Namun Valdi tetap tak memberikan ampun. Dia menunduk ke leher Celine, menggigitnya lembut namun cukup untuk meninggalkan bekas, sementara tangannya meremas payudara gadis itu, mempermainkannya dengan jari-jarinya yang terlatih. Kali ini, dorongannya semakin brutal, tanpa jeda. Celine bisa merasakan setiap gerakan itu dalam setiap inci tubuhnya, dan dalam sekejap, dia mencapai puncak keempat, jeritannya kini hampir tidak terdengar karena tubuhnya begitu terbawa oleh gelombang kenikmatan.
"Sekali lagi bisa, kan?" tanya Valdi dengan suara rendah yang penuh dominasi, tapi Celine bahkan tidak bisa menjawab. Tubuhnya sudah terlalu lelah, namun Valdi belum selesai dengannya. Dia mempercepat gerakannya lagi, tak memberinya waktu untuk pulih. Tangan Valdi kini menyelinap di antara kaki Celine, mempermainkan bagian sensitifnya sambil terus menancapkan batangnya ke dalam lubang kenikmatanya, membuat Celine menggeliat
Celine mengangguk lemah, wajahnya mendekat ke arah Valdi, matanya yang setengah terpejam menunjukkan campuran gairah dan ketertundukan."Cium gue, say..." bisik Celine dengan suara rendah, hampir putus asa oleh kenikmatan yang sudah menghantam tubuhnya berulang kali.Valdi menatapnya sebentar sebelum menuruti permintaan itu, bibir mereka bertemu dalam ciuman yang panas dan penuh gairah. Celine mendesah di antara ciuman, tubuhnya bergetar lebih hebat, dan dalam beberapa detik, dia mencapai puncaknya, menggeliat hebat di samping Valdi, napasnya terhenti sejenak saat gelombang kenikmatan terakhir merambat di setiap inci tubuhnya.Sementara itu, Valdi masih jauh dari mencapai batasnya, meskipun desahannya semakin intens, tubuhnya tegang akibat hisapan mulut Sarah yang begitu terampil. Setelah Celine mencapai punca
"Anya..." Celine tercekat, suaranya gemetar saat melihat sosok yang berdiri di ambang pintu kamar. Tangannya dengan cepat menepuk Valdi, matanya membelalak tak percaya.Valdi, yang awalnya tenggelam dalam momen bersama Mayang, berbalik dan melihat mantan istrinya berdiri di sana dengan tatapan penuh kemarahan. Wajahnya menegang sejenak sebelum dia berkata dengan suara yang lebih tenang dari yang diharapkan, "Kamu ngapain di sini?"Anya berdiri dengan postur tegas, tangan bertolak pinggang, napasnya berat, jelas menahan emosi yang meluap."Emangnya kenapa? Nggak boleh ke sini? Jadi, ini kerjaan kamu sekarang setelah lepas dari aku?" suaranya melengking, penuh dengan kekecewaan yang menggantung di udara. Tatapannya menyapu seluruh ruangan, melihat situasi yang baru saja terjadi di hadapannya.
Valdi mendesah panjang, matanya mulai penuh dengan frustrasi."Kenapa? Kamu pikir aku harus ngulangin kesalahanku yang dulu lagi? Setiap kali harus hancur karena ditinggal istri?" suaranya semakin serak, penuh emosi yang terpendam selama bertahun-tahun.Valdi tiba-tiba berdiri, tangannya mengepal kuat, "Kamu suka lihat aku hancur, Anya?" tanyanya dan tanpa menunggu jawaban Anya, dia berjalan menuju balkon lantai dua. Pemandangan luar hanya menawarkan kesunyian, namun pikirannya bergejolak. Dia bersandar pada pagar balkon, menghela napas panjang, mencoba meredakan amarah yang perlahan membakar di dalamAnya tetap duduk di sana, merasa bahwa ada begitu banyak yang ingin ia ucapkan, namun lidahnya terasa kelu. Perasaan bersalah, marah, dan ketidakpastian bercampur dalam dirinya, membuat segala sesuatunya se
Di luar kamar, Valdi tetap berdiri di balkon, memandangi pintu kamar yang kini tertutup rapat. Valdi berjalan menuruni tangga menuju lantai satu, di mana suasana dapur tampak hidup. Celine, Mayang, Sarah, dan Kamala duduk mengelilingi meja bar dapur, bercengkrama dengan ringan, meskipun ketegangan yang baru saja terjadi antara Valdi dan Anya masih membekas di udara.Melihat Valdi yang memasuki ruangan dengan wajah yang masih sedikit tegang, Celine langsung bersuara, "Yah, manyun lagi..." katanya dengan nada menggoda, berusaha meringankan suasana. Tatapan Celine terarah langsung ke Valdi, penuh keakraban dan sedikit lelucon.Valdi menatap Celine sebentar, bibirnya melengkung dalam senyuman kecil yang lemah. Sebelum dia sempat mengatakan apa-apa, Mayang menghampirinya dengan sepiring spagheti yang masih hangat di tangannya.
