Darren hanya merapikan kerah bajunya yang sempat kusut.
“Ngarep ya,” ucapnya singkat, lalu berjalan keluar kamar hotel dan menutup pintu kamar. Nayla mengangkat tangannya, nyaris melempar pukulan ke atas. Entah untuk meredakan emosi, atau sekadar refleks. Tapi gerakannya langsung terhenti saat suara pintu terbuka lagi. Darren muncul kembali. “Besok pagi, asistenku yang jemput, bersiaplah sebelum dia datang,” ucapnya datar. Nayla tidak menjawab. Tatapannya hanya mengikuti langkah Darren yang pergi untuk kedua kalinya. Kali ini, pintu benar-benar tertutup. Dan ia tak tahu harus lega atau makin kesal. Setelah memastikan pintu tertutup, Nayla mendekati ranjang. Tubuhnya merosot di sisi ranjang. Ia memeluk lututnya dengan kedua tangan. Tangisnya pecah, tak tertahankan. Hatinya seperti diremas cukup keras dan perih, sesak, serta penuh luka. Ia masih belum bisa percaya bahwa Bima, lelaki yang selama ini ia percayai sepenuh hati, tega mengkhianatinya. Bertahun-tahun mereka bersama, dan selama itu pula Bima tak pernah menunjukkan tanda-tanda bahwa ia adalah lelaki brengsek. Sikapnya selalu hangat, tutur katanya lembut, pelukannya menenangkan. Bahkan sang pelayan pun memperlakukan Nayla dengan penuh hormat, seolah menyambut kehadirannya sebagai bagian dari keluarga Bima. Nayla benar-benar percaya ia akan membangun rumah tangga yang utuh dan bahagia bersama Bima. Tapi semua itu hancur dalam sekejap saat Nayla melihat sendiri pengkhianatan itu. Pemandangan itu terpatri jelas di benaknya. Demi apa pun, Nayla tak akan bisa memaafkan ini. Luka ini terlalu dalam. Ia menempelkan pipinya pada kedua lututnya yang tertekuk. Tubuhnya bergetar hebat. Tangisnya tak bisa dihentikan. "Tega sekali kamu... menyakiti aku seperti ini... Padahal pernikahan kita sudah di depan mata. Tapi kamu malah menghancurkan semuanya. Aku tidak akan pernah bisa maafin kamu..." Dengan tangan gemetar, Nayla meraih ponselnya. Ia membuka video yang tadi berhasil ia rekam. Tak sanggup menontonnya ulang, tapi ia tahu apa yang harus dilakukan. Ia mengirim video itu ke kedua orang tua Bima. Bersamaan dengan itu, ia menuliskan pesan singkat: "saya membatalkan pernikahan ini. Saya tidak ingin hidup bersama pria yang mengkhianati saya, bahkan sebelum kami resmi menjadi suami istri." Setelah pesan terkirim dan tanda centang biru muncul, Nayla mematikan ponselnya. Ia tak ingin mendengar satu pun alasan Bima. Baginya, tidak ada penjelasan yang bisa menghapus rasa sakit ini. Ia meletakkan ponsel di lantai, menatap kosong ke arah dinding. Waktu terasa berhenti. “Ya Tuhan... kenapa hidupku selalu seperti ini? Aku bahkan tak tahu siapa orang tuaku. Waktu aku lahir, aku dibuang... ditaruh di depan panti asuhan. Tidak ada yang menginginkan aku hidup. Tidak ada yang pernah benar-benar menyukaiku aku… Hiks… Hiks." Air matanya kembali mengalir. Kali ini lebih tenang, tapi justru lebih menusuk. "Aku pikir... Kak Bima akan jadi keluarga yang aku butuhkan selama ini. Tapi ternyata dia cuma bikin semua mimpiku hancur. Tuhan... Kenapa rasanya sakit banget..." Nayla meremas ulu hatinya karena sakit. Sakit yang tak mampu diungkapkan dengan