Home / Romansa / Gairah Liar Mantan Suamiku / Bab 3. Pertemuan yang Canggung

Share

Bab 3. Pertemuan yang Canggung

last update Last Updated: 2025-07-30 15:26:15

Waktu seakan berhenti ketika mata Maira dan Dirga bertemu. Keduanya masih terpaku dalam keheningan yang mencekam, seolah dunia di sekitar mereka menghilang. Tiga tahun berlalu, tapi perasaan yang dulu pernah ada masih tersimpan di sudut hati masing-masing.

Maira merasakan jantungnya berdetak kencang, sedangkan Dirga berusaha keras mengendalikan ekspresi wajahnya agar tidak menunjukkan keterkejutan yang luar biasa. Mereka sadar bahwa ada Cakra di tengah-tengah mereka—yang mana mereka tak ingin membuat Cakra menjadi curiga.

Dirga berdeham pelan, berusaha menguasai dirinya. “Selamat siang, Maira?” ucapnya dengan nada profesional, meskipun suaranya sedikit menunjukkan rasa yang sulit ungkapkan.

“Maira. Maira Kiara Dewi,” jawab Maira dengan senyuman tipis yang dipaksakan. Suaranya terdengar tenang, tetapi hatinya bergejolak hebat. “Senang berkenalan dengan Anda, Pak Dirgantara.” Dia mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan, berusaha terlihat profesional meskipun tangannya sedikit gemetar.

Dirga menerima jabat tangan singkat itu, merasakan kehangatan yang familiar, tetapi sekaligus asing. “Senang berkenalan juga, Maira,” balasnya sambil melepaskan jabat tangan dengan cepat, khawatir Cakra akan menyadari ada yang aneh.

Cakra yang tidak menyadari ketegangan di antara keduanya tersenyum lebar sambil menepuk bahu Dirga. “Mari kita mulai meeting,” lanjutnya sambil berjalan menuju meja meeting yang besar dan elegan.

Dirga mengangguk, menanggapi ucapan Cakra.

Ruangan meeting ini memiliki jendela besar yang menghadap ke pemandangan kota Jakarta, dengan meja kayu jati yang mengkilap dan kursi-kursi kulit hitam yang mewah.

Maira mengambil tempat di sebelah kanan Cakra, sedangkan Dirga duduk di seberang mereka. Selama meeting berlangsung, Dirga diam-diam mengamati setiap gerak-gerik Maira. Cara Maira menjelaskan data dengan percaya diri, bagaimana Maira mencatat setiap detail penting, dan senyuman profesional yang dia tunjukkan kepada Cakra.

Maira mengambil tempat di sebelah kanan Cakra, membuka laptop dan berkas-berkas yang telah dia persiapkan dengan teliti. Sementara Dirga duduk di seberang berusaha fokus pada agenda meeting, tapi ternyata mata pria itu terus tertarik untuk mengamati Maira.

Maira terlihat lebih cantik, anggun, dewasa dan mandiri dibandingkan tiga tahun yang lalu. Rambut wanita itu dulu panjang kini dipotong sebahu dengan gaya yang lebih profesional, dan cara bicara menunjukkan kepercayaan diri yang tinggi. Sangat berbeda dengan Maira yang dulu.

Dirga langsung mengembuskan napas berat, di kala tak bisa berhenti memperhatikan mantan istrinya itu.

“Jadi, berdasarkan riset pasar yang telah kami lakukan, proyeksi keuntungan untuk tahun pertama adalah sekitar dua puluh sampai tiga puluh persen dari total investasi,” jelas Maira sambil menunjukkan grafik di layar presentasi dengan pointer laser. Suaranya terdengar mantap dan meyakinkan.

“Impressive,” gumam Dirga, matanya masih tertuju pada Maira. “Data yang sangat komprehensif. Riset pasar untuk wilayah Bandung dan Bali sudah mencakup analisis kompetitor juga?” tanyanya mencoba professional.

“Tentu saja, Pak. Kami telah menganalisis setidaknya lima kompetitor utama di masing-masing wilayah, termasuk strategi pricing dan positioning mereka,” jawab Maira sambil membuka halaman berikutnya dari presentasinya.

Cakra mengangguk bangga sambil menatap Maira dengan tatapan yang hangat. “Well, Maira adalah sekretaris terbaikku. Dia selalu detail dalam setiap pekerjaan. Bahkan kadang aku merasa dia lebih teliti daripada aku sendiri,” ucapnya sambil tertawa kecil.