"Kamu terlalu forsir aku, Valdi... aku capek," Anya mengakui, suaranya pelan namun tegas. Matanya menatap jauh, seolah kembali ke masa ketika semuanya mulai runtuh di antara mereka."Aku butuh ruang, butuh waktu buat diri sendiri. Tapi setelah beberapa lama... aku sadar, nggak ada yang bisa kaya kamu. Seperti ada yang hilang," lanjutnya dengan napas berat, suaranya mulai bergetar.Valdi terdiam, kata-kata Anya menggema di dalam pikirannya. Dia mengerti rasa capek yang dirasakan Anya, tapi dia tidak pernah menyangka kalau ketidakmampuannya memberikan ruang justru membuatnya kehilangan seseorang yang begitu berarti.Anya menarik napas panjang, menahan emosi yang kembali bergejolak. "Aku pikir, dengan pergi aku bisa lebih tenang, bisa menemukan diriku lagi. Tapi kenyataannya... aku nggak bisa. Semua orang yang da
Pagi masih gelap ketika Valdi terbangun. Tubuhnya secara naluriah meraih ke sebelah, berharap menemukan Anya di pelukannya. Namun, yang dia rasakan hanyalah dinginnya kasur yang kosong. Tidak ada kehangatan, tidak ada sosok Anya di sisinya.Dia membuka mata perlahan, menatap langit-langit dengan perasaan yang campur aduk. Kekosongan di sebelahnya membuat Valdi menghela napas panjang. Dia memalingkan kepalanya ke samping, memastikan Anya sudah pergi tanpa memberinya peringatan. Rasa kantuk masih melingkupi dirinya, tapi rasa ingin tahu lebih kuat, menariknya untuk meraih ponsel di meja samping tempat tidur.Lampu notifikasi berkedip-kedip, memberitahukan adanya pesan yang belum dibaca. Dengan gerakan malas, Valdi meraih ponselnya. Jam di layar menunjukkan pukul 4.17 pagi. Terlalu dini bagi kebanyakan orang, tapi Anya bukan kebanyakan orang. Ada pesan dari Anya.
"Mas...," desah Sarah lagi, kali ini suaranya penuh dengan kebutuhan yang tak bisa disembunyikan. Tubuhnya menggeliat di bawah Valdi, merasakan kehangatan yang kini menyelimuti mereka berdua.Perlahan, Valdi mulai bergerak, memasukan lagi batangnya ke dalam lubang kenikmatan Sarah dalam gerakan yang penuh kelembutan namun dibalut dengan intensitas yang membara. Tangannya menyusuri pinggang Sarah, menariknya lebih dekat, lebih dalam, memastikan setiap gerakan membawa kenikmatan yang maksimal bagi mereka berdua. Di bawah Valdi, Sarah merintih, tubuhnya yang mungil bergetar setiap kali Valdi masuk lebih dalam, lebih kuat.Kedua tangan Sarah masih erat melingkar di leher Valdi, bibirnya mencari-cari ciuman yang liar, napasnya terengah-engah. Valdi menatap wajah Sarah yang kini penuh gairah, bibirnya menyentuh telinga Sarah, berbisik pelan, "enak?"
