Malam itu suasana kosan tenang, hanya suara jangkrik dan angin malam yang menemani. Raga baru saja selesai beberes dapur atas dan bawah, lalu duduk santai di saung dekat gerbang sambil merokok. Jam dinding di ruang tamu menunjukkan pukul sepuluh malam.
Tak lama, suara pintu gerbang berderit terbuka. Dari sela pagar besi, Raga melihat Rahma turun dari sebuah mobil sedang berwarna gelap. Seorang pria paruh baya duduk di balik kemudi, wajahnya tidak begitu jelas dalam temaram lampu jalan. “Siapa ya itu? Yang anter Rahma malam-malam gini,” gumam Raga pelan sambil memicingkan mata. Rahma menutup pintu mobil dengan cepat, lalu sempat melambaikan tangan kecil ke arah pria di dalam. Senyum samar terukir di bibirnya, sebelum ia berbalik dan melangkah masuk ke halaman kosan. “Eh, Mas Raga masih melek aja?” Rahma menyapa sambil merapikan rambutnya yang agak kusut. “Iya, baru selesai beberes. Pulang kerja ya, Mbak?” Raga menjawab ramah. Rahma tersenyum singkat. “Iya, capek banget hari ini. Yaudah, aku masuk dulu, Mas.” “Iya, silakan.” Rahma berjalan menuju pintunya yang berada di lantai satu. Langkahnya cepat, seolah ingin segera masuk dan menghilang dari pandangan. Pintu kamar terdengar tertutup rapat tak lama kemudian. Raga masih berdiri di saung, pikirannya tak lepas dari bayangan pria yang tadi di mobil. Ada sesuatu yang terasa janggal, tapi ia memilih untuk tidak menebak terlalu jauh. Ia lalu menutup pagar, memutar kuncinya hingga terkunci rapat. Setelah memastikan semua aman, Raga pun bergegas menuju kamarnya di pojok lantai satu, mencoba menenangkan diri dari rasa penasaran yang mulai tumbuh. **** Sekitar jam sembilan pagi, dapur bawah kosan sudah terasa hangat oleh cahaya matahari. Raga duduk santai di kursi kayu, menyeruput kopi hitam sambil memandang ke arah halaman. Asap rokoknya berputar pelan di udara, menemaninya menikmati waktu istirahat. Tiba-tiba terdengar langkah kaki menuruni tangga. Maudy muncul dengan daster selutut berwarna biru, rambutnya diikat seadanya, wajahnya masih terlihat segar meski tanpa riasan. Ia berjalan pelan menuju dispenser untuk mengambil air minum. “Pagi, Maudy,” sapa Raga sambil tersenyum tipis. “Pagi juga, Mas,” jawab Maudy sambil menuang air ke gelas. Raga menatapnya sebentar, lalu membuka pembicaraan. “Maudy, kemarin waktu aku beresin kamarmu… bener nggak katanya kamu kehilangan barang?” Maudy berhenti sejenak, memiringkan kepala dengan ekspresi bingung. “Hah? Kok bisa Mas Raga kepikiran gitu? Aku nggak ngerasa kehilangan barang kok.” “Oh… gitu ya,” Raga menunduk sebentar, lalu menghela napas. “Soalnya aku takutnya ada barang yang nyelip atau kepindah pas aku beresin. Kan biasanya kalau berubah posisi suka bikin bingung pemiliknya.” Mendengar itu, Maudy terdiam sepersekian detik. Ingatannya langsung kembali pada sesuatu yang dia sembunyikan rapi di bawah selimut, lalu mendadak sudah berada di atas. Wajahnya sedikit memerah, meski buru-buru ia alihkan dengan senyum tipis. “Ah, nggak kok, Mas. Nggak ada yang ilang,” kata Maudy pelan. Raga mengangguk. “Syukurlah. Maaf ya kalau ada yang kegeser dari tempat biasanya.” Maudy menaruh gelasnya di meja dapur, lalu menatap Raga dengan lebih santai. “Justru aku yang harus makasih, Mas. Kamarku jadi bersih banget, udah lama aku males beberes.” Raga ikut tersenyum, rasa gugupnya sedikit reda. Namun dalam hati Maudy masih menyimpan tanda tanya besar: apakah Raga tahu tentang rahasianya, atau hanya kebetulan semata? Suasana dapur kembali tenang, hanya terdengar bunyi kipas angin yang berputar pelan. Suasana dapur bawah masih tenang, hanya suara sendok beradu dengan gelas yang terdengar. Raga dan Maudy duduk berhadapan, obrolan mereka terasa ringan namun ada ketegangan tipis di dalamnya. Tiba-tiba langkah ringan terdengar dari arah tangga, membuat