kata-kata. Tangisnya kembali pecah. Kali ini tanpa suara. Tubuhnya mengejang karena menahan luka yang terlalu dalam. Ia tidak tahu berapa lama ia duduk di sana, menangis, memeluk dirinya sendiri. Hingga akhirnya matanya tertutup. Tubuhnya mulai lelah, tapi hatinya belum. Ia tertidur sambil duduk di atas lantai dingin, masih dalam posisi yang sama. Dengan luka yang akan tinggal selamanya. * Tepat pukul 05.00, Nayla terbangun. Ada rasa perih di dahinya, dan dingin yang menggigit hingga ke tulang-tulang. Ia baru sadar, semalaman ia tertidur dalam posisi duduk di lantai, memeluk lutut, tanpa selimut. Rasa dingin dari pendingin kamar menusuk, tapi rasa sakit di dalam dadanya jauh lebih menyiksa. Dengan pelan, ia mencoba berdiri. Sendi-sendinya terasa ngilu. Ia sempat terhuyung, menahan rasa nyeri di tubuh, kemungkinan akibat jatuh dari motor saat pulang semalam. Tapi ia tetap bangkit, walau dengan tubuh lemah. Di matanya masih terlihat sembab, bekas tangisan semalaman. Tangannya meraih ponsel yang tergeletak di lantai. Ia menyalakannya, dan layar ponsel segera dipenuhi notifikasi panggilan tak terjawab. Ratusan dari Bima. Puluhan lainnya dari calon mertuanya. Semua mencoba menghubunginya saat ponselnya tidak aktif semalam. Nayla menatap layar itu lama. Hatinya tetap berat, tapi pikirannya mulai jernih. "Aku tidak boleh terus menghindar begini," gumamnya lirih. "Aku harus bertemu mereka. Harus aku sendiri yang bilang... kalau pernikahan ini batal." Ia menunduk sejenak, mengumpulkan keberanian. Baru saja ia ingin menulis pesan singkat, ponselnya tiba-tiba berdering. Nama Bima muncul jelas di layar. Nayla terdiam sesaat. Ia menatap layar beberapa detik, lalu menekan ikon hijau. Panggilan tersambung. "Halo," ucapnya dengan suara serak. Ada jeda singkat, lalu suara Bima terdengar panik dan terburu-buru. "Apa yang sudah kamu bilang ke orang tuaku, sayang? Aku minta maaf. Aku tahu aku salah. Tapi tolong... jangan batalkan pernikahan kita. Aku janji, aku tidak akan ulangi lagi. Aku bersumpah... demi cinta kita." Nayla tak menjawab. Tapi air mata sudah kembali mengalir, pelan, dari sudut matanya. Ia mendengarkan suara yang dulu selalu ia rindukan, tapi sekarang justru menambah luka di hatinya. Dari seberang telepon, suara Bima kembali terdengar. "Sayang... kamu di mana? Biar aku jemput. Kita bisa bicarakan ini baik-baik." Nayla menghela napas panjang. Lalu menjawab, "tunggu aku di rumahmu dua hari lagi jam empat sore." Lalu, tanpa menunggu jawaban, Nayla memutuskan sambungan telepon. Tangannya gemetar. Suara ponselnya kembali berdering, namun Nayla mengabaikannya. Tiga jam kemudian, Nayla sudah selesai membersihkan diri. Luka di dahinya pun telah ia obati. Rasa perihnya masih terasa, tapi tak sebanding dengan luka di hatinya. Lima menit lalu, ia menerima telepon dari Darren, yang mengabarkan bahwa asistennya bernama Siska sedang dalam perjalanan menuju hotel. Belum sempat ia duduk kembali, suara ketukan terdengar dari arah pintu. Klik. Nayla membuka pintu. Pandangannya langsung jatuh pada sosok wanita cantik yang berdiri di depannya dengan penampilan glamor dan riasan tebal. Pakaian kerja yang ketat