Valdi mengubah posisi lagi, membalikkan Celine, mendudukkannya di tepi shower yang dingin, mengangkat kedua kaki Celine ke pundaknya, membuka tubuh wanita itu lebar-lebar, dan kembali melesakkan kejantanannya masuk dengan brutal. Setiap lesakan menghantam dalam, mengenai titik-titik sensitif yang membuat Celine melengkungkan punggung, lehernya tertekuk ke belakang di bawah guyuran shower. Valdi mencondongkan tubuh ke depan, mencengkeram pinggul Celine, mengendalikan ritme yang semakin menggila.
"Vall… ahh… ahhh… please… too much…" Celine merintih, namun Valdi tak berhenti. Dia tahu dia sedang membawa Celine ke tepi.
Dorongan terakhir yang begitu dalam dan
"Iya, Om?""Sudah selesai?" Valdi bertanya, suaranya terdengar sedikit parau, menambah kesan rapuh yang sengaja ia tampilkan."Dikit lagi, Om," jawab Mayang riang, kembali menyelesaikan tugasnya dengan cekatan. Tubuh mungilnya kembali membungkuk, merapikan seprai di sisi ranjang. Kaus V-neck tipis itu lagi-lagi melorot, memperlihatkan garis lehernya yang jenjang, lalu belahan dadanya yang padat dan ranum terlihat samar di balik kain. Valdi, yang pura-pura lemah, mencengkeram sandaran kursi rodanya, matanya tak lepas dari pemandangan di depannya. Gairah panas kembali menyengat, lebih tajam dari sebelumnya.Dalam beberapa menit, seprai bersih sudah terpasang rapi. Wajah Mayang berseri, bangga dengan pekerjaannya yang membuat ranjang Valdi kini tampak nyaman dan mengundang.
Langkah demi langkah, Celine menuruni anak tangga marmer yang dingin, kontras dengan panas yang masih terasa membakar kulitnya. Setiap pijakan terasa berat, membawa sisa-sisa teror dan kehinaan dari kamar di lantai atas. Pikirannya masih dipenuhi kilasan tatapan puas Valdi, senyum liciknya yang kini terasa seperti cap kepemilikan yang mengerikan.Di dasar tangga, sosok mungil Mayang muncul dari arah dapur. Wajahnya yang polos dan ceria langsung teralih menatap Celine, dahi gadis itu sedikit berkerut melihat kondisi Celine yang jelas tidak baik-baik saja – rambut sedikit acak-acakan, tatapan mata yang kosong, dan aura ketakutan yang begitu kentara."Kak Celine? Ada apa? Kakak nggak apa-apa?" Mayang mendekat dengan langkah hati-hati, sorot matanya penuh kebingungan dan sedikit khawatir.Celine tersentak, nyaris
Valdi, yang tadinya ambruk menindihnya, perlahan menggulingkan tubuhnya ke samping, namun sebagian lengannya masih menimpa pinggang Celine, menahannya di tempat. Perlahan, tangannya bergerak ke arah wajah Celine. Ibu jarinya yang hangat menyapu lembut air mata yang masih basah di pipi wanita itu. Kemudian, Valdi menundukkan wajahnya, mendekat, dan mengecup singkat bibir Celine."Thank you, Cel..." bisiknya, suaranya serak karena kelelahan dan emosi yang baru saja terluapkan.Celine mengerjap perlahan, menatap langit-langit, lalu mengalihkan pandangannya pada Valdi. Ada campuran kemarahan, penyesalan, dan kebingungan di mata indahnya."Fuck you, Val," suaranya parau, penuh kepedihan. "Fuck you."Kata-kata itu meluncur begitu saja, tajam dan menyakitkan. Namun, di sudut te
Valdi mengubah posisi lagi, membalikkan Celine, mendudukkannya di tepi shower yang dingin, mengangkat kedua kaki Celine ke pundaknya, membuka tubuh wanita itu lebar-lebar, dan kembali melesakkan kejantanannya masuk dengan brutal. Setiap lesakan menghantam dalam, mengenai titik-titik sensitif yang membuat Celine melengkungkan punggung, lehernya tertekuk ke belakang di bawah guyuran shower. Valdi mencondongkan tubuh ke depan, mencengkeram pinggul Celine, mengendalikan ritme yang semakin menggila."Vall… ahh… ahhh… please… too much…" Celine merintih, namun Valdi tak berhenti. Dia tahu dia sedang membawa Celine ke tepi.Dorongan terakhir yang begitu dalam dan
"Celine... please," Valdi sekali lagi memohon, suaranya yang memelas membuat Celine terentak dari pusaran pikirannya yang sedang berkecamuk. Meskipun tubuhnya masih memberontak di bawah cengkeraman Valdi, goncangan batin yang memilukan bercampur dengan ketakutan."Gue nggak tahu harus gimana lagi kalau lo nggak bantu gue, Cel. Gue bisa lebih gila dari sekarang," lanjut Valdi, nada suaranya kini mengandung getaran ancaman yang terselubung di balik keputusasaan.Celine terdiam. Perlahan, kekuatan yang menopang tubuhnya runtuh. Pemberontakannya mereda, badannya melemas dalam cengkeraman Valdi. Dia mengangguk pasrah, setetes air mata meluncur turun membasahi pipinya yang dingin.Tok tok tok
“Jadi gimana? Gue harus telanjang dulu gitu baru boleh masuk?” Celine mengulang, kali ini dengan sedikit penekanan, menanti reaksinya.Valdi tersenyum miring, senyum mesum yang tadi dicela Celine kini terpampang nyata. “Yaaa… ga usah telanjang juga gapapa sih,” jawabnya pelan, suaranya serak, matanya tak lepas dari Celine. “Tapi… kalo loe mau… gada yang larang juga,” lanjutnya, nadanya menggantung penuh makna terselubung.“Dasar mesum…!!” Celine mendesis, namun ada gairah yang terpantul di matanya, gairah yang bercampur tantangan. Dia berdiri, lalu mundur dua langkah dari ranjang Valdi, menatap Valdi dengan tatapan nakal yang memancing.Perlahan, gerakannya disengaja, menghipnotis. Dia membuka kancing celana jeansnya satu per satu. Jari-jari