Dirga terdiam sebentar, mendengar Cakra memuji Maira.

Meeting berlangsung selama hampir dua jam. Mereka membahas detail proyek pembangunan supermarket, mulai dari lokasi, target pasar, hingga strategi pemasaran. Sampai tiba di akhir meeting, Cakra dan Dirga berdiri dan berjabat tangan dengan antusias.

Deal, Dirga. Kita kerja sama untuk proyek Bandung dan Bali,” ucap Cakra dengan senyuman lebar.

“Tentu, Cakra. Aku yakin ini akan menjadi investasi yang menguntungkan,” balas Dirga sambil membalas jabat tangan Cakra dengan erat.

Tiba-tiba ponsel Cakra berdering keras. Pria tampan itu melihat layar ponselnya dan mengerutkan dahi. “Maaf, ini panggilan penting dari salah satu rekanku. Aku harus angkat sebentar. Kalian bisa mengobrol dulu,” ucapnya sambil beranjak keluar ruangan.

Suasana ruangan mendadak hening ketika Cakra meninggalkan mereka berdua. Tampak Maira menatap tangannya yang terlipat di atas meja, sedangkan Dirga memperhatikannya dengan tatapan yang sulit diartikan.

Dirga berdeham pelan. “Kamu ... sudah lama bekerja di kantor Cakra?”

“Ya, sudah dua tahun,” jawab Maira singkat tanpa mengangkat wajahnya.

“Maira,” panggil Dirga dengan suara yang lebih lembut. “Aku—”

Please,” potong Maira cepat sambil akhirnya menatap mata Dirga, dengan tatapan tegas. “Selama kita di depan Cakra, kita berpura-pura tidak saling mengenal. Bisakah kamu melakukan itu?” lanjutnya dengan nada formal, seakan memberikan pembatas tinggi agar Dirga tak bisa mendekat.

Dirga terdiam sejenak, kemudian mengangguk perlahan. “Tentu. Tapi ... kamu tidak tahu kalau aku dan Cakra berteman?” tanyanya memastikan.

“Tidak. Aku tidak tahu. Selama aku mengenalmu, kamu tidak pernah membawa Cakra di hadapanku,” jawab Maira jujur.

Dirga langsung mengangguk, mengingat bahwa memang dirinya tak pernah membawa Cakra ke hadapan Maira, di kala dulu dirinya dan Maira masih resmi menjadi sepasang suami istri.

Pintu ruangan terbuka dan Cakra masuk kembali dengan wajah sedikit terburu-buru.

“Dirga, sorry, aku tidak bisa berlama-lama. Ada masalah mendesak di kantor. Aku harus pergi,” ucap Cakra sambil mengambil tasnya.

Maira bangkit dari kursi dan mengambil tas kerjanya. Wanita itu melangkah mendekati Dirga dan mengulurkan tangannya secara profesional. “Terima kasih atas waktu dan kerja samanya, Pak Dirgantara.”

Dirga menerima jabat tangan Maira, merasakan kehangatan telapak tangan yang dulu sangat dia kenal. “Sama-sama, Maira. Semoga kerja sama kita berjalan lancar,” jawabnya dengan nada tenang, meski pikirannya sekarang benar-benar berantakan.

Maira berbalik untuk mengikuti langkah Cakra, tetapi tiba-tiba heels tingginya patah. Dia kehilangan keseimbangan dan hampir jatuh ke belakang menuju meja meeting yang tajam.

“Maira!” seru Cakra dan Dirga bersamaan.

Keduanya bergerak cepat, tetapi tangan Cakra lebih dulu berhasil meraih pinggang Maira dan menariknya ke depan, mencegahnya terantuk sudut meja yang berbahaya. Sementara Dirga yang juga berniat membantu, dengan cepat memundurkan tangan ketika melihat Cakra sudah menyelamatkan Maira.

“Kamu baik-baik saja?” tanya Cakra dengan wajah khawatir, tangannya masih melingkari pinggang Maira.

Maira merasa pipinya memanas karena posisi mereka yang sangat dekat. “I-iya, Pak. Terima kasih. Maaf, saya ceroboh.”

Dirga mengamati interaksi mereka dengan wajah yang tidak nyaman. Ada perasaan aneh yang menggelitik dadanya melihat Cakra begitu perhatian kepada Maira. Tangannya mengepal di sisi tubuh, berusaha menekan perasaan yang tidak seharusnya dia rasakan.