membentuk tubuh. Wanita itu menatap Nayla dari ujung kepala sampai kaki dengan sorot mata merendahkan, lalu tersenyum sinis. "Jadi ini kamu? Anak panti asuhan yang dipungut sama Tuan Darren?" hinanya sambil menyilangkan tangan di dada. Ia terkekeh pelan. "Menjijikkan sekali penampilanmu."Lama tak mendapat balasan dari kekasihnya, Marcella akhirnya menghela napas panjang. Jantungnya sempat berdebar-debar menunggu kabar, tetapi saat layar ponselnya tetap hening, dia mulai paham. Ia tidak ingin memaksa Bayu menjawab di tengah situasi yang pasti sedang rumit. Dengan hati-hati, dia mengetik pesan lagi untuk kekasihnya.“Di sana pasti lagi rame ya. Ya sudah lain kali saja aku nelepon ya. Sekarang aku mau pergi ke rumah Nayla, ada janji sama Raja mau jalan ke mall. Kalau kamu pulang hati-hati ya di jalan, sampai jumpa nanti sayang.”Jari-jarinya sempat ragu menekan tombol kirim. Ada rasa cemas, tapi dia memilih untuk percaya. Meski tanpa restu orang tua Bayu, Marcella tak pernah berhenti berharap. Baginya, Bayu adalah satu-satunya yang membuat hidupnya berarti.Pesan dari Marcella membuat Bayu sedikit lega. Dadanya yang sejak semalam sesak, terasa lebih ringan meski hanya sebentar. Senyum kecil muncul di wajahnya, namun seketika juga hilang saat ia sadar bahwa barusan ia tel
Bayu kembali menyalakan mesin mobilnya. Hatinya benar-benar hancur. Semua harapan yang ia bawa dari kota, semua niat baik untuk meminta restu, ternyata dibalas dengan penolakan keras, bahkan sumpah buruk yang keluar dari mulut orang yang selama ini ia junjung tinggi.Sepanjang jalan, Bayu hanya bisa menatap kosong ke arah depan. Lampu-lampu jalan berkelebatan di matanya, tapi pikirannya melayang jauh. “Kenapa orang tua bisa setega itu pada anaknya sendiri?” batinnya. Ia menelan ludah, mencoba menguatkan diri, tapi perasaan sesak di dadanya tidak juga pergi.Sejak kecil, Bayu selalu berusaha jadi anak penurut. Ia belajar keras, mengikuti semua perintah, bahkan saat harus mengorbankan mimpinya sendiri. Semua ia lakukan agar orang tuanya bangga padanya. Tapi hari ini, seakan semua itu tidak pernah berarti. Hanya karena ia mencintai seorang perempuan bernama Marcella, tiba-tiba ia dianggap anak durhaka.Air matanya mengalir lagi tanpa bisa ia tahan. Ia merasa sendirian di dunia. Ia punya
“Maaf, Bu. Bayu tak bisa memenuhi permintaan Ibu. Bayu berhak bahagia dengan wanita yang Bayu cintai. Kalau memang Ibu dan Bapak tetap tak memberi restu, maka Bayu akan tetap menikahi Marcella. Maafkan Bayu, Bu, karena belum bisa memenuhi keinginan Ibu untuk menikahi wanita pilihan Ibu,” ucap Bayu dengan suara berat.Perkataan itu membuat ruang tamu rumah keluarga besar itu terasa tegang. Wajah sang ibu merah padam, matanya melotot, bibirnya bergetar menahan amarah. Baru saja selesai bicara, langkah berat terdengar dari arah pintu.“Bayu, jadi kamu lebih mementingkan kebahagiaan wanita itu ketimbang kebahagiaan orang tuamu?” bentak bapaknya Bayu, yang baru masuk ke ruang tamu. Suaranya begitu keras dan pria paruh baya itu sampai memukul meja hingga membuat vas bunga di meja sedikit bergetar.Bayu membeku di tempatnya. Kedua tangannya mengepal, wajahnya menunduk menahan perasaan tak menentu. Ia sudah menduga akan seperti ini, tapi mendengar sendiri kata-kata itu dari mulut bapaknya mem
