaan asing yang melanda tubuh Aurora semakin memuncak. Ia meraba perutnya, tetapi yang ia rasakan hanya kehampaan. "Perutku, perutku. Kenapa datar? Mana anakku? Mana? Ya Tuhan! Anakku! Anakku!" Suara Aurora bergetar, semakin panik. Ia mencoba bangkit, namun tubuhnya terlalu lemah. Lantas, Sang Tuan Muda Walker menatapnya dengan mata yang penuh rasa kasihan, meskipun ia berusaha untuk tetap menunjukkan ekspresi yang tenang. "Anakmu tiada." Jawabannya singkat, tanpa emosi yang lebih mendalam. Namun, setiap kata itu terasa seperti palu yang menghantam keras ke dada Aurora. "Apa?" Aurora terdiam, seolah tak bisa menerima kenyataan itu. "Apa yang terjadi? Kenapa anakku—" kata-katanya terhenti, seolah tak mampu melanjutkan. Ia menangis, rasa kehilangan itu begitu mendalam. Tuan Walker menghela napas, kemudian berbicara lagi dengan lebih serius, suaranya rendah namun jelas. "Apa yang kau alami sehingga membuat anakmu tiada dari dalam kandungan? Apa yang terjadi, sampai kau dibuang di jalanan?" Aurora merasa seperti diserang dengan pertanyaan yang tidak bisa ia jawab. Matanya terbuka lebar, menatap pria itu dengan rasa bingung dan ketakutan. "Aku... aku ...." Suaranya tercekat, tak mampu melanjutkan. Kenangan buruk kembali muncul—tentang malam itu, tentang suaminya yang berubah, yang meninggalkannya begitu saja, dan anak yang harusnya lahir dengan bahagia, kini tak ada lagi. "Suamimu selingkuh? Kau mengetahuinya dan kau sicelakai?" tanya Tuan Walker, tatapannya tajam, penuh penyelidikan. Aurora terdiam, tubuhnya gemetar. Ia menatap pria itu dengan mata yang penuh kebingungan, seolah tidak percaya seseorang bisa menebak dengan begitu tepat. "Darimana Anda tahu?" tanyanya dengan suara yang hampir tidak terdengar. "Menebak saja." Tuan Walker menjawab dengan nada datar, namun dalam mata yang memancarkan pemahaman yang lebih dalam dari yang mungkin Aurora bayangkan. Kemudian, pria itu mendekat, bersandar sedikit di kursi, seolah sudah memutuskan apa yang ingin disampaikan selanjutnya. "Jadi, mau kah kau bekerja sama denganku, Aurora?" Suaranya lebih serius, penuh dengan niat yang tak bisa disangkal. "Hah?" Aurora menatapnya dalam kebingungan. Jantungnya berdebar kencang, antara rasa takut dan keputusasaan. "Bekerja sama dalam hal apa?" Apa yang harus ia lakukan sekarang? Sepertinya tak ada pilihan lain, selain menerima tawaran ini, meski itu berarti mengorbankan banyak hal. "ASI mu melimpah. Berikan pada anakku, dan kita jadi partner." "Partner untuk?" "Membalas suamimu. Apa kau tak mau, hm?" Setelah mempertimbangkan hal itu, Aurora menjawab, "Beri aku waktu." "Ku tunggu 1x24 jam. Penawaranku tak datang dua kali. Kau akan ku gaji, dan kau akan hidup layak setelah ini. Dengan kekuasaanku, kau bisa membalas semua perbuatan keji suamimu. Setuju?" "Setuju!" **** Bayi mungil itu, dengan tubuh yang membiru, terbaring diam di dalam peti kayu yang kecil. Langit sore yang kelabu seakan turut merasakan duka yang mendalam, menatap dengan hening pada pemakaman yang baru saja selesai. Dengan tubuh yang rapuh, Aurora terjatuh ke dalam pelukan rasa kehilangan yang sangat dalam. Tangisnya terdengar keras, seperti pecahnya jiwa yang hancur, namun tak ada yang bisa mengembalikan apa yang telah hilang. Beberapa kali ia jatuh pingsan karena rasa sakit yang tak tertahankan. Adam berdiri di sampingnya. Bahkan, dia tadi sudah menyarankan dengan lembut agar Aurora tetap berada di rumah sakit. Namun, wanita itu, dengan tekad yang keras, memaksakan diri untuk datang. "Aku harus menyaksikan penguburan anakku." Kata-katanya penuh dengan air mata, namun ada kekuatan tersembunyi dalam dirinya. "Anakku, lelaki kecilku." Hanya itu yang bisa diulangnya, seolah kalimat itu menjadi mantra