Share

Gairah Paman Sahabatku
Gairah Paman Sahabatku
Penulis: Tari suhendri

1. Berawal dari nyasar.

Aku terbangun dengan kaget. Hal terakhir yang kuingat sebelum tidak sadarkan diri adalah, aku berjalan sempoyongan dengan kepala pusing dan perutku mual. Lidahku terasa pedar dan tenggorokanku panas.

Tapi saat ini, aku benar-benar hampir melompat dari ranjang empuk king size dengan set bed cover yang mahal. Aku bisa mengetahui itu mahal karena tidak seperti selimut dan sprei ku di rumah. Yang kusam, kasar dan berbulu.

Astaga..astaga

Dengan panik aku turun dari ranjang dan mendapati hanya menggunakan kamisol saja. Di sebuah kamar mewah yang aku bahkan tidak tau ini rumah siapa?.

Saat aku sedang memekik ketakutan dengan tubuh polos ku, seorang pria masuk. Membuatku mematung di tempatku berdiri. Sejenak aku terpesona.

Dia pria paling tampan dan seksi yang pernah aku temui. Bahkan teman kuliahku tidak ada yang mampu mempesona ku. Pria itu tersenyum hangat padaku, lalu dia duduk di kursi dekat jendela.

Dia menawarkan ku sebuah paperbag sambil terus tersenyum. Membuatku curiga padanya. Dan sepersekian detik yang lambat itu, aku baru menyadari aku belum berpakaian.

Kamisol ku cukup tipis dan aku hanya memakai G-string!. Sangat memalukan. Tapi sudah terlambat untuk menutupi tubuhku. Kini aku berjalan perlahan sambil mengambil paperbag dari pria itu. Tatapan matanya menusuk jantungku yang berdetak tak menentu.

Aku melihat kedalam paperbag itu dan mendapati isinya pakaian. Mataku melotot ke arahnya.

"Apa yang sudah kau lakukan dengan pakaian ku? Dan kenapa aku bisa ada disini?" geramku marah.

Di Pikiranku terbayang dia membuka pakaianku dan meraba tubuhku yang masih suci ini. Pria itu hanya tergelak. Lalu dia berdiri dan berjalan mendekatiku. Matanya tidak melepaskan mataku.

Wajahku memerah dan tubuhku panas. Karena sekarang aku semakin mundur dan dihadang ranjang. Sedangkan dia tidak menghentikan langkahnya. Wajah kami bertemu.

Aku bisa merasakan nafasnya yang hangat dan harum. Sedikit memejamkan mata karena harumnya memabukkan.

"Berapa usiamu nona muda?" tanyanya setengah berbisik.

"D-dua puluh ta-hun," jawabku terbata.

Dia menyunggingkan senyuman mengejek, "well, kau seumuran dengan keponakanku, dan untungnya aku bukan pengidap Nekrofilia, jadi berhentilah berpikiran aku sudah menodai mu," pria itu berucap dengan penekanan di setiap kata-katanya.

Dia mundur, lalu mengerling jahil padaku, "pakailah itu, aku menunggumu dibawah untuk sarapan. Dan jika kepalamu masih pusing, aku sudah menyediakan ibuprofen di meja,"

Dia pergi keluar, meninggalkan aku yang masih mematung dengan kikuk. Aku sempat berdoa agar lantai ini menelanku. Semoga saja dia berkata jujur dan aku belum ternodai.

Dengan lunglai aku mencari kamar mandi. Menatap setiap sudut kamar yang klimis dengan cat broken white. Tentu saja kamar mandinya terlihat sangat jelas. Itu hanya sebuah ruangan kecil dengan dinding kaca yang buram. Terletak di sudut kanan kamar mewah itu.

Aku berdecak kagum saat masuk ke kamar mandi itu. Terlihat kecil dari luar tapi isinya benar-benar mewah dan lengkap. Bathtub marmer segitiga, yang diatasnya di hiasi rak-rak penyimpanan yang penuh dengan berbagai macam sabun.

Aku meletakkan paperbag di atas wastafel, lalu membuka kamisolku. Berdiri dengan berkacak pinggang sambil berpikir aku akan mandi pakai shower atau berendam di bathtub.

Pilihanku jatuh pada bathtub, meskipun di rumah juga aku mandi pakai gayung. Bukan berarti aku tidak tertarik dengan shower persegi yang besar itu. Pasti nyaman sekali jika mandi diguyur air seperti pijatan hujan.

Botol-botol sabun itu tampak mewah, seperti kristal. Aku memilih satu untuk ku gunakan. Aroma lavender yang menyenangkan. Cukup membuat otot-otot ku yang tegang menjadi rileks.

Berendam air hangat di bathtub mewah, dengan busa mewah di dalam kamar mandi orang yang tidak kukenali, bukanlah impian ku. Tapi ini cukup menyenangkan. Setidaknya, pria itu memberikan aku kesempatan sendirian untuk mencerna semua yang terjadi padaku.

Aku mencoba mengingat kejadian kemarin yang membuatku sangat emosional. Meskipun titik beratnya bukan pada masalah itu.

Malam itu, aku dan temanku Cici nongkrong di sebuah kafe yang cukup terkenal. Kami mendiskusikan masalah toko pakaian yang kami rintis berdua di sebuah pusat perbelanjaan.

Sekitar setengah jam berada di sana. Kami melihat Bobi, pacarku sedang bersama seorang wanita yang ku taksir usianya sekitar 45 tahun. Mereka berpelukan mesra sambil duduk di kursi tak jauh dari kami.

Aku, yang sebelumnya sudah mengetahui kebusukannya. Mengambil kesempatan emas itu untuk melabrak Bobi. Dia sangat terkejut hingga tak sempat mengelak saat aku menyiram wajahnya dengan minuman sisa yang ada di sebelahku.

