Beranda / Romansa / Gairah Menantang di Rumah Mertua / Chapter 5 | Pijat Gratis?

Share

Chapter 5 | Pijat Gratis?

Penulis: Allensia Maren
last update Terakhir Diperbarui: 2025-10-03 15:08:09

Pegawai itu tergagap dan salah tingkah. Ia buru-buru menunduk, seolah takut menatap Dusan dan Selina lebih lama.

Dusan hanya tersenyum tipis, lalu meraih kotak hitam di tangannya. “Terima kasih cincinnya. Papa berangkat dulu.”

Selina melambaikan tangan manis, senyumnya terpelihara seolah tak ada yang terjadi barusan. “Hati-hati di jalan, Pa.”

Begitu pria itu pergi, Selina menoleh pada pegawai yang masih berdiri kikuk di ambang pintu. “Ada apa?” tanyanya datar, sambil merapikan lipatan gaunnya.

“Maaf, Bu,” jawab si pegawai gugup. “Saya hanya ingin mengambil laporan bulanan di meja Ibu. Tidak tahu kalau Ibu sedang ada… tamu.”

Selina terkekeh kecil, raut wajahnya berbinar seperti biasa. “Tidak apa-apa. Papa mertua cuma datang ambil hadiah saja, bukan hal penting.”

Pegawai itu langsung mendongak, matanya membesar. “Ha–hadiah?”

“Ya.” Selina mengangguk ringan sambil melangkah menuju meja kerjanya. “Cincin yang kemarin belum ada modelnya. Saya putuskan untuk memberikannya pada Papa. Sangat cocok di tangannya.”

Sambil memindai tumpukan dokumen, Selina menyerahkan map biru berisi laporan bulanan yang dicari pegawainya. “Oh ya,” lanjutnya kemudian, kini dengan suara lebih serius, “tolong ambilkan satu cincin wanita dari black series. Saya mau berikan untuk Ibu mertua.”

Pegawai itu cepat mengangguk. “Baik, Bu. Saya segera ambilkan.” Ia menerima map dari Selina dan buru-buru meninggalkan ruangan.

Selina menatap sekilas pintu yang baru saja tertutup. Jemari halusnya menyentuh bibir yang tadi direbut Dusan, dan sudut bibirnya terangkat sempurna.

***

Menjelang siang, Selina menerima telepon dari Giovanni. Sang suami memintanya menyusul ke Restoran Peony, sebuah restoran mewah di hotel bintang lima. Tanpa banyak pertimbangan, Selina menyetujui permintaan itu dan segera melajukan mobilnya menuju pusat kota.

Sesampainya di hotel, ia disambut pelayan yang menunduk sopan lalu menuntunnya ke ruang privat restoran.

Begitu pintu geser dibuka, Selina sempat tertegun. Meja bundar itu ditata elegan dengan taplak putih, vas berisi bunga peony segar, dan beberapa hidangan yang sudah terhidang. Giovanni duduk dengan senyum hangat.

Namun langkah Selina sontak terhenti saat matanya menangkap sosok lain yang duduk berhadapan dengan suaminya.

Dusan.

Tatapan pria itu singkat, datar, namun cukup membuat dada Selina bergetar. Terlebih, pagi tadi mereka baru saja melakukan sesuatu yang seharusnya tidak pernah terjadi. Lamunannya segera buyar ketika Giovanni bangkit menyambutnya dengan pelukan ringan.

“Sayang, akhirnya kamu datang juga. Maaf, ya, aku nggak sempat jemput kamu,” ucap Giovanni.

Selina membalas dengan senyum manis. “Nggak apa-apa, Sayang, lagipula dekat juga dari kantor.” Ia kemudian duduk di samping suaminya, tetapi sempat menoleh sekilas pada Dusan yang justru membalas tatapannya, seraya mengusap cincin di jari manisnya.

Sepanjang makan siang, Giovanni banyak bicara dengan ayahnya. 

Selina lebih sering menunduk, pisaunya berulang kali mengiris daging yang sama tanpa benar-benar dimakan. Sesekali ia melirik Dusan, lalu cepat-cepat menunduk lagi, seperti tak sanggup menatap lebih lama.

“Pa, sudah ada kabar dari adik? Kapan dia pulang?” tanya Giovanni sambil menyuap makanannya.

“Dia masih harus mengurus pengunduran diri di perusahaannya. Jadi, paling cepat akhir bulan,” jawab Dusan singkat.

Giovanni mengangguk. “Kalau begitu, Gio akan kosongkan jadwal di akhir bulan supaya bisa jemput adik di bandara.”

“Begitu juga baik.” Dusan menanggapi datar, lalu kembali makan dengan tenang.