pengingat, meskipun hatinya hancur berkeping-keping. Setiap langkah menuju pemakaman terasa berat bagi Aurora. Pundaknya terkulai lemas, tubuhnya goyah, namun tekadnya tak bergeming. Seiring dengan berjalannya prosesi pemakaman putranya, ia beberapa kali terjatuh pingsan, dan setiap kali sadar kembali, air matanya terus mengalir. Tak ada yang bisa menenangkan hatinya yang porak poranda. Adam yang terus mendampinginya, kini memandangnya dengan penuh kasih sayang. Meskipun di dalam dirinya berperang antara rasa iba dan kekhawatiran. "Relakan anak itu," ucap Adam lembut namun tegas. "Kali ini, bukan saatnya menangis. Tapi, saatnya balas dendam dan buktikan jika kamu bisa." "Enak sekali kau bicara seperti itu!" Aurora menatapnya dengan tatapan kosong, seolah tidak sepenuhnya memahami apa yang sedang dikatakan. "Kenapa tak enak? Katamu, suamimu menghinamu karena gendut dan jelek, kan?" tanya Adam, menatap wajahnya yang penuh luka. "Maka, ikuti perintahku. Kau akan cantik, dan perubahanmu nanti bisa membuatnya menyesal karena telah mencampakkanmu." Kini, Aurora terdiam, seperti mencerna kata-kata itu dalam dalam. Air matanya berhenti sejenak, tetapi pikirannya terus bergulir dengan cepat. Ia tahu, kata-kata Adam mungkin benar. Rasa sakit dan kehilangan yang ia alami tak akan pernah bisa disembuhkan dengan menangis atau berlarut dalam kesedihan. Sebuah perubahan, sebuah pembuktian, mungkin bisa menjadi cara untuk mengangkat dirinya dari kehancuran ini. Dengan tatapan penuh tekad, Adam pun melanjutkan, "Jangan biarkan dirimu terjatuh lebih dalam. Ini waktumu untuk bangkit dan tunjukkan siapa dirimu yang sebenarnya. Kau tahu, suamimu bersenang senang dengan selingkuhannya. Sedangkan kamu, menangis di sini dan tak ada gunanya. Bukankah itu membuang buang waktu? Kau harus balas dendam, Aurora.""F*ckk, Adam!" Janda muda itu berteriak histeris saat gelombang kenikmatan lain mengalir melalui dirinya yang menyebabkan orgasme kelimanya meledak malam itu.Di atas ranjang, Adam dan Aurora larut dalam gelora tak tertahankan.Adam menempelkan tangannya ke kepala Aurora saat dia terus menerus menghantam vagi-nanya. Mereka menyukainya dengan kasar dan siapa dia yang bisa mengeluh?Kaki Aurora melilit pinggang pria itu sambil menundukkan kepalanya dengan sembrono. Matanya berputar ke belakang kepala saat merasakan gelombang orgasme keenamnya malam itu."Oooh, Adam!""Kau suka, kan?" Adam menyeringai. Dia mencabut dengan kasar kemaluannya dari vagina wanita itu dan mengganti kemaluannya dengan jari-jarinya sambil menghunjamkannya lebih dalam dan lebih cepat.Menggali ke dalam dagingnya yang hangat dan panas serta menghantam ke dalam vagina wanita itu yang sudah basah kuyup."Ouh, ouh! Adam, st
Di bawah langit sore yang memerah, Adam duduk di sudut sebuah tempat tersembunyi di Ubud, dikelilingi oleh Moreno, George, dan Frans. Suasana di sekitar mereka tenang, hanya sesekali terdengar suara gesekan dedaunan yang tertiup angin. Adam, yang masih merasa cemas, menghisap pelan cerutunya, sambil menatap kosong ke arah langit yang perlahan menggelap.Dengan senyum sarkastik yang terukir di bibirnya, Moreno menatap Adam penuh tanda tanya. "Hei, kau ini mantan mafia. Kenapa kau takut kinerja kami melambat? Apa yang kau takutkan?" tanyanya, suaranya santai namun mengandung sindiran tajam. Asap cerutu itu melayang ke udara, menambah kesan angkuh pada sosok Moreno.Kala itu, Adam tak segera menjawab. Ia memutar gelas berisi alkohol di tangannya, menatap cairan keemasan itu sejenak sebelum meneguknya perlahan. "Kau tak tahu saja," gumamnya, suaranya serak. "Jika semua bisa saja berubah. Si Samuel sialan itu meninggalkan wasiat untuk Auror