Weekend ini Bayu akhirnya meminta izin pada Darren, atasannya di kantor, untuk pulang kampung. Ia bilang baru akan kembali ke kota hari Minggu malam. Darren tentu saja memberikan izin anak buahnya untuk pulang kampung. Sebab setelah perusahaan Atmaja Group membaik, mereka jarang sekali lembur. Bayu tampak lega, meski raut wajahnya tetap menyimpan kecemasan.Sebetulnya Marcella ingin ikut bersama kekasihnya pulang. Ia bahkan sempat menyiapkan barang-barang kecil kalau-kalau Bayu mengizinkan. Namun Bayu menolak dengan tegas. Ia meyakinkan Marcella bahwa urusan dengan ibunya harus ia hadapi sendiri. “Aku ingin menyelesaikan konflikku dulu dengan Ibu. Kalau semua berjalan lancar, aku akan segera membawamu pulang untuk menemui keluargaku,” kata Bayu tanpa keraguan sedikitpun.Marcella sempat terdiam. Ia tahu kalau dirinya tidak pernah mendapatkan restu dari kedua orang tua Bayu. Meski dirinya bukan berasal dari keluarga miskin, latar belakangnya yang sebatang kara membuat orang tua Bayu
“Mas, kita kasih hadiah apa ya pada Marcella dan Bayu?” tanya Nayla pada suaminya.Malam itu kamar mereka temaram dengan cahaya lampu tidur berwarna kuning lembut. Suasana terasa tenang setelah sepanjang hari rumah dipenuhi hiruk pikuk. Raja sudah tidur lebih dulu, sehingga hanya ada mereka berdua di atas ranjang. Nayla yang sedang hamil lebih suka tidur dengan posisi miring, sementara Darren baru saja menutup laptopnya dan menaruh di meja samping tempat tidur.Pertanyaan Nayla membuat Darren menoleh. Ia tahu istrinya sudah lama ingin membicarakan soal itu, hanya saja tertunda karena kesibukan Darren hari ini. “Bagaimana kalau kita hadiahkan mereka rumah, Sayang?” tanya Darren sambil mengusap lengan istrinya.Mata Nayla membesar. “Ide yang bagus, Mas. Aku setuju, bahkan sangat setuju. Ngomong-ngomong, mereka belum beli rumah kan untuk persiapan pernikahannya, kan?” Nayla sedikit mengangkat kepalanya, mencoba mengingat obrolannya dengan Marcella beberapa waktu lalu.Darren menggeleng.
“Mama oh Mama, kenapa Mama nakal. Raja bilang nggak mau nasi, tetapi Mama kasih…”Suara Raja sudah terdengar jelas dari halaman depan rumahnya. Anak itu berjalan sambil menyanyikan lagu karangan sendiri dengan penuh semangat. Liriknya yang penuh sindiran, tapi justru membuat siapa pun yang mendengarnya ingin tertawa.Nayla yang duduk di ruang tamu bersama Marcella menoleh ke arah pintu. Baru beberapa bait Raja nyanyikan, tawa mereka berdua sudah tak terbendung. Marcella sampai menutup mulut dengan tangannya karena tak kuat menahan geli.“Raja kenapa?” tanya Marcella sambil terkekeh. Rasanya sudah lama sekali ia tidak bertemu keponakan kecilnya itu. Sejak sibuk mengelola butik milik Miranda, waktunya banyak tersita. Tenaga dan pikirannya sudah habis terkuras, sehingga kesempatan untuk main ke rumah sahabatnya semakin jarang. Maka setiap kali berhasil meluangkan waktu, Marcella tidak mau menyia-nyiakan kesempatan untuk bercengkerama dengan keponakan dan sahabat baiknya itu.“Dia nggak