Pagi buta itu, Valdi terbangun oleh rasa pegal yang menjalar di lengannya. Salah satu tangannya tertindih tubuh Anya, membuat aliran darahnya terasa terhambat dan lengan itu kini terasa kebas. Di samping kanan dan kirinya, Anya dan Celine masih terlelap, dengan kepala mereka bersandar di dadanya. Valdi menatap keduanya sejenak, merasakan kehangatan yang tenang namun menimbulkan senyum tipis di wajahnya. Meskipun merasa nyaman, ia juga merasa tubuhnya kaku karena tidak bisa bergerak bebas.
Dengan perlahan, Valdi berusaha menarik lengannya, berusaha tidak membangunkan mereka. Setelah terbebas, dia menghela napas lega dan menyelipkan selimut untuk memastikan keduanya tetap hangat. Merasa sedikit haus, Valdi memutuskan untuk turun ke dapur.
Jam di dinding menunjukkan pukul 4.13 saat dia meneguk air putih dari gelas, menikmati kesunyian yang jarang bisa ia temukan di rumahnya yang selalu penuh aktivitas. Namun, di tengah keheningan i
Setelah lelah berjalan-jalan di Orchard Road, Valdi dan Anya kembali ke apartemen. Udara malam terasa hangat, dengan angin lembut yang berhembus dari balkon. Pemandangan kota Singapura yang dipenuhi lampu-lampu berkilauan menjadi latar sempurna untuk obrolan santai mereka.Di balkon, Valdi menuangkan dua gelas anggur merah yang sudah ia siapkan. Anya duduk di kursi santai, mengenakan pakaian kasual, rambutnya diikat rapi. Ia menatap ke luar dengan senyum kecil di wajahnya, menikmati keindahan kota yang pernah menjadi bagian besar dari hidup mereka.“Jadi,” Valdi memulai, menyerahkan segelas anggur kepada Anya. “Kita nggak cuma muter-muter Orchard Road, ya. Kayaknya kamu sengaja mau bangkitin kenangan lama kita di sini.”Anya tertawa kecil sambil menerima gelas itu. “Memang sengaja, sih. Aku nggak bisa bohong.”Valdi duduk di kursi seberangnya, menyanda
Setelah tiba di rumah, Valdi, Mayang, dan Indah masuk ke ruang tamu, di mana Celine, Sarah, dan Kamala sedang bercengkrama. Melihat mereka masuk, Celine tersenyum hangat dan melambaikan tangan.“Eh, kalian sudah pulang. Gimana pertemuannya?” tanya Celine santai sambil menyandarkan tubuhnya ke sofa.“Semua selesai dengan lancar,” jawab Valdi sambil melepas jasnya. “Mayang berhasil tanda tangan AJB, dan sekarang tanah di Ciwidey sudah resmi milik kita.”“Syukurlah,” kata Celine, lalu mengusap perutnya yang mulai menunjukkan sedikit perubahan. “Semakin banyak yang harus kita urus, apalagi kalau si kecil ini nanti lahir.”Sarah yang duduk di samping Celine tertawa kecil. “Waktu Celine cerita kalau dia hamil, aku sampai nggak percaya. Tapi aku senang banget, Mas Valdi pasti jadi ayah yang keren.”Kama
Pagi itu, setelah mempersiapkan segala sesuatu untuk keberangkatannya ke Soreang, Valdi menghampiri Anya yang sedang duduk termenung di halaman depan rumah. Dari tatapan matanya, Valdi bisa melihat sesuatu yang berbeda, seperti ada beban di dalam hati Anya yang belum tersampaikan.Valdi mendekat, duduk di sampingnya, berusaha mencari tahu. "Anya, kamu kenapa?" tanyanya, mencoba untuk menembus dinding yang tampak Anya bangun di sekitarnya.Anya menggelengkan kepala perlahan, wajahnya memancarkan kelelahan yang sulit ia sembunyikan. “Aku bingung, Valdi… aku nggak tahu harus gimana lagi,” ujarnya, suaranya rendah, seolah tak ingin membiarkan emosinya terlihat."Maksudnya? Kamu marah sama aku?" Valdi bertanya dengan lembut, merasa ada sesuatu yang belum ia pahami.Anya menarik napas dalam-dalam, menatap lurus ke depan. “Apa aku masih berhak marah? Apa kamu… ma
Gairah mereka semakin memuncak, tubuh mereka berkeringat, nafas mereka terengah-engah. Valdi merasakan puncaknya semakin dekat, sementara Indah, yang masih terhanyut dalam kenikmatan, mulai merasakan gelombang kenikmatan baru. Valdi mempercepat gerakan pinggulnya, setiap dorongannya semakin dalam dan kuat."Ehhmmm Indaahhh," erang Valdi, tubuhnya bergetar tak terkendali. Gairah yang memuncak membuat Valdi mencapai batasnya. Dengan desahan penuh kenikmatan, ia menyemburkan spermanya dengan kekuatan yang luar biasa, membanjiri rahim Indah, memenuhi setiap inci dalam dirinya. Indah merasakan ledakan kenikmatan itu, tubuhnya bergetar hebat, mencapai orgasme yang tak terbayangkan. Cairan hangat Valdi mengalir di dalam dirinya, membuat Indah merasakan sensasi yang tak tertandingi.Mereka berdua terbaring, lelah namun puas, tubuh mereka masih bergetar dalam sisa-sisa kenikmatan. Detak jantung Valdi masih berpacu liar, seolah tak mau be
