Tisya menatap Derren dengan mata membelalak tak percaya. Napasnya masih belum teratur sejak mendengar kalimat terakhir pria itu.
"Apa maksud Tuan? Kesepakatan kita, maksudnya apa?" bisiknya lirih penuh keheranan.
Derren tak menjawab langsung. Ia melangkah pelan ke sisi jendela besar di belakang meja CEO, menatap lalu lintas kota London yang padat seperti pikirannya sendiri. Cukup lama ia diam, seakan memilih kata-kata untuk dilontarkan pada Tisya.
"Saat berada di luar kantor ini, aku minta kita tidak saling mengenal satu sama lain," katanya pelan pada Tisya, tetapi perkataan itu sangat tegas, "di sini, kamu hanya seorang pegawai. Aku atasanmu. Hanya itu status kita di mata dunia."
Jantung Tisya berdegup kencang, kali ini bukan karena gugup, tetapi marah dan bingung bersamaan. Tisya tak masalah, hanya saja keadaan ini merasa sangat aneh.
"Jadi itu rencanamu, Tuan?" tanyanya, suaranya mengeras sedikit, "mendadak menolong, lalu memasukkan saya ke perusahaan, dan bersikap seakan kita berdua orang asing?"
"Kamu sendiri yang ingin bekerja," potong Derren datar, "dan kebetulan, aku membutuhkan seorang pegawai saat ini."
Tisya mengerutkan alis. "Apakah sekretaris?"
Derren menoleh dan menyeringai tipis. Tapi bukan senyum hangat, melainkan sinis pada wanita itu.
Background Tisya seorang sekertaris, harapan yang luar biasa jika ia bisa keterima kerja dengan posisi yang sama.
"Bukan. Aku tidak butuh sekretaris saat ini. Posisi itu sudah ada, dan dia sedang cuti selama satu Minggu. Untuk sekarang, aku butuh ... office girl, karena hanya posisi itu yang sedang kosong."
Seketika, tubuh Tisya menegang. "A-apa?" tanyanya lirih, seperti tak percaya pada apa yang baru ia dengar, "apa Tuan sedang bercanda?"
"Tidak, memang aku butuh office girl untuk sekarang," ulang Derren santai, lalu kembali duduk di kursinya, "kamu akan bertanggung jawab atas kebersihan ruangan ini, ruang meeting, dan mengantarkan dokumen ke divisi lain bila diperlukan. Mulai hari ini, kamu harus bekerja."
Tisya menahan napas untuk sabar, sekarang, Tisya merasa sedang di permainkan Derren. Tetapi apa yang dikatakan Derren tak bisa dibantah, hanya bagian office girl yang sedang kosong.
"Tapi ... saya melamar sebagai sekretaris, Tuan."
"Dan aku menerima lamaranmu, tetapi sebagai office girl," jawab Derren enteng, membuat Tisya sedikit kesal pada pria yang diam-diam menyebelkan ini.
"Tuan sengaja mempermainkan saya?" desis Tisya, "Tuan tahu sendiri jika saya butuh pekerjaan, dan sekarang Tuan paksa saya untuk ... untuk ...."
"Aku tidak memaksa," potong Derren lagi, suaranya tak berubah sedikit pun. "Kamu bisa pergi sekarang juga. Tidak akan aku halangi. Tapi kalau kamu mau tetap di sini, maka mulai sekarang, bersihkan ruangan ini, Tisya!"
Tisya menunduk. Bibirnya bergetar menahan luapan emosi. Tetapi ia tahu, Derren benar. Ia tak punya pilihan lain. Uang tabungan sudah nol. Neneknya masih dirawat, dan biaya rumah sakit akan terus berjalan. Kalau ia pergi, maka entah kapan lagi bisa dapat pekerjaan lain secepat ini.
Dengan berat hati, ia mengangguk pelan tanda persetujuan.
"Baik, Tuan," katanya pelan, "mulai hari ini, saya akan bekerja."
Derren mengangguk datar, lalu menekan tombol interkom. "Tolong antarkan seragam Office Girl ke Ruanganku, sekarang!"
