Diam menyelimuti mereka sejenak, hanya suara napas yang memburu dan detak jantung yang menggila yang terdengar. Udara di sekeliling mereka terasa tebal, penuh dengan hasrat terlarang dan potensi bahaya yang menggelora. Valdi meraih tangan Vina, jari-jarinya mengait di antara jari-jemari Vina yang gemetar. Dia menarik Vina pelan, memimpinnya menjauh dari gazebo yang terlalu terbuka itu.Mereka bergerak menyusuri koridor rumah mewah Maximilian yang temaram di sore hari itu, setiap langkah terasa seperti pergeseran ke dalam dunia rahasia mereka sendiri. Valdi masih duduk di kursi roda elektriknya, perannya sebagai pria 'lemah' yang tak berdaya masih ia pertahankan di mata publik.Mereka bergerak melalui koridor berpendingin udara di dalam rumah megah milik Maximilian, rumah yang di siang hari seperti ini terasa sepi. Langkah Vina terasa ringan namun tegang, jantungnya masih berdebar kencang. Valdi di belakangnya, kehadirannya yang tenang namun kuat, terasa seperti bayangan berbahaya yang
Vina mengerejap sedikit, detak jantungnya melonjak liar di dalam dadanya. Vina menoleh ke arah Valdi, pandangan mereka bertemu. Wajah mereka sangat dekat, begitu dekat hingga Vina bisa merasakan hangat napas Valdi di kulitnya. Keheningan di antara mereka tebal, hanya diisi oleh suara desir angin dan denyut nadi yang berpacu kencang."Valdi..." Vina lirih, suaranya bergetar, campuran dari terkejut, keinginan, dan ketakutan yang belum sirna dari insiden beberapa hari lalu. Di matanya, terpancar kerentanan yang kontras dengan citra dingin yang sering ia tampilkan.Valdi tidak membuang waktu sedetik pun. Pandangan matanya terkunci pada bibir Vina yang sedikit terbuka. Ia mendekat, perlahan namun pasti, mengikis jarak tipis yang tersisa. Tanpa peringatan lebih lanjut, bibirnya mendarat lembut di bibir Vina. Itu bukan ciuman menuntut seperti di balkon tempo hari, melainkan kecupan mesra yang menuntut balasan. Dan Vina, pada insting terdalamnya yang terlarang, membalasnya. Bibirnya terbuka s
"Mengerti... Tuan," jawab Farah, suaranya serak, nyaris berbisik.Valdi mengangguk puas. "Bagus."Namun, Valdi memperhatikan raut wajah Farah. Di balik kepatuhan yang diucapkannya, terlihat jelas kebingungan, kemarahan yang terpendam, dan ya... ketakutan. Ketakutan yang murni, polos, dan... menarik.Valdi memutar roda kursinya sedikit, mendekat ke sofa tempat Farah duduk. Gerakannya halus, tanpa suara. Ia berhenti persis di depan Farah, lututnya nyaris menyentuh sofa.Perlahan, Valdi menjulurkan tangannya. Jemarinya berhenti sejenak di depan wajah Farah, mengamati wanita itu yang semakin menunduk. Kemudian, ujung jemarinya... menyentuh dagu Farah. Dengan tekanan lembut, ia menarik dagu Farah ke atas, memaksa wanita itu mengangkat wajah dan menatap matanya.Mata mereka bertemu. Mata Valdi tajam, penuh perhitungan. Mata Farah besar, indah, kini dipenuhi campuran emosi yang kompleks: ketakutan, kepasrahan, dan sesuatu yang lain... "Kamu kenapa? Takut?" suara Valdi rendah, nyaris berbisi
Celine hanya menggeleng, menenggelamkan wajahnya di dada Gilang. Ia tidak bisa menceritakan apa pun. Rasa malu itu terlalu besar, rahasia itu terlalu kelam. Ia hanya ingin disentuh, ia butuh pelepasan."Aku... aku cuma butuh kamu, Lang," bisik Celine, suaranya parau.Gilang mengerti, atau setidaknya ia pikir begitu. Melihat keadaan Celine yang rapuh, ia tidak memaksa. Dengan kelembutan yang selalu ia tunjukkan, Gilang membimbing Celine ke kamar tidur.Ia memeluknya di atas ranjang, menciumi dahinya, pipinya, bibirnya. Ciuman Gilang hangat, menenangkan, penuh kasih sayang yang tulus. Celine membalas setiap sentuhan itu, berusaha sekuat tenaga mencarinya, berharap kehangatan Gilang akan menghapus jejak panas, rasa perih, dan ketakutan yang ditinggalkan Valdi.Gilang melepa
Kait bra itu akhirnya berhasil Valdi lepas. Kain renda yang menahan dada Celine melonggar, dan bra mewah itu melorot ke sikunya, membiarkan buah dadanya terkupas di bawah tatapan lapar Valdi. Kecupan Valdi kini perlahan turun, menelusuri lengkungan leher Celine yang memerah, bergerak ke tulang selangka yang menonjol, lalu mendarat di kulit lembut tepat di atas dadanya."Valdi...." Celine lirih, suaranya bergetar hebat, lebih karena campuran panik dan sensasi yang tak bisa dia kendikan daripada karena perlawanan fisik.Valdi tak menggubris. Tangannya yang lain menarik turun blus Celine yang sudah terbuka kancingnya, membiarkan kain itu melorot hingga ke pinggang, menambah kesan tubuhnya yang telanjang di bagian atas. Pandangannya tak lepas dari buah dada Celine yang kini terpampang jelas.Mulutnya mencari puting Celine. Saat bibirnya yang hangat menyentuh puting yang sudah mengeras karena campuran dingin AC dan rangsangan, tubuh Celine menegang. Valdi mulai menghisapnya, lidahnya berma
Sore itu, saat mobil hitam mengilat yang membawa Celine dan Mayang perlahan masuk melewati gerbang besi tempa raksasa milik rumah besar Valdi, Wahyu, sang satpam, sudah berdiri siaga di pinggir jalan masuk. Bola matanya yang tajam tak luput mengamati langkah Mayang yang turun pertama, tangannya penuh menenteng shopping bag dari butik terkemuka. Pandangannya lalu beralih pada Celine. Gadis itu tampak lelah, tapi effortlessly stylish seperti biasa, meskipun ada gurat frustrasi samar di wajah cantiknya."Mbak Celine," panggil Wahyu, suaranya santun tapi terdengar sedikit terburu-buru, seolah ada sesuatu yang darurat. "Pak Valdi sudah menunggu di ruang kerjanya."Celine mengernyit. Dada Celine terasa sesak, ada rasa jengkel yang langsung menghimpitnya. Menemani Mayang berbelanja tadi sudah cukup menguras kesabarannya, sekarang Valdi menginginkannya lagi? "Ada apa?" tanyanya, nadanya sedikit tajam."Beliau tidak menjelaskan, Mbak," jawab Wahyu sopan, matanya merunduk sedikit. "Hanya berpes