Share

Nikmati Sakitnya

Author: Atieckha
last update Huling Na-update: 2025-05-18 18:02:25

Darren hanya merapikan kerah bajunya yang sempat kusut.

“Ngarep ya,” ucapnya singkat, lalu berjalan keluar kamar hotel dan menutup pintu kamar.

Nayla mengangkat tangannya, nyaris melempar pukulan ke atas. Entah untuk meredakan emosi, atau sekadar refleks. Tapi gerakannya langsung terhenti saat suara pintu terbuka lagi. Darren muncul kembali.

“Besok pagi, asistenku yang jemput, bersiaplah sebelum dia datang,” ucapnya datar.

Nayla tidak menjawab. Tatapannya hanya mengikuti langkah Darren yang pergi untuk kedua kalinya. Kali ini, pintu benar-benar tertutup. Dan ia tak tahu harus lega atau makin kesal.

Setelah memastikan pintu tertutup, Nayla mendekati ranjang. Tubuhnya merosot di sisi ranjang. Ia memeluk lututnya dengan kedua tangan. Tangisnya pecah, tak tertahankan. Hatinya seperti diremas cukup keras dan perih, sesak, serta penuh luka.

Ia masih belum bisa percaya bahwa Bima, lelaki yang selama ini ia percayai sepenuh hati, tega mengkhianatinya. Bertahun-tahun mereka bersama, dan selama itu pula Bima tak pernah menunjukkan tanda-tanda bahwa ia adalah lelaki brengsek. Sikapnya selalu hangat, tutur katanya lembut, pelukannya menenangkan. Bahkan sang pelayan pun memperlakukan Nayla dengan penuh hormat, seolah menyambut kehadirannya sebagai bagian dari keluarga Bima.

Nayla benar-benar percaya ia akan membangun rumah tangga yang utuh dan bahagia bersama Bima. Tapi semua itu hancur dalam sekejap saat Nayla melihat sendiri pengkhianatan itu. Pemandangan itu terpatri jelas di benaknya.

Demi apa pun, Nayla tak akan bisa memaafkan ini. Luka ini terlalu dalam. Ia menempelkan pipinya pada kedua lututnya yang tertekuk. Tubuhnya bergetar hebat. Tangisnya tak bisa dihentikan.

"Tega sekali kamu... menyakiti aku seperti ini... Padahal pernikahan kita sudah di depan mata. Tapi kamu malah menghancurkan semuanya. Aku tidak akan pernah bisa maafin kamu..."

Dengan tangan gemetar, Nayla meraih ponselnya. Ia membuka video yang tadi berhasil ia rekam. Tak sanggup menontonnya ulang, tapi ia tahu apa yang harus dilakukan.

Ia mengirim video itu ke kedua orang tua Bima. Bersamaan dengan itu, ia menuliskan pesan singkat: "saya membatalkan pernikahan ini. Saya tidak ingin hidup bersama pria yang mengkhianati saya, bahkan sebelum kami resmi menjadi suami istri."

Setelah pesan terkirim dan tanda centang biru muncul, Nayla mematikan ponselnya. Ia tak ingin mendengar satu pun alasan Bima. Baginya, tidak ada penjelasan yang bisa menghapus rasa sakit ini.

Ia meletakkan ponsel di lantai, menatap kosong ke arah dinding. Waktu terasa berhenti.

“Ya Tuhan... kenapa hidupku selalu seperti ini? Aku bahkan tak tahu siapa orang tuaku. Waktu aku lahir, aku dibuang... ditaruh di depan panti asuhan. Tidak ada yang menginginkan aku hidup. Tidak ada yang pernah benar-benar menyukaiku aku… Hiks… Hiks."

Air matanya kembali mengalir. Kali ini lebih tenang, tapi justru lebih menusuk.

"Aku pikir... Kak Bima akan jadi keluarga yang aku butuhkan selama ini. Tapi ternyata dia cuma bikin semua mimpiku hancur. Tuhan... Kenapa rasanya sakit banget..."