Satu jam kemudian, Tisya sudah mengenakan seragam abu gelap dengan logo Ribela kecil di dada kiri, staf HRD, hanya tersenyum canggung saat melihatnya.
"Maaf ya, Nona. Tuan Derren memang sangat tegas saat menerima karyawan," bisik HRD pria itu setelah melihat Tisya yang baru saja membersikan ruangan CEO.
Tisya tak menjawab. Ia hanya mengangguk pelan, lalu kembali ke lantai 26 dengan nampan berisi makan siang untuk suami kilatnya itu.
Sepanjang siang, Tisya harus mengepel lantai CEO yang mengilap seperti cermin, membersihkan meja kerja Derren yang penuh dokumen, dan bahkan menyiapkan kopi untuk tamu yang datang meeting. Derren sendiri nyaris tak bicara padanya, kecuali untuk menyuruh atau memberi perintah dengan nada dinginnya. Seluruhnya telah ia bersihkan, tak ada debu yang menempel sedikit pun di dalam ruangan itu.
Tisya terus menggerutu saat dimintai ini itu oleh atasannya, sedikit menyebalkan memang. Bahkan pekerjaan Tisya belum selesai, Derren telah meminta untuk mengerjakan yang lainnya, sampai Tisya merasa pusing sendiri, yang lebih mirip sebagai asisten rumah tangga, bukannya office girl perusahaan.
"Tisya, ambillah laporan bulanan ke bagian Finance," titah Derren begitu tegas, "oh ya, tolong bersihkan meja meeting juga sebelum jam empat."
Ingin rasanya diri ini marah yang meledak-ledak, tetapi Tisya cukup sadar diri. Ia hanya seorang bawahan yang tak punya kuasa apa pun, bagaimana bisa ia membatah atau tak menurut pada Derren. Mungkin ia bisa saja membantah, sialnya Tisya tak siap jika dipecat begitu saja di hari pertamanya bekerja.
"Baik!" jawab Tisya singkat, "saya akan melakukannya."
Derren mengangguk, sepertinya memang pria itu benar-benar sengaja membuat Tisya kelimpungan bekerja. âLaci ini juga masih berantakan. Rapikan, sekarang!"
Tisya hanya bisa mengangguk. Coba saja lihat. Tisya masih punya tugas. Tetapi bisa-bisanya Derren semena-mena seperti itu pada Tisya. Tetapi baiklah, Tisya harus sabar untuk sekarang.
"Tolong buatkan saya kopi!"
Tisya menghela napas, ia kembali mengangguk. Perlahan keluar untuk membuat kopi yang Derren minta.
Tak lama, sebuah kopi di dalam gelas kecil berwarna putih terletak di atas meja. "Ini kopinya, Tuan."
Derren yang sedang menatap komputer, tangannya meraih kopi tersebut, setelahnya mengatakan."Tolong jangan yang terlalu panas."
"O-oh, baik, Tuan. Saya ambilkan yang baru."
Tisya, mau tak mau harus mengganti kopi tersebudan kembali ke pantry yang sialnya berada di lantai satu.
Tak lama, kopi dalam gelas berbeda sudah ada di atas meja kembali. Berharap Derren tak melayangkan protes dengan kopinya kali ini.
Sialnya, pria itu mengatakan, "Gulanya sedikit saja."
Hampir saja Tisya emosi tak tertahankan, sudah beberapa kali ia bolak-balik membuat kopi. Menyebalkan, kenapa Derren sangat mempersulit Tisya sekali dalam membuat kopi saja. Namun masih sama, Tisya tetap harus sabar hingga kopi berada di atas meja tanpa Derren minum sedikit pun.
Semua telah dilakukan. Hanya bisa mengeluh dalam hati. Saat jam menunjukkan pukul tujuh malam dan seluruh kantor mulai sepi, hanya tinggal lantai eksekutif yang masih terang, Tisya merasa tubuhnya benar-benar kelelahan. Ia duduk sejenak di pantry kecil, meneguk air mineral yang berada di tangan, lalu kembali ke ruangan Derren untuk mengepel lantai yang terakhir. Sungguh, ini sangat melelahkan.
