Tangan dan kaki Nayla mendadak keram saat berdiri di depan kamar calon suaminya. Suara desahan dari dalam kamar membuatnya susah bernapas. Jantungnya berdebar kencang, seakan loncat dari cangkangnya.
Ia sempat ragu untuk masuk dan berharap suara desahan itu bukan dari pria yang dicintainya, tapi tangannya bergerak perlahan mendorong pintu yang ternyata tidak terkunci. Matanya membelalak. Dia yakin itu calon suaminya. Pria yang menebar janji setia sehidup semati hanya bersama Nayla. Tapi nyatanya, ini sangat menyakitkan. Terlalu sakit untuk diabaikan. Air mata mulai membasahi wajah cantiknya. Niat ingin memberi kejutan, justru dia yang dikejutkan dengan permainan panas di ranjang Bima. “Ya Tuhan, kenapa dia sejahat ini,” lirihnya menahan isakan. Dia harus punya bukti kuat agar Bima tak bisa mengelak. Pria itu tampak sedang bergerak di atas tubuh seorang perempuan. Wajah wanita itu tak terlihat, tertutup oleh punggung Bima yang lebar dan telanjang. Nayla membeku. Hatinya serasa diremas tangan tak kasat mata. Kejutan yang seharusnya manis malam ini, berubah menjadi mimpi buruk, mimpi yang menghancurkan semua rencananya. Dia ingat betul perlakuan calon suaminya yang selalu mesra padanya. “Sayang, aku tak pernah bisa hidup tanpamu. Kalau bukan denganmu, aku tak akan pernah menikah dengan wanita manapun, hatiku hanya untukmu seorang.” Manis bukan ucapan Bima? Tapi ternyata semua itu hanya untuk menutupi keburukannya. Dia memilih mengambil ponselnya dan merekam dari celah pintu agar punya bukti atas pengkhianatan calon suaminya. Nayla mulai merekam. "Sentuhanmu selalu membuatku ketagihan, Lily...," gumam Bima dengan napas terengah. Suara ranjang berderit pelan mengikuti irama tubuh mereka. Pendingin ruangan menyala maksimal, tapi hawa panas tetap tak bisa dihindari. Bima, pria mapan yang akan menikahi wanita cantik bertubuh mungil yang sudah ia pacari selama empat tahun, namun, kini dia justru memilih menumpahkan nafsunya bersama wanita lain yang merupakan seorang pelayan yang bekerja di rumahnya. BRAAAK! Pintu kamar itu terhempas terbuka. Nayla berdiri di ambang pintu dengan napas tak beraturan, matanya membelalak melihat pemandangan yang membuat jantungnya seolah diremas cukup keras. Hatinya sakit, sangat sakit. Tangisnya semakin jelas terdengar. “Kak Bimaaaaaaa.. Apa yang kamu lakukan?!” teriaknya, nyaris tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Bima terkejut bukan main. Tubuhnya sontak bangkit dari atas perempuan yang kini buru-buru menyembunyikan dirinya di balik selimut. Panik, Bima menarik celana dan bajunya, sementara wajahnya pucat pasi menatap Nayla. Tak pernah terbayangkan ini akan menjadi hari terburuk dalam hidupnya. “Na-Nayla... Aku bisa jelaskan—” Nayla menggeleng cepat. “Jelaskan? Apa yang mau kau jelaskan kak? Semua sudah kurekam!” Nayla tertawa miris, air matanya sudah jatuh tanpa bisa ditahan. Lily memilih tetap bersembunyi, tak berani menampakkan wajah. Sementara Nayla menatap Bima dengan penuh kekecewaan. “Pantas kamu selalu minta aku kabarin dulu sebelum datang ke rumah... Pantas saja kamu tidak pernah keberatan kita jarang ketemu. Ternyata kamu sibuk habiskan malam dengan pelayanmu.” “Nayla, aku khilaf. Aku minta maaf. Aku janji tidakakan ulangi ini lagi...” Bima mendekat, mencoba menyentuh tangan Nayla, tapi perempuan itu mundur cepat. “Jangan sentuh aku! Aku jijik! Niatku datang malam ini buat kasih kejutan, karena besok kita fitting baju pengantin. Tapi ternyata malah aku yang dikasih kejutan.” Suaranya semakin meninggi, matanya memerah. Nayla membuka cincin tunangannya, lalu melemparkannya ke sembarang arah. “Aku tidak bisa nikah sama pengkhianat sepertimu, Kak