“Oh ya, Pa. Dengar-dengar akan ada Global Crown Expo dalam waktu dekat ini. Menurutku bagaimana kalau perusahaan ikut berpartisipasi?” Giovanni mencoba memancing diskusi, sementara Selina mulai bosan dengan topik pekerjaan itu.

Apakah tidak ada hal lain selain pekerjaan? pikirnya kesal.

“Global Crown Expo ini sudah diadakan tahun ke tahun, dulu perusahaan kita pernah maju tapi hanya sampai sepuluh besar,” ujar Dusan ringan.

Selina yang mulai bosan dengan obrolan pekerjaan, memperbaiki posisi duduknya. Ujung sepatunya tanpa sengaja menyentuh betis Dusan di bawah meja.

Mendapatkan tatapan datar dari Dusan, Selina cepat menunduk lagi, pura-pura sibuk memotong makanan, seolah tak sadar apa yang baru terjadi. Namun beberapa detik kemudian, gerakan kecilnya kembali membuat kaki mereka bersentuhan, kali ini lebih lama.

Dan, tanpa disangka, Dusan justru menahan kakinya dengan cekatan. Selina yang tidak mengira Dusan akan bereaksi demikian sedikit terkejut. Ia sempat berusaha menarik diri, tapi genggaman itu terlalu kuat. 

Meski wajah Dusan tetap datar, satu tangannya lihai memijat kaki Selina, sementara tangannya masih luwes mengangkat garpu, seolah tak ada yang terjadi.

Di sisi lain Giovanni tidak menyadari apa pun. Suami Selina itu masih asyik bercerita soal Global Crown Expo.

Selina lantas meraih ponselnya. [Lepaskan kaki Selina, Pa, bagaimana kalau Gio lihat?] tulisnya cepat dan mengirim pesan itu kepada Dusan.

Dusan yang sedang mengangkat gelas sempat melirik layar ponselnya ketika getar pendek terdengar. Ia mengetik balasan singkat. [Diam saja dan nikmati.]

Dengan wajah tenang, Dusan menggerakkan tangannya, lalu memijat kaki Selina. Awalnya gerakan itu ringan, seperti sekadar menekan otot betisnya, namun perlahan berubah lebih dalam, lebih berani, hingga membuat Selina hampir kehilangan konsentrasi memotong steak di piringnya.

Pijatan itu kini tidak hanya menekan otot, tapi mengalir perlahan ke lengkungan kaki Selina, menyentuh setiap titik sensitif yang membuat tubuhnya menegang tanpa disadari.

Genggaman garpu di tangan Selina sedikit gemetar. Ia menggigit bibir bawah, pura-pura tersenyum menanggapi obrolan Giovanni, padahal tiap sentuhan Dusan membuat tubuhnya panas dingin. 

Selina buru-buru meraih ponselnya di pangkuan, jari-jarinya mengetik cepat. [Papa mau jadi tukang pijat beneran, ya? Nanti Selina kasih tip.]

Dusan menatap Selina sebentar, bibirnya melengkung tipis, lalu kembali menekan titik pijat dengan lebih perlahan. [Bagaimana rasanya?] tanyanya dalam pesan. 

[Lumayan. Sepertinya Selina tidak perlu ke salon lagi.] Selina membalas dengan cepat. Lalu hanya selang beberapa detik sebuah notifikasi kembali masuk.

[Apa itu artinya kamu suka pijatan Papa?]

Bersamaan dengan itu, Giovanni justru menoleh penuh semangat. “Selina, menurut kamu, Expo tadi bisa jadi kesempatan bagus, kan?”

“Aku suka,” jawab Selina spontan. Tetapi detik berikutnya ia melipat bibir.

Hal itu membuat Giovanni sempat mengernyit heran. “Maksudnya … kamu suka apa?”

Selina berdeham sekali sebelum menjawab. “Maksudnya, aku suka pendapatmu, kalau Mathias Group bisa tembus Global Crown Expo. Itu bisa menambah kredibilitas perusahaan,” katanya seraya menerbitkan senyum di bibirnya. 

“Kalau begitu kita sepemikiran, tapi nanti aku cari informasi lebih dalam dulu soal global crown expo ini, siapa tahu dengan Mathias Group yang sekarang kita bisa bersaing dengan perusahaan lainnya. Kamu juga bantu aku ya, jaringan kamu kan juga luas.”

Selina mengangguk menanggapi suaminya, tetapi saat ia membuka bibir untuk menjawab, Dusan seperti dengan sengaja memperlambat gerakan jarinya.  Hal itu membuat Selina tidak sengaja melepaskan sendoknya. “Ya, tentu saja, aku pasti bantu cari informasi itu, Ahh—!” 

