“Tanda tangani surat cerai ini.”
Maira terdiam, dengan raut wajah muram di kala mendengar apa yang dikatakan oleh Dirga—suami yang sangat dia cintai. Hatinya seketika tercabik akan perintah terbantahkan itu. Tampak jelas matanya sudah nyaris mengeluarkan air mata, tapi dia menahan diri agar tak menangis di depan suaminya.
“K-kita cerai, Mas?” tanya Maira lirih, menatap sang suami dengan permintaan penjelasan.
Dirga membuang pandangannya, menunjukkan aura wajah yang tak peduli. “Amara hamil. Aku harus menikahinya. Aku harus memilih, lagi pula dari awal pernikahan kita hanya perjodohan saja. Sekarang orang tuaku sudah nggak ada, jadi nggak ada lagi alasan untuk kita bertahan.”
Maira menunduk, menahan sesak di dada. Pernikahannya dan suaminya itu baru satu tahun. Dia menikah dengan suaminya karena dijodohkan. Orang tuanya dan orang tua suaminya itu saling dekat, membuat perjodohan terjadi. Namun, sayang semesta berkehendak lain. Tepatnya beberapa bulan lalu kedua orang tua suaminya itu dipanggil Yang Maha Kuasa, akibat kecelakaan.
Maira sama sekali tidak menyangka Dirga tega menceraikannya. Meski pernikahan karena perjodohan, harapannya adalah Dirga mencintainya. Namun, semua yang dia impikan ternyata salah. Bagaikan rumah pasir yang kini diterpa oleh ombak laut—dalam sekejap menghilang.
Amara adalah wanita yang sudah menjalin hubungan lama dengan Dirga, tepatnya sebelum dia dan Dirga menikah. Selama ini, dia berpikir bahwa hubungan suaminya dan Amara telah berakhir, tetapi apa yang dia pikirkan salah besar. Suaminya malah akan segera memiliki anak dari mantan kekasihnya.
“Mas, apa kamu nggak pernah mencintaiku sama sekali?” tanya Maira sekali lagi, kali ini air mata sudah tak tertahan.
Dirga menatap tajam Maira, penuh aura wajah kemarahan. “Kamu tahu selama ini, aku menikahimu hanya karena keinginan orang tuaku. Jadi, tanpa harus bertanya kamu tahu jawabannya!”
Maira melangkah mundur beberapa langkah, menginjakkan kakinya dengan kuat di lantai, berusaha untuk tetap tegar. “Baik, kalau bersama dengan Amara adalah membuatmu bahagia, maka aku akan melepasmu, Mas,” ucapnya lirih dengan air mata yang terus berlinang.
Maira ingin berteriak, menjerit menangis keras dalam luapan erupsi emosi dalam diriku. Dia sangat mencintai suaminya, tapi semua itu percuma karena cintanya bertepuk sebelah tangan. Ya, sejak di awal dia bertemu dengan Dirga, dia memang sudah sangat mengagumi sosok Dirga. Namun, sekali lagi dia harus menerima fakta di mana Dirga tak pernah mencintainya.
Dirga mengangguk. “Pilihan yang tepat. Segera tanda tangani surat cerai itu. Aku akan memberikanmu uang sebagai kompensasi, karena kamu nggak mempersulit perceraian kita.”
Maira menyeka air matanya susah payah, dan menatap suaminya itu dengan mata yang sudah bengkak akibat air matanya. “Aku akan tanda tangani ini, tapi kamu nggak usah berikan aku apa pun, Mas. Aku sudah bukan istri kamu lagi. Kamu nggak memiliki kewajiban untuk hidupin aku,” jawabnya seraya mengambil pena di atas meja, lalu membubuhkan tanda tanganku di surat perceraian yang diberikan olehnya.
Dirga terdiam terkejut sejenak Maira yang sekarang memberikan surat cerai padanya. Pria tampan itu seolah ingin mengucapkan sepatah kata, tapi semua tertahan di kala Maira dengan mudahnya memberikan surat cerai.
