“Ah, nggak percaya,” katanya sambil terkekeh. Dia mendekatkan tubuhnya ke arahku, mulutnya begitu dekat hingga napasnya terasa di telingaku. “Lagi ribut gara-gara nggak dikasih jatah, ya?” godanya, suaranya nyaris seperti bisikan.
Aku menoleh tanpa sadar, dan saat itu juga wajah kami hampir bersentuhan. Bibir kami hanya berjarak beberapa sentimeter. Detik itu terasa begitu panjang, udara di antara kami seperti membeku.
Aku menarik kepalaku sedikit ke belakang, mencoba mengembalikan jarak di antara kami. Tapi Fiona tidak menyerah. Tatapannya penuh tantangan, senyuman kecil di bibirnya membuat semuanya terasa lebih berbahaya.
“Lah, kamu sendiri kenapa bisa datang pagi-pagi juga?” tanyaku, mencoba mengambil kendali suasana yang terasa semakin rumit. Aku menaikkan alis, sengaja menatap Fiona dengan lekat. “Apa ada masalah sama Nanta?”
Fiona tertawa kecil, tapi aku menangkap nada sinis di balik tawanya. Wajahnya tetap mempertahankan senyum tipis, namun sorot matanya menyiratkan sesuatu yang berbeda—kekecewaan yang samar tapi nyata.
Aku mengenal Nanta sebelum mereka menikah. Fiona dan aku sebenarnya sudah mengenal satu sama lain sebelum aku bertemu Tanika. Saat itu, kami sangat dekat. Aku berfikir Fiona menganggap hubungan kami hanya sekadar teman, meskipun aku tidak pernah bisa mendefinisikannya secara jelas.
Di masa itu, Fiona sedang didekati oleh Nanta. Dia sering bercerita tentang pria itu padaku, menceritakan bagaimana Nanta selalu mencoba menarik perhatiannya. Aku tidak terlalu memikirkannya sampai akhirnya aku mengenal Tanika. Ketika aku mulai berpacaran dengan Tanika, Fiona mengajakku untuk double date bersama Nanta. Di situlah aku benar-benar mengenal Nanta.
Namun, ada sesuatu yang selalu membuatku ragu saat melihat mereka berdua. Perhatian Fiona pada Nanta tidak pernah terasa utuh. Malah, kadang aku merasa dia lebih memperhatikan aku dibandingkan Nanta. Tapi saat itu aku memilih untuk mengabaikannya.
Beberapa kali kami hangout bersama, dan aku mulai melihat sisi lain dari Nanta. Dia adalah pria yang tampak baik di permukaan, tapi di balik itu, dia memiliki kebiasaan memanfaatkan kehangatan tubuh wanita-wanita yang dekat dengannya. Nanta tidak hanya dekat dengan Fiona, tapi juga beberapa wanita lain yang selalu terlihat bersama di waktu luangnya.
Aku mencoba memperingatkan Fiona, meyakinkannya agar berpikir ulang tentang hubungan itu. Tapi dia tidak pernah benar-benar mendengarkanku. Ketika akhirnya aku menikah dengan Tanika, hubungan kami berubah. Fiona mulai menjauh. Dia berhenti berbagi cerita denganku seperti dulu. Seolah pernikahanku menciptakan jarak yang tak terlihat di antara kami.
“Hey, kok sekarang malah kamu yang bengong?” tegurku, mencoba memecah keheningan yang terasa janggal. Aku menatap Fiona, yang tampaknya masih sibuk dengan pikirannya sendiri sambil menghabiskan sisa pizza di tangannya.
Dia tidak langsung menjawab. Setelah gigitan terakhir, dia meraih botol minum di meja, meneguknya, lalu menghela napas panjang.
“Kenapa?” tanyaku lagi, mencoba mendorongnya untuk berbicara.
Dia meletakkan botolnya di meja, lalu menatapku tajam. Tiba-tiba, tangannya meraih kerah kemejaku dan menarikku ke arahnya, hingga jarak di antara kami terasa begitu dekat.
“Kamu jahat, tau nggak?” katanya, suaranya terdengar rendah, hampir seperti gumaman.
Sebelum aku sempat merespons, dia melepaskanku, menghempaskanku kembali ke kursi. Fiona merebahkan tubuhnya, menunduk sambil memijat pelipisnya dengan kedua tangan.
Aku mengerutkan dahi, mencoba membaca apa yang sebenarnya dia rasakan. “Fi… maksud kamu? Aku kenapa?” tanyaku dengan nada pelan, penuh kebingungan.
Aku mencoba mendekat, meraih tangannya dengan perlahan untuk menenangkannya. Namun, ketika Fiona mengangkat wajahnya, dia tiba-tiba bangkit dari kursinya, mengalungkan tangannya di leherku, dan tanpa ragu duduk di pangkuanku.
Aku tersentak, tubuhku tegang sesaat. Selama ini, Fiona tidak pernah bertindak seberani ini, tidak pernah melampaui batas seperti sekarang. Tapi detik itu, aku tahu bahwa segala batasan yang pernah ada di antara kami sudah mulai pudar.
