Home / Romansa / Gairah Panas Atasan Mantan / Kontrak Pernikahan

Share

Kontrak Pernikahan

Author: Atieckha
last update Last Updated: 2025-05-18 09:01:25

“Ayo turun.”

Nayla hanya diam. Pandangannya kosong menatap ke luar jendela. Bahkan pria itu seperti lupa bahwa Nayla baru saja keluar dari rumah sakit. Tubuhnya masih lemah, tapi luka di hatinya jauh lebih parah.

Pernikahan yang selama ini dia impikan, dengan pria yang begitu dia puja, harus berakhir dengan pengkhianatan. Dan sekarang, dia malah harus menikahi seseorang yang bahkan tak dikenalnya—pria asing yang datang dengan ancaman, bukan dengan cinta.

Apa ini yang disebut takdir? Tak punya siapa-siapa. Tak tahu di mana keluarga kandungnya berada. Tak ada satu pun yang mencarinya hingga hari ini, saat usianya sudah dua puluh tiga tahun. Dia hanya seorang anak yang tak pernah diinginkan dan ditinggalkan di depan panti asuhan 23 tahun lalu.

Namun setelah bertemu dengan Bima semuanya berubah, hidupnya menjadi penuh semangat lagi. Bahkan biaya kuliahnya ia dapatkan dari Bima. Akan tetapi, kebahagiaan itu kini sudah menjadi luka, luka yang takkan pernah sembuh seumur hidupnya.

“Turun, malah nangis!”

Suara itu menusuk telinganya. Tak sempat berpikir, tangannya ditarik paksa. Darren membuka pintu dan membantingnya begitu Nayla berhasil keluar.

Langkah mereka cepat menyusuri lobi gedung tinggi di pusat kota. Suasana malam begitu dingin, tapi entah mengapa terasa lebih hangat dibanding perlakuan pria di sebelahnya.

Sesampainya di lantai atas, seorang wanita dengan setelan jas kerja rapi mendekat.

“Silakan tunggu di ruangan VIP, Tuan. Pak Joko sebentar lagi menyusul.”

Ruangan itu sepi. Jam kerja sudah lewat, dan hanya suara pendingin ruangan yang terdengar samar. Nayla duduk di sofa panjang, berhadapan dengan Darren. Kepalanya tertunduk, air mata belum juga berhenti.

Sementara pria itu hanya menatapnya dengan ekspresi tak tergoyahkan. Di luar sana, banyak perempuan berlomba mendekatinya. Bahkan ada yang rela jadi istri tanpa imbalan apa pun. Tapi wanita ini—yang ditawari kehidupan mewah dan uang dalam jumlah besar—malah menangis.

Pintu terbuka. Seorang pria paruh baya masuk dengan langkah mantap. Kumisnya tebal, senyum ramah tergurat di wajahnya.

“Malam, Om.”

“Malam juga. Kamu ini klien paling merepotkan.”

Darren hanya tertawa ringan. Pak Joko lalu beralih pada Nayla.

“Wah, cantik juga calon istrimu, Darren. Apa kamu yakin, dia mau sama kamu?”

Nayla hanya menatap kosong, tak tahu harus bereaksi seperti apa saat pria paruh baya itu mengulurkan tangan.

“Nayla,” lirihnya.

“Joko. Panggil saja Om Joko,” sahut pria itu sebelum mempersilakannya duduk.

Seorang sekretaris masuk, menyerahkan map merah. Isinya sudah jelas. Persyaratan untuk menjadi istri kontrak.

“Jadi, Nayla. Kamu benar-benar mau menjalani ini tanpa paksaan, kan?”

Nayla menggeleng, “saya dipaksa,” jawabnya pelan, suaranya bergetar. “Kalau menolak, Sayang pasti akan dibawa ke kantor polisi.”

Pak Joko menatap Darren sekilas. “Kamu bisa menolak, tahu. Kalau—” Pak Joko tak bisa melanjutkan kalimatnya, setelah mendengar suara berat Darren memotong ucapannya.

