"Di bawah, sebelah kanan," jawabku datar, mencoba mengendalikan debaran jantungku yang menggila. Pandanganku sulit untuk dialihkan dari lekuk tubuhnya yang memikat.
"Oh, ini," katanya pelan, masih membungkuk, jarak antara wajah kami hanya sejengkal. Tatapannya naik ke arahku, senyum kecil bermain di bibirnya, sebuah senyum yang penuh janji. "Bantuin dong, Kai. Aku nggak nyampe." Suaranya hampir seperti bisikan, hangat dan menggoda.
Aku menghela napas pendek, setengah menertawakan diriku sendiri karena bahkan dalam posisi ini pun dia terlihat begitu mengontrol situasi. "Sebentar," jawabku, lalu berjongkok, merasakan aroma parfumnya yang memabukkan memenuhi indra penciumanku. Aroma vanila yang bercampur dengan sesuatu yang lebih sensual, sesuatu yang membuatku mabuk kepayang.
Saat aku berjongkok, Fiona bergeser sedikit, tubuhnya sengaja menyentuhku, membuat tubuhku mengejang. Aroma tubuhnya yang wangi dan hangat menyelimutiku. Aku meraih kabel itu, tetapi ketika aku hendak mencolokkannya, tangannya menyentuh tanganku, sentuhan yang lembut, berlama-lama, menciptakan aliran listrik yang mengalir dari tangannya ke seluruh tubuhku.
"Oh, sorry," katanya, suaranya mengejek karena dia sama sekali tidak menarik tangannya. Sentuhannya hangat, dan aku tahu itu lebih dari sekadar "tidak sengaja."
Aku memasukkan kabelnya ke steker, tangannya masih bersentuhan dengan tanganku. Aku bisa merasakan kulitnya yang halus dan hangat. Saat aku berdiri, aku berusaha menjaga jarak, namun Fiona hanya tersenyum kecil, senyum yang menunjukkan kemenangannya. Dia melipat kakinya dengan anggun, roknya terangkat sedikit, memperlihatkan paha mulusnya yang membuat nafasku tertahan. Dia menatapku, tatapannya penuh arti, penuh godaan.
Dia mengulurkan jari, menyentuh pipiku dengan lembut. "Terima kasih, Kai," bisiknya, suaranya bergetar sedikit. Jari-jarinya berhenti di pipiku sejenak, lalu perlahan menelusuri garis rahangku ke arah leherku. Kulitku meremang di sentuhannya.
Dia tersenyum, senyum yang lebih dalam, lebih menggoda dari sebelumnya. Dia mencondongkan tubuhnya ke arahku, matanya berkilat nakal. Dia menaikkan tangannya, menyentuh leherku lagi, lalu menarikku ke arahnya. Dapatkah aku menolak?
Bau parfumnya yang memabukkan semakin dekat, tubuhnya terasa begitu dekat. Dan dalam keheningan kantor yang sunyi itu, hanya ada debaran jantung kami yang beradu, satu ritme yang menggemakan keinginan terpendam.
Tanpa disadari, wajah kami semakin dekat, napas kami bertautan di udara yang tiba-tiba terasa berat. Mataku menatap bibirnya, begitu dekat hingga setiap detik yang berlalu terasa menegangkan. Fiona pun melakukan hal yang sama, matanya turun ke arah bibirku, lalu kembali bertemu dengan tatapanku.
Hawa di ruangan itu berubah, menjadi sesuatu yang hangat dan penuh ketegangan. Hanya suara napas kami yang terdengar, bercampur dengan detak jantungku yang semakin tak terkendali. Aku tahu apa yang sedang terjadi, dan aku tahu aku seharusnya menghentikannya. Tapi hasrat itu—hasrat yang selama ini kupendam—mendadak menyeruak, mematahkan semua batasan yang selama ini kujaga.
“Fiona…” ucapku pelan, hampir seperti bisikan.
“Shh…” Fiona mengangkat jari telunjuknya, menyentuh bibirku. Sentuhannya lembut, seperti listrik yang mengalir ke seluruh tubuhku. “Jangan ngomong apa-apa,” bisiknya, suaranya rendah namun menggoda.