Fiona memelukku erat, membuat tubuhnya semakin merapat padaku. Aku membalas pelukannya, tanganku melingkar di pinggangnya, merasakan kehangatan tubuhnya yang begitu dekat.
“Fi, ada apa sebenarnya?” tanyaku, mencoba sedikit merenggangkan pelukan kami. Namun, pipi kami bergesekan, dan saat bibir kami berdekatan, suasana berubah begitu cepat. Gairah yang sejak tadi terpendam mendadak memuncak.
Fiona tiba-tiba mengecup bibirku dengan lembut, membuatku tersentak untuk kedua kalinya. Tapi kali ini, aku tidak punya alasan untuk menahan diri. Kesempatan seperti ini tidak akan datang dua kali. Dalam detik yang singkat, aku memutuskan untuk menyerah pada momen itu.
Aku membalas ciumannya, menyelipkan tanganku ke belakang lehernya untuk menariknya lebih dekat. Lidah kami bertaut, menyatu dalam ciuman yang begitu dalam dan penuh hasrat. Bibir bawahnya kugigit lembut sebelum kuhisap perlahan, membuatnya mengeluarkan suara kecil yang hampir tidak terdengar. Tangannya melingkar erat di leherku, jemarinya bermain di rambutku.
Setiap detik terasa begitu intens, begitu nyata, seolah dunia di luar ruangan ini tidak lagi ada. Aroma parfumnya, kelembutan bibirnya, bahkan hembusan napasnya yang tersendat-sendat menyelimuti pikiranku sepenuhnya.
Setelah beberapa saat, ciuman kami perlahan mereda. Kening kami tetap bersandar satu sama lain, napas kami masih tersengal, mencoba mengatur ritme yang kembali normal. Tangannya masih berada di pipiku, membelai dengan lembut seolah ingin memastikan aku tidak akan menjauh.
“Fi?” panggilku pelan, suaraku bergetar sedikit.
Dia membuka matanya, menatapku dengan ekspresi yang sulit kubaca. “Kamu jahat, Kai,” katanya dengan nada yang pelan tapi penuh emosi.
Aku mengerutkan kening, bingung dengan ucapannya. “Aku kenapa?” tanyaku, mencoba mencari penjelasan.
Fiona menarik napas panjang sebelum menjawab, “Dulu… kenapa kamu lebih pilih Fatika dibanding aku?”
Perkataannya menghantamku seperti pukulan tak terduga. Aku membuka mata lebih lebar, mencoba memahami maksudnya. “Loh, bukannya waktu itu kamu udah deket sama si Nanta?” tanyaku spontan, merasa pertanyaan itu tidak masuk akal.
Dia menggelengkan kepala pelan, senyum getir muncul di wajahnya. “Kamu tuh, ya… nggak peka. Bener-bener nggak peka,” katanya, suaranya terdengar hampir seperti kesal, tapi juga penuh kesedihan.
Dia menundukkan kepalanya, keningnya bersandar di dadaku. Aku merasakan napasnya yang hangat menembus kain kemejaku. Tanganku perlahan mengusap punggungnya, mencoba memberinya kenyamanan, meskipun aku masih bingung dengan situasi ini.
“Maksud kamu gimana sih, Fi?” tanyaku, suaraku nyaris berbisik.
Fiona mendongak, menatapku lagi dengan mata yang kini tampak berkaca-kaca. “Masa aku harus bilang, Kai?” suaranya bergetar, seperti menahan sesuatu yang selama ini dia pendam.
Aku terdiam, karena aku dibesarkan di panti asuhan, aku tidak pernah memiliki pengalaman dekat dengan wanita. Masa mudaku dihabiskan untuk belajar keras, mencari beasiswa, dan bekerja sampingan demi menyambung hidup.
Aku bukan pria yang terbiasa dengan romansa. Kedekatanku dengan wanita selalu terasa dangkal—aku merasa mereka mendekatiku untuk urusan tugas, pekerjaan, atau manfaat lainnya. Dan untuk pertama kalinya, aku mulai menyadari apa yang sebenarnya Fiona rasakan selama ini.
Aku meraih pipi Fiona dengan lembut, ibu jariku menghapus buliran air mata yang mengalir di wajahnya. “Maafkan aku, Fi,” ucapku pelan, dengan tulus. Tapi sebelum aku sempat melanjutkan, jarinya menyentuh bibirku, menghentikan kata-kata yang hendak keluar.
Dia menatapku dalam-dalam, matanya berbicara lebih banyak daripada yang bisa diucapkannya. Kemudian, tanpa ragu, Fiona menarik wajahku lebih dekat dan menciumku dengan dalam. Ciumannya penuh emosi, penuh kerinduan yang terasa seperti telah lama dipendam.
Aku membalas ciumannya, lebih dalam, lebih lama. Bibir kami menyatu dalam ritme yang sempurna, seolah-olah semua waktu yang hilang di antara kami akhirnya terhubung kembali. Tanganku melingkari pinggangnya, menariknya lebih dekat hingga tubuh kami hampir tidak memiliki jarak.