“Terima kasih untuk satu tahun bersamaku. Aku nggak pernah menyesal menikah denganmu,” jawab Maira seraya menyerahkan surat itu. “Hari ini aku akan pindah dari sini. Ini bukan rumahku, Mas. Ini rumah kamu. Aku hanya akan membawa barang-barangku saja.” Lantas, dia melangkah menuju lemari pakaiannya, mengemasi barang-barangnya.
“Kamu nggak perlu pindah, Maira. Rumah ini buat kamu,” ucap Dirga dengan tegas.
Maira tersenyum lirih, tanpa menghentikan mengemasi barang-barangnya. “Mas, setelah kita bercerai, aku nggak ingin kita memiliki hubungan apa pun. Aku ingin jaga hati Amara. Aku yakin pasti Amara akan sangat marah kalau dia melihat kita masih menjalin komunikasi.”
Lagi dan lagi, Dirga hanya termangu diam di tempatnya, mendengar perkataan tegar yang lolos di bibir Maira. Pria itu sempat berpikir Maira akan mempersulit semuanya, tapi ternyata apa yang dirinya pikirkan salah besar. Maira bahkan mempermudah keinginannya.
“Perhiasan yang Mama berikan untukku, aku letakan di lemari, Mas. Cincin pernikahan kita juga ada di lemari. Aku nggak akan ambil apa pun yang bukan milikku,” ucap Maira lagi, lalu melangkah keluar dari kamar, meninggalkan Dirga yang terdiam.
“Kalau kamu nggak bawa apa pun, gimana kamu bisa hidup, Maira?” seru Dirga seraya menyentuh lengan Maira.
Maira tetap tersenyum, di balik kepedihannya. Perlahan, dia mulai menyingkirkan tangan Dirga dari lengannya sambil menjawab tegar, “Aku bisa kerja, Mas. Selama satu tahun kita menikah, kamu selalu tanggung jawab sama hidupku. Aku berterima kasih. Sekarang waktunya aku mandiri, Mas. Aku akan mengurus hidupku. Aku pamit ya, Mas. Jaga kesehatan kamu baik-baik. Ingat jangan merokok. Aku yakin Amara bisa lebih baik merawat kamu daripada aku. Salamkan aku untuknya. Ah, aku hampir lupa, selamat sebentar lagi kamu dan Amara akan menjadi orang tua.”
Maira memberikan senyuman perpisahan terbaiknya untuk pria yang sekarang telah menjadi mantan suaminya. Detik selanjutnya, dia melangkah seraya membawa satu koper kecil, meninggalkan rumah yang sudah satu tahun ini dia anggap sebagai tempatnya berteduh.
Sebelum meninggalkan rumah itu, Maira tak sengaja melihat ke cermin, dan menatap mantan suaminya terus memberikan tatapan padanya. Mungkin sekarang mantan suaminya sangat kasihan padaku. Namun, dia akan tetap melangkah maju, menghormati pilihan pria yang dia cintai.
Dalam taksi, Maira tak tahu ke mana arah tujuannya. Kedua orang tuanya telah tiada. Kejadian yang menimpanya sangat mengejutkan. Ayahnya lebih dulu meninggal sembilan bulan lalu, akibat serangan jantung mendadak. Sementara ibunya sangat terpukul akan kepergian ayahnya, hingga membuat ibunya itu menyusul ayahnya hanya berselang satu bulan kemudian.
Maira juga sudah menganggap orang tua mantan suaminya seperti orang tua kandungnya sendiri. Mereka sangat baik dan menyayanginya, tapi lagi Tuhan memiliki kehendak-Nya sendiri. Tuhan mengambil kedua orang tua suaminya, dan membuatnya semakin kehilangan arah.
“Bu, ibu ingin ke mana tujuannya?” tanya sang sopir taksi sopan.