Nayla meremas ulu hatinya karena sakit. Sakit yang tak mampu diungkapkan dengan kata-kata. Tangisnya kembali pecah. Kali ini tanpa suara. Tubuhnya mengejang karena menahan luka yang terlalu dalam.

Ia tidak tahu berapa lama ia duduk di sana, menangis, memeluk dirinya sendiri. Hingga akhirnya matanya tertutup. Tubuhnya mulai lelah, tapi hatinya belum. Ia tertidur sambil duduk di atas lantai dingin, masih dalam posisi yang sama. Dengan luka yang akan tinggal selamanya.

*

Tepat pukul 05.00, Nayla terbangun. Ada rasa perih di dahinya, dan dingin yang menggigit hingga ke tulang-tulang. Ia baru sadar, semalaman ia tertidur dalam posisi duduk di lantai, memeluk lutut, tanpa selimut. Rasa dingin dari pendingin kamar menusuk, tapi rasa sakit di dalam dadanya jauh lebih menyiksa.

Dengan pelan, ia mencoba berdiri. Sendi-sendinya terasa ngilu. Ia sempat terhuyung, menahan rasa nyeri di tubuh, kemungkinan akibat jatuh dari motor saat pulang semalam. Tapi ia tetap bangkit, walau dengan tubuh lemah. Di matanya masih terlihat sembab, bekas tangisan semalaman.

Tangannya meraih ponsel yang tergeletak di lantai. Ia menyalakannya, dan layar ponsel segera dipenuhi notifikasi panggilan tak terjawab. Ratusan dari Bima. Puluhan lainnya dari calon mertuanya. Semua mencoba menghubunginya saat ponselnya tidak aktif semalam.

Nayla menatap layar itu lama. Hatinya tetap berat, tapi pikirannya mulai jernih.

"Aku tidak boleh terus menghindar begini," gumamnya lirih. "Aku harus bertemu mereka. Harus aku sendiri yang bilang... kalau pernikahan ini batal."

Ia menunduk sejenak, mengumpulkan keberanian. Baru saja ia ingin menulis pesan singkat, ponselnya tiba-tiba berdering. Nama Bima muncul jelas di layar. Nayla terdiam sesaat. Ia menatap layar beberapa detik, lalu menekan ikon hijau.

Panggilan tersambung.

"Halo," ucapnya dengan suara serak.

Ada jeda singkat, lalu suara Bima terdengar panik dan terburu-buru.

"Apa yang sudah kamu bilang ke orang tuaku, sayang? Aku minta maaf. Aku tahu aku salah. Tapi tolong... jangan batalkan pernikahan kita. Aku janji, aku tidak akan ulangi lagi. Aku bersumpah... demi cinta kita."

Nayla tak menjawab. Tapi air mata sudah kembali mengalir, pelan, dari sudut matanya. Ia mendengarkan suara yang dulu selalu ia rindukan, tapi sekarang justru menambah luka di hatinya.

Dari seberang telepon, suara Bima kembali terdengar.

"Sayang... kamu di mana? Biar aku jemput. Kita bisa bicarakan ini baik-baik."

Nayla menghela napas panjang. Lalu menjawab, "tunggu aku di rumahmu dua hari lagi jam empat sore."

Lalu, tanpa menunggu jawaban, Nayla memutuskan sambungan telepon. Tangannya gemetar. Suara ponselnya kembali berdering, namun Nayla mengabaikannya.

Tiga jam kemudian, Nayla sudah selesai membersihkan diri. Luka di dahinya pun telah ia obati. Rasa perihnya masih terasa, tapi tak sebanding dengan luka di hatinya.

Lima menit lalu, ia menerima telepon dari Darren, yang mengabarkan bahwa asistennya bernama Siska sedang dalam perjalanan menuju hotel. Belum sempat ia duduk kembali, suara ketukan terdengar dari arah pintu.

Klik.

Nayla membuka pintu. Pandangannya langsung jatuh pada sosok wanita cantik yang berdiri di depannya dengan penampilan glamor dan riasan tebal.

Pakaian kerja yang ketat membentuk tubuh. Wanita itu menatap Nayla dari ujung kepala sampai kaki dengan sorot mata merendahkan, lalu tersenyum sinis.