“Kalau dia menolak, Aku pastikan malam ini juga dia masuk sel,” potong Darren.

Pak Joko tertawa kecil, lalu menghela napas. “Om di sini cuma penengah. Bukan pembela siapa pun. Setelah kamu baca isi kontrak ini, kamu punya hak penuh untuk menolak. Tapi kalau kamu setuju, semuanya akan berjalan sesuai kesepakatan. Dua tahun menjadi istri kontrak, berpura-pura menjadi pasangan sah di hadapan keluarga Darren, tanpa melibatkan perasaan. Setelah itu, kamu akan menerima kompensasi yang cukup besar untuk bisa melanjutkan hidup setelah menyandang status menjadi janda Darren Atmaja.”

Nayla menatap map itu lama. Tak ada jalan lain. Dia mengambilnya, membuka lembar pertama. Lima poin tertulis jelas di sana: Berpura-pura menjadi kekasih Darren di hadapan keluarganya. Menikah demi memuluskan jalur warisan keluarga Darren. Tidak melibatkan perasaan selama pernikahan berlangsung dan harus bersikap manis di depan umum. Pernikahan berlangsung dua tahun, setelah itu akan resmi bercerai. Dan kompensasi sebesar tiga miliar akan diberikan jika Nayla menjalani semuanya tanpa pelanggaran dan menjaga kerahasiaan kontrak. Jika ada salah satu yang dilanggar, maka Nayla akan dikenakan denda sebesar 10 miliar.

Pak Joko mengangkat alis menatap ke arah Darren sambil menunggu Nayla untuk membaca semua isi poin di dalam map tersebut. “Kalian ketemu di mana? Baru kemarin kamu bilang belum nemu calon.”

“Tadi dia tabrak mobil baruku, Om. Aku nggak maksa ya untuk dia mau menjadi istri kontrakku kalau memang dia punya uang buat perbaiki mobilku agar kembali bagus seperti sebelumnya. Tapi nyatanya dia tak punya uang buat ganti rugi,” jawabnya santai.

Pak Joko menggeleng, nyaris tak percaya. Pandangannya kembali diarahkan pada Nayla yang sepertinya sudah selesai membaca isi perjanjian itu. “Jadi, Nayla. Setuju?”

Berkali-kali Nayla terlihat menghela napas berat sebelum akhirnya dia menjawab, “kalau saya tidak setuju, saya akan dipenjara, kan? Mending jadi janda setelah dua tahun menikah, daripada harus menjadi mantan napi.”

Darren mendecak kesal. “Tinggal jawab aja, ribet.”

“Darren.” Pak Joko menegurnya. Pantas saja Dia sangat sulit untuk mencari pasangan, sikapnya benar-benar dingin pada perempuan. Pak Joko justru berdoa di dalam hatinya, agar Nayla menjadi istri Darren untuk selama-lamanya.

Tiga puluh menit kemudian, setelah segala prosedur dijelaskan dan identitas mereka dipastikan lajang, kontrak itu pun ditandatangani. Tinta pena menjadi saksi bisu dari awal kehidupan yang penuh paksaan.

***

“Di mana rumahmu?” tanya Darren saat mereka sudah di parkiran.

“Saya tinggal di panti asuhan. Tidak punya rumah, di sini, selama kuliah saya kos di luar kota. Bisa tolong antarkan saya mencari penginapan?”

Suaranya terdengar lelah. Wajahnya pucat, matanya bengkak, luka di dahinya masih perih. Ditambah luka batin yang mungkin tidak akan pernah sembuh.

Darren mengangguk. Mereka menuju hotel bintang lima terdekat. Ia membayar penuh, lalu mengajak Nayla naik ke kamar.

“Untuk sementara, kamu tinggal di sini dulu. Jangan kemana-mana. Kalau aku kirim pesan atau telepon, langsung jawab. KTP kamu aku pegang dulu.”

Nayla hanya mengangguk.

Langkah Darren menghampiri ranjang, lalu mulai melepas kancing kemejanya. Nayla menatap terbelalak.

