Masuk"Apa... apa yang kau lakukan?" Suara Vivian bergetar, lebih dari yang ia inginkan.
Juno memalingkan wajahnya, menyandarkan lengannya di dahinya. "Aku melihatmu." Suaranya terdengar serak dan rendah. "Aku mendengarnya. Ayahku memperlakukanku dengan arogan, tapi aku bisa menerimanya. Namun, melihat ia menghancurkanmu seperti itu..." Ia menghela napas, mengangkat kepalanya, dan menoleh ke arah Vivian. Matanya berkilat dalam gelap. "Kau pantas mendapatkan lebih, Vivian. Bukan kontrak murahan. Kau pantas dihasratkan." Vivian terdiam. Kata-kata itu, meskipun keluar dari mulut putra tirinya setelah ciuman terlarang, menancap. Ia pantas dihasratkan. "Kau gila, Juno. Kau... kau anakku!" Vivian berbisik, nadanya kini beralih menjadi ketakutan yang dingin. Juno tersenyum sinis, senyuman yang berbahaya dan sangat mirip dengan Arman, namun lebih muda dan lebih kejam. "Aku bukan anakmu, Vivian. Aku tidak pernah menyebutmu 'Ibu'. Aku adalah pria, dan kau adalah wanita yang baru saja dicampakkan oleh suaminya. Wanita yang membutuhkan... penyegaran." Vivian merasa seolah ia telah jatuh dari tebing. Kata yang sama yang digunakan Arman, kini digunakan Juno. Penyegaran. Juno mencondongkan tubuh lagi, wajahnya mendekat. "Dan kau pantas mendapatkan itu, Vivian. Kau terlalu berharga untuk menjadi 'aset' atau 'topeng' bagi pria tua sepertinya." Vivian tidak bisa bergerak, terperangkap oleh tatapan Juno dan ketelanjangan situasi. Ia baru saja berbagi ciuman dengan putra tirinya. Sesuatu yang kotor dan mematikan telah dimulai. "Sekarang kau tahu," bisik Juno, suaranya mengandung ancaman dan janji. "Aku tidak akan membiarkan Ayah terus meremehkanmu. Aku akan memberimu apa yang ia tolak untuk berikan." Juno bangkit, berdiri di samping tempat tidur. Lingerie hitam Vivian yang tersembunyi di balik selimut terasa panas di kulitnya. "Jangan pernah berpikir untuk memberitahunya," ancam Juno, suaranya kembali dingin dan kaku seperti yang biasa didengar Vivian. "Atau kontrak yang kau bicarakan itu akan benar-benar hancur, dan bukan hanya karirmu, Vivian. Seluruh hidupmu. Aku tidak main-main." Juno berjalan pelan menuju pintu. Ia tidak menoleh ke belakang, meninggalkan Vivian yang membeku di ranjang, di antara selimut tebal dan rasa bersalah yang mematikan. Vivian memejamkan mata. Ia sudah kehilangan segalanya pada Arman. Dan sekarang, ia baru saja menyerahkan kendali atas hidupnya pada Juno. Apa yang baru saja aku lakukan? Ciuman itu... gairah itu... ia tidak bisa mengingkarinya. Ia merasakannya. Dan itu membuat situasinya seribu kali lebih berbahaya. Vivian membuka matanya, menatap ke pintu kamar yang tertutup. Ia baru saja melompat dari api Arman ke dalam neraka Juno. Vivian menarik napas tajam, yang terasa dingin dan menyakitkan di paru-parunya. Suara pintu kamar yang baru saja ditutup oleh Juno masih bergaung, memecah keheningan. Ia meremas selimut tebal itu hingga buku-buku jarinya memutih. Rasa bersalah adalah gelombang dingin yang menghantam, tetapi di bawahnya, ada percikan api kecil dari gairah yang tak terduga—percikan yang membuatnya ngeri. "Aku... aku sedang bermimpi," bisiknya, suaranya parau. Ia mencubit pahanya kuat-kuat, berharap rasa