"Jadi ini kamu? Anak panti asuhan yang dipungut sama Tuan Darren?" hinanya sambil menyilangkan tangan di dada. Ia terkekeh pelan. "Menjijikkan sekali penampilanmu."

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Mga Comments (1)
goodnovel comment avatar
Nova Silvia
idih najong,,,ngiri nye lu kalah sm yg menjijikan
Tignan lahat ng Komento

Pinakabagong kabanata

  • Gairah Panas Atasan Mantan   Bab 146

    “Gitu amat caramu menatap anak kecil,” Bima menyenggol pelan lengan Maria yang duduk persis di sebelahnya.Maria tidak langsung menoleh. Matanya masih tertuju ke depan, tepat ke arah Darren dan bocah laki-laki yang sedang duduk santai di kursi kebesaran ayahnya itu. Matanya menyipit. Ekspresinya seperti sedang menahan sesuatu—kesal, tapi tidak bisa disalurkan. Ia mengatupkan bibir rapat-rapat, jelas tidak ingin menanggapi Bima.“Diam kamu, berisik,” balas Maria, setengah berbisik. Ia melipat tangan di dada, berusaha terlihat tenang, meskipun dari gerakan kakinya yang tak henti bergoyang, jelas dia tidak bisa fokus.Bima melirik Maria, lalu geleng pelan. “Kau boleh membenci ibunya, tapi jangan anaknya. Kasihan dia, nggak tahu apa-apa.”Kalimat itu pelan, cukup untuk membuat Maria mencibir. Ia tidak menjawab. Pandangannya tetap lurus ke arah Darren, yang saat itu sedang bicara pelan pada putranya, membisikkan sesuatu yang membuat bocah itu tertawa kecil. Suaranya terdengar pelan, tapi c

  • Gairah Panas Atasan Mantan   Bab 145

    Bima mendekat, lalu tangannya langsung bergerak menyentuh dada wanita muda itu. Fokusnya cuma satu: menyematkan peniti kecil di baju Lisa. Tapi jari-jarinya sempat ragu, bukan karena sulit atau kurang cahaya, tapi karena pikirannya mulai kacau. Dalam hati dia terus mengumpat. Bukan ke Lisa, tapi ke dirinya sendiri. Sialan, kenapa juga tubuhnya bereaksi seperti ini hanya gara-gara anak magang?Dia menarik napas pelan, berusaha tetap tenang meski suasana makin janggal. Lisa berdiri diam, sama sekali tak curiga dengan gelagat atasan barunya itu. Ia malah tersenyum kikuk, mungkin karena merasa tak enak sudah menyusahkan Bima hanya gara-gara kancing baju yang lepas.Saat peniti nyaris tersangkut dengan benar, tiba-tiba saja pintu ruang kerja terbuka begitu saja, tanpa ketukan, tanpa aba-aba. Pintu yang biasanya terkunci otomatis saat meeting sedang berlangsung itu mendadak terbuka lebar.Refleks, tangan Bima tersentak kaget. Peniti kecil itu malah berbalik arah dan menusuk telapak tangann

  • Gairah Panas Atasan Mantan   Bab 144

    Setelah resmi “menang” dalam negosiasi dan diizinkan ikut ke kantor sang Daddy, Raja langsung bersiap dengan kecepatan kilat seperti mau lomba ganti baju tercepat. Dia pakai celana jeans panjang yang udah disiapin Mbak Siti, lalu kaos putih yang bagian depannya ada gambar robot. Di atasnya dia tambahkan jaket hitam kesayangan yang menurutnya bikin dia “keren maksimal”. Sepatu sneakers putih juga langsung dipakai tanpa protes, padahal biasanya harus dibujuk dulu lima menit.Begitu selesai, dia berdiri di depan kaca ruang tamu, cek penampilan sambil gaya-gayaan. Tangan masuk ke saku jaket, dagu agak diangkat. “Oke, Raja siap jadi bos kecil,” ucapnya sambil tersenyum puas.Darren yang sudah rapi sejak tadi, jas gelap, kemeja putih, sepatu mengkilap, dan wajah yang cukup tenang meski pikiran ribet, menoleh ke arah putranya dan tertawa kecil. “Kayaknya yang mau kerja hari ini kamu deh, Boy, bukan Daddy.”Raja tertawa.Nayla hanya geleng-geleng kepala. “Ingat, Mas. Beneran dijaga ya. Janga

