Home / Romansa / Gairah Menantang di Rumah Mertua / Chapter 1 | Malam Pertama 

Share

Gairah Menantang di Rumah Mertua
Gairah Menantang di Rumah Mertua
Author: Allensia Maren

Chapter 1 | Malam Pertama 

last update Last Updated: 2025-10-03 15:07:50

“Ahh…”

Erangan Selina pecah di kamar pengantin bernuansa merah, bercampur dengan derit ranjang yang bergetar mengikuti irama.

Giovanni menindihnya dengan gairah yang membara. Kulit mereka menempel erat. Keringat Giovanni mengalir dari pelipis ke leher Selina. Setiap gerakannya membuat tubuh Selina berguncang, mengikuti irama liar itu.

“Selina… nikmat sekali…” desis Giovanni, bibir pria itu nyaris menyentuh telinganya.

Sementara tubuhnya terseret dalam ritme itu, pikiran Selina melayang beberapa jam ke belakang, saat ia resmi menjadi istri Giovanni Mathias—lelaki tampan, pewaris sah kerajaan bisnis keluarga Mathias Group yang menjadi idaman banyak wanita. 

Namun bagi Selina, pernikahan ini hanyalah pintu untuk menembus dunia keluarga Mathias. 

Setiap senyuman yang ia berikan, setiap sentuhan yang ia mainkan, adalah bagian dari rencananya untuk menyingkap kelemahan mereka, dan pelan-pelan memporakporandakan keluarga itu.

Bayangan wajah ibunya yang koma, ayahnya yang tewas terus membara dalam hatinya. Semua itu menuntunnya pada satu nama : Dusan Mathias, sang ayah mertua. 

“Lebih dalam, Gio…” Selina menjerit lebih keras. Tangannya mencengkeram sprei, pahanya melingkari pinggang Giovanni, menahan agar pria itu masuk lebih dalam.

Tepat saat hampir mencapai puncak, Selina melengkungkan punggungnya, membiarkan suaranya terdengar jelas hingga kamar Dusan yang ada di seberang. 

Malam ini, biarlah semua erangannya jatuh ke telinga ayah mertuanya dan mengusik ketenangan pria itu.

***

Menjelang tengah malam, usai memastikan Giovanni tertidur pulas, Selina turun dari kamar. Ia keluar hanya dengan gaun tidur tipis yang melekat di tubuhnya, sengaja tidak mengenakan bra, membuat lekuknya jelas di bawah cahaya lampu.

Langkah Selina berhenti sejenak di anak tangga terakhir. Asap tembakau dan aroma alkohol bercampur di indera penciuman Selina. 

Ketika sampai di dapur, sosok Dusan Mathias, duduk santai di kursi bar, satu tangan menggenggam gelas bourbon, satunya lagi memegang cerutu menyala. 

Lengan piyama hitamnya digulung, memperlihatkan urat-urat yang masih kokoh. Meski hampir setengah baya, Dusan tetap menjaga tubuh dan gaya hidupnya. Tidak sedikit orang-orang di luar sana masih menganggap Dusan berusia sepuluh tahun lebih muda. Pesonanya di mata wanita tak kalah memikat dibanding Giovanni. 

"Papa Belum tidur?" sapa Selina seraya menerbitkan senyum. Setibanya di meja bar ia membungkuk mengambil gelas di rak bawah.

Saat Selina menegakkan tubuhnya, Dusan tampak menelan ludahnya kasar. Ia berdeham pelan sebelum berkata, “Tidak bisa tidur kalau ramai.”

"Ramai?" tanya Selina memperjelas maksud sang mertua.

"Pengantin baru terlalu bersemangat memadu cinta." Nada suara Dusan terdengar tenang, tapi jelas menyiratkan sindiran bahwa aktivitas panas Selina dan Giovanni tadi telah mengusik tidurnya.

Bagi Selina, itu justru kabar baik, artinya Dusan mendengar setiap erangan yang ia lontarkan.

Selina pura-pura menahan senyum malu, lalu menunduk. “Ah, maaf, Pa. Sepertinya kami… Kelepasan.”

Dusan hanya tersenyum tipis, seolah menganggap itu bukanlah hal penting. “Malam pertama, wajar saja,” katanya, lalu kembali menghisap cerutunya.

Selina segera merapatkan gaun tipisnya, tapi justru membuat bulatan hitam yang menegang semakin jelas. Ia sempat menangkap tatapan Dusan yang jatuh ke sana, meski cepat-cepat pria itu membuang pandangan.

