Adrian menunjuk ke pintu. "KELUAR!"
Wanita itu kaget. Ia lalu berdiri dan setelahnya ia melempar senyuman. Ia lalu berjalan dengan seksi menuju pintu. Saat wanita itu hendak membuka pintu untuk keluar, pintu itu terbuka dari luar. Seorang wanita paruh baya dengan aura elegan masuk—Ibu Adrian. Di belakangnya muncul Derren menemani Ibu Adrian. "Sial!" umpat Adrian dalam hati. "Derren!" geram Adrian sambil melotot ke Derren yang tersenyum licik di samping ibunya. Ibu Adrian melihat ke arah sekretaris seksi tadi dan tersenyum puas. “Sayang, dia aku yang rekrut. Cantik, kan? Sekretaris harus punya penampilan yang menarik.” Adrian langsung mengangkat suara. “Apa? Jadi Ibu yang bawa dia ke sini?" "Iya, Sayang. Ibu lakukan yang terbaik buat kamu. Gimana? Kamu suka?" "Pasti suk-" "Diam lu, Der!" potong Adrian. Derren tersenyum licik merasa puas melihat temannya itu kesal. Adrian membuang napas kasarnya. "Yang terbaik? Ibu bercanda? Ini yang terburuk!" "ADRIAN!" Adrian terdiam. "Kapan sih kamu mau dengerin kata-kata Ibu?" Ibu Adrian menghela napasnya. "Cukup, Ibu gak mau denger apa-apa lagi." "Bu, aku minta tolong sama Ibu, minta tolong banget jangan ikut campur masalah perusahaan. Ibu gak punya wewenang di perusahaan ini!” Ibunya tetap tenang. “Oh ya? Adrian Sayang... kalau bukan karena Ibu, kamu bukan siapa-siapa di sini. Perusahaan ini ada karena darah dan keringat ayahmu… dan dukungan Ibu.” Adrian mendesis. “Oke, baik, itu fakta. Tapi, Bu, aku gak butuh Ibu ngatur-ngatur hidupku.” "Adrian!" tegur Derren. "Diam lu!" pekik Adrian menatap Derren. Ibu Adrian menghela napasnya lagi. Ia lalu melangkah lebih dekat ke Adrian, menepuk pundaknya dengan halus. “Ibu cuma ingin kamu gak terlalu kaku. Hidup begitu-begitu aja. Cemen tau gak sih? Wanita ini cocok kok jadi sekretaris. Dan... siapa tahu bisa jadi pasangan juga.” Adrian menatap tajam. “Tch, aku udah tau motif Ibu apa. Pasangan-pasangan lagi yang terus dibahas. Aku muak, Bu!" "Adrian! Kamu udah berumur, Sayang! Ingat!" "Aku tau siapa diriku, Bu. Aku tau apa yang pantas buatku!" Melihat kondisi anaknya yang sedang tersulut emosi, sang Ibu hanya tersenyum. “Kalau kamu terus dingin begini, siapa yang mau mencairkan hatimu, Sayang?” Adrian melipat tangannya, tak peduli. "Oke, deh! Pokoknya Ibu gak mau tau, Luna akan menjadi sekretaris kamu dan tiada siapapun yang boleh memecat dia kecuali Ibu. Kamu dengar?" "Bu?" "Kamu dengar, Adrian Hartawan?" Adrian terdiam, tak membalas. "Derren! jangan biarkan Luna merasa tersakiti di sini, paham?" "Paham, Tante!" jawab Derren dengan hormat dan senyum tipis. "Bagus!" Ibu Adrian berlalu bersama dengan Derren keluar dari ruang Adrian. "Hahahaha, congratulation, Bos!" ledek Derren sebelum benar-benar berlalu dari hadapan Adrian. Adrian tak berkutik. Ia sangat kesal. Luna Mukerzi sendiri tersenyum kecil sambil melirik Adrian yang sudah duduk di kursi kerja. Ia tahu, kehadirannya bukan sekadar sebagai sekretaris. Ia punya misi: menaklukkan pria dingin itu, demi keinginan Ny. Ratna Hartawan—ibunda Adrian yang ambisius. “Jangan terlalu keras padaku, Pak Adrian…” bisik Luna saat hendak keluar ruangan. “Nanti kamu jatuh