“Eh! Mau ngapain?”

“Tentu saja aku mau mandi. Habis itu langsung tidur.”

Sontak jawaban itu membuat Nayla melotot.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Nova Silvia
deeren yakin ga pake perasaan
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Gairah Panas Atasan Mantan   Bab 146

    “Gitu amat caramu menatap anak kecil,” Bima menyenggol pelan lengan Maria yang duduk persis di sebelahnya.Maria tidak langsung menoleh. Matanya masih tertuju ke depan, tepat ke arah Darren dan bocah laki-laki yang sedang duduk santai di kursi kebesaran ayahnya itu. Matanya menyipit. Ekspresinya seperti sedang menahan sesuatu—kesal, tapi tidak bisa disalurkan. Ia mengatupkan bibir rapat-rapat, jelas tidak ingin menanggapi Bima.“Diam kamu, berisik,” balas Maria, setengah berbisik. Ia melipat tangan di dada, berusaha terlihat tenang, meskipun dari gerakan kakinya yang tak henti bergoyang, jelas dia tidak bisa fokus.Bima melirik Maria, lalu geleng pelan. “Kau boleh membenci ibunya, tapi jangan anaknya. Kasihan dia, nggak tahu apa-apa.”Kalimat itu pelan, cukup untuk membuat Maria mencibir. Ia tidak menjawab. Pandangannya tetap lurus ke arah Darren, yang saat itu sedang bicara pelan pada putranya, membisikkan sesuatu yang membuat bocah itu tertawa kecil. Suaranya terdengar pelan, tapi c

  • Gairah Panas Atasan Mantan   Bab 145

    Bima mendekat, lalu tangannya langsung bergerak menyentuh dada wanita muda itu. Fokusnya cuma satu: menyematkan peniti kecil di baju Lisa. Tapi jari-jarinya sempat ragu, bukan karena sulit atau kurang cahaya, tapi karena pikirannya mulai kacau. Dalam hati dia terus mengumpat. Bukan ke Lisa, tapi ke dirinya sendiri. Sialan, kenapa juga tubuhnya bereaksi seperti ini hanya gara-gara anak magang?Dia menarik napas pelan, berusaha tetap tenang meski suasana makin janggal. Lisa berdiri diam, sama sekali tak curiga dengan gelagat atasan barunya itu. Ia malah tersenyum kikuk, mungkin karena merasa tak enak sudah menyusahkan Bima hanya gara-gara kancing baju yang lepas.Saat peniti nyaris tersangkut dengan benar, tiba-tiba saja pintu ruang kerja terbuka begitu saja, tanpa ketukan, tanpa aba-aba. Pintu yang biasanya terkunci otomatis saat meeting sedang berlangsung itu mendadak terbuka lebar.Refleks, tangan Bima tersentak kaget. Peniti kecil itu malah berbalik arah dan menusuk telapak tangann

  • Gairah Panas Atasan Mantan   Bab 144

    Setelah resmi “menang” dalam negosiasi dan diizinkan ikut ke kantor sang Daddy, Raja langsung bersiap dengan kecepatan kilat seperti mau lomba ganti baju tercepat. Dia pakai celana jeans panjang yang udah disiapin Mbak Siti, lalu kaos putih yang bagian depannya ada gambar robot. Di atasnya dia tambahkan jaket hitam kesayangan yang menurutnya bikin dia “keren maksimal”. Sepatu sneakers putih juga langsung dipakai tanpa protes, padahal biasanya harus dibujuk dulu lima menit.Begitu selesai, dia berdiri di depan kaca ruang tamu, cek penampilan sambil gaya-gayaan. Tangan masuk ke saku jaket, dagu agak diangkat. “Oke, Raja siap jadi bos kecil,” ucapnya sambil tersenyum puas.Darren yang sudah rapi sejak tadi, jas gelap, kemeja putih, sepatu mengkilap, dan wajah yang cukup tenang meski pikiran ribet, menoleh ke arah putranya dan tertawa kecil. “Kayaknya yang mau kerja hari ini kamu deh, Boy, bukan Daddy.”Raja tertawa.Nayla hanya geleng-geleng kepala. “Ingat, Mas. Beneran dijaga ya. Janga