Giovanni yang menyadari ekspresi istrinya terlihat berubah lantas meletakkan sendoknya. “Kenapa, Selina? Kamu baik-baik saja?”

Selina ingin bicara tapi bibirnya seolah terasa kelu. Sementara Giovanni hampir melongok ke bawah meja tetapi Selina segera menahan lengan suaminya.

"A—aku tidak apa-apa, cuma kakiku rasanya kesemutan, sepertinya aku terlalu banyak duduk," ujar Selina, bibirnya melengkung lebar, berusaha meyakinkan sang suami bahwa dirinya baik-baik saja. 

Dengan penuh kasih sayang, Giovanni  lalu mengusap kepala Selina. “Hari ini, kamu pulang cepat, ya. Istirahat di rumah, jangan memaksa bekerja. Nanti aku transfer untuk pergi spa ke salon.”

Selina mengangguk. Sementara Gio melanjutkan obrolannya dengan Dusan. Hal itu dimanfaatkan Selina untuk membalas pesan Dusan.

[Dapat pijat gratis, tentu Selina suka.]

Tak lama kemudian, sebuah balasan muncul:

[Pijatannya belum seberapa. Malam nanti Papa tunjukkan yang sesungguhnya.]

Selina tertegun membaca pesan itu, sementara jemari halusnya refleks menggenggam ponsel lebih erat. Keningnya sedikit berkerut, bertanya-tanya apa yang akan Dusan lakukan nanti malam?

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Gairah Menantang di Rumah Mertua   Chapter 8 | Tidak Tahan Lagi

    Dusan mengusap lembut bibir Selina yang masih memerah karena ciumannya. Helaan napas mereka saling mengejar, panas dan tak beraturan, seolah ruangan itu hanya menyisakan udara untuk mereka berdua.Jemari pria itu menyusuri wajah Selina, berhenti sejenak di tengkuknya, lalu turun perlahan ke leher, meninggalkan sensasi hangat yang membuat tubuh Selina kembali meremang.“Maksud Papa, jangan biarkan dia tahu apa yang sudah kita lakukan,” bisiknya, suara rendahnya bagai mantra yang mengunci Selina pada dekapannya.Bibir mereka kembali berpaut, kali ini lebih dalam dan menuntut. Selina merasa dirinya terseret ke dalam pusaran yang membuatnya lupa bernapas. Ia hanya bisa pasrah ketika Dusan menuruni jalur lembut di sepanjang lehernya, menabur jejak panas hingga ke bahu.

  • Gairah Menantang di Rumah Mertua   Chapter 7 | Kejutan Tengah Malam

    Selina spontan merapatkan piyama tidurnya, ia menoleh ke arah pintu yang kini terkunci. Sebelum tidur Selina memang sengaja tidak mengunci pintu, menanti apakah Dusan akan berbuat sesuatu. Namun karena pria itu tak kunjung menampakkan tanda-tanda, ia terlelap begitu saja, lupa bahwa hal itu justru memberi ruang bagi sang mertua untuk masuk tanpa halangan.Selina kemudian menatap Dusan penuh tanya, “Kenapa Papa di sini?” Dusan bergeming, matanya tak beranjak dari wajah menantunya. Perlahan ia mendekat, tubuhnya kini lebih tinggi, seolah membayangi Selina. Satu tangan menyangga kepala, sementara tangan lain menyusuri helai rambut Selina yang kusut karena tidur.“Tadi siang ada ada yang mau kasih tip. Sekarang Papa datang untuk mengambil tipnya,” ucapnya pelan. Selina menggeser tubuhnya, meski menyadari maksud terselubung dari kata-kata itu. “Tip? Kalau Papa mau uang … Selina bisa transfer—”“Apa Papa seperti gelandangan yang butuh uang?”Gelengan cepat diberikan oleh Selina. “Lalu Pa

  • Gairah Menantang di Rumah Mertua   Chapter 6 | Panaskan Jantungku

    Pikiran Selina masih menebak-nebak maksud pesan terakhir Dusan di restoran tadi. Bahkan ketika sampai di rumah, bayangan kalimat itu belum juga lepas dari benaknya.Hingga sebuah getar notifikasi membuyarkan lamunannya. Ketika mengangkat ponsel, sebuah pesan dari Giovanni terpampang di layar.[Sayang, maaf aku harus lembur hari ini. Aku akan pulang ke apartemen supaya lebih dekat. Jangan tunggu aku makan malam.]Selina menghela napas panjang. Baru dua hari cincin perkawinan itu melingkar di jarinya, tetapi sosok Giovanni sudah tenggelam pada dunianya sendiri. Namun, bukankah pernikahan ini memang sekadar tiket untuk masuk ke keluarga Mathias? Ya, tetapi bagaimanapun sisi dirinya yang lain tak bisa memungkiri jika ia membutuhkan sepasang bahu yang menemaninya setiap malam.Selina lantas membawa laptop ke tepi kolam renang, mencoba menyibukkan diri dengan merancang desain baru untuk perhiasan galerinya. Tepat saat Selina melepas earphone-nya, ia mendengar suara dari ruang makan.“Pa,

  • Gairah Menantang di Rumah Mertua   Chapter 5 | Pijat Gratis?

