Deg!
Pluk! Korek itu jatuh tepat ke benda cair itu. Napas Naya tertahan sejenak. Bum! Salah satu dari preman itu menendang pintu. “Masih untung hari ini aku siram air! Kalau ke depannya belum ada kabar dari kalian…” Ia mengangkat lagi botol besar yang ternyata berisi air itu lalu menyiraminya lagi ke bolongan pintu itu. “…BENSIN YANG BAKAL KUSIRAM!!” teriaknya sambil menyalakan korek api lain dan melemparkannya ke lubang pintu. Alhasil, api itu padam lagi karena benda cair itu memanglah air. Naya menjerit pelan, buru-buru menghampiri Rendi dan Ibunya. Ia memeluk erat mereka. "Bu..." *** Di sisi lain kota, lampu-lampu gedung pencakar langit bersinar terang di antara langit malam yang pekat. Di lantai tertinggi sebuah gedung mewah, seorang pria masih duduk sendiri di ruang kantor besar yang sunyi. Adrian Hartawan, CEO muda dengan reputasi dingin dan nyaris tak tersentuh, masih menatap layar laptopnya yang menampilkan laporan keuangan kuartal pertama. Rambutnya sedikit berantakan. Dasi sudah dilonggarkan. Kantor itu miliknya, tapi malam ini ia sendiri seperti pegawai biasa yang terjebak lembur. “Astaga...” gumamnya pelan sambil mengusap wajah. Matanya sudah merah dan berat. Ia memutuskan untuk berhenti sejenak, menutup laptop, dan beranjak menuju lift. Saat pintu lift terbuka, ia langsung melangkah masuk. Tapi matanya membelalak saat melihat pemandangan di dalam. "Anjing!" Seorang pria—temannya sendiri—terlihat mencumbu seorang wanita cantik berpakaian minim. Desahan pelan terdengar samar. Tangan si wanita melingkar di leher pria itu, dan mereka tampak larut dalam gairah. "Ah! Enak, Sayang!" desah wanita itu sambil meraba-raba celana pria itu. "Kau suka? Ah...!" "Pegang ini juga, Sayang... ah!" desah wanita itu lagi sambil menuntun tangan pria itu agar masuk ke dalam bagian intim wanita itu. "Shit!" Adrian membeku. Ia ingin segera menekan tombol tutup pintu, tapi pria itu menyadari keberadaannya. "Shit! Rian?" pria itu mendongak dengan senyum setengah sadar. Adrian mendelik tajam, "Anjing lu, Ren!" Derren hanya terkekeh sambil menarik kembali tubuh wanita itu ke pelukannya. "Fucking is everything!" umpatnya sebelum pintu lift itu benar-benar tertutup. Adrian menghela napas panjang dan memilih diam. Matanya tetap lurus menatap angka lantai yang menyala di atas pintu lift. Ia sangat kesal. Dan entah kenapa... kalimat Derren tadi menggantung di benaknya. Dan... pintu lift terbuka. Ia masuk. *** Keesokan harinya... Pagi yang cerah di gedung perusahaan megah milik Adrian Hartawan. Hartawan Corp. Semua karyawan tampak sibuk dengan aktivitas masing-masing, kecuali satu ruangan yang terlalu sunyi… dan terlalu panas. Ruangan itu tak lain dan tak bukan ialah ruangan temannya sendiri, si maniak perempuan. Adrian mengangkat alis tinggi saat membuka pintu ruang kerja direktur marketingnya itu, Derren—teman masa kecilnya. Tapi yang dilihatnya langsung bikin dia pengen narik dasi sendiri. “Monyet lu, ya!” Adrian berdiri di ambang pintu, tangan berkacak pinggang. Derren santai duduk di kursinya dengan baju kemeja setengah terbuka, sementara asistennya yang seksi itu… duduk manja di pangkuannya. Bibir mereka masih merah menyala karena aksi barusan. “Eh, ada pak Bos nih!" Ia menghentikan aksinya sejenak. "Gua bener-bener gak abis pikir ya sama lo!" ucap Adrian dengan nada sedikit tinggi namun tidak benar-benar marah. "Yaelah... bro, lo dateng-dateng langsung nyamber