“Sebaiknya kita ke rumah sakit untuk memastikan kamu tidak cedera,” usul Cakra masih dengan nada khawatir.

“Tidak perlu, Pak. Saya baik-baik saja,” jawab Maira sambil perlahan melepaskan diri dari pelukan Cakra. “Hanya sepatu saya yang rusak.”

Dirga akhirnya angkat bicara, “Ada sepatu Cadangan. Sekretaris saya bisa mengambilkannya.”

“Tidak perlu merepotkan,” tolak Maira halus, tak ingin merepotkan siapa pun. “Saya bisa berjalan tanpa sepatu.”

“Jangan, Maira. Lantainya dingin,” cegah Cakra. “Dirga, boleh minta tolong sekretarismu?” pintanya sambil menatap Dirga.

Dirga mengangguk dan menekan tombol interkom. Beberapa menit kemudian, sekretarisnya datang membawa sepasang flat shoes hitam.

Beberapa menit kemudian, sekretaris Dirga yang bernama Shinta datang membawa sepasang flat shoes hitam yang masih dalam kotak. “Ini sepatu cadangan, Pak. Semoga ukurannya pas,” ucap Shinta sambil menyerahkan kotak sepatu kepada Maira.

“Terima kasih banyak,” ucap Maira sambil menerima kotak sepatu dengan senyuman lembut. Wanita itu duduk kembali di kursi dan mengganti sepatunya yang rusak dengan flat shoes yang baru.

Sepatu baru sudah terpasang di kaki Maira. Beruntung ukurannya tidak kebesaran ataupun kekecilan. “Pak Dirga, terima kasih,” ucapnya pada Dirga.

Dirga mengangguk, dengan tatapan tak lepas menatap Maira. Pria itu menyadari bahwa Maira sekarang memiliki sifat yang berbeda jauh. Sosok yang dulu dia kenal lembut, sekarang jauh lebih dingin, dan tegas.

“Dirga, aku pamit dulu. Thanks, untuk bantuanmu,” kata Cakra sambil menepuk lengan Dirga.

Dirga kembali mengangguk, menanggapi ucapan Cakra.

Maira dan Cakra kini melangkah pergi, dan tatapan Dirga tak lepas menatap mereka dengan penuh arti khusus. Tak ada yang menyangka, dia kembali bertemu dengan Maira … yang sekarang berubah total.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Gairah Liar Mantan Suamiku   Bab 5. Terpaksa Berdua

    {Maira, tolong gantikan saya visit proyek di Bandung. Ada hal yang harus saya lakukan, dan tidak bisa ditinggal. Saya sudah kirim pesan pada Dirga tentang kendala saya tidak bisa visit proyek. Kamu bisa pergi dengan Dirga untuk visit proyek.}Maira terdiam membaca pesan masuk dari Cakra. Embusan napasnya terdengar. Kepalanya pagi itu tiba-tiba saja mendadak pusing luar biasa. Dia baru saja bergegas ingin ke kantor, tetapi pesan masuk dari bosnya seketika membuat otaknya menjadi blank.“Kenapa harus aku?” gumam Maira seraya menunjukkan jelas kegelisahan yang membentang di dalam diri. Dia tidak menyangka bosnya akan mengirim pesan di pagi hari, dan gilanya memintanya visit project bersama Dirga—mantan suaminya.Pikiran Maira berkecamuk tak menentu. Wanita cantik itu sangat ingin menolak, tapi tak mungkin dia menolak atasan. Dia sadar dirinya hanya karyawan biasa. Jika menolak, bisa saja Cakra memecatnya. Oh Tidak! Maira tak mau itu sampai terjadi. Dia sudah berjuang keras mendapatkan pe

  • Gairah Liar Mantan Suamiku   Bab 4. Kelelahan dan Kerinduan

    Maira melangkah memasuki apartemen kecil miliknya, dengan langkah kaki gontai. Tas kerja yang biasanya terasa ringan kini terasa seperti beban berat di bahunya. Pintu apartemen tertutup dengan bunyi klik yang pelan, dan dia langsung bersandar sejenak di balik pintu sembari memejamkan mata.Hari ini benar-benar menguras segala tenaga dan emosinya. Bukan hanya karena persiapan presentasi yang detail dan meeting penting dengan investor, tetapi lebih dari itu—karena dia harus berhadapan dengan masa lalu yang sudah dia kira terkubur rapi. Bertemu dengan Dirga setelah tiga tahun berpisah, dan harus berpura-pura tidak mengenalnya di depan Cakra, membuat dadanya menjadi sangat sesak.Maira melepas sepatu flat shoes hitam pemberian sekretaris Dirga dan berjalan menuju kamarnya dengan kaki telanjang. Apartemen satu kamar tidur ini memang sederhana, tetapi dia telah menata sedemikian rupa agar terasa hangat dan nyaman untuk dirinya dan Arjuna.Sesampainya di kamar, Maira langsung membaringkan di