sakit fisik akan membawanya kembali ke kenyataan yang lebih normal. Realitas di mana putra tirinya tidak mengatakan ia pantas dihasratkan, dan tidak mengancam akan menghancurkan hidupnya. Vivian bangkit dari tempat tidur, kakinya terasa goyah. Ia bergerak menuju cermin rias, menyalakan lampu redup. Pantulan wajahnya yang pucat dan mata yang melebar menatapnya kembali. Tidak ada tanda-tanda tidur atau mimpi. Ciuman itu nyata. Kata-kata itu nyata. Ancaman itu... sangat nyata. Vivian membenamkan wajah di telapak tangannya. "Aku tidak bisa. Aku tidak akan membiarkannya terjadi," ia berbisik dengan tekad yang kini membakar rasa takutnya. Ia sudah kehilangan dirinya sekali untuk keluarga ini; ia tidak akan kehilangan jiwanya untuk putra tirinya. Ia berjalan mondar-mandir di kamar, pikirannya berputar cepat mencari celah. Juno berpikir ia rentan, dicampakkan. Ia benar. Tapi Juno meremehkan betapa keras ia akan berjuang untuk bertahan hidup sekarang setelah ia tahu dirinya hanya "aset". Tiba-tiba, ponselnya bergetar di meja. Pesan masuk. Dari Juno. Juno: Tidur nyenyak, Vivian. Dan jangan mencoba meyakinkan dirimu sendiri bahwa ini adalah mimpi. Aku akan segera menghubungimu. Napas Vivian tercekat. Dingin dan perhitungan. Ia menekan tombol panggilan. Juno mengangkatnya setelah dering kedua. "Mengapa kau tidak menurut, Vivian? Aku sudah bilang jangan memberitahu Ayah." "Aku tidak meneleponmu untuk mengancam," potong Vivian, suaranya kini kembali dingin dan kaku, memantulkan nada Juno. "Aku meneleponmu untuk mengakhiri kegilaan ini. Lupakan ciuman itu. Lupakan semua yang kau katakan. Kau adalah putra Arman. Kau... Juno. Kau bukan siapa-siapa bagiku selain anak tiriku." Keheningan yang mencekam menggantung di udara. Kemudian, Juno tertawa. Tawa yang sama sinis dan berbahaya yang ia tunjukkan di hadapannya beberapa menit yang lalu. "Kau sungguh keras kepala," katanya, nada suaranya berubah dari ancaman menjadi sesuatu yang lebih gelap dan memikat. "Kau berpikir kau bisa menyangkalnya? Aku tidak peduli dengan penolakanmu yang dingin, Vivian. Aku memang terlihat dingin dan tak berperasaan kelihatan di luar sana. Bagiku, jika kini aku memilihmu maka itu adalah pilihan yang tak bisa digugat lagi." "Kau salah memilih," bantah Vivian. "Kau sedang memainkan permainan berbahaya, Juno, dan aku tidak ingin menjadi bidak di dalamnya." "Kau sudah menjadi bidak, Vivian. Bidak Ayahku, dan sekarang, bidakku. Kau hanya menolak mengakui betapa menariknya bidakku ini," bisik Juno, suaranya terdengar sangat dekat, seolah ia berada tepat di belakang Vivian. "Kau bilang itu mimpi buruk. Baiklah. Biar aku tunjukkan apa itu mimpi indah." Pintu kamar Vivian tiba-tiba berderit pelan. Jantung Vivian langsung mencelos. Ia menoleh ke belakang, tetapi tidak ada siapa-siapa. "Apa... apa yang kau lakukan?" "Aku di rumah. Aku tahu kapan pintu kamarmu tidak dikunci, Vivian," jawab Juno, nadanya seperti seorang guru yang sabar. "Arman mungkin mengunci hatinya, tapi dia tidak pernah mengunci kamarmu dariku. Sekarang, aku hanya ingin memastikan kau tidak melakukan hal bodoh, seperti... mencoba lari." Vivian meletakkan ponselnya, matanya terpaku pada celah sempit di