  • Gairah Panas Atasan Mantan   Bab 143

    “Astaga Raja, bikin Daddy kaget aja,” keluh Darren, menepuk dadanya sendiri sambil menatap anaknya yang teriak sekeras mungkin seperti baru melihat dinosaurus hidup.Padahal anak itu cuma masukin tangannya ke mulut harimau, yang ternyata cuma boneka besar di Timezone. Satu lantai itu langsung riuh. Bukan karena harimau, tapi karena Raja yang berteriak seolah mau dimakan beneran.Raja malah nyengir kuda, puas banget kayak habis menang duel. Bukan cuma Darren yang kaget, beberapa orang tua yang lagi jagain anaknya ikut menoleh. Bahkan ada ibu-ibu yang sampai berhenti main tembak-tembakan demi ngelihatin Raja. Kalau tadi itu adegan syuting film action, Raja bisa langsung disuruh casting jadi pemeran utama.“Bocah satu ini, niat banget pengen drama,” gumam Darren, geleng-geleng kepala.Raja tetap asik dengan dunia imajinasinya. Dia sudah siap menyelamatkan dunia dari harimau boneka sambil tertawa-tawa sendiri. Darren mendekat, lalu jongkok sambil melihat ke arah pengasuh yang juga cuma b

  • Gairah Panas Atasan Mantan   Bab 142

    Hanya satu kali berdering. Setelah itu, suara di seberang langsung terdengar. Bukan Darren, bukan Andika, bukan pula pelayan rumah. Suara itu milik seseorang yang sudah lama bekerja di balik layar. Orang yang tak pernah muncul di permukaan, tapi selalu ada saat Miranda butuh sesuatu diselesaikan tanpa banyak tanya.“Halo, Nyonya.”Miranda tidak membuang waktu. Suaranya langsung tegas, tanpa keraguan. Seperti seseorang yang sudah menyimpan kesal terlalu lama dan kini tak ingin menundanya barang satu detik pun.“Lakukan rencana kita lebih cepat dari yang direncanakan. Begitu ada kesempatan, langsung laksanakan. Aku sudah tidak tahan lagi dengan sikap anakku. Lakukan saja sebisa mungkin yang kalian lakukan, tapi jangan meninggalkan jejak apapun. Kalau sampai kalian tertangkap… ingat, jangan pernah melibatkanku. Atau keluarga kalian yang akan kenapa-kenapa.”Suaranya dingin. Datar, tapi mengandung ancaman yang tak perlu dijelaskan lagi.“Baik, Nyonya. Akan segera kami lakukan.”Tuuut.Tel

  • Gairah Panas Atasan Mantan   Bab 141

    “Mama hentikan!” Teriak Andika, berusaha menghentikan keributan yang baru saja yerjadi di ruang tamu.Darren menyentuh pipinya yang memerah karena tamparan keras dari sang mama. Bukan karena sakit, tapi lebih ke arah perasaan muaknya yang sudah sampai titik puncak. Tangannya menahan pipi itu sebentar, menunduk sesaat, lalu menatap sang mama lurus. Tatapannya tajam, tapi masih ditahan. Masih belum benar-benar meluapkan seluruh emosinya di sana. Sementara Miranda sudah kehilangan kendali.“Anak ini harus diberi pelajaran biar tidak menuduh sembarangan! Mama tidak pernah mengirimkan ancaman seperti ini pada wanita sialan itu!” bentak Miranda, suaranya meninggi, wajahnya merah padam. Ia menunjuk wajah Darren tanpa takut, seperti sedang menghadapi orang asing, bukan anak kandungnya sendiri.Andika panik, ikut berdiri, berusaha menengahi, tapi seperti yang biasa dia lakukan, suara pria itu tak pernah cukup keras di rumah ini.“Tapi Mama nggak usah pakai kekerasan! Mama nggak usah nampar ana

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status