Maira terdiam sejenak, berusaha berpikir. “Pak, tolong carikan hotel terdekat saja. Tapi, tolong carikan yang harganya murah, Pak.”
“Oh, baik, Bu. Saya akan periksa di internet.” Sopir taksi itu memeriksa, lalu di kala menemukan, sang sopir taksi itu melajukan mobilnya ke tempat tujuan.
Hotel murah di Kawasan Jakarta Barat adalah hotel yang Maira pilih. Wanita itu beruntung, karena sang sopir taksi membantunya mencarikan hotel. Maira masih bingung harus pergi ke mana. Dia tidak memiliki tempat untuk berteduh. Rumah peninggalaan orang tuanya sudah tidak ada, karena sebelumnya ayahnya memiliki utang cukup besar di bank, hingga membuat ayahnya kehilangan banyak harta.
Sekarang di sini Maira berada. Wanta cantik dengan wajah pucat itu duduk di tepi ranjang, sambil menatap cermin hotel sederhana. Matanya sudah sembab, akibat air mata yang sedari tadi tak kunjung mereda. Jika adia bisa, maka dia ingin sekali mengakhiri hidupnya. Namun, ada sesuatu hal yang membuatnya kuat menjalani kehidupannya saat ini.
Maira mulai merogoh sesuatu dalam tasnya, dan senyumannya terlukis melihat hasil test USG-nya. Air mata bahagia sekarang menetes, membayangkan sebentar lagi dirinya akan menjadi seorang ibu.
“Nak, Mama di sini, Sayang. Kita jalani hidup kita berdua, ya? Mama janji akan selalu menjagamu, dan mencintaimu,” bisik Maira lembut seraya mengecup hasil test USG-nya.
{Maira, tolong gantikan saya visit proyek di Bandung. Ada hal yang harus saya lakukan, dan tidak bisa ditinggal. Saya sudah kirim pesan pada Dirga tentang kendala saya tidak bisa visit proyek. Kamu bisa pergi dengan Dirga untuk visit proyek.}Maira terdiam membaca pesan masuk dari Cakra. Embusan napasnya terdengar. Kepalanya pagi itu tiba-tiba saja mendadak pusing luar biasa. Dia baru saja bergegas ingin ke kantor, tetapi pesan masuk dari bosnya seketika membuat otaknya menjadi blank.“Kenapa harus aku?” gumam Maira seraya menunjukkan jelas kegelisahan yang membentang di dalam diri. Dia tidak menyangka bosnya akan mengirim pesan di pagi hari, dan gilanya memintanya visit project bersama Dirga—mantan suaminya.Pikiran Maira berkecamuk tak menentu. Wanita cantik itu sangat ingin menolak, tapi tak mungkin dia menolak atasan. Dia sadar dirinya hanya karyawan biasa. Jika menolak, bisa saja Cakra memecatnya. Oh Tidak! Maira tak mau itu sampai terjadi. Dia sudah berjuang keras mendapatkan pe
Maira melangkah memasuki apartemen kecil miliknya, dengan langkah kaki gontai. Tas kerja yang biasanya terasa ringan kini terasa seperti beban berat di bahunya. Pintu apartemen tertutup dengan bunyi klik yang pelan, dan dia langsung bersandar sejenak di balik pintu sembari memejamkan mata.Hari ini benar-benar menguras segala tenaga dan emosinya. Bukan hanya karena persiapan presentasi yang detail dan meeting penting dengan investor, tetapi lebih dari itu—karena dia harus berhadapan dengan masa lalu yang sudah dia kira terkubur rapi. Bertemu dengan Dirga setelah tiga tahun berpisah, dan harus berpura-pura tidak mengenalnya di depan Cakra, membuat dadanya menjadi sangat sesak.Maira melepas sepatu flat shoes hitam pemberian sekretaris Dirga dan berjalan menuju kamarnya dengan kaki telanjang. Apartemen satu kamar tidur ini memang sederhana, tetapi dia telah menata sedemikian rupa agar terasa hangat dan nyaman untuk dirinya dan Arjuna.Sesampainya di kamar, Maira langsung membaringkan di