keduanya menoleh. “Hayoo… lagi pada ngomongin apa nih pagi-pagi?” suara ceria Wulan menyusul kehadirannya. Raga dan Maudy sama-sama agak kaget, saling pandang sesaat. “Ini lho, Wulan,” Raga spontan berkata, “katanya kamu bilang Maudy ada barang yang ilang.” Maudy langsung menoleh, matanya menyipit penuh tanya. “Hah? Kapan Wulan ngomong kayak gitu?” Wulan terkekeh sambil mengambil roti di meja. “Kapan aku ngomong? Nggak ada tuh,” jawabnya dengan nada bercanda. “Kemarin kok, Wulan. Kamu sendiri yang bilang. Makanya aku jadi nggak enak sama Maudy,” ucap Raga dengan nada sedikit kesal. Maudy menghela napas lalu tersenyum tipis. “Udah, Mas, jangan diambil serius. Wulan mah emang suka usil orangnya.” Ia kemudian menjewer pelan telinga Wulan, membuat gadis itu meringis sambil tertawa. Dengan langkah cepat, Maudy menarik Wulan keluar dari dapur menuju arah gerbang. “Jangan ngomong yang aneh-aneh lah,” bisik Maudy pelan, suaranya terdengar tegas. “Nanti Raga malah mikir yang macem-macem.” Wulan menahan tawa kecil, matanya masih berkilat nakal. “Yaelah, biarin aja… biar greget lah. Seru kan lihat Mas Raga salah tingkah.” Maudy mendengus, tapi senyum kecil tak bisa ia tahan. “Kamu tuh, ada-ada aja.” Langkah keduanya semakin dekat ke gerbang, angin pagi menyibakkan rambut mereka. Tepat sebelum keluar, Maudy melirik sekilas ke arah dapur, matanya singgah pada sosok Raga yang masih duduk di kursi. “Tapi aku penasaran sama Raga,” ucapnya lirih pada Maudy. “Nanti kuajak ke kamar ah.” Wulan hanya terkekeh kecil, sementara Raga dari jauh hanya bisa menatap, tanpa tahu kalau namanya masih jadi bahan bisik-bisik dua penghuni kos itu.Arman menyandarkan punggungnya ke kursi, menatap Raga sambil menyeringai.“Aahh, nanti lu juga pasti pengen balik lagi kek dulu, Ga…” katanya dengan nada menggoda, separuh serius.Raga menatapnya dengan senyum tipis. “Yaelah, lu bikin penasaran gue aja, Man.”Bayu langsung menimpali, “Kasih aja, Man, kasih! Biar dia inget rasa masa lalunya.”Arman tertawa kecil. Ia meraih ponselnya di meja, menggulir layar, lalu menyodorkannya ke Raga.“Nih…”Raga menatap layar itu — dan napasnya tercekat.Benar. Itu Rahma.Tubuhnya telanjang, tertidur dengan posisi miring, selimut setengah menutupi bagian pinggulnya.Cahaya redup kamar hotel masih bisa dikenali dari foto itu.“Anjirr… siapa itu, Man!?” seru Raga pura-pura terkejut, menahan ekspresi yang hampir pecah.Arman terkekeh bangga.“Biasa, barang bagus. Abis enak-enak, dia kecapean, tidur gitu aja. Gw iseng fotoin.”Raga mengepalkan tangan di bawah meja. Dalam dadanya, amarah dan jijik bercampur jadi satu, tapi wajahnya tetap datar.“Masih aj
Raga yang sudah setengah berbaring langsung bangkit ketika notifikasi WA berbunyi. Ia meraih ponselnya cepat, membaca nama pengirimnya—Arman.> Arman: Wahh, Raga! Kemana aja lu.Jantung Raga sedikit berdegup lebih cepat. Ia langsung membalas tanpa berpikir panjang.> Raga: Biasa… nongkrong lah besok.Tak butuh waktu lama, balasan datang lagi.> Arman: Boleh boleh… datang aja ke kosan gue, nih alamatnya....Raga membaca pesan itu pelan-pelan, memastikan alamat yang dikirim. Setelah itu, ia mengetik balasan singkat.> Raga: Oke, besok gue otw yaa.Pesan terkirim. Ia menatap layar ponselnya beberapa detik, lalu menghembuskan napas pelan.Besok, pikirnya—semua akan mulai terjawab.======================JANGAN LUPA!!FOLLOW, LIKE, AND COMMENT!!======================Pagi itu udara masih sejuk, aroma sabun dari lantai yang baru dipel pelan menguap di udara.Raga menyapu halaman sambil menata beberapa pot bunga di teras. Pikirannya masih tertuju pada rencana siang nanti—pertemuannya dengan
