Kian membeku. Ia menatap wajah Runa, mengusap pipinya dengan lembut. “Takut apa?”“Takut kalau semuanya cuma sementara ... takut kehilangan kamu lagi. Aku takut kalau ternyata aku bukan alasan kamu tinggal,” bisik Runa, matanya memohon pengakuan, perlindungan, dan kejujuran.Kian tak menjawab dengan kata. Ia menunduk, mencium kelopak mata Runa, kemudian bibirnya dengan lembut, lama. “Aku nggak pernah pergi, Runa. Hatiku selalu tertinggal di kamu.”Kian kembali membenamkan wajahnya ke lehernya, menyisipkan kecupan hangat di setiap inchi kulitnya. Rasa hangat mengalir saat kulit mereka saling bersentuhan, sementara tangan mereka saling mencari penuh kerinduan. Runa meremas rambut Kian, saat lelaki itu mulai mengecupi dadanya. Bibirnya mulai mengecup lembut di puncak dadanya. Perlahan … lalu mulai mempermainkan lidahnya sebelum melumat dan menyesapnya dengan gemas. Suara desahan lolos begitu saja dari bibir Runa. Setiap sentuhan Kian seola
Runa berbaring di ranjang, tapi matanya tak bisa terpejam. Berkali-kali ia memeluk guling, mengganti posisi, menutup wajah dengan selimut, lalu membukanya lagi.Tak ada yang bisa meredakan gelisah itu.Setiap kali memejamkan mata, wajah Kian hadir. Ia seperti mendengar kembali suaranya, caranya memandang, sentuhannya yang begitu lembut saat terakhir mereka bersama. Dan … tatapan kosong matanya saat menerima penolakannya.Runa menghela napas berat, lalu duduk. Ia menatap ponsel di nakas, seolah berharap layar itu menyala dengan sebuah balasan pesan. Tapi tetap tak ada jawaban.“Kenapa kamu nggak jawab?” bisiknya pelan.Detik berdetak lambat. Jam di dinding sudah lewat tengah malam. Di luar, suara gerimis mulai terdengar. Pelan, tapi cukup untuk membangkitkan kenangan tentang payung, tentang bahu yang berbagi tempat, tentang senyuman Kian yang selalu datang diam-diam tanpa diminta.Ia tak tahan lagi.Dengan langkah pelan, Runa berdiri dan mengambil sweater tipis dari kursi. Ia meraih po
Sore itu, perlahan nama Runa Kartika menghilang dari sorotan media. Deretan headline yang semula memuat spekulasi dan fitnah tentang dirinya, kini berganti dengan wajah seorang pria muda berjas abu-abu dan senyum tipis yang kalem namun berwibawa. Robert Santoso, pendiri konveksi sustainable fashion itu tiba-tiba naik daun.‘Dari Pengacara ke Mitra Strategis: Robert Santoso Bangkit Lewat Skandal’Di layar, tampak Robert duduk tenang di ruang kantornya yang lapang dan minimalis. Pandangannya mengarah langsung ke kamera, sorot matanya teduh tapi kokoh. Ia terlihat tak terusik oleh sorotan kamera atau tekanan media.“Saya ingin berterima kasih kepada Runa Kartika. Ia bukan hanya menyelamatkan saya secara hukum, tapi juga menunjukkan apa artinya berintegritas dalam badai. Tanpa dia, perusahaan ini mungkin tak akan pernah lahir.”Reporter perempuan di seberangnya menaikkan alis, senyumnya menyelidik seakan sedang mewakili publik yang sedang haus jawaban
Keesokan paginya, udara di ruang kerja Runa terasa lebih berat dari biasanya. Ketukan di pintu mengalihkan perhatiannya. Dan saat pintu itu terbuka, sosok yang sudah lama ingin ia hindari muncul di depannya.Litha masuk perlahan dengan senyum yang dipaksakan dan mata berkaca-kaca.“Runa … aku tahu kamu marah. Tapi kita bisa bicara baik-baik, kan? Tolong, kamu nggak usah bawa masalah ini ke jalur hukum.”Runa menyandarkan punggungnya. Ia justru memperlihatkan sikap yang tenang tapi tajam.“Seharusnya kamu pikirkan itu sebelum menyebarkan berita fitnah.”Belum sempat Litha menjawab, pintu kembali terbuka keras. Darrel masuk dengan wajah tegang. Matanya langsung menatap Runa, penuh amarah.“Apa-apaan ini? Berita soal kamu di mana-mana. Namaku ikut terseret. Kamu puas sekarang?”Runa berdiri, menatapnya tanpa gentar. “Kalau kamu masih peduli pada fakta, tanya perempuan di sampingmu itu siapa dalangnya.”Darrel beralih pada Litha, wajahnya berubah. “Litha ... jangan bilang ....”Litha pani
Runa berdiri di depan pintu kamar rumah sakit dengan napas menggantung. Ada jeda yang panjang sebelum akhirnya ia berani mengetuk, lalu mendorong perlahan.Mama Darrel terbaring di ranjang, mengenakan selimut tipis. Wajahnya pucat, tapi tetap berusaha menampilkan senyum saat melihat Runa melangkah masuk.“Kamu datang, Nak…” suaranya lirih, nyaris seperti bisikan.Runa menunduk. Ada rasa bersalah yang menyesakkan. Ia berjalan mendekat, menarik kursi, lalu duduk di samping ranjang tanpa banyak bicara.“Darrel?” tanyanya pelan.“Barusan pulang. Dia nggak tahan lihat mama begini,” jawab Mama Darrel.Mereka diam beberapa saat. Lalu suara Mama Darrel kembali terdengar, kali ini lebih pelan, namun tegas.“Nak, mama minta tolong satu kali lagi. Pertimbangkan. Jangan tinggalkan Darrel.”Runa menegang. Ia menatap ibu mertuanya, mencoba menyusun jawaban, tapi tak ada kata-kata yang cukup. Yang ada hanya kekosongan, dan lelah yang sejak lama ia pendam sendiri.“Ma ... aku dan Darrel nggak seperti
Pagi itu Runa terbangun dengan perasaan yang aneh. Ada sesuatu yang menyesak di dadanya, seperti mimpi buruk yang tertinggal dan membekas di bawah kelopak matanya. Cahaya pagi menelusup dari sela tirai, tapi tidak mampu menghangatkan hatinya yang dingin.Ia duduk di tepi ranjang, memeluk lututnya, lalu menggeleng pelan. Pikirannya seperti menayangkan kembali semua kejadian malam tadi. Wajah Kian, matanya yang teduh tapi sarat luka, dan kata-kata yang keluar dari bibirnya sendiri. "Kita nggak bisa."Ia masih ingat bagaimana cara Kian menatapnya. Tatapan mata yang seolah memperlihatkan pertarungan dalam hatinya. "Aku mengerti," ucapnya pelan. Suaranya nyaris serak, seperti diseret keluar dari tenggorokan yang kering.Runa menunduk, seolah tak sanggup menatap mata itu lebih lama. Jemarinya menggenggam ujung bajunya sendiri erat-erat, menahan gemetar yang mulai menjalari tubuhnya.Ia menolaknya hanya karena terlalu takut membuka kemungkinan yang bahkan belum sempat tumbuh. Dan anehnya, d