Waktu seakan berhenti ketika mata Maira dan Dirga bertemu. Keduanya masih terpaku dalam keheningan yang mencekam, seolah dunia di sekitar mereka menghilang. Tiga tahun berlalu, tapi perasaan yang dulu pernah ada masih tersimpan di sudut hati masing-masing.Maira merasakan jantungnya berdetak kencang, sedangkan Dirga berusaha keras mengendalikan ekspresi wajahnya agar tidak menunjukkan keterkejutan yang luar biasa. Mereka sadar bahwa ada Cakra di tengah-tengah mereka—yang mana mereka tak ingin membuat Cakra menjadi curiga.Dirga berdeham pelan, berusaha menguasai dirinya. “Selamat siang, Maira?” ucapnya dengan nada profesional, meskipun suaranya sedikit menunjukkan rasa yang sulit ungkapkan.“Maira. Maira Kiara Dewi,” jawab Maira dengan senyuman tipis yang dipaksakan. Suaranya terdengar tenang, tetapi hatinya bergejolak hebat. “Senang berkenalan dengan Anda, Pak Dirgantara.” Dia mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan, berusaha terlihat profesional meskipun tangannya sedikit gemeta
Tiga tahun berlalu … Sejak percerain, hidup Maira telah berubah total. Wanita cantik berusia 28 tahun itu menata ulang kehidupannya sendiri. Tidak mudah, tetapi tidak ada yang sulit bagi setiap orang yang mau berjuang. Seperti dirinya.Maira duduk di kursi meja kerjanya, memandangi layar komputer dengan fokus tinggi. Jari-jarinya menari di atas keyboard, menyelesaikan laporan terakhir untuk presentasi hari ini. Rambutnya yang dulu panjang kini dipotong sebahu, memberikan kesan profesional yang tegas, tetapi tetap anggun dan menawan.“Mama, aku sudah selesai makan,” suara kecil mengalihkan perhatian Maira dari pekerjaannya.Maira menoleh dan tersenyum melihat sosok kecil berusia tiga tahun yang sedang berdiri di ambang pintu ruang kerjanya. Arjuna Dirgantara—nama yang dia berikan untuk anaknya, tanpa embel-embel Hartono. Anak laki-laki itu memiliki mata bulat yang persis seperti ayahnya, tetapi senyuman hangat yang mewarisi dari Maira.“Arjuna sudah pintar ya, makan sendiri,” puji Mai
“Tanda tangani surat cerai ini.”Maira terdiam, dengan raut wajah muram di kala mendengar apa yang dikatakan oleh Dirga—suami yang sangat dia cintai. Hatinya seketika tercabik akan perintah terbantahkan itu. Tampak jelas matanya sudah nyaris mengeluarkan air mata, tapi dia menahan diri agar tak menangis di depan suaminya.“K-kita cerai, Mas?” tanya Maira lirih, menatap sang suami dengan permintaan penjelasan.Dirga membuang pandangannya, menunjukkan aura wajah yang tak peduli. “Amara hamil. Aku harus menikahinya. Aku harus memilih, lagi pula dari awal pernikahan kita hanya perjodohan saja. Sekarang orang tuaku sudah nggak ada, jadi nggak ada lagi alasan untuk kita bertahan.”Maira menunduk, menahan sesak di dada. Pernikahannya dan suaminya itu baru satu tahun. Dia menikah dengan suaminya karena dijodohkan. Orang tuanya dan orang tua suaminya itu saling dekat, membuat perjodohan terjadi. Namun, sayang semesta berkehendak lain. Tepatnya beberapa bulan lalu kedua orang tua suaminya itu d