Share

Terdesak

Penulis: de Banyantree
last update Terakhir Diperbarui: 2025-11-15 17:13:47

Suara Juno memudar, dan telepon diputus. Vivian tidak bisa bernapas. Ia tidak hanya melompat ke neraka Juno; Juno baru saja membuka gerbang dan berjalan masuk. Ia sekarang berada di bawah satu atap dengan putra tirinya yang terobsesi dan berbahaya. Ia sudah kehilangan Arman, dan kini ia dalam bahaya kehilangan segalanya pada Juno.

​Aku tidak akan lari. Aku akan melawannya.

​Vivian mengambil kunci kamarnya, langkahnya mantap. Ia memasukkannya ke lubang kunci dan memutarnya. Kunci berbunyi klik. Kamarnya aman.

​Ia mengambil napas dalam-dalam. Namun, sesaat setelah tangannya turun, ia mendengar suara lain. Sangat pelan, tetapi jelas.

​Kring.

​Itu bukan suara kunci yang diputar. Itu adalah bunyi kunci duplikat yang baru saja dimasukkan ke dalam lubang kunci, dari sisi luar. Dan bunyinya adalah bunyi pembukaan.

​Vivian membeku.

​Suara Juno bergema di benaknya: "Aku tahu kapan pintu kamarmu tidak dikunci..."

Ternyata itu hanyalah pikiran Vivian. Tidak terjadi apa pun. Setelah memastikan pintu kamar tidak bisa dibuka, mata Vivian kini benar benar tertutup rapat, lelah menghadapi kenyataan tak terduga seperti ini..

Pagi harinya,

Vivian berdiri terpaku. Jantungnya berdebar kencang, memukul tulang rusuknya seolah ingin melarikan diri dari tubuhnya. Udara terasa dingin dan tipis.

​Kunci yang baru saja ia putar untuk mengamankan dirinya ternyata hanya memberinya ilusi palsu. Juno sudah memilikinya. Juno tidak hanya tahu kapan pintunya tidak terkunci, ia punya cara untuk membuatnya terbuka kapan pun ia mau. Kunci duplikat. Atau bahkan mungkin, kunci utama.

​Kring.

​Suara klik lembut itu, bunyi mekanis yang dingin, kini terasa mematikan. Pintu kamar Vivian, yang berlapis kayu solid dan dihiasi ukiran kuno, perlahan mulai terayun ke dalam, membuka celah hitam.

​Vivian tidak bisa lari. Kakinya terasa terpaku ke lantai marmer yang dingin. Matanya terpaku pada celah yang melebar itu. Ia melihat siluet tinggi, bahu lebar, dan rambut hitam pekat.

​Juno berdiri di ambang pintu, bingkai tubuhnya mengisi seluruh bukaan. Ia tidak tergesa-gesa. Ia menyandarkan sebelah tangannya di kusen, tatapannya yang intens menyapu seluruh kamar, mendarat tepat pada Vivian.

​"Aku sudah bilang," suara Juno terdengar rendah dan bergetar, hampir seperti senandung yang mengerikan, "Aku tahu kapan pintu kamarmu tidak dikunci."

​Vivian akhirnya menemukan suaranya, meskipun hanya bisikan tajam, "Keluar."

​Juno tersenyum. Itu bukan senyum kegembiraan, melainkan seringai predator yang telah berhasil menjebak mangsanya. "Itu tidak mungkin, Ibu Tiri. Aku datang untuk memastikan kau baik-baik saja."

​"Aku baik-baik saja," kata Vivian, mengambil satu langkah mundur. Ia meraba meja di belakangnya, mencari pegangan. Jemarinya menyentuh vas keramik yang berat. Itu mungkin satu-satunya senjatanya. "Keluar dari kamarku sekarang."

​Juno melangkah masuk. Satu langkah. Lalu yang kedua. Udara di ruangan itu terasa menghimpit.

​"Kenapa tergesa-gesa?" Juno memajukan dagunya, menatap Vivian dengan sorot mata yang membuat bulu kuduk berdiri. "Aku ingin kita memulai hari ini dengan benar. Aku ingin kau tahu, bahwa tidak ada yang akan memisahkan kita lagi."