Bima. Hancur semua kepercayaan yang udah aku bangun selama ini.” Nayla mendekati ranjang, tangannya hendak menjambak rambut sang pelayan. Namun Bima berhasil menghentikannya. Dia menjauhkan tubuh Nayla dari tempat tidur. “Nayla, tolong jangan gila. Semua sudah dibayar, pernikahan tinggal sebulan lagi! Kamu tidak bisa ninggalin aku gitu aja!” Bima berseru, hampir putus asa. “Aku lebih baik tidak menikah seumur hidupku daripada harus hidup dengan laki-laki pengkhianat kayak kamu.” Tanpa menoleh lagi, Nayla membalikkan badan, berjalan cepat keluar dari kamar. Bima mencoba mengejar, tapi Nayla sudah lebih dulu menghilang di balik pintu rumah, menyalakan motornya, lalu pergi tanpa menoleh sedikit pun. “Sialan!” Bima mengumpat keras. Semua sudah berakhir. Tanpa banyak pikir, ia tancap gas. Jalanan malam yang sepi tak mampu menenangkan pikirannya yang kacau. Hatinya hancur, pikirannya berisik, semuanya bercampur menjadi kabut tebal yang membuatnya tak lagi fokus. Dan saat lampu hijau berganti merah, Nayla melaju tanpa melihat sekitar. Brak! Tubuhnya terhentak. Suara keras dentuman membuat pengendara lain menoleh panik. Motor Nayla menghantam bagian belakang sebuah mobil mewah berwarna hitam yang sedang berhenti perlahan di persimpangan. Nayla terlempar, tubuhnya jatuh menghantam aspal. “Ya Tuhan!” teriak yang lainnya.“Gitu amat caramu menatap anak kecil,” Bima menyenggol pelan lengan Maria yang duduk persis di sebelahnya.Maria tidak langsung menoleh. Matanya masih tertuju ke depan, tepat ke arah Darren dan bocah laki-laki yang sedang duduk santai di kursi kebesaran ayahnya itu. Matanya menyipit. Ekspresinya seperti sedang menahan sesuatu—kesal, tapi tidak bisa disalurkan. Ia mengatupkan bibir rapat-rapat, jelas tidak ingin menanggapi Bima.“Diam kamu, berisik,” balas Maria, setengah berbisik. Ia melipat tangan di dada, berusaha terlihat tenang, meskipun dari gerakan kakinya yang tak henti bergoyang, jelas dia tidak bisa fokus.Bima melirik Maria, lalu geleng pelan. “Kau boleh membenci ibunya, tapi jangan anaknya. Kasihan dia, nggak tahu apa-apa.”Kalimat itu pelan, cukup untuk membuat Maria mencibir. Ia tidak menjawab. Pandangannya tetap lurus ke arah Darren, yang saat itu sedang bicara pelan pada putranya, membisikkan sesuatu yang membuat bocah itu tertawa kecil. Suaranya terdengar pelan, tapi c
Bima mendekat, lalu tangannya langsung bergerak menyentuh dada wanita muda itu. Fokusnya cuma satu: menyematkan peniti kecil di baju Lisa. Tapi jari-jarinya sempat ragu, bukan karena sulit atau kurang cahaya, tapi karena pikirannya mulai kacau. Dalam hati dia terus mengumpat. Bukan ke Lisa, tapi ke dirinya sendiri. Sialan, kenapa juga tubuhnya bereaksi seperti ini hanya gara-gara anak magang?Dia menarik napas pelan, berusaha tetap tenang meski suasana makin janggal. Lisa berdiri diam, sama sekali tak curiga dengan gelagat atasan barunya itu. Ia malah tersenyum kikuk, mungkin karena merasa tak enak sudah menyusahkan Bima hanya gara-gara kancing baju yang lepas.Saat peniti nyaris tersangkut dengan benar, tiba-tiba saja pintu ruang kerja terbuka begitu saja, tanpa ketukan, tanpa aba-aba. Pintu yang biasanya terkunci otomatis saat meeting sedang berlangsung itu mendadak terbuka lebar.Refleks, tangan Bima tersentak kaget. Peniti kecil itu malah berbalik arah dan menusuk telapak tangann
