“Ayo turun.”
Nayla hanya diam. Pandangannya kosong menatap ke luar jendela. Bahkan pria itu seperti lupa bahwa Nayla baru saja keluar dari rumah sakit. Tubuhnya masih lemah, tapi luka di hatinya jauh lebih parah. Pernikahan yang selama ini dia impikan, dengan pria yang begitu dia puja, harus berakhir dengan pengkhianatan. Dan sekarang, dia malah harus menikahi seseorang yang bahkan tak dikenalnya—pria asing yang datang dengan ancaman, bukan dengan cinta. Apa ini yang disebut takdir? Tak punya siapa-siapa. Tak tahu di mana keluarga kandungnya berada. Tak ada satu pun yang mencarinya hingga hari ini, saat usianya sudah dua puluh tiga tahun. Dia hanya seorang anak yang tak pernah diinginkan dan ditinggalkan di depan panti asuhan 23 tahun lalu. Namun setelah bertemu dengan Bima semuanya berubah, hidupnya menjadi penuh semangat lagi. Bahkan biaya kuliahnya ia dapatkan dari Bima. Akan tetapi, kebahagiaan itu kini sudah menjadi luka, luka yang takkan pernah sembuh seumur hidupnya. “Turun, malah nangis!” Suara itu menusuk telinganya. Tak sempat berpikir, tangannya ditarik paksa. Darren membuka pintu dan membantingnya begitu Nayla berhasil keluar. Langkah mereka cepat menyusuri lobi gedung tinggi di pusat kota. Suasana malam begitu dingin, tapi entah mengapa terasa lebih hangat dibanding perlakuan pria di sebelahnya. Sesampainya di lantai atas, seorang wanita dengan setelan jas kerja rapi mendekat. “Silakan tunggu di ruangan VIP, Tuan. Pak Joko sebentar lagi menyusul.” Ruangan itu sepi. Jam kerja sudah lewat, dan hanya suara pendingin ruangan yang terdengar samar. Nayla duduk di sofa panjang, berhadapan dengan Darren. Kepalanya tertunduk, air mata belum juga berhenti. Sementara pria itu hanya menatapnya dengan ekspresi tak tergoyahkan. Di luar sana, banyak perempuan berlomba mendekatinya. Bahkan ada yang rela jadi istri tanpa imbalan apa pun. Tapi wanita ini—yang ditawari kehidupan mewah dan uang dalam jumlah besar—malah menangis. Pintu terbuka. Seorang pria paruh baya masuk dengan langkah mantap. Kumisnya tebal, senyum ramah tergurat di wajahnya. “Malam, Om.” “Malam juga. Kamu ini klien paling merepotkan.” Darren hanya tertawa ringan. Pak Joko lalu beralih pada Nayla. “Wah, cantik juga calon istrimu, Darren. Apa kamu yakin, dia mau sama kamu?” Nayla hanya menatap kosong, tak tahu harus bereaksi seperti apa saat pria paruh baya itu mengulurkan tangan. “Nayla,” lirihnya. “Joko. Panggil saja Om Joko,” sahut pria itu sebelum mempersilakannya duduk. Seorang sekretaris masuk, menyerahkan map merah. Isinya sudah jelas. Persyaratan untuk menjadi istri kontrak. “Jadi, Nayla. Kamu benar-benar mau menjalani ini tanpa paksaan, kan?” Nayla menggeleng, “saya dipaksa,” jawabnya pelan, suaranya bergetar. “Kalau menolak, Sayang pasti akan dibawa ke kantor polisi.” Pak Joko menatap Darren sekilas. “Kamu bisa menolak, tahu. Kalau—” Pak Joko tak bisa melanjutkan kalimatnya, setelah mendengar suara berat Darren memotong ucapannya. “Kalau dia menolak, Aku pastikan malam ini juga dia masuk sel,” potong Darren. Pak Joko tertawa kecil, lalu menghela napas. “Om di sini cuma penengah. Bukan pembela siapa pun. Setelah kamu baca isi kontrak ini, kamu punya hak penuh untuk menolak. Tapi kalau kamu setuju, semuanya akan berjalan sesuai kesepakatan. Dua tahun menjadi istri kontrak, berpura-pura menjadi pasangan sah di hadapan keluarga Darren, tanpa melibatkan perasaan. Setelah itu, kamu akan menerima kompensasi yang cukup besar untuk bisa melanjutkan hidup setelah menyandang status menjadi janda Darren Atmaja.” Nayla menatap map itu lama. Tak ada jalan lain. Dia mengambilnya, membuka lembar pertama. Lima poin tertulis jelas di sana: Berpura-pura menjadi kekasih Darren di hadapan keluarganya. Menikah demi memuluskan jalur warisan keluarga Darren. Tidak melibatkan perasaan selama pernikahan berlangsung dan harus bersikap manis di depan umum. Pernikahan berlangsung dua tahun, setelah itu akan resmi bercerai. Dan kompensasi sebesar tiga miliar akan diberikan jika Nayla menjalani semuanya tanpa pelanggaran dan menjaga kerahasiaan kontrak. Jika ada salah satu yang