​"Kita sudah terpisah, Juno. Aku istri  Arman. Dan kau... kau adalah putranya," Vivian menekan kata-kata itu, berusaha menegaskan batas yang ia tahu telah ia langgar.

​"Arman tidak ada di sini," balas Juno, suaranya kini mendesak. Ia mengambil langkah lagi.

​Saat itulah Vivian bertindak. Dengan gerakan cepat yang bahkan mengejutkan dirinya sendiri, ia mengayunkan vas keramik itu.

​Brak!

​Vas itu menghantam kusen pintu, tepat di samping kepala Juno, pecah menjadi serpihan. Suara dentuman yang nyaring itu memenuhi ruangan, diikuti keheningan yang memekakkan telinga.

​Juno berhenti, matanya melebar sesaat, tetapi bukan karena rasa takut, melainkan kejutan. Kemudian, senyumnya kembali, lebih lebar, lebih gila. Ia mencondongkan tubuh sedikit. "Kau berani. Aku suka itu."

​Vivian terengah-engah, serpihan porselen putih berserakan di kakinya. Ia tahu ia telah gagal. Ia hanya membuatnya semakin tertarik.

​"Pergilah, Juno," Vivian berbisik, mundur ke jendela. "Aku tidak ingin melihatmu."

​"Tapi kau harus," Juno mendesis, mendekat lagi. "Kita harus sarapan bersama, Ibu Tiri. Itu adalah tradisi keluarga, dan kau sekarang adalah bagian dari keluarga. Kau harus tahu, Arman ingin kita semua rukun."

​Vivian menggeleng. "Tidak. Aku... aku tidak lapar. Aku akan makan nanti."

​"Tidak ada nanti," Juno mengangkat bahunya, mendekati Vivian yang kini bersandar ke jendela. Ia tidak menyentuhnya, tetapi keberadaannya begitu mendominasi, seperti dinding yang baru saja menutup jalan keluarnya. "Aku sudah menyiapkan pain au chocolat dan kopi yang sangat kuat. Persis seperti yang kau suka."

​Vivian mengepalkan tangannya. Ia ingin berteriak, memanggil bantuan, tetapi ia tahu tidak ada yang akan datang. Rumah ini terasa seperti perangkap yang terisolasi.

​"Juno, dengar," Vivian mencoba taktik lain, membuatnya terdengar lebih tenang. "Aku perlu waktu sendiri. Aku sedang berduka. Tolong beri aku ruang."

​"Aku tahu kau berduka," bisik Juno, ia kini cukup dekat hingga Vivian bisa mencium aroma aftershave-nya yang tajam dan sedikit manis. "Itulah sebabnya aku di sini. Aku akan menghiburmu."

​Vivian menggeleng, matanya menyala. "Tidak, kau hanya akan memperburuknya. Kau tidak peduli padaku, kau hanya peduli pada... pada obsesimu yang sakit."

​Ekspresi Juno berubah, senyumnya menghilang. Matanya menjadi dingin, keras, dan berbahaya.

​"Jangan pernah bicara seperti itu padaku lagi," katanya, suaranya sedingin es. "Aku peduli padamu lebih dari siapapun, bahkan lebih dari Arman."

​Vivian menelan ludah, tetapi ia tidak mau menyerah. "Aku tidak akan sarapan denganmu. Aku tidak akan menghabiskan waktu denganmu. Aku akan tetap di kamarku. Sekarang keluar!"

​Juno menatapnya lama, tatapan yang menembus hingga ke tulang. Lalu, sesuatu yang aneh terjadi. Ia tersenyum lagi, senyum yang kali ini tampak seperti topeng yang dipaksakan.

​"Baiklah. Aku mengerti. Kau butuh waktu. Tetapi jangan khawatir, kau tidak akan bisa menghindariku selamanya," kata Juno, suaranya kembali lembut. Ia mengambil satu langkah mundur, lalu satu lagi, menuju pintu yang terbuka. "Aku akan menunggumu di meja, Ibu Tiri. Sepuluh menit. Dan jika kau tidak muncul," Juno berhenti di ambang pintu, menoleh, matanya gelap dan menjanjikan bahaya.