Pagi buta itu, Valdi terbangun oleh rasa pegal yang menjalar di lengannya. Salah satu tangannya tertindih tubuh Anya, membuat aliran darahnya terasa terhambat dan lengan itu kini terasa kebas. Di samping kanan dan kirinya, Anya dan Celine masih terlelap, dengan kepala mereka bersandar di dadanya. Valdi menatap keduanya sejenak, merasakan kehangatan yang tenang namun menimbulkan senyum tipis di wajahnya. Meskipun merasa nyaman, ia juga merasa tubuhnya kaku karena tidak bisa bergerak bebas.Dengan perlahan, Valdi berusaha menarik lengannya, berusaha tidak membangunkan mereka. Setelah terbebas, dia menghela napas lega dan menyelipkan selimut untuk memastikan keduanya tetap hangat. Merasa sedikit haus, Valdi memutuskan untuk turun ke dapur.Jam di dinding menunjukkan pukul 4.13 saat dia meneguk air putih dari gelas, menikmati kesunyian yang jarang bisa ia temukan di rumahnya yang selalu penuh aktivitas. Namun, di tengah keheningan i
Suasana di kamar itu seketika berubah. Keheningan yang mengisi ruangan terasa berat, menciptakan getaran canggung di antara mereka bertiga. Anya masih menatap Celine, bingung dengan apa yang baru saja diungkapkan, sementara Celine tetap tenang, meski senyumnya sedikit memudar."Memangnya kebobolan atau gimana?" tanya Anya, nadanya sedikit ragu, mencoba meraba kejelasan dari situasi yang terasa absurd.Celine menggeleng pelan, rambutnya bergerak mengikuti gerakannya, menandakan bahwa apa yang terjadi tidak sepenuhnya kebetulan."Memangnya, kamu nggak pakai kontrasepsi?" tanya Anya lagi, kini sedikit lebih tegas, ingin memastikan bahwa ada sesuatu yang ia lewatkan dalam pemahaman ini."Enggak," jawab Celine singkat, tanpa sedikit pun keraguan dalam suaranya. Kata-katanya terucap dengan sederhana, seolah masalahnya tak serumit yang Anya bayangkan.Anya mengerutkan kenin
Malam telah merayap perlahan saat pesawat pribadi mereka akhirnya mendarat di Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng. Lampu-lampu kota Jakarta terlihat berkelap-kelip dari kejauhan, menambah kesan sunyi di tengah malam yang senyap. Udara lembap khas Jakarta menyambut mereka ketika mereka menuruni tangga pesawat, membawa sensasi kelegaan sekaligus kerinduan akan apa yang akan terjadi selanjutnya.Luna, yang sejak tadi menemaninya di dalam pesawat, menoleh pada Celine dengan senyum lembut. Mereka berpelukan erat di bawah langit malam, celine merasakan kehangatan dan keterikatan yang dalam di antara mereka. Seolah ada sesuatu yang tak perlu diucapkan namun dipahami dengan sempurna.“Gue bakal ke rumah besok pagi,” kata Luna dengan nada bersahabat. Luna kini telah menetap di rumah Valdi, dan meskipun malam itu mereka berpisah sementara, ada janji tak terucap bahwa kebersamaan mereka akan berlanjut dengan cara yang lebih hang
Luna, dengan tangan kanannya, memeluk Celine yang berada di atasnya, sementara tangan kirinya mencengkeram kursi untuk menahan kenikmatan yang diberikan Valdi. Matanya melirik nakal ke arah Valdi yang penuh nafsu, menikmati setiap gesekan batang kejantanannya di lubang sempitnya.Perlahan, Valdi mulai menggoyangkan pinggulnya, mendorong batangnya lebih dalam ke dalam lubang Luna. Gerakannya semakin cepat dan intens, membuat Luna mengerang semakin keras."Ahhh... besar sekali..." erang Luna, semakin erat memeluk Celine yang berada di atasnya. Celine, yang masih terengah-engah setelah mencapai orgasme.Perlahan, Valdi mulai menggoyangkan pinggulnya, mendorong batangnya lebih dalam ke dalam lubang Luna. Gerakannya semakin cepat dan intens, membuat Luna mengerang semakin keras."Ehm... ehm... ahh... Mas Valdi... enak sekali," desah Luna, suaranya semakin tinggi seiring dengan gerakan Valdi y
Luna dengan anggun memberikan satu gelas champagne ke tangan Valdi, matanya berkilat dengan penuh maksud. Tanpa bicara lebih lanjut, dia meraih tangan Celine dengan lembut namun tegas, menariknya untuk duduk di kursi depan Valdi, berhadapan langsung dengannya. Suasana di dalam kabin semakin dipenuhi ketegangan sensual yang tak bisa diabaikan.Senyum menggoda Luna tidak pernah hilang saat dia dengan hati-hati merebahkan kursi Celine, membuat tubuh Celine berbaring dengan nyaman. Celine menatap Luna dengan mata yang berbinar, jelas mengenali apa yang akan terjadi. Napasnya semakin berat, antisipasi menyelimuti dirinya. Dia tahu betul bagaimana dinamika ini bisa berkembang—dan kini Valdi menjadi saksi dari sesuatu yang lebih intim.Tanpa ragu, Luna merangkak naik ke atas tubuh Celine, posisi tubuhnya penuh dominasi namun sensual. Bokongnya yang berlekuk sempurna terangkat, memberikan Valdi pemandangan yang menggoda, sementara