Valdi menunduk sedikit, berpikir sejenak sebelum menjawab dengan nada yang tenang."Selama yang dibutuhkan, mungkin," jawabnya, tidak terlalu pasti namun juga tidak ragu.Anya mengernyit, sedikit bingung dengan jawaban Valdi. "Maksudnya?" tanyanya lagi, mencoba mendapatkan penjelasan yang lebih jelas.Valdi menarik napas panjang, tangannya masih membelai lembut rambut Anya. "Ya, selama dibutuhkan. Contohnya Mayang. Kamu tahu dia anaknya Bu Retno, kan?" ucapnya, suaranya sedikit lebih rendah, lebih pelan.Anya memutar kepalanya sedikit, menatap Valdi dengan alis berkerut. "Bu Retno? Pembantu kita dulu yang meninggal karena COVID?" tanyanya, mencoba menghubungkan fakta yang baru saja disebutkan Valdi."Iya," jawab Valdi s
Tanpa menunggu lagi, Valdi langsung merespons godaan Mayang dengan gairah yang tak terbendung. Dia mendekatkan wajahnya ke payudara Mayang dan segera menghisap puting pinknya dengan rakus, tanpa peringatan. Bibirnya dengan cepat bergerak, menikmati kelembutan kulitnya yang terbuka. Mayang terkejut sesaat, tapi kemudian tertawa kecil, suara tawa itu diiringi dengan desahan halus ketika rasa geli bercampur kenikmatan mulai mengalir di tubuhnya."Mas, aaahh…," Mayang menggeliat manja, tubuhnya sedikit melengkung, tangannya secara refleks melingkari kepala Valdi, menariknya lebih dekat. Napasnya mulai terasa lebih berat, matanya terpejam sambil menikmati sensasi yang diberikan Valdi.Valdi tak berhenti, bibirnya bergerak dengan keterampilan yang telah terbentuk dari kedekatan mereka selama ini, menelusuri setiap lekukan dengan penuh keinginan.Mayang menggeliat lebih dalam, tubuhnya bergerak mengikuti rit
"Pak Bowo," jawab Luna dengan suara gemetar.Celine menggeleng sambil mendesah. "Ya elah, aki-aki macam-macam aja," gumamnya sambil menatap Valdi. Valdi, yang kini mulai serius, mengeluarkan ponselnya."Permata Airlines kan?" tanya Valdi lagi, memastikan."Iya, Mas..." Luna mengangguk, berusaha mengendalikan perasaannya.Celine, yang merasa ada sesuatu yang aneh dengan cara Valdi bersikap, menatapnya dengan heran. "Sapa sih loe kenal?" tanyanya, sedikit bingung.Valdi tertawa kecil. "Gue nggak kenal, cuma dia yang kenal gue," jawabnya sambil tersenyum jahil.Celine tertawa kecil, lalu dengan suara khasnya menirukan gaya bicara Mandra. "Sombong amat…"Valdi mengabaikan godaan Celine dan mulai mencari kontak di ponselnya. "Brandon kan? Brandon Atmajaya?" gumamnya sambil mengetik.Celine menatapnya ka
Malam itu memang menjadi pengalaman yang tak terlupakan bagi Valdi—suatu malam yang benar-benar berbeda dari semua pengalaman bercintanya selama ini. Intensitas, keintiman, dan permainan antara Sarah dan Kamala tak hanya memikat tubuhnya, tetapi juga mengikat pikirannya. Valdi seakan terseret ke dalam pusaran gairah yang seolah tak pernah surut, bahkan saat malam berganti pagi.Namun, perjalanan pulang menuju Jakarta keesokan harinya ternyata tidak memberikan jeda yang diharapkan Valdi. Jika semalam sudah penuh dengan godaan dan kenikmatan, pagi dan siang di perjalanan ini seakan menjadi perpanjangan dari permainan mereka. Dalam mobil, Sarah dan Kamala tidak membiarkan suasana tenang. Bukan hanya hubungan fisik, namun keterikatan emosional dan seksual mereka semakin jelas, membuat Valdi tak bisa sepenuhnya berkonsentrasi pada jalan di depannya.Sambil memegang setir, Valdi mendesah panjang ketika merasa sesuatu yang lembut
Sarah bergabung dengan Kamala, berlutut di pinggul Valdi, berhadapan dengan Kamala. Dia menekan payudaranya pada payudara Kamala, meremasnya dengan erat, menciptakan kontak kulit yang lembut dan sensual. Sarah juga berkontribusi dengan air liurnya, membuat campuran yang menggairahkan di antara payudara mereka. Mereka menggesekkan payudara bersama, menciptakan 'vagina payudara' yang panas dan basah untuk batang Valdi.Valdi mengerang, mendorong pinggulnya ke arah mereka. Dia menyetubuhi payudara mereka dengan penuh gairah, daging keras dari batangnya meluncur di antara payudara mereka, menusuk jaringan sensitif. Kamala dan Sarah menikmati sensasi tambahan dari payudara dan puting yang tertekan erat bersama.Kamala, dengan inisiatif yang tak tertahankan, menarik payudaranya dari perkelahian sensual itu. Dia menurunkan mulutnya dengan penuh gairah ke batang Valdi yang terjepit di antara payudara Sarah. Sarah, dengan gerakan yang le