Ruangan itu sudah lengang. Derren masih duduk di belakang meja, namun kini tampak berbeda. Cahaya lampu gantung memberi siluet tajam di wajahnya. Ia tak sedang bekerja, tapi memandang Tisya dengan sorot yang tak biasa, ada sesuatu yang lebih dari sekadar tatapan atasan pada bawahannya.
Saat Tisya selesai menyimpan alat pel, Derren berdiri dan berjalan ke arah lemari kecil di sudut ruangan. Ia membuka laci, mengambil satu map hitam, lalu menyerahkannya pada Tisya. Yang membuat Tisya menjadi sangat bingung.
Harusnya ia sudah pulang, ini telah malam hari. Pekerja Tisya sudah selesai, tak mungkin Derren menyuruh Tisya lembur, kan?
Seluruh keringat Tisya sudah keluar, malam ini cukup melelahkan. Tak ada tenaga yang tersisa, keadaan ini. Tisya hanya ingin tidur dengan tenang, tetapi Derren yang memberikan map misterius hitam itu membuat Tisya bergetar hebat.
âIni untukmu,â ucapnya tegas, tangannya sudah di masukan ke dalam kantung celana.
âApa ini?â Tisya menatap map itu dengan ragu, map itu sudah berada di tangan Tisya. Tak berani membuka isinya.
"Lihatlah sendiri!" balas Derren dengan alis terangkat.
Jujur Tisya merasa takut, tetapi ada rasa penasaran yang luar biasa dengan isi map tersebut.
"Kenapa diam saja? Bukalah!"
Tisya meneguk ludah. Tangan gemetar saat hendak membuka map itu, rasa takut sudah Tisya coba hilangkan. Dengan berani Tisya buka untuk membacanya. Mengerutkan ken
ing, bola matanya membelalak sempurna ketika membuka halaman pertama dalam map itu yang ternyata ....
Tisya menatap Derren dengan mata membelalak tak percaya. Napasnya masih belum teratur sejak mendengar kalimat terakhir pria itu."Apa maksud Tuan? Kesepakatan kita, maksudnya apa?" bisiknya lirih penuh keheranan.Derren tak menjawab langsung. Ia melangkah pelan ke sisi jendela besar di belakang meja CEO, menatap lalu lintas kota London yang padat seperti pikirannya sendiri. Cukup lama ia diam, seakan memilih kata-kata untuk dilontarkan pada Tisya."Saat berada di luar kantor ini, aku minta kita tidak saling mengenal satu sama lain," katanya pelan pada Tisya, tetapi perkataan itu sangat tegas, "di sini, kamu hanya seorang pegawai. Aku atasanmu. Hanya itu status kita di mata dunia."Jantung Tisya berdegup kencang, kali ini bukan karena gugup, tetapi marah dan bingung bersamaan. Tisya tak masalah, hanya saja keadaan ini merasa sangat aneh."Jadi itu rencanamu, Tuan?" tanyanya, suaranya mengeras sedikit, "mendadak menolong, lalu memasukkan saya ke perusahaan, dan bersikap seakan kita berd
Derren mendengkus, tetapi akhirnya dia pun mengangguk, âKalau bukan aku, lalu siapa lagi?âTisya diam sejenak. Lalu perlahan menoleh pada arah Derren, matanya melebar tak percaya. "TâTuan?"Derren hanya menatapnya, tanpa senyum, tanpa pembelaan sedikit pun dari mulutnya itu."320 juta," gumam Tisya, seperti bicara pada dirinya sendiri, "Tuan membayar langsung semuanya?""Hmm,â gumam Derren setenang mungkin.Jika memang begini. Kenapa Derren mempermainkan Tisya seperti ini, bahkan tadi Tisya nyaris melayani suaminya di tengah kegugupan ia yang memikirkan nasib neneknya di rumah sakit. Entah apa yang sebenarnya pria ini rencanakan.Tisya menunduk, matanya mulai berkaca-kaca. Bukannya bahagia, justru hatinya terasa makin berat dan sedikit gamang, suaminya ini semakin misterius, dan Tisya merasa sangat yakin jika Derren merupakan pria yang sama, yang namanya pernah dia dengar."Kenapa Tuan ⌠kenapa Tuan mengerjai saya seperti tadi?â bisiknya. âPadahal tadi kita, hampirââDerren menghela n