antara pintu dan kusen. Juno tidak hanya mengawasinya; ia mengendalikannya. Dan sekarang ia ada di rumah, hanya beberapa langkah dari kamarnya. Juno tidak menutup telepon. Vivian bisa mendengar napasnya yang berat dan pelan di seberang sana, seperti pemangsa yang mengintai. Hati Viviane semakin berdegup kencang, dia merasa sepertinya Juno tidak bermain-main dengan kata-katanya. "Bagaimana ini, apa yang harus aku lakukan Ya Tuhan?"Jangan mengecewakanku, Juno.”Juno tertawa kecil, suara serak itu seperti pecahan kaca. “Mengecewakan? Tidak akan. Selamat tidur, Calon Janda."Keesokan harinya, makan siang disajikan di meja makan formal yang mewah.“Selamat datang, Juno sayang,” sapa Arman dengan kehangatan palsu. “Indira baru saja memberitahuku bahwa ia ingin mengubah ruang baca menjadi kamar bayi. Bukankah itu ide yang indah?”Indira tersenyum lebar, menampakkan giginya yang sempurna. “Ya, Papi. Aku sudah menghubungi perancang interior. Aku ingin warna krem dan emas. Sangat klasik, dan tentu saja, semua kayu harus diimpor dari Italia.”Juno menoleh, perlahan. Matanya tertuju pada hidangan sup labu di depan Indira.“Ruang baca?” ulang Juno, suaranya pelan dan mengancam. “Ruang baca yang menampung koleksi buku langka almarhumah Mamiku, yang dia kumpulkan sejak SMA? Buku-buku yang Arman janji akan dia pertahankan sebagai penghormatan kepada wanita yang membuatmu kaya?”Arman tersentak. Vivian merasakan otot
Vivian menatap liontin itu, ujung jarinya menyentuh lingkaran merah yang digambar di atas dada ayahnya. Liontin perak itu terasa sangat dingin di tangannya, kontras dengan panasnya kemarahan dan ketakutan yang menjalar di tubuhnya. Itu bukan hanya ancaman; itu adalah penanda. Juno mengirim pesan yang jelas: Aku melihat kelemahanmu, dan aku tahu cara menekannya. Ia meletakkan liontin itu kembali ke dalam kotak, menyembunyikannya di bawah laci pakaian dalamnya. Arman tidak boleh melihat ini. Pertanyaan Juno bergema: Ajakan untuk bersekutu? Keesokan harinya, Vivian bertemu dengan pengacaranya, Tuan Haryo, di sebuah kafe terpencil. Tuan Haryo adalah seorang pria paruh baya yang tenang dan cerdas, yang telah menangani masalah keuangan keluarga Vivian selama bertahun-tahun. "Nyonya Vivian, 'dividen' yang Anda sebutkan... apakah Anda yakin? Itu adalah separuh dari saham minoritas Anda di perusahaan holding Arman. Nilainya sangat besar," kata Tuan Haryo, menyesap kopinya dengan hat
Vivian merasakan sakit menusuk di dadanya, lebih tajam daripada rasa sakit fisik apa pun. Ancaman Arman bukanlah gertakan kosong; itu adalah jaring baja yang mengunci pergerakannya. Ia mengenal suaminya: Menghancurkan Vivian adalah hal yang kecil dibandingkan dengan kehilangan kontrol.Ia tidak menjawab. Hanya tatapannya yang kosong yang menjadi jawabannya.Arman, puas dengan kebisuan Vivian, berbalik menuju pintu. "Sarapan akan disajikan dalam sepuluh menit. Pastikan kau turun, Vivian. Kita adalah keluarga. Dan kita akan menunjukkan pada Indira seberapa baik kita menyambut anggota keluarga baru."Kata-kata 'keluarga baru' melilit perut Vivian seperti kawat berduri.Setelah pintu ditutup lagi, Vivian menghela napas panjang. "Jangan menangis, Vivian," desisnya. Ia harus bertahan, setidaknya untuk saat ini. Hingga bom waktu itu akan meledak dengan sendirinya.Ruang makan terasa dingin, meskipun sinar matahari pagi menyaring melalui jendela besar. Meja makan yang biasanya hanya d