Pura-pura tak menyadari, Selina mengeluarkan dua kantung teh lavender dari saku gaunnya, menaruh satu ke dalam cangkir, lalu menuang air panas dari teko elektrik. Aroma lembut segera menguar, beradu dengan pekatnya asap nikotin yang melingkupi udara di ruangan itu.

“Papa mau?” tanyanya sambil mendongak. “Teh lavender ini bisa membantu tidur lebih nyenyak. Juga lebih sehat daripada bourbon di tangan Papa.”

Dusan menunduk, menatap sebentar pada cairan keemasan yang berputar di dalam sloki. Tanpa banyak ekspresi, ia meletakkannya di meja bar. “Kalau begitu, buatkan satu. Tanpa gula,” ucapnya, sambil mengetuk abu cerutu ke asbak.

“Kebetulan belum ditambahkan gula. Ini untuk Papa, Selina bisa buat lagi.” Ia menyerahkan cangkir pertama yang sudah terisi, lalu beralih mengambil cangkir lain. 

Cangkir di rak bawah sudah habis, membuat Selina terpaksa berbalik untuk meraih ke kabinet atas. Saat tubuhnya membelakangi Dusan, pantulan samar di permukaan kulkas stainless menampakkan sosok pria itu. 

Dari sana, ia bisa melihat bagaimana Dusan sedang menyeruput tehnya, tetapi matanya tak lepas dari punggung dan gaun tidur tipis yang hanya jatuh sampai paha Selina.

Saat itu juga, Selina memanfaatkan momen. Cangkir yang hampir ia raih tiba-tiba terlepas dari genggamannya dan jatuh pecah di lantai.

“Aduh!” Selina meringis kecil, refleks berjingkat. Suara pecahan membuat Dusan mengangkat kepalanya..

“Ma—maaf, Pa. Selina akan membereskannya.” Selina segera berjongkok, mengumpulkan serpihan keramik cangkir. Namun tanpa sepengetahuan Dusan, ia sengaja menekan pinggiran tajam, membuat kulit jarinya robek.

“Ahh!” Selina menarik tangannya, kemudian meniup telunjuk yang sudah berlumur darah segar.

Dusan segera mematikan rokoknya, lalu bangkit dan berjongkok di belakangnya. Jemarinya meraih tangan Selina, memeriksa luka yang cukup mengucurkan banyak darah itu.

“Lukanya cukup dalam.” Suaranya terdengar khawatir. Ia bangkit sejenak, mengambil kotak P3K dari laci, lalu kembali untuk membalut luka Selina dengan hati-hati.

"Papa—"

“Jangan bergerak dulu.” Suara Dusan terdengar berat. Seketika Selina mengatupnya bibirnya.

Saat Dusan membersihkan jarinya dengan alkohol, Selina refleks mundur sedikit. Punggungnya tersentuh dada bidang Dusan, jarak mereka begitu dekat hingga ia bisa merasakan hangat tubuh pria itu. 

Dusan sempat terdiam beberapa detik, menatap Selina dengan tenang, sebelum kembali membalut luka itu dengan telaten. 

Selina menahan senyum tipis, ia sadar betapa rapatnya mereka dalam momen itu. Ia bisa merasakan detak jantung  Dusan yang lebih cepat.

“Lain kali hati-hati,” ucap Dusan akhirnya.

Selina mendongak, tersenyum tipis. “Kalau Papa yang obati, Selina jadi ingin ceroboh lagi.”

Dusan tidak banyak bereaksi kecuali sudut bibir yang bergerak tipis. Setelah selesai, ia lalu membantu Selina berdiri dan menaruh kembali kotak P3K ke tempat semula.

“Maaf, Pa, sudah merepotkan Papa,” ujar Selina, menundukkan kepalanya..

Dusan hanya mengangguk. “Buatlah yang baru. Pecahannya biar Papa yang bereskan.”

“Pa, tapi—”

“Bibi sudah tidur, tidak enak membangunkannya.”

Selina mengangguk patuh, lalu memeriksa air panas di teko. Saat ia menunduk sedikit, sebuah bayangan tinggi muncul di belakangnya. Dusan berdiri begitu dekat, hingga hangat napasnya menyapu tengkuk Selina.

Sebuah cangkir disodorkan melewati sisi tubuhnya, lalu diletakkan di atas meja marmer tepat di depan Selina. Gerakan sederhana itu membuat tubuhnya seakan terperangkap di antara dada bidang Dusan dan meja yang dingin.

“Sepertinya kamu sangat suka bunga lavender?” suara Dusan terdengar rendah di dekat telinganya. 