cinta, loh.” Adrian melirik tajam tanpa membalas. Luna tetap tersenyum, membalikkan badan dan melenggang pergi dengan langkah menggoda, seolah sengaja. *** Sementara itu, pagi yang suram menyelimuti sudut apartemen kumuh tempat Naya tinggal. Bau lembab, suara televisi tetangga, dan batuk ibunya jadi alarm harian yang menyakitkan. Naya duduk di meja kecil yang catnya mengelupas. Sepiring nasi dingin ada di depannya, tapi dia tak menyentuhnya. “Nay, makan dulu, Nak…” suara Ibu lirih, diselingi batuk yang tak kunjung reda. "Nanti kamu gak ada tenaga pas kerja, Sayang." Naya menoleh, memaksakan senyum. “Nanti aja, Bu. Aku masih kenyang.” Rendi, adiknya yang masih SMP, baru keluar dari kamar sambil merapikan tasnya. “Kak..." ia mendekat ke Naya dan duduk di sampingnya. "Kak, uang prakteknya." Naya terdiam menatap wajah memelas adiknya. "Kak, kata Bu Guru, kalau belum bayar hari ini, aku nggak boleh ikut praktek. Surat itu peringatan terakhir, Kak." "Ren, Ibu paham. Yang sabar dulu ya, Sayang. Kakakmu lagi nggak ada uang," ucap Ibu Naya mengelus kepala Rendi. "Tapi, Bu..." "Yasudah, nanti Ibu akan antar uang ke sekolah." Wajah Rendi berbinar-binar, "Seriusan? Ibu seriusan?" Ibu Naya mengangguk sambil tersenyum. Naya menoleh, "Ibu dapat uang darimana?" "Ada," jawab Ibu Naya sambil mengelus tangan Naya. Naya terdiam. "Rendi, makan, Sayang!" pinta Ibunya sambil menyiapkan makanan Rendi di atas piring plastik. Rendi tersenyum sambil melahap makanannya walau lauknya begitu sederhana. Hanya ada telur mata sapi dicampur kecap. Rendi melihat jam dinding dan panik. “Yah! Aku telat!” "Dihabisin dulu, Dek!" Rendi mengunyah makanannya dengan cepat. "Ayo, Kak!" ucap Rendi menyuruh Kakaknya segera makan. Namun Naya benar-benar tak menyentuh makanannya. “Udah, santai aja, Sayang. Ibu yang anterin kamu!” Ibu buru-buru berdiri, tapi langsung batuk keras. "Uhhuuk!" Naya segera bangkit dan memegang bahu ibunya. “Enggak, Bu. Aku aja yang nganter. Biar Ibu istirahat.” "Tapi, kamu belum sarapan, Sayang." "Gak, Bu, aku nggak apa-apa." Naya menopang Ibunya istirahat ke kamarnya. Rendi segera beranjak dari meja makan lalu segera meraih tangan Ibunya. "Aku berangkat ya, Bu!" "Iya... uhhuk... uhhuk... hati-hati kalian berdua!" Naya mengangguk. Sekolah Rendi gak jauh dari apartemen mereka. Tapi tetap saja, perjalanan itu membuat Naya agak letih. Terlebih dia belum sarapan. "Semangat belajarnya ya!" pesan Naya. Mereka sampai di depan gerbang sekolah. "Siap, Kak!" "Bagus!" ucap Naya sambil mengelus-elus rambut Rendi. Saat hendak berbalik pergi setelah memastikan adiknya masuk, matanya tertumbuk pada sekelompok anak yang tiba-tiba muncul dan mengerumuni lalu mengejek adiknya. “Eh, ada anak gembel! Heh, kudis, lihat tuh sepatu lo mau copot tuh!” salah satu anak tertawa keras. “Ih liat deh! Bajunya udah kayak lap pel!” sahut yang lain sambil menjepit hidungnya, seolah-olah jijik. "SI KUDIS BAU TAI!" "SI KUDIS BAU TAI!" "SI KUDIS BAU TAI!" Mereka bersorak dengan keras mengucapkan kata-kata itu sambil mengelilingi Rendi yang terus berjalan dengan menundukkan kepalanya. Rendi terlihat hanya diam. Naya yang melihat dari kejauhan menggenggam