Well, mereka belum sempat memesan. Jadi aku mengambil apa saja yang bisa ku raih untuk melampiaskan rasa kesal ku.

Aku tidak sempat melihat reaksi Bobi saat aku berbalik dan pergi. Karena kalut, aku mengambil satu botol minuman milik salah satu pengunjung. Dia mencegahku, tapi aku menenggak langsung minuman aneh itu.

Tanpa menoleh kebelakang, aku berjalan keluar dengan cepat. Mengabaikan Cici yang berlari mengejar ku. Aku mencegat taksi pertama yang muncul. Meminta sopir segera melajukan mobilnya.

Aku sedang kalut, jadi air mataku tumpah begitu mobil melaju. Tiba-tiba kepalaku pusing dan aku ingin muntah. Jadi aku keluar dari taksi dan muntah-muntah di pinggir jalan yang sepi.

Tidak tau berada dimana, aku berjalan dengan sempoyongan menyusuri jalan yang di kelilingi rumah-rumah mewah. Setelah itu, aku tidak ingat lagi.

**

Dan disinilah aku berada. Sedang memakai gaun cantik pemberian pria yang sepertinya sudah menyelamatkan aku.

Aku belum sepenuhnya yakin pada pria itu, tapi setidaknya aku sudah memastikan bahwa aku masih perawan dan itu melegakan.

"Kau sudah siap?" pria itu masuk tanpa mengetuk pintu membuatku terlonjak kaget.

"Belum," jawabku sambil mengeluh. Resleting gaun ini panjang sekali sampai ke pinggul. Dan aku kesulitan menutupnya.

Pria itu sepertinya melihat kesulitanku dan datang menghampiri, "butuh bantuan?" tanyanya menawarkan dirinya.

Aku berdecak dengan kesal karena tanganku sudah pegal. Dia tidak mengunggu persetujuan ku lagi. Dengan perlahan menahan pinggulku dengan tangan kirinya. Sementara tangan kananya menaikkan resleting gaunku.

Darahku berdesir hebat, bulu kudukku meremang saat jarinya menyentuh sepanjang kulit punggungku yang polos. Gaun yang diberikannya sudah memiliki cup bra, dan kamisolku bau muntah. Terpaksa aku hanya memakai gaun itu dan celana dalam yang diberikannya.

Aku merasakan nafasnya di tengkukku. Dia menyibakkan rambutku ke depan agar tidak tersangkut resleting. Mata kami bertemu di cermin. Tatapannya membuat wajahku semakin panas. Perutku di penuhi kepakan sayap kupu-kupu.

Dia tersenyum, masih memandangku melalui cermin.

"Namaku, James," dia berbisik di telingaku. Aku masih terpaku pada tatapan matanya yang berwarna hijau topaz. Benar-benar memukau.

"Eh.. aku Alice," jawabku balas berbisik.

"Kau wangi sekali, membangkitkan gairahku," ucap James masih bertahan di tengkukku. Perlahan, tangannya memegang pinggulku dan membuat kami berhadapan secara langsung.

Aku menunduk malu. Sambil mengutuk diri sendiri karena merasa terhipnotis dengan tatapan dan kata-kata James. Dimana akal sehatku pergi? Sekarang, aku malah tidak ingin beranjak dari tempatku berdiri. Menantikan James.

"Mau sarapan atau langsung pulang?" James bertanya dengan lembut, sedikit menunduk untuk menatap wajahku yang semakin merendah.

Aku bingung, hanya menatap dasinya yang berwarna biru gelap. Sepertinya dia akan berangkat bekerja. Jadi aku putuskan langsung pulang saja.

"Aku akan pulang sendiri, naik taksi," ucapku kikuk setelah berpikir cukup lama. Mata james menelisik mataku, juga hatiku.

James menggeleng sambil menyingkap rambut yang menutupi wajahku, "kau akan pulang bersamaku. Jangan membuatku menjadi pria yang tidak bertanggung jawab nona," itu perintah bukan permintaan.

Aku sedikit mendongak saat melihat wajahnya. Ah, betapa seksinya bibir James. Janggut tipis yang rapi, rambut cokelat bergelombang, dan pahatan hidung yang sempurna.

Tanpa terasa aku mengangguk, masih terhipnotis matanya yang indah.

***

"Bagaimana keadaanmu? Apa sudah membaik?" tanya James saat kami sudah berada di mobilnya.

"Ya, sudah lebih baik," jawabku singkat. Aku duduk dengan kaku sementara James mengemudi.

Aku sempat melihat supir pribadinya sudah menunggu, tapi James mengambil kunci mobil dan menyetir sendiri. Membuatku merasa percaya diri dengan menyangka dia ingin hanya berduaan denganku.

"Apa kau suka minum?" tanya James lagi dengan sedikit ragu. Aku mengerti yang dia maksud. Minum apa lagi yang bisa membuatmu mabuk?.

Aku menggeleng kuat, "aku tidak sengaja minum itu, ku pikir air mineral biasa,"

"Bagus sekali, kebetulan yang luar biasa," gumam James pada dirinya sendiri. Senyuman sumringah nya membuat hatiku cerah.

"Terima kasih sudah menolongku, dan maafkan atas tuduhan ku sebelumnya," kataku minta maaf, sambil memuntir jari-jariku karena gugup.

"Tidak masalah, Alice. Aku senang kau pingsan tepat didepan gerbang rumahku," timpal James tanpa menutupi perasaan bersyukurnya atas kejadian itu.

Anehnya, aku juga sama bersyukurnya dengan dirinya.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
أفريانتي
Sangat menarik
goodnovel comment avatar
أفريانتي
Sangat menarik
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status