gitu. Lo udah biasa lihat ginian kan, bung?” "Gua emang udah biasa dan kebal liat lu beginian di luar. Bukan di sini, Monyet!" "Hahahah... santai, Men!" Derren lalu beradu mulut dengan asistennya itu. Asistennya itu langsung menyambut dan tangannya kembali memanjakan nafsu Derren. "DER!" tegur Adrian. Dahinya mengkerut. "Oke... oke... fine!" Ia mengisyaratkan asistennya itu pergi. "Lanjut nanti lagi ya, Pak!" ucap asistennya itu sambil menyentuh dada Derren sesaat sebelum ia benar-benar pergi. "Temui gua pas makan siang!" ucap Derren sambil memainkan mata ke asistennya itu. "Permisi, Pak!" ucapnya ke Adrian sambil berlalu menuju pintu. Adrian tak berkutik. Ia menggertakkan giginya. "Itu asisten lo apa PSK lo sih?” Adrian mengangkat sebelah alis. “Lo tuh direktur, Der bukan anjing. Lu tau kan anjing kawin tuh gak tau tempat." "Hahahah, ah elu mah berlebihan, Bro." Derren berdiri menghampiri Adrian. "Ayo dong, Bos, silahkan duduk!" Ia menunjuk ke kursi kebesarannya. Adrian membuang napas kasarnya lalu duduk di sofa dekat jendela kaca. "Ada apa sih? Lu akhir-akhir ini serius amat. Ada apa? Cerita ke gua!" ucap Derren duduk di samping Adrian sambil mengeluarkan rokoknya. Adrian menurunkan rokok Derren, “Gue serius, Der. Ini kantor, bukan tempat hiburan malam. Fokus dong sama kerjaan.” “Fokus kok. Tapi sesekali refreshing itu penting, Bro. Hidup lo tuh flat banget. Kerja, kerja, kerja, kapan lo hidup?” Ia mengambil lagi rokoknya lalu membakarnya dan mengisapnya. Adrian melepas napas panjang. “Gue udah pernah hidup... dan nyesel.” Derren melirik, penasaran. “Masih trauma sama kejadian itu? Gua udah bilang sama lu, klub itu surga, men!” Adrian menatap lurus. “Gue gak akan pernah ke tempat sampah itu lagi.” Derren mengangkat bahu. “Oke, fine. Tapi jangan salahin gue kalau lo kesepian selamanya.” "Kesepian? Cih! Gua bisa aja dapet cewek yang gua mau. Tapi gua gak kayak lo, mempermainkan bahkan lo rusak mereka." "So? Mana cewek yang gak lo permainkan itu?" ucap Derren sambil membuang asap rokok itu ke arah Adrian. Adrian terdiam. Trrrtt... Trrt... Trrrtttt... Tiba-tiba ponsel Derren berbunyi. Dia melihat layar dan tersenyum penuh arti. “Nah ini dia, kebetulan yang spesial udah dateng." "Maksud lo?" Derren meletakkan rokoknya lalu membenahi jas Adrian. "Maksud gua... lo balik ke ruang lo. Siapin diri dan BOOM! Lo bakal suka!" "Hah? Apaan sih?" "Udah, buru!" Adrian sempat curiga, tapi tetap bangkit dan berjalan ke ruangannya. "Good luck, Men!" ucap Derren. Adrian kembali masuk ke ruangannya. Ia penasaran dengan maksud Derren. Lalu beberapa menit kemudian, pintu ruangannya terbuka. Seorang wanita melangkah masuk. Cantik, seksi, tubuh montok dibalut blus ketat, dan langkahnya… seolah-olah lantai itu miliknya. Setiap gerakannya penuh godaan. Senyum genitnya langsung mengarah ke Adrian. “Selamat pagi, Pak CEO…” suaranya manja dan bergetar di telinga. “Saya sekretaris baru Bapak. Nama saya Luna Mukerzi. Mulai hari ini, saya akan siap sedia... melayani semua kebutuhan Bapak.” Adrian memicingkan mata. “Saya gak pernah nyuruh rekrut sekretaris. Apalagi perempuan." Wanita itu berjalan mendekat, bahkan menyandarkan tubuhnya ke meja Adrian. “Tapi saya disuruh langsung oleh... pihak penting.” "Pihak penting?" "Itu gak penting, Pak, yang terpenting sekarang Bapak bisa..." tangan wanita itu mulai meraba-raba bahu Adrian. Adrian berdiri, menatap tajam. “Kamu keluar sekarang