    Pegawai itu tergagap dan salah tingkah. Ia buru-buru menunduk, seolah takut menatap Dusan dan Selina lebih lama.Dusan hanya tersenyum tipis, lalu meraih kotak hitam di tangannya. “Terima kasih cincinnya. Papa berangkat dulu.”Selina melambaikan tangan manis, senyumnya terpelihara seolah tak ada yang terjadi barusan. “Hati-hati di jalan, Pa.”Begitu pria itu pergi, Selina menoleh pada pegawai yang masih berdiri kikuk di ambang pintu. “Ada apa?” tanyanya datar, sambil merapikan lipatan gaunnya.“Maaf, Bu,” jawab si pegawai gugup. “Saya hanya ingin mengambil laporan bulanan di meja Ibu. Tidak tahu kalau Ibu sedang ada… tamu.”Selina terkekeh kecil, raut wajahnya berbinar seperti biasa. “Tidak apa-apa. Papa mertua cuma datang ambil hadiah saja, bukan hal penting.”Pegawai itu langsung mendongak, matanya membesar. “Ha–hadiah?”“Ya.” Selina mengangguk ringan sambil melangkah menuju meja kerjanya. “Cincin yang kemarin belum ada modelnya. Saya putuskan untuk memberikannya pada Papa. Sangat c

  • Gairah Menantang di Rumah Mertua   Chapter 4 | Di Pangkuan Papa Mertua

    Jemari Dusan perlahan menelusuri leher jenjang Selina. Setiap sentuhan membuat tubuh wanita itu panas dingin.“Pa…” lirih Selina. Separuh dirinya ingin menolak, tapi separuh lagi juga menanti apa yang akan terjadi. Ia menatap Dusan seolah belum sepenuhnya paham maksud tatapan dan sentuhannya.Namun Dusan tidak berhenti. Ia menundukkan kepala, bibirnya menyapu pelan sepanjang permukaan kulit Selina. Awalnya hanya singgungan ringan, sekilas seperti sebuah uji coba, tapi detik berikutnya, ia menekankan kecupan lebih dalam, meninggalkan jejak panas di kulit lembut itu.Selina sontak memejamkan mata, tubuhnya bergetar menahan sensasi yang menyerang. Ia tetaplah wanita normal yang bisa larut ketika titik sensitifnya tersentuh.“Papa… jangan begini.”Dusan tersenyum tipis di sela desahan sang menantu. “Sejak pertama kamu datang ke rumah, kamu terus memancingku…” kecupannya naik lagi, lebih dalam ke bawah telinga, “…kamu pikir Papa tidak tahu apa maksud tatapanmu?”Mata Selina terbuka perlaha

  • Gairah Menantang di Rumah Mertua   Chapter 3 | Sentuhan Terlarang

    “itu …” Marissa tampak kebingungan merangkai kata-kata. Sementara Dusan seolah tidak ingin menjawab pertanyaan sang menantu. Selina segera berdehem menetralkan suasana. Bibirnya melengkung manis sebelum menjawab. “Oh, maaf. Selina sedikit bingung … dan baru tahu kalau Gio punya Adik.”Giovanni yang ada di samping Selina terkekeh. “Maaf, Sayang, aku belum sempat cerita ke kamu kalau sebenarnya aku punya adik. Dia lama tinggal di luar negeri, jadi wajar saja kamu nggak pernah ketemu.”“Ah, begitu rupanya,” Selina terkekeh kecil, matanya berbinar seperti menemukan potongan puzzle tentang keluarga suaminya.Giovanni lantas mengusap kepala Selina dengan lembut. Dusan yang sedang memegang gelas tiba-tiba menaruhnya ke meja sedikit lebih keras dari biasanya. Bunyi ketukan itu singkat, tetapi cukup membuat Selina sempat melirik ke arahnya.“Nanti kalau dia pulang aku pasti kenalkan kamu padanya,” lanjut Giovanni, seolah tak menyadari apa yang dilakukan sang papa. Sementara Selina hanya menga

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status