"Pantas saja ini tempat favorit mas Ramel, selain pemandangannya yang indah, suasananya juga terasa tenang," ucap Bella dengan nada lembut dan nyaris tak terdengar.Wanita satu anak itu memejamkan mata, menghirup udara dalam-dalam lalu mengeluarkannya dari hidung dengan lembut, sambil menikmati sejuknya hembusan angin."Bella."Bella refleks membuka mata saat mendengar seseorang memanggil namanya, ia baru saja akan memutar kepala untuk melihat orang yang memanggilnya, tetapi dua telapak tangan sudah terlebih dahulu mendorong punggungnya dari belakang."Aaaaaahh...." teriak Bella yang terguling ke jurang hingga jatuh ke aliran air terjun.Saat itu juga Ramel terbangun dari tidurnya, seluruh kening pria tampan itu terlihat mengkilat akibat tetesan keringat, sehingga membuat Tania bingung dan terkejut ketika melihatnya ke luar dari kamar."Ramel, kamu kenapa?" tanya Tania yang sedang memberikan susu formula pada Kenan."Bella di mana Oma?" Bukannya menjawab, Ramel justru balik bertanya.
Tujuh belas tahun telah berlalu, selama itu juga Ramel hidup dalam kesendirian, ia membesarkan Kenan bersama Tania yang saat ini sudah menginjak usia 67 tahun. Wanita tua itu sudah sering kali meminta Ramel untuk menikah, tetapi permintaannya selalu ditolak.Tania sudah mencoba menjodohkan beberapa wanita dari golongan atas kepala Ramel, tetapi pria tampan itu sama sekali tidak tertarik. Ia masih berharap Bella hidup dan kembali ke pelukannya."Ken," panggil Ramel yang duduk di ruang tamu bersama Tania.Kenan yang melangkah menuju pintu utama, terpaksa memutar langkah menghampiri ayah dan buyutnya."Iya Pah," sahut Kenan sambil menjatuhkan bokongnya di samping Tania."Besok pagi Papah mau touring ke luar kota, tolong jaga Buyut dan jangan pulang larut malam," pesan Ramel kepada putranya."Baik Pah, Kenan gak diajak Pah?" jawab Kenan sembari balik bertanya."Fokus dengan sekolahmu." Setelah mengatakan itu, Ramel bergegas meninggalkan ruang tamu.Kenan pun berpamitan kepada buyutnya, an
"Ibumu mengidap kanker otak." Dug.... jantung Amel berdegup kencang, mendengar ucapan dokter. Amel tidak tahu harus berbuat apa, padahal besok ia harus berangkat ke ibu kota untuk melanjutkan pendidikannya. Seketika Amel memutuskan untuk tidak melanjutkan sekolahnya. Tetapi ibunya Marta menolak dan tetap memaksa putrinya untuk pergi. Air mata tidak berhenti menetes dari kedua matanya, hatinya tidak tega meninggalkan ibu dan adiknya. Tetapi Amel bertekat akan bekerja sambil kuliah, agar ia bisa membantu biaya pengobatan ibunya. ================== Warning : Bijaklah dalam membaca, karena cerita ini khusus dewasa. ================== "Pergi dari sini." Wanita paruh baya itu mendorong Amel hingga tersungkur. "Maaf buk, tolong beri aku waktu. Aku pasti membayarnya." Mohon Amel. "Enak saja minta tolong, kamu itu sudah 2 bulan gak bayar uang kost. Sanah cari tempat lain, ini kamar sudah ada orang baru." Mau tidak mau, Amel harus pergi karena memang sudah 2 bulan ia tidak membayar
Selama pelajaran berlangsung, Amel tidak bisa fokus. Tubuhnya duduk di sana, tetapi pikirannya melayang ke kampung. Untung saja salah satu dosen berhalangan tidak masuk hari ini, sehingga mereka bisa pulang lebih cepat."Ris, nanti singgah sebentar di toko buku ya?" Ucap Amel.Saat ini keduanya sudah berada di dalam mobil menuju kost."Ok." Riska menghentikan mobilnya tepat di depan sebuah toko buku."Tunggu sebentar ya?" Amel turun dari mobil, ia membeli sesuatu dari toko buku dan kembali masuk ke dalam mobil."Untuk apa kamu membeli koran?" Tanya Riska."Mau lihat lowongan kerja." Jawab Amel sambil tangannya membuka halaman koran."Emang tempat kerja kamu sekarang, kenapa?""Enggak kenapa-kenapa, aku hanya ingin mencari kerja sampingan. Soalnya gaji dari sana hanya cukup untukku saja Ris, padahal aku harus membantu biaya sekolah adikku, soalnya ibu gak bisa kerja karena sakit." Jawab Amel. "Oww.... nanti aku bantu kamu cari kerjaan.""Terima kasih ya?" Ucap Amel sambil tersenyum.