Pagi itu udara masih sejuk, embun belum sepenuhnya mengering di daun-daun halaman kosan. Raga menyapu pelan, menikmati ketenangan pagi yang jarang ia dapat akhir-akhir ini. Tak lama, langkah sepatu berhak terdengar dari arah pintu depan. Rahma muncul dengan setelan kantor rapi, rambutnya terikat sederhana, wajahnya tampak segar meski masih menyimpan gurat lelah. “Pagi, Mas,” sapa Rahma lembut sambil tersenyum. Raga menoleh, sedikit terkejut melihatnya sudah siap. “Pagi, Rahma. Lho, udah mau berangkat?” “Iya, Mas. Bosku udah nanyain terus, padahal baru sehari aja absen,” jawab Rahma, mencoba terdengar ceria meski suaranya masih agak pelan. “Ohh, yaudah… jaga kondisi, ya. Dan hati-hati di jalan,” kata Raga sambil menepuk gagang sapu. Rahma mengangguk pelan. “Iya, Mas. Aku berangkat dulu, ya.” Raga hanya tersenyum, mengikuti langkah Rahma dengan pandangan mata sampai tubuhnya perlahan menghilang di balik gerbang. Hening pagi kembali mengisi udara. Namun dalam benak Raga,
Tiba di kosan, suasana sudah sepi. Lampu lorong hanya menyala setengah, menambah kesan muram malam itu. Raga memapah Rahma perlahan menuju kamarnya di ujung koridor, memastikan gadis itu masih kuat berdiri. Begitu sampai, Rahma berhenti di depan pintu dan menatap Raga dengan mata sayu. “Mas… makasih ya, udah mau jemput aku,” ucapnya pelan. “Iya, gak usah dipikirin lagi. Yang penting kamu istirahat dulu,” jawab Raga lembut. Rahma menunduk, tangannya menggenggam gagang pintu erat. “Mas, tolong jangan bilang siapa-siapa ya… termasuk Tante Maya. Aku gak mau orang lain tahu,” katanya, suaranya nyaris bergetar. Raga mengangguk pelan. “Aku janji, Rahma. Ini cukup antara kita aja.” Rahma pun masuk ke kamarnya, menutup pintu perlahan. Raga berdiri sebentar di depan pintu itu, menarik napas panjang sebelum melangkah pergi. Sesampainya di halaman, ia langsung menuju rumah utama untuk mengembalikan kunci mobil. Tante Maya tampak duduk di ruang tamu sambil memegang tablet. “Eh,
Dalam perjalanan malam itu, jalanan cukup lengang, hanya beberapa mobil yang melintas di arah berlawanan. Raga menyetir pelan sambil sesekali menatap layar ponselnya. Ia mencoba mengirim pesan ke Rahma.> “Rahma, kamu di mana? Aku disuruh jemput sama Tante Maya.”Beberapa menit berlalu, tidak ada balasan. Raga mulai khawatir. Ia pun mencoba menelepon. Satu kali, dua kali, tiga kali, tidak diangkat.Sambil terus mengemudi, ia menekan panggilan ulang. Akhirnya di dering keempat, sambungan terangkat. Suara Rahma terdengar di seberang—pelan, serak, dan lemah.“Ha.. halo.. Mas Raga..”“Rahma? Kamu di mana sekarang? Tante Maya nyuruh aku jemput kamu.” Raga langsung menegakkan tubuh, fokus penuh ke arah jalan.“H-hotel... Indah Palace... kamar... 203…” Suara Rahma nyaris tak terdengar jelas di antara napasnya yang berat.“Hotel? Maksud kamu di hotel, bukan kantor?” Raga bertanya memastikan, tapi Rahma hanya menggumam pelan sebelum sambungan terputus begitu saja.Tanpa pikir panjang, Raga lan
Pagi itu udara masih sejuk ketika Raga sibuk menyapu halaman kosan. Matanya agak sayu, tubuhnya sedikit lemas, seolah energi semalam masih membekas. “Pagi Mas… tumben lemes banget. Kerja lembur ya semalam?” sapa Wulan yang baru saja keluar dengan helm di tangan, siap berangkat ke kampus. “E-eh Wulan… eng… iya, semalam bantuin Maudy,” jawab Raga terbata, menyembunyikan kegugupannya. Wulan tersenyum nakal, lalu menepuk bahu Raga. “Oh… yaudah Mas, banyakin minum suplemen biar gak lemes. Hehe…” katanya, kemudian menyalakan motor dan meluncur pergi. Raga terdiam sejenak, pandangannya kosong ke halaman. Dalam hatinya, ia bergumam penuh waspada. Duuhh, mudah-mudahan tadi gak ada yang liat aku keluar kamar Maudy. Ia masih ingat jelas, sebelum fajar tadi ia pelan-pelan meninggalkan kamar Maudy, yang saat itu masih tertidur pulas dalam keadaan tanpa busana, wajahnya tenang di balik selimut. Meski begitu, Raga tetap harus kembali ke rutinitasnya. Bagaimanapun, pekerjaan di kosan tidak bol