Kedua telapak tangan Dusan menempel di permukaan meja, kanan dan kiri tubuh Selina, membuat wanita itu seolah terkurung dalam bayangannya. Tubuh pria itu berdiri rapat di belakangnya, cukup dekat hingga Selina bisa merasakan hembusan napas hangat di tengkuknya.

“Mm… sejak kecil Selina sering insomnia. Ibu selalu menaruh bunga lavender di kamar. Dari situlah Selina terbiasa, bahkan sampai mengganti semua barang dengan aroma itu.”

Tangan Selina meraih rambut yang jatuh ke depan, menyelipkannya ke belakang telinga, membuat lehernya terekspos di bawah napas hangat Dusan. “Kenapa Papa bertanya begitu?"

“Sepertinya papa juga mulai suka Lavender,” bisik Dusan, napas hangatnya menggelitik telinga Selina. Tubuhnya kian merapat, kedua tangannya masih menahan Selina di antara meja dan dadanya.

Selina nyaris memejamkan mata ketika suara langkah kaki terdengar dari arah tangga.

“Sayang? Apa kamu di dapur?” suara itu membuat keduanya seketika mematung, tubuh mereka menegang dan jarak yang tadinya nyaman terasa mendadak canggung.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Gairah Menantang di Rumah Mertua   Chapter 8 | Tidak Tahan Lagi

    Dusan mengusap lembut bibir Selina yang masih memerah karena ciumannya. Helaan napas mereka saling mengejar, panas dan tak beraturan, seolah ruangan itu hanya menyisakan udara untuk mereka berdua.Jemari pria itu menyusuri wajah Selina, berhenti sejenak di tengkuknya, lalu turun perlahan ke leher, meninggalkan sensasi hangat yang membuat tubuh Selina kembali meremang.“Maksud Papa, jangan biarkan dia tahu apa yang sudah kita lakukan,” bisiknya, suara rendahnya bagai mantra yang mengunci Selina pada dekapannya.Bibir mereka kembali berpaut, kali ini lebih dalam dan menuntut. Selina merasa dirinya terseret ke dalam pusaran yang membuatnya lupa bernapas. Ia hanya bisa pasrah ketika Dusan menuruni jalur lembut di sepanjang lehernya, menabur jejak panas hingga ke bahu.

  • Gairah Menantang di Rumah Mertua   Chapter 7 | Kejutan Tengah Malam

    Selina spontan merapatkan piyama tidurnya, ia menoleh ke arah pintu yang kini terkunci. Sebelum tidur Selina memang sengaja tidak mengunci pintu, menanti apakah Dusan akan berbuat sesuatu. Namun karena pria itu tak kunjung menampakkan tanda-tanda, ia terlelap begitu saja, lupa bahwa hal itu justru memberi ruang bagi sang mertua untuk masuk tanpa halangan.Selina kemudian menatap Dusan penuh tanya, “Kenapa Papa di sini?” Dusan bergeming, matanya tak beranjak dari wajah menantunya. Perlahan ia mendekat, tubuhnya kini lebih tinggi, seolah membayangi Selina. Satu tangan menyangga kepala, sementara tangan lain menyusuri helai rambut Selina yang kusut karena tidur.“Tadi siang ada ada yang mau kasih tip. Sekarang Papa datang untuk mengambil tipnya,” ucapnya pelan. Selina menggeser tubuhnya, meski menyadari maksud terselubung dari kata-kata itu. “Tip? Kalau Papa mau uang … Selina bisa transfer—”“Apa Papa seperti gelandangan yang butuh uang?”Gelengan cepat diberikan oleh Selina. “Lalu Pa

  • Gairah Menantang di Rumah Mertua   Chapter 6 | Panaskan Jantungku

    Pikiran Selina masih menebak-nebak maksud pesan terakhir Dusan di restoran tadi. Bahkan ketika sampai di rumah, bayangan kalimat itu belum juga lepas dari benaknya.Hingga sebuah getar notifikasi membuyarkan lamunannya. Ketika mengangkat ponsel, sebuah pesan dari Giovanni terpampang di layar.[Sayang, maaf aku harus lembur hari ini. Aku akan pulang ke apartemen supaya lebih dekat. Jangan tunggu aku makan malam.]Selina menghela napas panjang. Baru dua hari cincin perkawinan itu melingkar di jarinya, tetapi sosok Giovanni sudah tenggelam pada dunianya sendiri. Namun, bukankah pernikahan ini memang sekadar tiket untuk masuk ke keluarga Mathias? Ya, tetapi bagaimanapun sisi dirinya yang lain tak bisa memungkiri jika ia membutuhkan sepasang bahu yang menemaninya setiap malam.Selina lantas membawa laptop ke tepi kolam renang, mencoba menyibukkan diri dengan merancang desain baru untuk perhiasan galerinya. Tepat saat Selina melepas earphone-nya, ia mendengar suara dari ruang makan.“Pa,

  • Gairah Menantang di Rumah Mertua   Chapter 5 | Pijat Gratis?