Derren melangkah lebih dekat ke arah Tisya, tubuh tinggi dan dinginnya kini hanya berjarak beberapa inci dari istrinya.Tisya melangkah mundur sampai terbentur tembok kamar mewah itu. Mata biru Derren menyorot tajam, Tisya bisa mencium aroma parfum maskulin bercampur dengan tekanan luar biasa di dada.Tisya menggenggam lengan panjang miliknya yang tinggal satu kancing. Derren mengangkat tangannya ke arah baju Tisya, lalu perlahan menanggalkan kancing terakhir baju wanita itu.Bibir Tisya bergetar hebat, ia tak tahu harus memejamkan mata atau menatap langit-langit kamar, tubuhnya menggigil, bukan karena dingin, tetapi ketakutan yang mendalam, terlebih ini kali pertamanya.Celana panjangnya pun melorot, menyisakan hanya tubuh yang setengah tertutup dan mata yang tak berani menatap siapa pun, bahkan dirinya sendiri, saking malunya.Derren tak berkata apa-apa. Ia hanya berdiri di sana. Lalu tangannya perlahan menjangkau pinggang Tisya sangat dekat seperti hendak melakukan sesuatu yang seh
Kedua tangan Tisya berkeringat dingin, setelah menerima surat nikah, yang baru saja membuat statusnya berubah seratus delapan puluh derajat, hanya dalam hitungan menit, menjadi seorang istri pria asing di depannya.Derren baru saja membuka pintu mobil dan diam menatap kebingungan wajah istri dadakannya itu.âCepat masuk! Kamu harus melakukan tugas pertamamu terlebih dahulu, sebelum aku memberikan uang padamu!â Teguran bernada dingin itu, membuat Tisya terlonjak kaget.Dengan cepat nyaris terburu-buru, Tisya masuk ke dalam mobil, tepat di samping Derren, yang mulai melajukan mobilnya, pergi meninggalkan kantor catatan sipil.Keduanya terlibat keheningan, hingga Derren menyodorkan kotak beludru berwarna biru tua, yang tak langsung diterima oleh Tisya.Melihat Tisya yang seperti orang linglung, Derren sedikit menggeram rendah, lalu bicara, âPakailah selama kamu berperan sebagai istriku!âPerkataan Derren membuat alis Tisya saling bertaut. âApa maksud ucapan Anda, Tuan?âSungguh Tisya tak
âBerhenti dan bayar hutang-hutangmu, sialan!"Teriak rentenir laki-laki yang lebih mirip preman itu nekat mengejarnya dari Tanah air hingga ke London untuk menagih utang pada Tisya Rhani, mantan sekretaris pribadi di salah satu perusahaan besar di Indonesia.Terlilit utang yang bukan utangnya, mendapat fitnah keji yang menuduhnya sebagai sekretaris selangkangan, yang sialnya hal itu membuat karirnya hancur. Ditambah lagi Tisya dirampok di bandara, semuanya lenyap, yang tersisa hanya kalung, dan ponsel keluaran terbaru di saku celana jeansnya saja.âAku harus bagaimana ini?âTisya berlari kencang, sesekali menatap ke belakang, berharap jika rentenir bengis itu sudah berhenti, tetapi ternyata dia begitu semangat mengejarnya, membuat napas Tisya semakin terengah-engah, dan ketakutan setengah mati, apalagi melihat pisau tajam yang diacungkan sang rentenir, seketika membuat tubuh Tisya lemas.Tak ingin mati sia-sia, Tisya terus berlari semakin kencang, sampai akhirnya napasnya putus-putus,