erat jemarinya. Hatinya terasa diremas-remas. "Ren..." Ia mengusap air matanya. Ia tak tahan. Dia ingin berlari dan memeluk adiknya. Ia pun berbalik, tiba-tiba... Bersambung...Di dalam ballroom utama Mansion HartawanAcara gala tengah berlangsung megah. Di sekeliling ruangan, berjejer meja-meja bulat dengan taplak putih dan lilin tinggi menyala, diiringi alunan musik klasik dari orkestra live. Di tengah panggung, Kakek Tohari berdiri dengan gagah, memberikan sambutan kepada keluarga besar dan tamu kehormatan.> “Malam ini bukan hanya ajang silaturahmi, tapi bentuk kepedulian kita,” ujar Kakek Tohari dengan suara mantap. “Seluruh donasi yang terkumpul akan disalurkan ke panti asuhan, rumah sakit, hingga lembaga sosial di bawah yayasan keluarga Hartawan. Karena... kekayaan yang sesungguhnya adalah bisa memberi manfaat.”Semua orang bertepuk tangan sopan.Tapi Adrian hanya duduk kaku di kursinya. Di sisi kirinya, Luna semakin agresif: tangannya mencoba meraba jari Adrian, sesekali menyenderkan tubuh. Namun Adrian berusaha tetap formal, menjaga postur tubuh dan memasang wajah dingin.> “Adrian,” bisik Luna sambil tersenyum, “malam ini indah banget ya... Kita co
Adrian masih berdiri di tengah lobby kosong, menatap ke arah lorong panjang dengan ekspresi yang semakin tegang.Tangannya terkepal di sisi tubuh, napasnya berat.Di saat pikirannya sibuk mencari kemungkinan-kemungkinan buruk soal Naya, suara hak tinggi berdetak-detak mendekat."Tuk...tuk...tuk..."Adrian menoleh dengan refleks.Muncullah Luna, mengenakan dress bodycon hitam ketat yang menonjolkan lekuk tubuhnya. Belahan roknya tinggi, memperlihatkan paha putih mulus. Bibirnya merah menyala. Rambutnya ditata bergelombang sempurna.Dengan senyum genit, Luna mendekati Adrian."Hai, Adrian," sapanya manja, suaranya dibuat-buat lembut.Adrian mendengus pelan, tidak menyembunyikan ketidaksukaannya."Apa maumu, Luna?" gumamnya dingin.Luna pura-pura tersinggung, membentuk mulutnya cemberut kecil."Aku cuma... mau bilang," katanya sambil memutar rambut di jarinya, "Kalau kamu masih butuh pasangan buat gala nanti... aku siap kok nemenin kamu."Dia menyentuh lengan jas Adrian pelan, sengaja me
Besok paginya, suasana kantor Hartawan Group terlihat lebih sibuk dari biasanya. Para staf berlalu lalang dengan kemeja rapi dan ekspresi penuh kesibukan.Adrian, seperti biasa, berjalan masuk ke dalam lobby utama dengan langkah tegap, jas hitam membalut tubuh tegapnya, wajahnya datar dan tanpa emosi.Namun, sesuatu menghentikannya.Seorang wanita cantik berdiri di tengah lobby, mengenakan dress formal biru langit yang menonjolkan kecantikannya. Wajahnya manis, rambutnya bergelombang rapi.Dia melambai dengan malu-malu ke arah Adrian.Adrian mengernyit.Matanya melirik ke sekeliling, mencari-cari sumber masalah ini — dan benar saja, dari balik pilar, Derren muncul, dengan senyum penuh harap.Adrian langsung menghela napas panjang, matanya memicing tajam ke arah sahabatnya itu.Derren berjalan cepat ke arah Adrian sambil berbisik,"Surprise, bro! Ini... calon pasangan buat gala nanti. Namanya Jessica."Adrian menatap Derren dengan tatapan membunuh."Kamu bercanda," gumam Adrian dingin.