Seketika Kamala menarik tangan Valdi dengan lembut namun tegas, ia memberikan tatapan penuh arti."Mandi dulu yuk, biar seger," katanya sambil tersenyum. Valdi, meski sedikit terkejut dengan inisiatif Kamala, mengikuti tanpa banyak berpikir. Sensasi kelelahan dari hari yang panjang tampaknya membuat ide mandi bersama terasa lebih menarik.Mereka masuk ke kamar mandi, disusul oleh Sarah yang mulai melepaskan pakaiannya satu per satu, memperlihatkan tubuhnya tanpa ragu. Matanya masih menyiratkan godaan, senyum tipis terus menghiasi bibirnya. Saat di kamar mandi tanpa banyak bicara, ia beralih membantu membuka pakaian Valdi, jemarinya bergerak lincah menanggalkan setiap helai kain yang masih melekat di tubuh pria itu.Air dari shower mulai mengalir ketika Kamala memutar keran. Suara gemericik air memenuhi ruangan
Pak Bachtiar, yang tadinya arogan, kini mulai gemetar. "T-tunggu... Kita bisa bicara baik-baik... tidak perlu melibatkan polisi," katanya dengan suara yang lebih rendah dan penuh ketakutan, merasa bahwa semua kendali kini berada di tangan Valdi.Valdi tetap menatapnya dengan tajam, memastikan Pak Bachtiar benar-benar mengerti bahwa ia tak akan ragu untuk mengambil tindakan lebih jauh jika diperlukan.Valdi dengan tenang mengeluarkan tasnya, membuka ritsletingnya, lalu mengeluarkan sebuah map tebal. Dengan gerakan mantap, ia menyimpan map tersebut di depan Pak Bachtiar yang kini semakin gelisah. Wajah Pak Bachtiar yang tadinya penuh arogan kini berubah tegang, merasa terperangkap dalam situasi yang tak pernah ia duga."Silakan kalau mau dibaca... lalu tanda tangan," kata Valdi dengan nada dingin namun tegas. Ia menat
Keesokan harinya, Valdi, Sarah, dan Kamala sudah bersiap di hotel melati. Valdi dan Sarah berada di kamar sebelah, memantau situasi, sementara Kamala bersiap di kamar target, memainkan peran yang akan menjadi kunci dalam rencana mereka.Sejak pagi, Sarah telah mengirimkan beberapa pesan kepada Pak Bachtiar, menyamarkan perjalanannya ke Cirebon. Ia menjanjikan akan tiba di hotel sekitar jam 3 sore, memberikan kesan bahwa semuanya berjalan sesuai rencana yang diinginkan Pak Bachtiar. Namun, Pak Bachtiar baru bisa tiba di hotel setelah menutup tokonya, diperkirakan sekitar jam 5.30 sore.Di kamar target, Kamala bersiap dengan teliti. Hanya berbalut handuk yang dililitkan dengan longgar di tubuhnya, memperlihatkan belahan dadanya yang menggairahkan, dengan rambut yang masih basah seolah baru saja selesai mandi. Akting ini dirancang untuk membuat Pak Bachtiar lengah
"Mas... aku diapain tadi? Enak banget..." bisik Sarah, suaranya sedikit lemah namun dipenuhi kehangatan, sementara ia memeluk Valdi erat, bibirnya menggigit pelan bibir bawahnya, tatapannya penuh rasa puas yang bercampur keheranan.Valdi hanya tersenyum kecil, merasakan kepuasan dalam dirinya. Melihat Sarah merasakan sesuatu yang belum pernah ia alami seumur hidupnya membuat Valdi merasa puas, seolah misi pribadinya tercapai."Rahasia, biar kamu nggak kabur dari Mas," jawab Valdi sambil tersenyum licik, matanya berkilat penuh godaan.Sarah menatapnya dengan ekspresi lembut, senyuman tipis masih ada di bibirnya, namun nada suaranya berubah pelan, lebih emosional. "Mas... aku yang takut ditinggal, Mas..." ucapnya lirih, matanya mulai berkaca-kaca. Ada ketakutan yang samar, perasaan takut kehilangan yang tiba-tib
Kamala merasakan puncak kenikmatan mendekat. Ia perlahan mencabut batang kecilnya dari pantat Sarah dan mulai mengocoknya dengan cepat. Tubuhnya berguncang, dan dengan desahan yang semakin tinggi, ia mencapai puncak kenikmatan."Ahh, ah, ahhhhhh," erang Kamala, tubuhnya bergetar saat cairan spermanya memancar di punggung Sarah. Sensasi orgasme yang kuat membuat tubuhnya lemas, dan ia terkulai di samping Valdi, masih merasakan gelombang kenikmatan yang tersisa.Sarah, sudah berada di ambang kenikmatanpun, mulai menggeliat di atas tubuh Valdi. Ia menaik-turunkan pinggulnya dengan lebih kencang, merasakan gelombang kenikmatan yang semakin kuat."Mas... mhh, aku mau... shh…," desah Sarah, suaranya putus-putus, penuh gairah yang tak terbendung.Valdi, memahami tanda-ta