  • Gairah Panas Atasan Mantan   Bab 143

    “Astaga Raja, bikin Daddy kaget aja,” keluh Darren, menepuk dadanya sendiri sambil menatap anaknya yang teriak sekeras mungkin seperti baru melihat dinosaurus hidup.Padahal anak itu cuma masukin tangannya ke mulut harimau, yang ternyata cuma boneka besar di Timezone. Satu lantai itu langsung riuh. Bukan karena harimau, tapi karena Raja yang berteriak seolah mau dimakan beneran.Raja malah nyengir kuda, puas banget kayak habis menang duel. Bukan cuma Darren yang kaget, beberapa orang tua yang lagi jagain anaknya ikut menoleh. Bahkan ada ibu-ibu yang sampai berhenti main tembak-tembakan demi ngelihatin Raja. Kalau tadi itu adegan syuting film action, Raja bisa langsung disuruh casting jadi pemeran utama.“Bocah satu ini, niat banget pengen drama,” gumam Darren, geleng-geleng kepala.Raja tetap asik dengan dunia imajinasinya. Dia sudah siap menyelamatkan dunia dari harimau boneka sambil tertawa-tawa sendiri. Darren mendekat, lalu jongkok sambil melihat ke arah pengasuh yang juga cuma b

  • Gairah Panas Atasan Mantan   Bab 142

    Hanya satu kali berdering. Setelah itu, suara di seberang langsung terdengar. Bukan Darren, bukan Andika, bukan pula pelayan rumah. Suara itu milik seseorang yang sudah lama bekerja di balik layar. Orang yang tak pernah muncul di permukaan, tapi selalu ada saat Miranda butuh sesuatu diselesaikan tanpa banyak tanya.“Halo, Nyonya.”Miranda tidak membuang waktu. Suaranya langsung tegas, tanpa keraguan. Seperti seseorang yang sudah menyimpan kesal terlalu lama dan kini tak ingin menundanya barang satu detik pun.“Lakukan rencana kita lebih cepat dari yang direncanakan. Begitu ada kesempatan, langsung laksanakan. Aku sudah tidak tahan lagi dengan sikap anakku. Lakukan saja sebisa mungkin yang kalian lakukan, tapi jangan meninggalkan jejak apapun. Kalau sampai kalian tertangkap… ingat, jangan pernah melibatkanku. Atau keluarga kalian yang akan kenapa-kenapa.”Suaranya dingin. Datar, tapi mengandung ancaman yang tak perlu dijelaskan lagi.“Baik, Nyonya. Akan segera kami lakukan.”Tuuut.Tel

  • Gairah Panas Atasan Mantan   Bab 141

    “Mama hentikan!” Teriak Andika, berusaha menghentikan keributan yang baru saja yerjadi di ruang tamu.Darren menyentuh pipinya yang memerah karena tamparan keras dari sang mama. Bukan karena sakit, tapi lebih ke arah perasaan muaknya yang sudah sampai titik puncak. Tangannya menahan pipi itu sebentar, menunduk sesaat, lalu menatap sang mama lurus. Tatapannya tajam, tapi masih ditahan. Masih belum benar-benar meluapkan seluruh emosinya di sana. Sementara Miranda sudah kehilangan kendali.“Anak ini harus diberi pelajaran biar tidak menuduh sembarangan! Mama tidak pernah mengirimkan ancaman seperti ini pada wanita sialan itu!” bentak Miranda, suaranya meninggi, wajahnya merah padam. Ia menunjuk wajah Darren tanpa takut, seperti sedang menghadapi orang asing, bukan anak kandungnya sendiri.Andika panik, ikut berdiri, berusaha menengahi, tapi seperti yang biasa dia lakukan, suara pria itu tak pernah cukup keras di rumah ini.“Tapi Mama nggak usah pakai kekerasan! Mama nggak usah nampar ana

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status