Matanya berkilat, dan aku bisa merasakan panas yang sama dalam tatapannya. Aku menelan ludah, mencoba mengendalikan diri, tapi tubuhku seolah tidak mendengarkan logika.
Dia mencondongkan tubuhnya lebih dekat, napasnya menyentuh pipiku, dan jarak di antara kami hampir menghilang. Namun, tepat saat bibir kami hampir bersentuhan, dering keras ponsel Fiona memecah keheningan itu.
Kami tersentak, seperti dihantam kenyataan yang tiba-tiba hadir di tengah-tengah momen itu. Fiona mundur perlahan, menghela napas panjang sambil tersenyum tipis. Tangannya meraih ponselnya dari meja, layar ponselnya menyala menampilkan nama penelepon.
“Maaf,” katanya pelan, lalu berdiri dan melangkah ke dekat pintu. Dia menerima panggilan itu, suaranya berubah menjadi tenang dan profesional. “Ya, ada apa, Pap?”
Dari nada bicaranya, aku bisa menebak siapa yang menelepon—Hananta suaminya. Aku menyandarkan tubuhku ke kursi, mencoba mengatur napas dan menenangkan debaran di dadaku. Aroma parfumnya yang memabukkan masih terasa, bercampur dengan rasa frustrasi yang sulit diabaikan.
“Ya, aku masih di kantor. Aku harus lembur beresin laporan buat presentasi besok. Chira lagi di rumah Ibu,” Fiona melanjutkan percakapannya, suaranya terdengar santai, meskipun aku bisa merasakan dia menjaga jarak emosional yang rapi.
Aku meliriknya dari sudut mataku. Dia berdiri di dekat pintu, ponselnya menempel di telinga, tubuhnya sedikit membungkuk. Dan di sana, dari posisiku, lekuk tubuhnya tampak begitu menggoda. Bongkahan bokongnya terlihat jelas di balik rok pensilnya, menciptakan pemandangan yang membuat pikiranku kembali berkelana.
Aku mengalihkan pandangan, mencoba fokus pada laptop di depanku. Tanganku membuka aplikasi kantor, memeriksa siapa saja yang masih berada di gedung saat itu. Hanya ada dua nama yang muncul: aku dan Fiona.
Aku menghela napas panjang, lalu mengambil ponselku dan mengetik pesan kepada Imron, salah satu petugas keamanan.
“Ron, kalau nanti ada yang datang, WA saya langsung, ya,” tulisku.
Balasan cepat datang. “Siap, Pak Kai.”
Sambil menunggu, aku kembali menatap Fiona yang masih sibuk berbicara di telepon. Ponselnya kini berada di tangan kirinya, sementara tangan kanannya menyesap rambut panjangnya ke belakang. Dia melirik sekilas ke arahku, lalu kembali berbicara dengan suara yang lebih rendah, membuatku semakin sulit menebak apa yang ada di pikirannya.
Fantasi liar yang tadi nyaris menjadi kenyataan terus bermain di benakku, dan aku tidak bisa berhenti memikirkannya. Dalam benakku hanya ada satu pikiran: Kegilaan apa pun yang akan terjadi malam ini, maka biarlah terjadi.
Fiona akhirnya menutup panggilan teleponnya. Dia berbalik menghadapku dengan senyum kecil yang hampir seperti sengaja dirancang untuk memancing reaksi. Langkahnya santai namun mantap, seolah dia tahu betul bahwa setiap gerakannya adalah bagian dari permainan. Dia mengambil sepotong pizza dari meja, lalu menarik kursi di depanku. Dengan gerakan perlahan, dia mendekatkan kursinya ke arahku hingga jarak di antara kami terasa terlalu dekat untuk sekadar percakapan biasa.
“Sorry, tadi Nanta nelpon,” katanya, sambil menggigit ujung pizza. “Dia nanya soal Chira.” Nanta adalah nama panggilan Hananta suami Fiona.