Tepat sepuluh menit. Detik-detik itu terasa seperti jam. Vivian menunggu dengan napas tertahan, memegang kusen jendela, matanya terpaku pada pintu. Setelah suara kunci itu, yang ia yakini adalah kunci utama yang diputar dari luar, keheningan rumah terasa mencekik. Ia tidak lari. Ia tidak menelepon. Ia hanya berdiri di sana, mengumpulkan setiap serpihan keberanian yang tersisa.Ia sudah merencanakan langkah selanjutnya. Ia akan mengemasi tas, mencari dokumen penting—terutama paspornya—dan segera pergi, terlepas dari ancaman Juno. Namun, sebelum ia bisa bergerak, ia mendengar suara lain. Suara mobil.Bukan mobil sport Juno yang kasar dan bising, melainkan suara sedan mewah yang lebih berat, yang ia kenal. Suara mesin itu berhenti tepat di depan pintu masuk.Vivian mendekat ke jendela, menarik tirai tebal sedikit. Jantungnya kembali berdetak kencang, kali ini dengan irama yang berbeda, campur aduk antara kelegaan yang tiba-tiba dan ketakutan yang dingin.Di bawah, berdiri Arman.Sua
Suara Juno memudar, dan telepon diputus. Vivian tidak bisa bernapas. Ia tidak hanya melompat ke neraka Juno; Juno baru saja membuka gerbang dan berjalan masuk. Ia sekarang berada di bawah satu atap dengan putra tirinya yang terobsesi dan berbahaya. Ia sudah kehilangan Arman, dan kini ia dalam bahaya kehilangan segalanya pada Juno. Aku tidak akan lari. Aku akan melawannya. Vivian mengambil kunci kamarnya, langkahnya mantap. Ia memasukkannya ke lubang kunci dan memutarnya. Kunci berbunyi klik. Kamarnya aman. Ia mengambil napas dalam-dalam. Namun, sesaat setelah tangannya turun, ia mendengar suara lain. Sangat pelan, tetapi jelas. Kring. Itu bukan suara kunci yang diputar. Itu adalah bunyi kunci duplikat yang baru saja dimasukkan ke dalam lubang kunci, dari sisi luar. Dan bunyinya adalah bunyi pembukaan. Vivian membeku. Suara Juno bergema di benaknya: "Aku tahu kapan pintu kamarmu tidak dikunci..." Ternyata itu hanyalah pikiran Vivian. Tidak terjadi apa pun. Setelah memast
"Apa... apa yang kau lakukan?" Suara Vivian bergetar, lebih dari yang ia inginkan. Juno memalingkan wajahnya, menyandarkan lengannya di dahinya. "Aku melihatmu." Suaranya terdengar serak dan rendah. "Aku mendengarnya. Ayahku memperlakukanku dengan arogan, tapi aku bisa menerimanya. Namun, melihat ia menghancurkanmu seperti itu..." Ia menghela napas, mengangkat kepalanya, dan menoleh ke arah Vivian. Matanya berkilat dalam gelap. "Kau pantas mendapatkan lebih, Vivian. Bukan kontrak murahan. Kau pantas dihasratkan." Vivian terdiam. Kata-kata itu, meskipun keluar dari mulut putra tirinya setelah ciuman terlarang, menancap. Ia pantas dihasratkan. "Kau gila, Juno. Kau... kau anakku!" Vivian berbisik, nadanya kini beralih menjadi ketakutan yang dingin. Juno tersenyum sinis, senyuman yang berbahaya dan sangat mirip dengan Arman, namun lebih muda dan lebih kejam. "Aku bukan anakmu, Vivian. Aku tidak pernah menyebutmu 'Ibu'. Aku adalah pria, dan kau adalah wanita yang baru