dilanggar, maka Nayla akan dikenakan denda sebesar 10 miliar. Pak Joko mengangkat alis menatap ke arah Darren sambil menunggu Nayla untuk membaca semua isi poin di dalam map tersebut. “Kalian ketemu di mana? Baru kemarin kamu bilang belum nemu calon.” “Tadi dia tabrak mobil baruku, Om. Aku nggak maksa ya untuk dia mau menjadi istri kontrakku kalau memang dia punya uang buat perbaiki mobilku agar kembali bagus seperti sebelumnya. Tapi nyatanya dia tak punya uang buat ganti rugi,” jawabnya santai. Pak Joko menggeleng, nyaris tak percaya. Pandangannya kembali diarahkan pada Nayla yang sepertinya sudah selesai membaca isi perjanjian itu. “Jadi, Nayla. Setuju?” Berkali-kali Nayla terlihat menghela napas berat sebelum akhirnya dia menjawab, “kalau saya tidak setuju, saya akan dipenjara, kan? Mending jadi janda setelah dua tahun menikah, daripada harus menjadi mantan napi.” Darren mendecak kesal. “Tinggal jawab aja, ribet.” “Darren.” Pak Joko menegurnya. Pantas saja Dia sangat sulit untuk mencari pasangan, sikapnya benar-benar dingin pada perempuan. Pak Joko justru berdoa di dalam hatinya, agar Nayla menjadi istri Darren untuk selama-lamanya. Tiga puluh menit kemudian, setelah segala prosedur dijelaskan dan identitas mereka dipastikan lajang, kontrak itu pun ditandatangani. Tinta pena menjadi saksi bisu dari awal kehidupan yang penuh paksaan. *** “Di mana rumahmu?” tanya Darren saat mereka sudah di parkiran. “Saya tinggal di panti asuhan. Tidak punya rumah, di sini, selama kuliah saya kos di luar kota. Bisa tolong antarkan saya mencari penginapan?” Suaranya terdengar lelah. Wajahnya pucat, matanya bengkak, luka di dahinya masih perih. Ditambah luka batin yang mungkin tidak akan pernah sembuh. Darren mengangguk. Mereka menuju hotel bintang lima terdekat. Ia membayar penuh, lalu mengajak Nayla naik ke kamar. “Untuk sementara, kamu tinggal di sini dulu. Jangan kemana-mana. Kalau aku kirim pesan atau telepon, langsung jawab. KTP kamu aku pegang dulu.” Nayla hanya mengangguk. Langkah Darren menghampiri ranjang, lalu mulai melepas kancing kemejanya. Nayla menatap terbelalak. “Eh! Mau ngapain?” “Tentu saja aku mau mandi. Habis itu langsung tidur.” Sontak jawaban itu membuat Nayla melotot.Setibanya di Bandara Changi, Singapura, Darren dan Nayla langsung disambut oleh seorang pria berpakaian serba hitam yang sudah menunggu mereka di pintu kedatangan dengan papan nama bertuliskan “Mr. & Mrs. Atmaja.” Tanpa banyak bicara, pria itu mempersilakan mereka mengikuti ke arah parkiran. Sebuah mobil mewah jenis MPV dengan interior elegan dan kabin yang nyaman telah siap mengantar mereka.Perjalanan dari bandara menuju pelabuhan memakan waktu sekitar empat puluh lima menit. Sepanjang perjalanan, Nayla lebih banyak diam, matanya sibuk memandangi pemandangan kota Singapura yang begitu rapi dan bersih. Sesekali, matanya bertemu dengan pantulan Darren yang duduk di sebelahnya, sama-sama diam namun sesekali mencuri pandang ke arah Nayla.Begitu tiba di pelabuhan, mata Nayla langsung membelalak tak percaya. Di depannya, sebuah kapal pesiar raksasa tengah bersandar megah. Warnanya putih mengilap dengan beberapa tingkat seperti hotel bintang lima terapung. Nama kapal tersebut tertera de
“Maaf saya mengganggu,” ucap salah satu pramugari.“Tidak apa-apa. Istri saya masih kurang puas tadi malam.”Jawaban Darren membuat Nayla melotot. Apalagi dia pramugari itu tertawa kecil. Nayla buru-buru pindah di sebelah Darren.Lalu terdengar suara kalau pesawat yang mereka tumpangi akan segera menuju Bandara di Singapura. Pramugari memastikan kalau sabuk pengaman sudah terpasang. Mereka juga menyiapkan sarapan untuk pengantin baru itu.Setelah beberapa saat diam, suara Darren kembali terdengar."Setelah kita bercerai, apa yang akan kamu lakukan atau apa yang akan kamu kerjakan?" tanya Darren. Saat ini pesawat sudah berada di ketinggian ribuan kaki. Sudah beberapa waktu mereka hanya diam, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Pertanyaan itu datang begitu saja, memecah keheningan dan membuat Nayla yang duduk di sebelahnya menoleh cepat."Bahkan saya baru sehari menjadi istri Pak Darren, Bapak sudah menanyakan apa yang akan saya lakukan setelah bercerai. Mana mungkin saya bisa memik