​"Aku akan kembali dengan sarapan dan memaksamu memakannya... dan kemudian, kita akan membahas kamar tidur ini, dan bagaimana kita bisa memastikan tidak ada yang bisa memisahkan kita lagi."

​Pintu kamar tertutup dengan bunyi pelan. Kunci berbunyi klik.

​Vivian berdiri di sana, terengah-engah. Ia tidak yakin siapa yang mengunci siapa. Apakah Juno mengunci dirinya di dalam, atau Juno mengunci Vivian di luar dari dunia.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Gairah Nakal Brondong Pemikat Hati   Menepati janji

    Jangan mengecewakanku, Juno.”​Juno tertawa kecil, suara serak itu seperti pecahan kaca. “Mengecewakan? Tidak akan. Selamat tidur, Calon Janda."​​Keesokan harinya, makan siang disajikan di meja makan formal yang mewah.​“Selamat datang, Juno sayang,” sapa Arman dengan kehangatan palsu. “Indira baru saja memberitahuku bahwa ia ingin mengubah ruang baca menjadi kamar bayi. Bukankah itu ide yang indah?”​Indira tersenyum lebar, menampakkan giginya yang sempurna. “Ya, Papi. Aku sudah menghubungi perancang interior. Aku ingin warna krem dan emas. Sangat klasik, dan tentu saja, semua kayu harus diimpor dari Italia.”​Juno menoleh, perlahan. Matanya tertuju pada hidangan sup labu di depan Indira.​“Ruang baca?” ulang Juno, suaranya pelan dan mengancam. “Ruang baca yang menampung koleksi buku langka almarhumah Mamiku, yang dia kumpulkan sejak SMA? Buku-buku yang Arman janji akan dia pertahankan sebagai penghormatan kepada wanita yang membuatmu kaya?”​Arman tersentak. Vivian merasakan otot

  • Gairah Nakal Brondong Pemikat Hati   Ingin bukti

    Vivian menatap liontin itu, ujung jarinya menyentuh lingkaran merah yang digambar di atas dada ayahnya. Liontin perak itu terasa sangat dingin di tangannya, kontras dengan panasnya kemarahan dan ketakutan yang menjalar di tubuhnya. Itu bukan hanya ancaman; itu adalah penanda. Juno mengirim pesan yang jelas: Aku melihat kelemahanmu, dan aku tahu cara menekannya. ​Ia meletakkan liontin itu kembali ke dalam kotak, menyembunyikannya di bawah laci pakaian dalamnya. Arman tidak boleh melihat ini. ​Pertanyaan Juno bergema: Ajakan untuk bersekutu? ​Keesokan harinya, Vivian bertemu dengan pengacaranya, Tuan Haryo, di sebuah kafe terpencil. Tuan Haryo adalah seorang pria paruh baya yang tenang dan cerdas, yang telah menangani masalah keuangan keluarga Vivian selama bertahun-tahun. ​"Nyonya Vivian, 'dividen' yang Anda sebutkan... apakah Anda yakin? Itu adalah separuh dari saham minoritas Anda di perusahaan holding Arman. Nilainya sangat besar," kata Tuan Haryo, menyesap kopinya dengan hat

  • Gairah Nakal Brondong Pemikat Hati   Sarapan pertama

    Vivian merasakan sakit menusuk di dadanya, lebih tajam daripada rasa sakit fisik apa pun. Ancaman Arman bukanlah gertakan kosong; itu adalah jaring baja yang mengunci pergerakannya. Ia mengenal suaminya: Menghancurkan Vivian adalah hal yang kecil dibandingkan dengan kehilangan kontrol.​Ia tidak menjawab. Hanya tatapannya yang kosong yang menjadi jawabannya.​Arman, puas dengan kebisuan Vivian, berbalik menuju pintu. "Sarapan akan disajikan dalam sepuluh menit. Pastikan kau turun, Vivian. Kita adalah keluarga. Dan kita akan menunjukkan pada Indira seberapa baik kita menyambut anggota keluarga baru."​Kata-kata 'keluarga baru' melilit perut Vivian seperti kawat berduri.​Setelah pintu ditutup lagi, Vivian menghela napas panjang. "Jangan menangis, Vivian," desisnya. ​Ia harus bertahan, setidaknya untuk saat ini. Hingga bom waktu itu akan meledak dengan sendirinya.​Ruang makan terasa dingin, meskipun sinar matahari pagi menyaring melalui jendela besar. Meja makan yang biasanya hanya d

