Lampu-lampu temaram berpendar lembut, memantul di dinding yang kini berwarna pastel muda, menyatu dengan aroma mawar dan lavender yang menyelinap dari sudut ruangan. Di langit-langit kaca, bintang-bintang tampak malu-malu menyapa. Cahaya bulan jatuh samar ke atas ranjang besar berkanopi, di mana Aura dan Rey baru saja berbaring untuk pertama kalinya sejak ruangan itu diubah.Aura mengusap seprai halus di bawahnya, meraba permukaannya yang wangi dan sejuk. Matanya bergerak ke arah dinding yang dipenuhi kolase foto mereka, beberapa momen kecil yang tak pernah ia duga direkam Rey diam-diam. Ia tersenyum lirih.“Ini ruangan paling gila yang pernah aku lihat,” bisiknya sambil menoleh ke Rey yang duduk bersandar di sandaran ranjang, masih dengan kemeja tidur tipis dan rambut acak yang membuatnya terlihat jauh lebih muda.Rey menoleh padanya, menyentuh ujung rambut Aura yang tergerai di bantal. “Gila karena terlalu manis, atau terlalu penuh kamu?”Aura tertawa kecil, lalu menggenggam tangan
Langit di luar mulai berganti warna. Senja menyusup lembut melalui kaca jendela, mewarnai meja tempat Aura duduk dengan Jessy dan Ricko. Cangkir-cangkir kopi yang mulai menghangat, bercampur dengan aroma vanilla dari pastry yang belum sempat disentuh.“Aku masih nggak bisa percaya si Clarissa bisa setega itu,” gumam Jessy sambil menekuk alisnya, menatap Aura dengan prihatin. “Dia hampir berhasil merusak semuanya, Aura. Termasuk kepercayaan lo ke Rey.”Aura menunduk. “Iya … aku tahu,” jawabnya pelan. “Dan yang paling menyakitkan, dia salah gunain kepercayaan sahabatnya sendiri, Manda, buat kepentingannya sendiri.”Ricko mendengus. “Kita masih belum bisa buktiin seratus persen, tapi dari data yang gue dapet, nama Manda memang muncul di rekam medis asli dari klinik itu. Clarissa cuma jadi topeng. Cerdas sih. Tapi jijik kan.”Aura menatap kosong cangkir kopinya. “Kalau itu benar, berarti Clarissa nggak pernah hamil. Dia cuma numpang dosa buat nut
Langit mendung menggantung rendah di atas Lapas Perempuan Kelas I. Udara terasa pengap, bukan hanya karena cuaca, tapi juga karena suasana gelap yang tak kasat mata yang tumbuh dan mengendap dalam dinding tebal lembaga pemasyarakatan itu.Clarissa turun dari mobil hitam dengan kaca gelap. Langkahnya anggun tapi tegas. Mantel panjang warna pasir membalut tubuhnya, sepatu hak tingginya mengetuk lantai beton dengan bunyi yang menggetarkan.Ia memberikan identitas, dan sipir yang menyambutnya hanya mengangguk, sebelum mengantar dengan ekspresi ragu.“Dia ... sedang tidak stabil,” gumam sipir wanita bertubuh kekar itu sambil menekan tombol pembuka gerbang dalam.Clarissa tidak menjawab. Wajahnya tetap datar, hanya bulu matanya yang berkedip lambat saat sipir melanjutkan dengan nada memperingatkan.“Kami sudah isolasi dia dari sel utama. Ada indikasi gangguan kejiwaan. Sering berkelahi. Minggu lalu kakinya patah dipukul narapidana lain. Tapi ... dia bilang seseorang bernama Maureen yang mel
Suara shower masih mengalun lembut dari kamar mandi utama. Uap tipis menyusup dari celah pintu yang terbuka sedikit, seperti tirai rahasia yang menyamarkan kegalauan di dalamnya.Aura berdiri di dapur, sendok kayu di tangannya menggantung di atas adonan pancake. Tapi pikirannya jauh, melayang, bukan pada sarapan atau ulang tahun yang baru berlalu, melainkan pada dua garis merah yang kembali muncul pagi ini. Bahkan di lima test pack yang berbeda.Ia tidak yakin apakah tangannya gemetar karena rasa mual yang membuncah dari perutnya ... atau karena ketakutan yang tak kunjung reda.Kalau Rey tahu … bagaimana reaksinya? Apa dia akan merasa dijebak, seperti dengan Clarissa? Apa dia akan menganggapku serendah itu?Ia berlari cepat-cepat, tangannya menutupi mulutnya. Seolah dengan melakukan itu, ia dapat menahan gejolak di dalam perutnya. Aura menghela napas pelan, membasuh mulutnya, lalu memandangi pantulan dirinya di cermin. Wajah pucat. Mata sembab. Bibirnya menggigil, menyembunyikan raha
Pagi itu sunyi, hanya suara lembut angin dari AC yang terdengar. Cahaya matahari belum sepenuhnya menembus gorden tebal penthouse mereka, tapi Aura sudah bangun lebih dulu dari Rey. Ia bangkit pelan dari ranjang, berjinjit tanpa suara agar tak membangunkannya.Di genggamannya ada kantong plastik kecil berisi beberapa test pack dari apotek. Ia sengaja membelinya kemarin, diam-diam, tanpa sepengetahuan siapapun. Bukan karena ia tak percaya hasil tes kemarin, tapi karena ada satu bagian dalam dirinya yang masih ingin menyangkal. Masih berharap semuanya hanya kesalahan. Mungkin dari hormon atau stres beberapa waktu terakhir. Aura masuk ke kamar mandi dan mengunci pintunya. Jemarinya sedikit gemetar saat membuka satu per satu bungkus test pack, meletakkannya berderet di tepi wastafel marmer. Lima buah. Semuanya berbeda merek. Kali ini ia ingin benar-benar yakin, tanpa celah untuk ragu lagi.Degup jantungnya semakin cepat.Satu persatu alat itu ia gunakan sesuai instruksi, dan meletakkanny
Langit malam memayungi kota dengan mendung tipis, seakan ikut menyimpan beban yang tak terucap. Mobil hitam Rey terparkir rapi di seberang Seventy Eight Resto. Mesin sudah lama dimatikan, tapi lelaki itu belum beranjak. Di dalam kabin yang temaram, Rey menatap kosong ke arah gedung restoran, sorot matanya redup dan gelisah.Hatinya digerogoti rasa bersalah. Ada sesuatu dalam diri Aura yang akhir-akhir ini tak lagi sama. Senyumnya berbeda. Tatapannya tak lagi menyala. Bahkan saat bicara pun, suaranya seperti jauh.Pintu resto terbuka. Rey refleks menegakkan tubuhnya. Tapi yang dilihatnya bukan Aura.Ega keluar dengan langkah santai, bahu sedikit turun saking lelahnya shift malam. Ia menenteng tas selempang dan sekotak makanan dapur. Saat melihat mobil Rey, dia langsung mengangkat alis dan menyeberang.Tok. Tok.Rey menurunkan jendela.“Mas Rey ...” Ega nyengir, lalu matanya menelisik ke dalam kabin. “Sendirian? Lagi nyari ilham atau nungguin seseorang yang hatinya udah kayak freezer ku