Masuk“Kamu … kamu serius?” Reno mengalihkan fokus dari kemudi, menatap tajam Rachel di sebelahnya sejenak. “Rupa suaminya seperti apa?”Rachel tampak memijat salah satu sisi keningnya. Dahinya berkerut, “Aku … nggak lihat persis wajahnya. Tapi … yang aku perhatikan, suaminya kayak berusaha nutupin wajah istrinya. Buat aku sih itu mencurigakan.”Kerutan di kening Reno semakin dalam. Iya, mencurigakan. Memangnya seberapa besar kemungkinan ada dua Karina bersuami Reno Wijaya? Aneh. Bisa saja itu memang Karina.Dan lelaki yang mendampinginya, adalah ayah biologis bayi dalam kandungan Karina.Rahang Reno menegang. Ekspresinya kini campuran geram, amarah dan rasa tak sabar. Dadanya bergemuruh. Dia sudah dekat dengan jawaban dari teka teki dengan siapa Karina berhubungan.“Coba kamu jelasin ciri-ciri pasangannya gimana?” “Suaminya pakai jaket hoodie abu-abu.” Rachel melirik ke langit-langit. Kalimatnya meluncur lambat, seperti tersendat ragu. “Istrinya … tubuhnya kayak tinggi rata-rata perempuan
Reno menatap arloji mengilap di lengannya, pukul empat dini hari. Badannya masih terasa remuk setelah menempuh penerbangan dari Kalimantan ke Jakarta. Ketika baru sampai rumah, emosinya dikuras dengan kehamilan Karina yang entah dengan siapa. Dan sekarang, dia harus menghadapi Rachel yang masih merajuk—padahal wanita itu baru saja dia antar ke IGD setelah dia membahayakan diri dengan mengemudi di atas batas kecepatan wajar. Alih-alih terima kasih, malah sikap ketus yang didapatinya.Ah, kesal. Rasanya seperti seluruh ujian hidup berkumpul di hari yang sama.Mobil berhenti di persimpangan lampu merah. Lalu lintas masih cukup sepi. Jalan raya saat ini didominasi truk-truk kontainer dan dan mobil pick up dengan muatan barang. Suara ritmis dari sein mobil mengisi hening. Di tengah temaram suasana kabin mobil yang sunyi, Reno menatap kosong lalu lintas kendaraan yang sedang bergerak membelah jalur tempatnya berada.Pikirannya tanpa sadar malah melayang pada sosok Sheila. Wanita cantik den
“Sayang … perutku sakit.” suara itu terdengar jelas walau Reno tidak mengaktifkan mode loudspeaker.Karina menaikkan sebelah alis, menikmati pemandangan Reno yang gelagapan menatap waspada ke sekitar. Mama di depan kamar. Karina di sebelahnya. Semua bisa mendengar pembicaraannya di telepon.“S-saya ke sana sekarang!”Karina mendengus. Saya? Formal sekali.Dia mau bersandiwara seperti apa lagi?“Ma, ada pekerjaan mendadak yang harus kuurus. Aku pergi dulu.”Pekerjaan. Benar. Jika tujuannya Rachel, kedoknya pasti pekerjaan. Dinas-dinas ke luar kota-nya yang dulu itu, kemungkinan besar sama sekali bukan dinas, melainkan kunjungan ke rumah selingkuhan.“Kamu baru sampai rumah, Reno! Mau ke luar lagi?” Mama bertanya dengan lengan dilipat di depan dada. Matanya membelalak penuh protes. Namun, suara Rachel barusan jelas terdengar sedang menahan sakit. Dan jika sudah menyangkut keselamatan Rachel, mana mungkin Reno mau menunda.“Iya, penting sekali. Harus malam ini juga.” Reno sibuk membongk
“Suara mobil Reno. Reno pulang.”Karina bergeming sejenak, hendak memastikan kembali suara yang menyambangi telinganya. Deru mesin mobil yang semula samar, kini jelas terdengar. Biasanya pria itu teriak-teriak kalau sudah berada di depan. Tetapi malam ini, ada Annaya dan Mama di rumah, dia pasti tidak berani bertindak kasar.“Aku kembali ke bawah.” Karina menatap Dimas, pria itu mengerutkan kening, wajahnya menyiratkan kekecewaan yang dipendam.Dimas menghela napas kasar. “Oke. Kamu tadi bilang mau cerita. Nanti chat aku aja.” “Iya.” Karina mengangguk, lalu melepas genggamannya dari tangan Dimas. Tangan Dimas singgah sebentar di lengannya, seperti belum rela berpisah. “Hati-hati.” bisiknya.Karina tak menjawab, hanya mengulas senyum tipis.Setelah keluar dari kamar Dimas, Karina melangkah cepat menuruni anak tangga. Sedapat mungkin hentakannya diatur agar tak menciptakan suara.Hingga, anak tangga terakhir dia lewati dan Karina mendongak. Mulutnya refleks mengeluarkan suara jeritan
Annaya datang mendekat sambil membawa ponsel yang memperdengarkan nada sambung. Benda itu dia letakkan di meja ruang tamu, memperlihatkan layar yang menampilkan panggilan ke kontak bernama ‘Mas Reno’. ‘Tuut … tuut ….’ Suara nada sambung itu menjadi satu-satunya yang terdengar di tengah senyap, menciptakan ketegangan yang mencekik Karina.“Halo?” suara berat pria terdengar dari speaker ponsel Annaya.“Reno, Ini Mama.”“Kenapa, Ma?”“Mama mau kasih tau kamu, Mama akan tanda tangan surat pelunasan hutangnya Karina—”“Tunggu dulu, Ma!”Pundak Karina menegang. Tentu Reno tak akan diam saja.“Dengar dulu, kesepakatannya kan kalau Karina melahirkan anakku. Anak itu masih di dalam kandungan, belum tentu dia lahir.”Gejolak amarah mendorong getaran di tangan Karina perlahan mengepal. Gemuruh panas di dadanya bagai mendesak untuk diluapkan. “Apa maksud kamu belum tentu dia lahir? Sembarangan kamu, Reno.” alis Mama bertaut curam, nada suaranya meninggi.“Yaa memang benar kan, Ma? Nanti sajal
“Kar ….” suara Dimas yang serak itu terdengar lirih di tengah sunyi, menggetarkan satu sisi dalam diri Karina. Sisi dirinya yang terasa begitu haus, yang menginginkan kehadiran Dimas secara ‘lebih’.Karina merasakan sekujur tubuhnya menegang. Degup di dalam dadanya berdentum keras. Aroma maskulin yang menguar sangat tipis dari kulit Dimas di depannya bagai sihir yang menggerakkan tangannya di luar kendali—jemarinya kini mendarat lembut di sisi wajah Dimas, lalu naik ke rambutnya, menggelitik jemarinya untuk menjelajah ke belakang leher.Saat sentuhannya berakhir, detik itu, dia dapat merasakan deru napas Dimas berubah. Karina meneguk saliva, menata napasnya yang tanpa terasa, tak lagi beraturan. Seluruh fitur wajah Dimas yang terasa begitu dekat kini … mengundang gejolak rindu yang sejak lama meronta dan terus dia pendam. Namun sekarang telah menemukan penawarnya. Tatapan Dimas padanya tak lagi selembut sebelumnya. Kali ini tajam, dalam, menyiratkan dorongan yang Karina tahu maknany







