Ada wanita gatal nih ternyata...
Bukannya masuk, Tisya malah celingukan, takut ada orang lain yang melihatnya. Sosok di dalam mobil sana menghela napas, dia kembali meminta Tisya untuk segera masuk ke mobil."Tunggu apalagi, ayo!" ajaknya lagi.Tisya pun masuk ke mobil, sambil tersenyum hampa Tisya mulai bertanya, "Ini tidak apa-apa kalau aku ikut mobil Anda, Tuan?"Tak ada jawaban, Derren hanya fokus menatap jalanan, melajukan kendaraan mewahnya itu di tengah kota London. Tisya dan Derren berada di mobil yang sama, tetapi keduanya seperti dua orang asing. Mereka memilih bungkam tanpa ingin terlibat obrolan."Tuan, di sebelah sini ada kafe yang jual matcha tidak, ya?" tanya Tisya.Derren langsung melirik Tisya, yang membuatnya hanya tersenyum kiku. Derren memasang wajah datar tanpa ekspresi, itu membuat Tisya tenggelam dengan rasa bingung."Kenapa berhenti?" tanya Tisya saat mobil Derren berhenti di sebuah kafe."Bisa beli sendiri?" tanya balik Derren sambil menaikkan sebelah alisnya.Tisya mengangguk kecil, membuat
Thalia sejak tadi menatap pintu ruangan Derren, dia merasa janggal karena office girl yang masuk beberapa waktu lalu tak terlihat keluar lagi. Thalia mengerutkan kening, mulai curiga ada adegan terlarang di dalam sana."Tunggu, kayaknya selera Derren tidak akan serendah itu. Tidak mungkin dia main gila dengan pegawai rendahan," kata Thalia sambil memicingkan matanya."Buang pikiran bodohmu itu, Thalia. Tidak mungkin Derren menurunkan seleranya." Thalia yang hendak ke ruangan Derren pun mengurungkan niatnya.Thalia kembali ke mejanya, lagi pula dia akan kena marah kalau sampai masuk ruangan Derren tanpa izin.Sementara di dalam sana, Derren sedang menghabiskan semua makanan yang dibelikan Tisya. "Are you okey?" tanya Derren dengan nada acuh."A-aku ... aku baik-baik saja," jawab Tisya yang malah membuat Derren meliriknya.Derren menatap lekat sosok Tisya, seolah tengah memastikan kalau ucapan perempuan itu memang benar adanya. Tisya yang melihat makanan sudah habis langsung membereskan
Tisya ingin berterimakasih pada Derren, jadi dia sengaja pergi ke restoran yang ada di seberang kantor untuk membeli makanan. Sambil menenteng paper bag berisikan makanan, Tisya berjalan dengan percaya diri menuju ruangan Derren. Namun, langkahnya seketika terhenti saat melihat sosok Thalia. Dia seperti lupa kalau di kantor ini hubungan mereka hanya sebatas majikan dan bawahan, jadi akan sedikit aneh kalau tiba-tiba Tisya datang memberikan itu. "Kamu ngapain di sana?" ujar Thalia yang menyadari sosok Tisya. Tisya menelan air liurnya, mulai merasakan kekhawatiran yang kini menerpa. "Sa-saya dihubungi Tuan Derren untuk membeli makanan. Ini saya bawakan!" jawab Tisya dengan terbata-bata. "Derren memintmu secara langsung?" tanya Thalia dengan ekspresi tidak percaya. Tisya mengangguk dengan tegas, memberi pernyataan kalau pertanyaan Thalia memang benar adanya. Thalia cukup mengenal Derren dengan baik, jadi dia merasa aneh saat tahu Derren memerintah seorang office girl untuk mengurus m
"Nenek?" tanya Tisya. Tisya langsung mundur beberapa langkah, seolah memberi jarak dengan sosok di hadapannya saat ini. Luis. Laki-laki itu muncul kembali di hadapan Tisya, membuat tubuhnya lemas seketika. Dengan cepat Tisya berbalik, dia tidak mau terlibat dengan manusia satu itu. Namun, dengan cepat tangan Tisya langsung ditarik Luis yang membuat Tisya berbalik kembali. Pandangan mereka saling bertemu, sosok Luis kini menatapnya lekat dengan senyuman khas yang membuat Tisya takut. Tisya terlihat menelan air liurnya, tetapi dia masih berusaha berpikir jernih dan bersikap tenang. Tisya menatik tangannya, berusaha lepas dari Luis. "Tuan, Anda jangan macam-macam atau saya akan teriak!" ucap Tisya. "Seorang office girl ingin meneriaki orang sepertiku? Yang ada kamu hanya mempermalukan diri sendiri, Tisya!" gumam Luis. Tisya semakin ketakutan, secara kebetulan tak ada yang lewat di sana. Tisya sudah celingukan, berharap ada seseorang yang lewat dan bisa menolongnya. "Tolong jangan
Derren yang saling beradu tatap dengan Tisya hanya bergeming, dia menelan air liurnya sendiri karena jarak mereka sangat dekat. Saking dekatnya Derren bisa melihat semua bagian wajah Tisya dengan sangat jelas. Tatapan Derren malah membuat Tisya salah tingkah. Tisya mengusap wajahnya, dia bahkan memeriksa matanya takut ada kotoran di sana. "Tuan, apa ada yang salah dengan wajahku?" tanya Tisya. Derren langsung memalingkan wajahnya yang tanpa ekspresi itu. "Ti-tidak! Sana tidur!" ucap Derren dengan dingin. "Seriusan nggak ada? Coba cek lagi, Tuan?" Tisya malah terus mengikuti arah Derren menghadap. Derren menutup matanya sambil menghembuskan napas dengan kasar. Dia tiba-tiba menangkap wajah Tisya dengan kedua tangannya. Aksi itu secara spontan membuat Tisya membulatkan matanya. Tubuh Tisya seperti membeku seketika, dia bergeming, bahkan untuk menarik napas saja rasanya sesak. Jantungnya berdegup kencang seperti tengah mengikuti lomba lari maraton. Tisya menatap Derren yang saat it
Sialnya keadaannya sedang tidak baik-baik saja. Pikirannya masih kacau, matanya pun masih sembab. "Mau ke mana?" tanya Derren yang tiba-tiba masuk ke kamar Tisya. "Mau menyiapkan makan malam untuk Anda, Tuan," jawab Tisya sambil menunduk. Derren menatap Tisya, tepatnya dia mengamati wajah perempuan di hadapannya ini. Tisya mengangkat kepalanya saat tubuh Derren menghadang. "Masuk lagi!" perintah Derren. "Aku udah makan buburnya, terus udah minum obat pusing juga. Aku udah baik-baik saja, Tuan tidak harus khawatir," ungkap Tisya yang secara tiba-tiba membuat Derren menyipitkan matanya. Derren berdeham, dia malah memalingkan wajahnya seolah tak ingin terlihat gugup. "Saya tidak khawatir, saya hanya tidak ingin kamu bekerja setengah hati. Jadi lebih baik kembali ke kamar saja!" ujar Derren. Derren berbalik, dia pergi meninggalkan Tisya yang masih berdiri dengan perasaan bingung. Walaupun Derren mengatakan tidak peduli, tidak khawatir, atau sejenisnya, tetap saja Tisya merasa senang k