juga. Gaya kamu keterlaluan. Ini kantor, bukan klub malam.” "Tapi, Pak, saya ini profesional lho dalam segala hal." Wanita itu kembali meraba jas hitam Adrian, "Saya bisa mengetik, menganalisis, bahkan membuat bos senang." "Pergi!" Wanita itu tidak menghiraukan Adrian. Tangannya perlahan-lahan merayap menuju celana Adrian, "Pak..." Wanita itu menggigit bibir bawahnya. Ia jongkok bersiap mengisap sesuatu di depannya. Bersambung...Di dalam ballroom utama Mansion HartawanAcara gala tengah berlangsung megah. Di sekeliling ruangan, berjejer meja-meja bulat dengan taplak putih dan lilin tinggi menyala, diiringi alunan musik klasik dari orkestra live. Di tengah panggung, Kakek Tohari berdiri dengan gagah, memberikan sambutan kepada keluarga besar dan tamu kehormatan.> “Malam ini bukan hanya ajang silaturahmi, tapi bentuk kepedulian kita,” ujar Kakek Tohari dengan suara mantap. “Seluruh donasi yang terkumpul akan disalurkan ke panti asuhan, rumah sakit, hingga lembaga sosial di bawah yayasan keluarga Hartawan. Karena... kekayaan yang sesungguhnya adalah bisa memberi manfaat.”Semua orang bertepuk tangan sopan.Tapi Adrian hanya duduk kaku di kursinya. Di sisi kirinya, Luna semakin agresif: tangannya mencoba meraba jari Adrian, sesekali menyenderkan tubuh. Namun Adrian berusaha tetap formal, menjaga postur tubuh dan memasang wajah dingin.> “Adrian,” bisik Luna sambil tersenyum, “malam ini indah banget ya... Kita co
Adrian masih berdiri di tengah lobby kosong, menatap ke arah lorong panjang dengan ekspresi yang semakin tegang.Tangannya terkepal di sisi tubuh, napasnya berat.Di saat pikirannya sibuk mencari kemungkinan-kemungkinan buruk soal Naya, suara hak tinggi berdetak-detak mendekat."Tuk...tuk...tuk..."Adrian menoleh dengan refleks.Muncullah Luna, mengenakan dress bodycon hitam ketat yang menonjolkan lekuk tubuhnya. Belahan roknya tinggi, memperlihatkan paha putih mulus. Bibirnya merah menyala. Rambutnya ditata bergelombang sempurna.Dengan senyum genit, Luna mendekati Adrian."Hai, Adrian," sapanya manja, suaranya dibuat-buat lembut.Adrian mendengus pelan, tidak menyembunyikan ketidaksukaannya."Apa maumu, Luna?" gumamnya dingin.Luna pura-pura tersinggung, membentuk mulutnya cemberut kecil."Aku cuma... mau bilang," katanya sambil memutar rambut di jarinya, "Kalau kamu masih butuh pasangan buat gala nanti... aku siap kok nemenin kamu."Dia menyentuh lengan jas Adrian pelan, sengaja me
Besok paginya, suasana kantor Hartawan Group terlihat lebih sibuk dari biasanya. Para staf berlalu lalang dengan kemeja rapi dan ekspresi penuh kesibukan.Adrian, seperti biasa, berjalan masuk ke dalam lobby utama dengan langkah tegap, jas hitam membalut tubuh tegapnya, wajahnya datar dan tanpa emosi.Namun, sesuatu menghentikannya.Seorang wanita cantik berdiri di tengah lobby, mengenakan dress formal biru langit yang menonjolkan kecantikannya. Wajahnya manis, rambutnya bergelombang rapi.Dia melambai dengan malu-malu ke arah Adrian.Adrian mengernyit.Matanya melirik ke sekeliling, mencari-cari sumber masalah ini — dan benar saja, dari balik pilar, Derren muncul, dengan senyum penuh harap.Adrian langsung menghela napas panjang, matanya memicing tajam ke arah sahabatnya itu.Derren berjalan cepat ke arah Adrian sambil berbisik,"Surprise, bro! Ini... calon pasangan buat gala nanti. Namanya Jessica."Adrian menatap Derren dengan tatapan membunuh."Kamu bercanda," gumam Adrian dingin.