Tepat pukul 7 malam, Riska sudah meninggalkan kost. Wanita cantik itu menuju sebuah apartemen yang terletak di pusat kota.Tanpa mengetuknya terlebih dahulu, ia langsung membuka pintu dengan menggunakan kunci."Hay baby." Sapa seorang pria."Hay Daddy Alex." Balas Riska yang langsung duduk dipangkuan Alex. "Baru tadi siang kita ketemu, malam ini udah kangen lagi," ucap Alex."Bukan begitu Dad, sebenarnya ada yang ingin aku bicarakan." "Apa itu?" Desak Alex."Begini, temanku ada yang butuh uang 2 ratus 50 juta Dad. Ibunya sakit parah dan harus segera dioperasi, padahal dia tidak punya uang. Jadi aku berniat minjam uang Daddy untuk membantunya." Amel menceritakan semuanya kepada Alex."Baby, bagiamana kalau teman kamu itu jadi sugar baby om Bram saja?" Tanya Alex.Riska terdiam sambil berpikir, "Emang om Bram mau? kan selama ini om Bram gak mau dekat dengan wanita, om Bram hanya mau bersentuhan dengan istrinya." "Kamu tenang saja, nanti bisa diatur. Yang penting! teman kamu itu canti
Amel menjauhkan pandangannya ketika Riska mencium bibir Alex. Sungguh pemandangan yang begitu menyeramkan, bahkan melebihi film horor."Amel, ayo kemari." Panggil Riska.Amel melangkah mendekati Alex, ia mengangkat tangan untuk menjabat tangan pria tampan itu. "Amel pak," ucapnya dengan lembut.Alex dan Riska tersenyum secara bersamaan, panggilan pak membuat keduanya merasa lucu."Alex, panggil saja om Alex," ucap Alex dengan lembut.Amel tersenyum sambil mengangguk, "Baik om." "Om Bram di mana dad?" Tanya Riska."Bram lagi di luar kota, mungkin akan kembali 2 atau 3 hari lagi. Tapi tenang saja, uang dan surat sudah disiapkan." Alex mengeluarkan satu lembar kertas dari dalam amplop, ia menaruhnya di atas meja tepat di hadapan Amel."Amel, sebelum menandatangani! kamu bisa membacanya terlebih dahulu," ucap Alex.Amel tersenyum paksa, "Enggak usaha om, biar aku tandatangani saja. Soalnya Riska sudah menjelaskan semuanya." "Oh baiklah."Alex memberikan pena, dan Amel langsung menandat
"Amel, Amel." Panggil Riska.Ia membawa Amel ke sudut ruangan, dengan lembut Riska mencoba menenangkan sahabatnya itu."Mel, kamu gak boleh bicara seperti itu," ucap Riska dengan lembut."Dia yang duluan Rus." Bantah Amel."Iya, iya. Aku tahu itu." Timpal Riska, "Tapi ingat Mel, kamu saat ini membutuhkan uang untuk biaya pengobatan ibumu, dan uang itu sudah kamu terima, bahkan sudah kamu kirimkan ke kampung. Coba bayangkan, jika om Bram sampai membatalkan kontaknya dan meminta uangnya kembali, hanya karena sakit hati dengan ucapan kamu." Lanjutnya. Amel langsung terdiam, "Jangan sampai terjadi Ris," ucapnya dengan wajah pucat."Nah, kalau begitu kamu minta maaf kepada om Bram." Riska menasehati dan memberikan arahan kepada Amel, begitu juga dengan Alex. Ia berusaha menenangkan Bram dan membujuknya, agar tidak membatalkan kontraknya dengan Amel."Ya ampun Lex, aku bisa stres kalau sering bertemu dengannya." Keluh Bram."Percayalah padaku Bram, kamu pasti happy bersama Amel. Yang berl
Tepat pukul 1 siang, Amel sudah tiba di kost. Wanita cantik itu ke sana diantar oleh sahabatnya, sebenarnya Riska mengajaknya ke apartemen, tetapi Amel enggan dan menolak karena Alex pasti datang ke sana untuk menemui Riska. Kring...kring....kring....Amel meraih ponsel dari atas tempat tidur, *Iya, ini siapa?* Ucapnya setelah mengusap layar ponselnya.*Kamu di mana? kenapa belum pulang?* Suara bariton dari seberang sana.Amel sempat terdiam. *I...i...iya om,* Ucapnya setelah mengigat pemilik suara itu adalah Bram. *Apa saya......*Tiba-tiba panggilan terputus, yang membuat Amel tidak melanjutkan kata-katanya. Wanita cantik itu menghela napas kasar dan kembali menaruh ponselnya.Ia naik ke atas tempat tidur, berbaring sambil memejamkan mata. Amel sama sekali tidak peka dengan pertanyaan Bram, yang mengatakan kenapa belum pulang.Rasanya baru saja memejamkan mata, tetapi tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu. Amel bangkit dari ranjang, melangkah untuk membuka pintu."Riska," ucapny