    Pegawai itu tergagap dan salah tingkah. Ia buru-buru menunduk, seolah takut menatap Dusan dan Selina lebih lama.Dusan hanya tersenyum tipis, lalu meraih kotak hitam di tangannya. “Terima kasih cincinnya. Papa berangkat dulu.”Selina melambaikan tangan manis, senyumnya terpelihara seolah tak ada yang terjadi barusan. “Hati-hati di jalan, Pa.”Begitu pria itu pergi, Selina menoleh pada pegawai yang masih berdiri kikuk di ambang pintu. “Ada apa?” tanyanya datar, sambil merapikan lipatan gaunnya.“Maaf, Bu,” jawab si pegawai gugup. “Saya hanya ingin mengambil laporan bulanan di meja Ibu. Tidak tahu kalau Ibu sedang ada… tamu.”Selina terkekeh kecil, raut wajahnya berbinar seperti biasa. “Tidak apa-apa. Papa mertua cuma datang ambil hadiah saja, bukan hal penting.”Pegawai itu langsung mendongak, matanya membesar. “Ha–hadiah?”“Ya.” Selina mengangguk ringan sambil melangkah menuju meja kerjanya. “Cincin yang kemarin belum ada modelnya. Saya putuskan untuk memberikannya pada Papa. Sangat c

  • Gairah Menantang di Rumah Mertua   Chapter 4 | Di Pangkuan Papa Mertua

    Jemari Dusan perlahan menelusuri leher jenjang Selina. Setiap sentuhan membuat tubuh wanita itu panas dingin.“Pa…” lirih Selina. Separuh dirinya ingin menolak, tapi separuh lagi juga menanti apa yang akan terjadi. Ia menatap Dusan seolah belum sepenuhnya paham maksud tatapan dan sentuhannya.Namun Dusan tidak berhenti. Ia menundukkan kepala, bibirnya menyapu pelan sepanjang permukaan kulit Selina. Awalnya hanya singgungan ringan, sekilas seperti sebuah uji coba, tapi detik berikutnya, ia menekankan kecupan lebih dalam, meninggalkan jejak panas di kulit lembut itu.Selina sontak memejamkan mata, tubuhnya bergetar menahan sensasi yang menyerang. Ia tetaplah wanita normal yang bisa larut ketika titik sensitifnya tersentuh.“Papa… jangan begini.”Dusan tersenyum tipis di sela desahan sang menantu. “Sejak pertama kamu datang ke rumah, kamu terus memancingku…” kecupannya naik lagi, lebih dalam ke bawah telinga, “…kamu pikir Papa tidak tahu apa maksud tatapanmu?”Mata Selina terbuka perlaha

  • Gairah Menantang di Rumah Mertua   Chapter 3 | Sentuhan Terlarang

    “itu …” Marissa tampak kebingungan merangkai kata-kata. Sementara Dusan seolah tidak ingin menjawab pertanyaan sang menantu. Selina segera berdehem menetralkan suasana. Bibirnya melengkung manis sebelum menjawab. “Oh, maaf. Selina sedikit bingung … dan baru tahu kalau Gio punya Adik.”Giovanni yang ada di samping Selina terkekeh. “Maaf, Sayang, aku belum sempat cerita ke kamu kalau sebenarnya aku punya adik. Dia lama tinggal di luar negeri, jadi wajar saja kamu nggak pernah ketemu.”“Ah, begitu rupanya,” Selina terkekeh kecil, matanya berbinar seperti menemukan potongan puzzle tentang keluarga suaminya.Giovanni lantas mengusap kepala Selina dengan lembut. Dusan yang sedang memegang gelas tiba-tiba menaruhnya ke meja sedikit lebih keras dari biasanya. Bunyi ketukan itu singkat, tetapi cukup membuat Selina sempat melirik ke arahnya.“Nanti kalau dia pulang aku pasti kenalkan kamu padanya,” lanjut Giovanni, seolah tak menyadari apa yang dilakukan sang papa. Sementara Selina hanya menga

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status