Siang itu, kantor Hartawan Group masih sibuk.Naya baru saja keluar dari pantry, membawa tumpukan dokumen yang harus dibagikan ke beberapa ruangan.Langkahnya cepat—sedikit tergesa.Saat berbelok di lorong sempit, tanpa sengaja—Brak!Naya menabrak seseorang.Dokumen bertebaran di lantai."Aduh...!" seru Naya panik, buru-buru membungkuk.Namun sosok pria itu juga membungkuk pada waktu bersamaan, membuat wajah mereka hanya beberapa sentimeter saja.Dan dalam momen itu, karena keseimbangan Naya goyah, tubuhnya terdorong maju.Ciuman kecil.Hanya sepersekian detik. Tapi cukup untuk membuat dunia seakan berhenti berputar.Naya membelalak.Adrian juga membeku.Suasana hening, sangat hening.Sementara di ujung lorong, seseorang menyaksikan semuanya dengan mata melebar marah—Sarah.Senyuman sinis muncul di bibirnya.**"Maaf! Maaf banget, Pak Adrian!" seru Naya gugup sambil buru-buru berdiri dan mundur beberapa langkah.Adrian sendiri tampak berusaha menguasai diri. Ia berdeham pelan, kembal
Pagi itu kantor terasa lebih dingin dari biasanya. Adrian berjalan menyusuri lorong panjang lantai eksekutif, kemeja biru gelap membalut tubuhnya. Ada bekas luka samar di pipi kirinya, dan jalannya sedikit kaku. Namun dia tetap menjaga aura wibawanya. Dari arah berlawanan, Naya datang dengan membawa nampan berisi kopi-kopi untuk ruangan meeting. Langkahnya berhenti mendadak. Mata Naya membelalak pelan saat melihat Adrian yang tampak babak belur. Ada rasa khawatir yang otomatis muncul. "Pak Adrian...?" gumamnya lirih. Mereka saling memandang sekilas. Hening. Canggung. Suasana mendadak seperti freeze. Naya panik, dia reflek mau ke kanan. Adrian—dengan gugupnya—ikut melangkah ke kanan. Naya buru-buru ke kiri. Adrian juga geser ke kiri. Mereka hampir bertubrukan. "Ah... anu... m-mohon maaf, Pak!" kata Naya panik, menunduk dalam-dalam. Adrian mengangkat tangannya, mencoba terlihat santai, walau mukanya sudah merah. "Tidak apa-apa..." Mereka akhirnya berhasil
Cling...Setelah berjam-jam yang terasa seperti seumur hidup, pintu lift akhirnya terbuka.Naya hampir menangis lega. Ia berdiri cepat-cepat, diikuti Adrian yang tetap terlihat tenang walaupun kemejanya sudah kusut sedikit.Mereka melangkah keluar, disambut petugas teknisi dan beberapa satpam."Maafkan kami, Pak Adrian, Nona..." para teknisi membungkuk dalam-dalam.Adrian hanya mengangguk malas, satu tangannya refleks menahan punggung Naya agar tidak terinjak-injak kerumunan. Ia bahkan tidak sadar saat melakukan itu.Jam menunjukkan pukul 02.17 dini hari. Kantor sudah sepi."Naya."Suara Adrian dalam. "Aku antar pulang."Naya langsung gelagapan. "T-tapi, Pak, saya biasa naik angkutan kok... nggak apa-apa, sungguh!"Adrian menatapnya dingin. "Tidak ada diskusi."Dengan berat hati, Naya akhirnya masuk ke dalam mobil hitam mewah milik Adrian. Selama perjalanan, mereka hanya diam. Sesekali Naya mencuri pandang, tak percaya ia satu mobil dengan pria paling dingin se-kantor.Mobil melaju me