  • Gairah Liar Mantan Suamiku   Bab 3. Pertemuan yang Canggung

    Waktu seakan berhenti ketika mata Maira dan Dirga bertemu. Keduanya masih terpaku dalam keheningan yang mencekam, seolah dunia di sekitar mereka menghilang. Tiga tahun berlalu, tapi perasaan yang dulu pernah ada masih tersimpan di sudut hati masing-masing.Maira merasakan jantungnya berdetak kencang, sedangkan Dirga berusaha keras mengendalikan ekspresi wajahnya agar tidak menunjukkan keterkejutan yang luar biasa. Mereka sadar bahwa ada Cakra di tengah-tengah mereka—yang mana mereka tak ingin membuat Cakra menjadi curiga.Dirga berdeham pelan, berusaha menguasai dirinya. “Selamat siang, Maira?” ucapnya dengan nada profesional, meskipun suaranya sedikit menunjukkan rasa yang sulit ungkapkan.“Maira. Maira Kiara Dewi,” jawab Maira dengan senyuman tipis yang dipaksakan. Suaranya terdengar tenang, tetapi hatinya bergejolak hebat. “Senang berkenalan dengan Anda, Pak Dirgantara.” Dia mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan, berusaha terlihat profesional meskipun tangannya sedikit gemeta

  • Gairah Liar Mantan Suamiku   Bab 2. Pertemuan yang Tak Terduga

    Tiga tahun berlalu … Sejak percerain, hidup Maira telah berubah total. Wanita cantik berusia 28 tahun itu menata ulang kehidupannya sendiri. Tidak mudah, tetapi tidak ada yang sulit bagi setiap orang yang mau berjuang. Seperti dirinya.Maira duduk di kursi meja kerjanya, memandangi layar komputer dengan fokus tinggi. Jari-jarinya menari di atas keyboard, menyelesaikan laporan terakhir untuk presentasi hari ini. Rambutnya yang dulu panjang kini dipotong sebahu, memberikan kesan profesional yang tegas, tetapi tetap anggun dan menawan.“Mama, aku sudah selesai makan,” suara kecil mengalihkan perhatian Maira dari pekerjaannya.Maira menoleh dan tersenyum melihat sosok kecil berusia tiga tahun yang sedang berdiri di ambang pintu ruang kerjanya. Arjuna Dirgantara—nama yang dia berikan untuk anaknya, tanpa embel-embel Hartono. Anak laki-laki itu memiliki mata bulat yang persis seperti ayahnya, tetapi senyuman hangat yang mewarisi dari Maira.“Arjuna sudah pintar ya, makan sendiri,” puji Mai

  • Gairah Liar Mantan Suamiku   Bab 1. Awal dari Sebuah Perpisahan  

    “Tanda tangani surat cerai ini.”Maira terdiam, dengan raut wajah muram di kala mendengar apa yang dikatakan oleh Dirga—suami yang sangat dia cintai. Hatinya seketika tercabik akan perintah terbantahkan itu. Tampak jelas matanya sudah nyaris mengeluarkan air mata, tapi dia menahan diri agar tak menangis di depan suaminya.“K-kita cerai, Mas?” tanya Maira lirih, menatap sang suami dengan permintaan penjelasan.Dirga membuang pandangannya, menunjukkan aura wajah yang tak peduli. “Amara hamil. Aku harus menikahinya. Aku harus memilih, lagi pula dari awal pernikahan kita hanya perjodohan saja. Sekarang orang tuaku sudah nggak ada, jadi nggak ada lagi alasan untuk kita bertahan.”Maira menunduk, menahan sesak di dada. Pernikahannya dan suaminya itu baru satu tahun. Dia menikah dengan suaminya karena dijodohkan. Orang tuanya dan orang tua suaminya itu saling dekat, membuat perjodohan terjadi. Namun, sayang semesta berkehendak lain. Tepatnya beberapa bulan lalu kedua orang tua suaminya itu d

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status