“Kamu ini, Miranda! Mulutmu itu lho, nggak pernah bisa dikontrol. Mama kadang nggak percaya kalau Mama benar-benar ngelahirin kamu. Apa jangan-jangan kamu tertukar di rumah sakit waktu masih bayi?” ujar Nyonya Amira sambil menatap putrinya yang duduk di seberang meja makan.Bayu yang duduk tak jauh dari mereka menahan senyum. Tangannya meraih cangkir kopi, pura-pura menyeruput agar tidak terdengar suara cekikikannya. Bagaimanapun, wajah Miranda dan Nyonya Amira memang sangat mirip. Pipinya, bentuk hidungnya, bahkan sorot mata mereka tak bisa bohong—bagai pinang dibelah dua.Miranda mendengus, wajahnya merengut. Ia menaruh garpunya dengan suara cukup keras ke atas piring, menandakan kesal yang mulai memuncak. “Mama tuh yang terlalu manjain Darren. Perempuan itu sengaja banget bujuk Darren biar mau nikah sama dia. Padahal Miranda tahu betul, wanita itu sudah tunangan dan sebentar lagi mau nikah. Tapi dia malah milih Darren—jelas karena Darren lebih kaya. Mama jangan tutup mata, perempu
“Nek, kerjaan Darren sangat banyak di kantor. Jadi Darren rasa, kami tak membutuhkan bulan madu untuk saat ini. Mungkin nanti, ketika pekerjaan Darren sudah tidak terlalu banyak jelang akhir tahun,” ucap pria tampan itu sambil menyodorkan kembali tiket bulan madu di atas kapal pesiar yang sebelumnya diberikan sang nenek.Wajah wanita berusia senja itu tetap tersenyum lembut. Tak terlihat sama sekali kalau beliau sedang marah atas penolakan sang cucu. Karena nyonya Amira yakin, dirinya yang akan selalu menjadi pemenang. Nyonya Amira melirik Bayu yang duduk di samping Papanya Darren.“Apa gunanya kamu punya asisten, Sayang, kalau tidak bisa mengambil alih pekerjaanmu? Serahkan saja semua pada Bayu. Nenek yakin, dia pasti bisa meng-handle semuanya,” balas sang nenek tenang, tatapannya lembut mengarah ke cucu laki-laki kesayangannya, seolah tak ingin menerima penolakan.“Kau bisa diandalkan kan, Bayu?” Nyonya Amira bertanya pada asisten sang cucu.Dengan jawaban mantap, Bayu pun berkata,
Tak butuh waktu lama, Darren keluar dari kamar mandi dengan pakaian tidur. Rambutnya masih setengah basah, dan aroma sabun masih menempel di kulitnya."Sana mandi. Bau tahu," ucapnya datar.Pandangan matanya langsung tertuju ke arah sofa. Nayla sudah duduk di sana dengan pakaian lengkap. Di sampingnya, bantal dan selimut sudah tertata. Sepertinya, perempuan itu memilih tidur di sofa daripada kembali ke ranjang yang baru saja mereka pakai bersama.Wajah Nayla tampak pucat. Tidak ada kata yang keluar dari bibirnya. Tanpa menanggapi ucapan Darren, dia langsung berdiri dan berjalan masuk ke kamar mandi. Langkahnya pelan, sedikit tertahan. Sesekali dia meringis, menahan rasa sakit yang masih terasa di tubuh bagian bawah.Darren memperhatikan langkahnya, lalu pandangannya beralih ke ranjang. Ada noda merah yang masih terlihat jelas di seprai putih. Dia menarik napas dalam, lalu menghembuskannya pelan."Jadi Bima belum sempat menyentuhnya," gumamnya sambil mengangguk kecil. “Atau jangan-jang
Karena sudah tak tahan, Darren pun akhirnya melakukan penyatuan. Hentakan pertama, tidak berhasil menembus gawang Nayla. Bahkan dia sampai mencoba sebanyak 5 kali. Dan percobaan ke-6, Darren berhasil menjebol selaput darah sang istri.“Sakiiiiiiiit,” pekik Nayla. Matanya terpejam, dia menggigit bantal yang ada di sampingnya. Air mata sudah keluar dari kedua sudut matanya. Tubuhnya terasa terbelah ketika Darren berhasil melakukan tugasnya.Sementara itu, Darren shock bukan main. Wanita yang disangkanya tidak perawan, ternyata masih perawan. “Ternyata dia masih perawan,” gumam Darren. Jantungnya berdetak dengan kencang, meski ini adalah haknya sebagai seorang suami, namun, tetap saja niat awalnya dia ingin hubungan mereka tanpa hubungan intim seperti ini. Pengingat 2 tahun lagi mereka akan berpisah. Setelah Nayla mulai tenang. Darren yang tak menyia-nyiakan waktunya. Dia menghentak Nayla dengan gerakan maju mundur di atas tubuh wanita itu. Yang tersisa adalah kenikmatan yang tak bisa