Sore itu, Adrian tiba di rumah mewah keluarga Hartawan. Langit mulai menggelap, dan hawa dingin menyeruak masuk bersama embusan angin dari taman. Di ruang tamu, Ibu Ratna sudah duduk di kursi empuk, mengenakan piyama sutra warna gading. Meski wajahnya masih tampak pucat, ada sorot tajam di matanya. Adrian menghampiri, membungkuk sedikit mencium tangan ibunya. "Bagaimana keadaan Mama?" tanyanya pelan. Ibu Ratna tersenyum lemah. "Sudah lebih baik... berkat kamu mau dengar Mama, Nak." Adrian hanya mengangguk kecil, duduk di seberangnya. "Ngomong-ngomong, Mama mau ketemu Luna." Nada suara Ibu Ratna mengeras sedikit. "Suruh dia datang makan malam ke rumah. Kita harus mulai perkenalan sebelum acara gala." Deg. Adrian mengerjap, tapi cepat-cepat menutupi keterkejutannya. Senyum tipis tersungging di wajahnya, penuh kepalsuan. "Luna... lagi sibuk, Ma. Dia ada meeting panjang. Nanti kalau dia senggang, aku ajak ke sini." Ibu Ratna menghela napas panjang. "Jangan lama-lama, Adrian. Ga
Sepanjang hari itu, Adrian merasa pikirannya tidak fokus.Setiap kali ia mencoba menunduk memeriksa laporan di mejanya, bayangan wajah Naya kembali terlintas. Tatapan polos itu... tubuh mungil yang gemetar dalam dekapannya... aroma sabun sederhana yang tercium samar dari rambut gadis itu. Semua bercampur membanjiri otaknya, membuatnya tidak nyaman."Sialan," gumamnya pelan, mengacak rambutnya sendiri.Adrian memutuskan keluar dari ruangannya untuk sekadar menghirup udara segar. Ia berjalan melewati koridor, langkahnya panjang-panjang, tangan masih dimasukkan ke saku celana.Secara tidak sengaja, matanya menangkap sosok Naya yang sedang membungkuk di pojok ruangan, sibuk mengatur minuman dan makanan ringan untuk rapat sore.Gadis itu kelihatan berusaha cekatan, tapi tetap saja sesekali menjatuhkan sendok, lalu buru-buru memungutnya lagi.Bibir Adrian sedikit terangkat, sangat tipis, nyaris tak terlihat. Sesuatu dalam dirinya merasa... geli."Apa anak itu selalu ceroboh begini?" pikirny
Mobil sport hitam itu berhenti mulus di depan gerbang rumah besar bergaya modern minimalis. Adrian menatap sekilas bangunan megah itu, lalu menghela napas panjang sebelum turun. Dengan langkah berat, ia berjalan ke pintu depan.Seorang pembantu muda berseragam hitam-putih membungkuk sopan."Selamat sore, Tuan. Ada yang bisa saya bantu?""Saya mau ketemu Nona Luna," jawab Adrian dingin.Pembantu itu tersenyum kaku. "Sebentar ya, Tuan."Ia bergegas masuk ke dalam rumah. Sementara itu, Adrian menunggu di teras, merasa tidak nyaman berdiri di bawah sinar matahari sore yang hangat.Di dalam, pembantu itu berjalan ke belakang rumah, menuju area kolam renang.Di sana, Luna tengah berbaring santai di kursi berjemur, mengenakan bikini merah elegan. Dua potong timun menempel di matanya, headphone di telinganya, seolah dunia ini hanya miliknya."Nona Luna," kata pembantu itu pelan."Ada tamu—seorang pria, ingin bertemu."Luna mengangkat satu tangan malas, tanpa membuka mata. "Suruh aja masuk...