Aku hanya diam, tatapanku tak sengaja tertuju pada lekuk tubuhnya yang kini hanya beberapa sentimeter dari pandanganku. Fiona tampaknya menyadari, karena dia menyandarkan tubuhnya ke belakang dengan santai, tetap menatapku dengan senyum menggoda di wajahnya.
“Kok bengong gitu sih?” tanyanya tiba-tiba, sambil mengulurkan tangan untuk menyentuh pipiku. Sentuhannya lembut, tapi cukup untuk membangunkanku dari lamunan.
“Eh, nggak apa-apa,” jawabku, mencoba memulihkan kendali atas diriku sendiri. Aku mengambil sepotong pizza, mengalihkan pandangan. “Gimana kabar Nanta?” tanyaku, mencoba mengganti topik pembicaraan.
Fiona memutar bola matanya sambil mendesah pendek. “Ya gitu lah,” jawabnya singkat, nada suaranya terdengar malas. “Aku males ngomongin dia.”
Dia menunduk sedikit, membuka laptopnya di atas meja. Tangannya dengan lincah mengetik beberapa hal, lalu memutar layar ke arahku. “Nih, laporan aku. Tolong dicek ya,” katanya, tapi tatapannya kembali ke arahku, seperti ingin mengatakan lebih dari sekadar soal pekerjaan.
Aku meraih laptopnya, memeriksa laporan yang dia buat. Presentasinya sudah sangat rapi, datanya lengkap, dan cara penyampaiannya begitu jelas. Tidak ada yang perlu dikoreksi, lalu terbesit di benakku, sepertinya ini bukan soal laporan—mungkin dia hanya mencari alasan untuk berada di sini.
“Jadi, lagi ada masalah apa di rumah?” tanyanya tiba-tiba, nada suaranya seolah-olah dia tahu lebih dari yang seharusnya.
Aku mendongak dari layar laptop, menatapnya. “Masalah apa? Nggak ada masalah. Biasa aja,” jawabku datar, kembali memeriksa laporan di depanku. Tapi pikiranku sudah penuh dengan spekulasi—apakah ini trik Fiona untuk menghabiskan malam denganku?
“Aku memanggil kalian ke sini,” lanjut Tanika, “bukan untuk meminta maaf atau meminta belas kasihan. Aku memanggil kalian ke sini untuk memberikan restuku.”Dia memberi isyarat pada Serenity untuk mendekat. Serenity, yang biasanya begitu liar dan percaya diri, melangkah maju dengan ragu, seperti anak kecil yang dipanggil oleh kepala sekolah. Dia berlutut di samping kursi roda Tanika.“Serenity,” kata Tanika lembut. “Kau adalah apinya. Gairah yang murni dan tak terkendali. Di dalam dirimu, tumbuh seorang pejuang. Jangan biarkan dunia memadamkan api itu. Ajari dia untuk menjadi kuat dan berani.”Tanika meletakkan tangannya yang kurus di atas perut Serenity. Serenity terkesiap, lalu menangis tersedu-sedu, membenamkan wajahnya di pangkuan Tanika.