Dia melepaskan ciumannya perlahan, hanya untuk menurunkan bibirnya ke pipiku. Bibirnya lembut, meninggalkan jejak kecil di setiap sentuhan. Dari pipi, dia beralih ke telingaku, napasnya yang memburu membuatku semakin sulit bernapas dengan normal.
“Kai,” bisiknya dengan suara rendah, penuh hasrat. “Aku nggak mau tahu. Aku pengen kamu sekarang.”
Awalnya ciumanku hanya menempel lembut, seperti sentuhan permintaan maaf. Tapi kemudian, aku memperdalamnya, melumat bibir bawahnya dengan bibirku. Serenity terkejut. Aku bisa merasakan tubuhnya menegang di bawah sentuhanku. Tangannya yang tadi terkepal di atas meja kini mendorong dadaku, berusaha menjauhkan diri.Namun, aku tidak melepaskan ciumanku. Sebaliknya, kuraih pinggulnya, menariknya lebih dekat hingga tubuhnya menempel padaku, membatalkan niatnya untuk mendorongku. Kursi putarnya sedikit bergoyang karena gerakan tiba-tiba kami. Kini aku berada di antara kakinya yang terbuka, rok mininya sedikit tersingkap karena posisinya, memperlihatkan sedikit paha mulusnya.Ciuman kami semakin intens. Aku melumat bibirnya dengan lebih dalam, lidahku menari di dalam mulutnya, menjelajah setiap sudut dan celah. Serenity masih sedikit kaku, tapi aku merasakan pe
Bab 57 - Sahabat atau Musuh?Serenity tertawa kecil, suara tawanya terdengar seperti angin yang berbisik di telinga, lembut namun menusuk. "Marah? Kenapa aku harus marah, Kai? Bukannya itu justru bagus?"Bibir kami makin mendekat, begitu dekat hingga aku bisa merasakan embusan napasnya yang segar dengan aroma mint yang tajam, menusuk indra penciumanku dengan sensasi menggoda."Kai..." Serenity berbisik pelan sebelum akhirnya menutup jarak di antara kami.Bibirnya yang lembut menempel di bibirku, awalnya hanya sentuhan ringan yang sekadar mengeksplorasi, namun dalam hitungan detik, aku tak bisa menahan diri untuk membalasnya. Aku mengulum bibir bawahnya, menggigi
Rahasia itu—momen terlarang di kantorku bersama Fiona—masih menjadi kartu truf di tangannya. Tapi aku tidak mau kalah begitu saja, tidak di hadapan wanita ini. Harga diriku sebagai seorang pria memberontak. Aku menyunggingkan senyum kecil, senyum yang dipaksakan namun berusaha terlihat percaya diri. Aku mencoba membalik situasi, bermain api dengannya.“Terus terang, aku nggak takut, Mbak,” balasku dengan nada santai, meski ada sedikit rasa gugup yang kututupi dengan baik. Aku berusaha menatap matanya tanpa gentar, menantangnya secara halus. “Aku sudah pasrah, Mbak. Pasrah diapain aja sama Mbak.” Aku menatapnya dengan ekspresi setengah menggoda, setengah menantang, berharap dia terpancing dengan keberanian palsuku ini.Mulutnya terbuka sedikit, terkejut dengan respons yang mungkin tidak dia duga. Kemudian, Narnia terkekeh keci
Pak Desmond melirikku sekilas sambil tetap memainkan ponsel di tangannya. “Hmm… apa itu, Kai?” tanyanya tanpa menoleh.Aku melirik Narnia, yang kini berdiri di sudut ruangan, bersandar di meja kecil sambil melipat kedua tangannya. Senyum tipis menghiasi wajahnya, dan aku bisa melihat dari matanya bahwa dia sedang memperhatikan dengan seksama, meskipun dia berusaha terlihat santai.“Papa dulu apa sering ke panti asuhan tempat saya dibesarkan? Maksud saya, apakah Papa pernah terlibat sebagai donatur, atau ada kaitan lain?” tanyaku, mencoba menyusun kata sehalus mungkin.Pak Desmond seketika melirikku. Gerakannya perlahan, seperti sedang mempertimbangkan sesuatu. Dia kembali menunduk ke arah ponselnya, namun aku bisa melihat ekspresinya berubah sedikit. Raut wajahnya menunjukkan keraguan
Aku menghela napas pendek sebelum membalas. “Urusan kerjaan, Fi. Sebentar aku ke ruangan kamu.”
“Cukup,” ucapku, suaraku rendah namun terdengar jelas di seluruh ruangan. “Saya paham semua kekhawatiran Anda, dan saya tidak akan menyangkal bahwa kita menghadapi risiko besar. Tapi saya ingin kita semua kembali pada fakta utama di sini. Formula Omega-3 mereka sudah bocor. Kita kalah satu langkah. Jika kita tidak segera meluncurkan FA-15, kita tidak hanya kalah di pasar, tapi juga kehilangan kepercayaan konsumen.”