Siang itu, kantor Hartawan Group masih sibuk.Naya baru saja keluar dari pantry, membawa tumpukan dokumen yang harus dibagikan ke beberapa ruangan.Langkahnya cepat—sedikit tergesa.Saat berbelok di lorong sempit, tanpa sengaja—Brak!Naya menabrak seseorang.Dokumen bertebaran di lantai."Aduh...!" seru Naya panik, buru-buru membungkuk.Namun sosok pria itu juga membungkuk pada waktu bersamaan, membuat wajah mereka hanya beberapa sentimeter saja.Dan dalam momen itu, karena keseimbangan Naya goyah, tubuhnya terdorong maju.Ciuman kecil.Hanya sepersekian detik. Tapi cukup untuk membuat dunia seakan berhenti berputar.Naya membelalak.Adrian juga membeku.Suasana hening, sangat hening.Sementara di ujung lorong, seseorang menyaksikan semuanya dengan mata melebar marah—Sarah.Senyuman sinis muncul di bibirnya.**"Maaf! Maaf banget, Pak Adrian!" seru Naya gugup sambil buru-buru berdiri dan mundur beberapa langkah.Adrian sendiri tampak berusaha menguasai diri. Ia berdeham pelan, kembal
Pagi itu kantor terasa lebih dingin dari biasanya. Adrian berjalan menyusuri lorong panjang lantai eksekutif, kemeja biru gelap membalut tubuhnya. Ada bekas luka samar di pipi kirinya, dan jalannya sedikit kaku. Namun dia tetap menjaga aura wibawanya. Dari arah berlawanan, Naya datang dengan membawa nampan berisi kopi-kopi untuk ruangan meeting. Langkahnya berhenti mendadak. Mata Naya membelalak pelan saat melihat Adrian yang tampak babak belur. Ada rasa khawatir yang otomatis muncul. "Pak Adrian...?" gumamnya lirih. Mereka saling memandang sekilas. Hening. Canggung. Suasana mendadak seperti freeze. Naya panik, dia reflek mau ke kanan. Adrian—dengan gugupnya—ikut melangkah ke kanan. Naya buru-buru ke kiri. Adrian juga geser ke kiri. Mereka hampir bertubrukan. "Ah... anu... m-mohon maaf, Pak!" kata Naya panik, menunduk dalam-dalam. Adrian mengangkat tangannya, mencoba terlihat santai, walau mukanya sudah merah. "Tidak apa-apa..." Mereka akhirnya berhasil
Cling...Setelah berjam-jam yang terasa seperti seumur hidup, pintu lift akhirnya terbuka.Naya hampir menangis lega. Ia berdiri cepat-cepat, diikuti Adrian yang tetap terlihat tenang walaupun kemejanya sudah kusut sedikit.Mereka melangkah keluar, disambut petugas teknisi dan beberapa satpam."Maafkan kami, Pak Adrian, Nona..." para teknisi membungkuk dalam-dalam.Adrian hanya mengangguk malas, satu tangannya refleks menahan punggung Naya agar tidak terinjak-injak kerumunan. Ia bahkan tidak sadar saat melakukan itu.Jam menunjukkan pukul 02.17 dini hari. Kantor sudah sepi."Naya."Suara Adrian dalam. "Aku antar pulang."Naya langsung gelagapan. "T-tapi, Pak, saya biasa naik angkutan kok... nggak apa-apa, sungguh!"Adrian menatapnya dingin. "Tidak ada diskusi."Dengan berat hati, Naya akhirnya masuk ke dalam mobil hitam mewah milik Adrian. Selama perjalanan, mereka hanya diam. Sesekali Naya mencuri pandang, tak percaya ia satu mobil dengan pria paling dingin se-kantor.Mobil melaju me