"Tuan Muda, ada kabar mengejutkan. Lelaki yang menabrakkan diri di rel kereta kemarin malam adalah orang yang kita cari, Samuel." Kata kata itu seperti petir yang menyambar sesaat setelah Adam bangun. Adam terdiam sejenak, matanya yang tajam menyiratkan kekhawatiran meskipun ia berusaha tetap tenang. Pikirannya berputar, mencoba mencerna informasi itu. "Apa? Kau yakin itu dia?" "Ya. 500 meter dari tempat dia tewas, ada sebuah surat, pakaian celana dan kaos, juga ponsel. Dia juga menyebutkan alamat." "Sial!" Adam menggeram, ekspresinya berubah seketika. "Ini bisa menjadi masalah besar." "Bagaimana ini, Tuan? Kalau sampai dia diautopsi, dan kita—" "Kau tak perlu khawatir. Kita bekerja dengan baik, dan jejak semuanya bersih. Oke, tak masalah. Kau tangani masalah ini. Aku, Baby Alan dan Aurora akan segera ke Paris. Jika tidak, dia dalam bahaya karena jejaknya sebagai mantan istri akan terlacak." "Baik, Tuan." Suara pria itu terhenti, seiring dengan detak jantung yang makin
Usai dari rumah sakit, siang itu, Samuel berjalan gontai, langkahnya terseok seok di sepanjang trotoar yang sepi, seperti jiwa yang kehilangan arah. Aspal panas di bawah kakinya tak mampu menghangatkan tubuh yang terasa kaku dan beku. Matanya kosong, menatap ke depan tanpa fokus, seolah segala sesuatu di sekitarnya tidak lagi relevan. Dunia di sekitar terasa kabur, bising, dan asing, seperti suara suara yang tidak bisa ia dengar. Kebingungannya semakin dalam, seolah setiap langkah hanya semakin menjauhkan dia dari jalan yang benar.Tanpa rencana, tanpa tujuan, Samuel berhenti di sebuah toko dan membeli kertas juga pulpen. Tangannya gemetar ketika ia membuka kertas itu dan mulai menulis. Di sebuah taman yang sepi, dengan suara dedaunan berdesir tertiup angin, ia menulis pesan pesan yang telah lama terpendam dalam hatinya. Di atas kertas itu, ia menuangkan kata kata yang tidak bisa ia ungkapkan secara langsung— sebua
Usai bertemu dengan Adam dan diberikan obat peluruh janin, wanita ini begitu sunringah. Apalagi saat dirinya dibawa ke sebuah bangunan apartemen, dia begitu bahagia."Hm, apa dia akan memberikanku apartemen dan seisinya? Jika iya, itu bagus sekali. Dan jika tidak, maka aku akan menghancurkannya!"Raline melangkah ke dalam apartemen mewah yang dipandu oleh anak buah Adam. Setiap langkahnya terasa lebih mantap, seolah-olah ia memasuki dunia yang baru, dunia yang berbeda dari apa yang biasa ia kenal. Dan begitu ia melangkah masuk, matanya langsung tertuju pada luasnya ruangan yang terbuka di depannya.Apartemen itu tidak hanya besar, tetapi juga dihiasi dengan furnitur modern yang terlihat sangat mahal."Wow, ini bagus." Anak matanya berpendar. Dinding dindingnya dicat dengan warna netral yang memberi kesan elegan dan nyaman, sementara jendela besar menawarkan pemandangan kota yang memukau di luar. Raline memandang ke se
Dengan wajah cemas, Adam membawa Raline langsung menuju klinik yang dikelola oleh temannya. Wanita itu dengan gamang mengikuti dari belakang, langkahnya terasa berat namun penuh harapan. Tak lama setelahnya, mobil yang dikendarai anak buah Adam tiba di klinik dengan cepat. Adam langsung menuju ruang periksa, meminta seorang wanita bernama Dona, yang adalah dokter kandungan rekannya juga, untuk segera memeriksa kondisi Aurora.Setelah beberapa menit, Dona mengajak mereka masuk ke ruang pemeriksaan. Aurora terbaring di atas tempat tidur periksa, terlihat sedikit gelisah meski berusaha tetap tenang. Dona yang sudah mempersiapkan peralatan medisnya, mulai melakukan pemeriksaan dengan penuh ketelitian. Dia meminta Adam keluar, karena tahu jika Adam bukanlah suami Raline.Beberapa saat kemudian, Dona keluar dari ruang pemeriksaan dengan ekspresi serius. Langkahnya terhenti di depan Adam dan Raline, wajahnya tak menunjukkan tanda tanda optimi