Matahari terbit di Maladewa terasa berbeda hari ini. Bukan lagi janji akan hari yang baru dan penuh harapan, melainkan pengingat yang kejam akan senja yang semakin dekat. Setiap kilau keemasan yang menari di permukaan laut yang tenang adalah sebutir pasir yang jatuh dari jam waktu Tanika, jam waktu kami.Aku terbangun sebelum dia. Aku tidak tidur semalaman. Aku hanya memandangnya, mencoba menghafal setiap detail wajahnya yang damai dalam tidurnya. Lekuk bibirnya, bulu matanya yang lentik, helai rambut yang jatuh di pipinya. Aku membelainya dengan ujung jariku, begitu lembut, takut sentuhanku akan membangunkannya, takut kehilangan satu detik pun dari kedamaian ini.Penolakannya atas pengorbananku tadi malam bukanlah sebuah akhir dari perdebatan. Itu adalah sebuah pernyataan. D
Maladewa, hari ketujuh. Sebuah lukisan melankolis yang diwarnai awan kelabu tipis, seolah langit itu sendiri ikut merasakan beban waktu kami yang hampir habis. Kami, kuas yang gemetar, sedang menggoreskan perpisahan di kanvas senja. Kami menghabiskan sepanjang hari di dalam vila, seolah ingin menghentikan waktu dengan menolak untuk keluar, terperangkap dalam gelembung keindahan yang rapuh.Tidak ada lagi gairah yang liar dan eksplosif seperti di awal minggu. Yang ada hanyalah keintiman yang lambat, putus asa, dan begitu dalam, setiap sentuhan adalah sebuah usaha untuk menunda ketiadaan. Kami bercinta seolah-olah itu adalah napas terakhir kami, setiap desahan adalah sebuah doa untuk waktu yang tak akan pernah kembali. Aku akan menatap mata Tanika selama berjam-jam, mencoba menghafal setiap binar, setiap helai bulu matanya yang lentik, seolah ingin memahatnya ke dalam ingatanku agar tak pernah pudar. Tangank
Dia menarikku ke lantai dansa yang ramai, di mana tubuh-tubuh berdesakan dan lampu-lampu strobo berkedip-kedip, menciptakan ilusi gerakan yang terputus-putus. Dia menekan tubuhnya ke tubuhku, pinggulnya yang lentur bergerak melingkar, menggesek selangkanganku dengan ritme musik yang menghentak. Panas tubuhnya menembus pakaian kami, dan aku bisa merasakan gesekan bokongnya yang montok di kejantananku yang masih menegang.“Semua orang melihat kita,” bisikku di telinganya, napasku memburu, tanganku melingkari pinggangnya erat.“Aku tahu,” balasnya, napasnya sama memburunya. Dia mendongak, matanya menatap mataku, penuh gairah yang membakar. “Aku ingin mereka melihatmu. Aku ingin mereka melihat bagaimana kau menginginkanku. Bagaimana aku menginginkanmu.”Di tengah kerumunan yang berden
Setelah malam pengakuan yang menguras jiwa aku pikir hari-hari kami di surga ini akan diisi dengan keheningan yang nyaman dan keintiman yang lembut. Aku salah. Aku telah membebaskan Tanika dari penjaranya, penjara yang ia bangun sendiri dari rasa takut dan ekspektasi. Tapi aku lupa, seekor burung yang terlalu lama dikurung, saat akhirnya terbang, tidak akan terbang dengan tenang. Dia akan terbang dengan liar, dengan sayap mengepak gila-gilaan, ingin merasakan setiap embusan angin yang selama ini terlarang.Pagi harinya, setelah sesi bercinta yang lambat dan penuh perasaan, yang membuat kami berdua terengah-engah dan berkeringat, Tanika menyandarkan kepalanya di dadaku. Jemarinya yang lentik memainkan bulu-bulu tipis di dadaku, sementara napasnya yang hangat meniup di kulitku. Setelah beberapa saat keheningan yang nyaman, dia mendongak, menatapku dengan mata berbinar, sebuah kilatan nakal yang belum pernah
Aku menatap payudaranya yang indah, membusung sempurna, dengan puting yang sudah menegang dan merona merah muda. Dengan napas tertahan, aku menghisap putingnya yang keras dengan rakus, lidahku memutar dan menariknya lembut, membuat Tanika mendesah namaku berulang kali, suaranya tercekat di tenggorokan. Jari-jariku memijat payudara sebelahnya, meremasnya lembut, memutar putingnya yang lain, memastikan sensasi yang sama mengalir di seluruh tubuhnya.Dia mengerang, punggungnya sedikit melengkung, pinggulnya terangkat dari daybed, mencari kontak yang lebih dalam. Tanganku bergerak turun, menjelajahi perutnya yang rata dan kencang. Aku mengecup pusarnya, merasakan panas dari sana, lalu semakin rendah, ke bawah pusar, mengelus bulu-bulu tipis di sana.Aku menatapnya, memastikan dia siap. Mata Tanika berkabut gairah, tatapannya memohon dan penuh kepercayaan. Aku memis