Setelah resmi “menang” dalam negosiasi dan diizinkan ikut ke kantor sang Daddy, Raja langsung bersiap dengan kecepatan kilat seperti mau lomba ganti baju tercepat. Dia pakai celana jeans panjang yang udah disiapin Mbak Siti, lalu kaos putih yang bagian depannya ada gambar robot. Di atasnya dia tambahkan jaket hitam kesayangan yang menurutnya bikin dia “keren maksimal”. Sepatu sneakers putih juga langsung dipakai tanpa protes, padahal biasanya harus dibujuk dulu lima menit.Begitu selesai, dia berdiri di depan kaca ruang tamu, cek penampilan sambil gaya-gayaan. Tangan masuk ke saku jaket, dagu agak diangkat. “Oke, Raja siap jadi bos kecil,” ucapnya sambil tersenyum puas.Darren yang sudah rapi sejak tadi, jas gelap, kemeja putih, sepatu mengkilap, dan wajah yang cukup tenang meski pikiran ribet, menoleh ke arah putranya dan tertawa kecil. “Kayaknya yang mau kerja hari ini kamu deh, Boy, bukan Daddy.”Raja tertawa.Nayla hanya geleng-geleng kepala. “Ingat, Mas. Beneran dijaga ya. Janga
“Astaga Raja, bikin Daddy kaget aja,” keluh Darren, menepuk dadanya sendiri sambil menatap anaknya yang teriak sekeras mungkin seperti baru melihat dinosaurus hidup.Padahal anak itu cuma masukin tangannya ke mulut harimau, yang ternyata cuma boneka besar di Timezone. Satu lantai itu langsung riuh. Bukan karena harimau, tapi karena Raja yang berteriak seolah mau dimakan beneran.Raja malah nyengir kuda, puas banget kayak habis menang duel. Bukan cuma Darren yang kaget, beberapa orang tua yang lagi jagain anaknya ikut menoleh. Bahkan ada ibu-ibu yang sampai berhenti main tembak-tembakan demi ngelihatin Raja. Kalau tadi itu adegan syuting film action, Raja bisa langsung disuruh casting jadi pemeran utama.“Bocah satu ini, niat banget pengen drama,” gumam Darren, geleng-geleng kepala.Raja tetap asik dengan dunia imajinasinya. Dia sudah siap menyelamatkan dunia dari harimau boneka sambil tertawa-tawa sendiri. Darren mendekat, lalu jongkok sambil melihat ke arah pengasuh yang juga cuma b
Hanya satu kali berdering. Setelah itu, suara di seberang langsung terdengar. Bukan Darren, bukan Andika, bukan pula pelayan rumah. Suara itu milik seseorang yang sudah lama bekerja di balik layar. Orang yang tak pernah muncul di permukaan, tapi selalu ada saat Miranda butuh sesuatu diselesaikan tanpa banyak tanya.“Halo, Nyonya.”Miranda tidak membuang waktu. Suaranya langsung tegas, tanpa keraguan. Seperti seseorang yang sudah menyimpan kesal terlalu lama dan kini tak ingin menundanya barang satu detik pun.“Lakukan rencana kita lebih cepat dari yang direncanakan. Begitu ada kesempatan, langsung laksanakan. Aku sudah tidak tahan lagi dengan sikap anakku. Lakukan saja sebisa mungkin yang kalian lakukan, tapi jangan meninggalkan jejak apapun. Kalau sampai kalian tertangkap… ingat, jangan pernah melibatkanku. Atau keluarga kalian yang akan kenapa-kenapa.”Suaranya dingin. Datar, tapi mengandung ancaman yang tak perlu dijelaskan lagi.“Baik, Nyonya. Akan segera kami lakukan.”Tuuut.Tel
“Mama hentikan!” Teriak Andika, berusaha menghentikan keributan yang baru saja yerjadi di ruang tamu.Darren menyentuh pipinya yang memerah karena tamparan keras dari sang mama. Bukan karena sakit, tapi lebih ke arah perasaan muaknya yang sudah sampai titik puncak. Tangannya menahan pipi itu sebentar, menunduk sesaat, lalu menatap sang mama lurus. Tatapannya tajam, tapi masih ditahan. Masih belum benar-benar meluapkan seluruh emosinya di sana. Sementara Miranda sudah kehilangan kendali.“Anak ini harus diberi pelajaran biar tidak menuduh sembarangan! Mama tidak pernah mengirimkan ancaman seperti ini pada wanita sialan itu!” bentak Miranda, suaranya meninggi, wajahnya merah padam. Ia menunjuk wajah Darren tanpa takut, seperti sedang menghadapi orang asing, bukan anak kandungnya sendiri.Andika panik, ikut berdiri, berusaha menengahi, tapi seperti yang biasa dia lakukan, suara pria itu tak pernah cukup keras di rumah ini.“Tapi Mama nggak usah pakai kekerasan! Mama nggak usah nampar ana