  • Gairah Nakal Brondong Pemikat Hati   Ancaman

    Tepat sepuluh menit. Detik-detik itu terasa seperti jam. Vivian menunggu dengan napas tertahan, memegang kusen jendela, matanya terpaku pada pintu. Setelah suara kunci itu, yang ia yakini adalah kunci utama yang diputar dari luar, keheningan rumah terasa mencekik. Ia tidak lari. Ia tidak menelepon. Ia hanya berdiri di sana, mengumpulkan setiap serpihan keberanian yang tersisa.​Ia sudah merencanakan langkah selanjutnya. Ia akan mengemasi tas, mencari dokumen penting—terutama paspornya—dan segera pergi, terlepas dari ancaman Juno. Namun, sebelum ia bisa bergerak, ia mendengar suara lain. Suara mobil.​Bukan mobil sport Juno yang kasar dan bising, melainkan suara sedan mewah yang lebih berat, yang ia kenal. Suara mesin itu berhenti tepat di depan pintu masuk.​Vivian mendekat ke jendela, menarik tirai tebal sedikit. Jantungnya kembali berdetak kencang, kali ini dengan irama yang berbeda, campur aduk antara kelegaan yang tiba-tiba dan ketakutan yang dingin.​Di bawah, berdiri Arman.​Sua

  • Gairah Nakal Brondong Pemikat Hati   Terdesak

    Suara Juno memudar, dan telepon diputus. Vivian tidak bisa bernapas. Ia tidak hanya melompat ke neraka Juno; Juno baru saja membuka gerbang dan berjalan masuk. Ia sekarang berada di bawah satu atap dengan putra tirinya yang terobsesi dan berbahaya. Ia sudah kehilangan Arman, dan kini ia dalam bahaya kehilangan segalanya pada Juno. ​Aku tidak akan lari. Aku akan melawannya. ​Vivian mengambil kunci kamarnya, langkahnya mantap. Ia memasukkannya ke lubang kunci dan memutarnya. Kunci berbunyi klik. Kamarnya aman. ​Ia mengambil napas dalam-dalam. Namun, sesaat setelah tangannya turun, ia mendengar suara lain. Sangat pelan, tetapi jelas. ​Kring. ​Itu bukan suara kunci yang diputar. Itu adalah bunyi kunci duplikat yang baru saja dimasukkan ke dalam lubang kunci, dari sisi luar. Dan bunyinya adalah bunyi pembukaan. ​Vivian membeku. ​Suara Juno bergema di benaknya: "Aku tahu kapan pintu kamarmu tidak dikunci..." Ternyata itu hanyalah pikiran Vivian. Tidak terjadi apa pun. Setelah memast

  • Gairah Nakal Brondong Pemikat Hati   Bukan ancaman biasa

    ​"Apa... apa yang kau lakukan?" Suara Vivian bergetar, lebih dari yang ia inginkan. ​Juno memalingkan wajahnya, menyandarkan lengannya di dahinya. "Aku melihatmu." Suaranya terdengar serak dan rendah. "Aku mendengarnya. Ayahku memperlakukanku dengan arogan, tapi aku bisa menerimanya. Namun, melihat ia menghancurkanmu seperti itu..." ​Ia menghela napas, mengangkat kepalanya, dan menoleh ke arah Vivian. Matanya berkilat dalam gelap. ​"Kau pantas mendapatkan lebih, Vivian. Bukan kontrak murahan. Kau pantas dihasratkan." ​Vivian terdiam. Kata-kata itu, meskipun keluar dari mulut putra tirinya setelah ciuman terlarang, menancap. Ia pantas dihasratkan. ​"Kau gila, Juno. Kau... kau anakku!" Vivian berbisik, nadanya kini beralih menjadi ketakutan yang dingin. ​Juno tersenyum sinis, senyuman yang berbahaya dan sangat mirip dengan Arman, namun lebih muda dan lebih kejam. ​"Aku bukan anakmu, Vivian. Aku tidak pernah menyebutmu 'Ibu'. Aku adalah pria, dan kau adalah wanita yang baru

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status