“Nikah kontrak? Anda jangan bercanda,” ucap Nayla dengan suara tercekat, tatapannya menajam penuh ketidakpercayaan.
Namun pria di di sampingnya ini tak mengubah ekspresi. Dingin. Tegas. Dan seolah tak mengenal kata kompromi. “Aku tidak bercanda. Aku serius. Hanya dua tahun saja. Setelah itu kau bebas,” jawab Darren datar, seperti membacakan kalimat dari kontrak yang tak bisa digugat. “Aku harus segera menikah agar semua warisan nenekku jatuh ke tanganku. Kalau tidak, semuanya akan diberikan pada orang lain.” Nayla menatap Darren, mencoba mencari celah di balik keseriusan pria itu. Tapi tak ada. Yang ada hanya sorot mata penuh ambisi dan tekanan. “Apa Anda tidak punya pacar?” tanyanya, dengan nada sinis yang ia sendiri tak mampu tahan. Bukan karena ingin tahu, melainkan karena ingin menampar logika pria itu dengan kenyataan. Tentu saja, pertanyaan itu jelas menyentil harga diri Darren. Tapi bukannya tersinggung, Darren hanya melirik sekilas. Hampa. Seolah Nayla hanyalah semut kecil yang tengah berjalan di hadapannya. “Jangan banyak bicara. Mau aku punya pacar atau tidak bukan urusanmu. Pilihanmu cuma dua: masuk penjara… atau menikah kontrak denganku. Dua tahun. Titik,” ucapnya tegas tak terbantahkan. Nayla menggigit bibirnya. Napasnya tercekat. Tangannya menggenggam ujung tas lusuh yang ia pangku erat-erat. “Saya tidak mau menikah dengan Anda. Saya juga tidak mau dipenjara…” jawab Nayla, suara gadis itu terdengar seperti berbisik, hampir tak terdengar. Ia bahkan tak berani menatap pria yang duduk di balik kemudi. Darren menoleh ke samping, sorot matanya tajam seperti pisau. “Kalau dua pilihan itu tak bisa kau penuhi, berarti kau bayar ganti rugi satu miliar,” ujarnya, membuat tubuh Nayla refleks gemetar. “Sa–saya tidak punya uang, Pak… Tapi saya juga tidak mungkin menikah dengan Anda. Pernikahan itu… sesuatu yang suci. Tidak bisa dipermainkan seperti itu. Sa–saya juga tidak ingin masuk penjara…” suaranya terdengar putus asa. Kata-kata itu keluar sambil terbata, seperti seseorang yang sedang menahan napas panjang. Dadanya sakit seperti diremas tangan tak kasat mata. Detak jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Darren menghela napas, lalu menyalakan mesin mobilnya. Suaranya terdengar seperti ultimatum terakhir. “Kalau begitu, sekarang juga kita ke kantor polisi.” Mobil melaju dengan kecepatan tinggi. Detak jantung Nayla sampai terdengar di telinganya sendiri, begitu keras, seakan hendak pecah. Jari-jari tangannya saling meremas satu sama lain. Beberapa menit terlewat dalam senyap, sampai akhirnya dengan ragu Nayla mengangkat tangan, menyentuh lengan Darren yang kokoh. “Jangan bawa saya ke kantor polisi, Pak… saya hidup sebatang kara. Saya… sejak dibesarkan di panti asuhan…” ucapnya dengan suara parau. Tangisnya mulai pecah, meski ia berusaha menahannya. Air mata itu jatuh juga, membasahi pipi pucatnya yang kedinginan. Darren tetap menatap lurus ke depan. Tak berkata sepatah pun. Mobilnya tetap melaju seperti tak ada yang berusaha menghentikannya. “Saya mohon… jangan penjarakan saya… saya tidak punya siapa-siapa…” isaknya, suara itu nyaris seperti anak kecil yang tersesat dan tak tahu arah pulang. Mobil berhenti. Mereka sudah tiba di depan kantor polisi. Darren memandangnya sekilas lalu berkata dengan suara tegas. Dia bahkan tak peduli dengan rengekan Nayla. “Ayo turun. Kau pikir aku main-main?” “Pak… tolong… maafkan saya…” lirih Nayla, matanya basah, bahunya berguncang oleh tangis yang tak bisa lagi disembunyikan. Hati kecilnya menjerit, apakah hidup sekeras ini bagi orang yang tak punya siapa-siapa? Darren menarik napas panjang. Ia mengusap wajahnya, lalu bersuara lebih keras. “Berapa kali aku harus bilang aku sudah memaafkanmu?! Tapi proses hukum tetap harus berjalan! Kau pikir aku metik uang? Mobil itu baru keluar dari dealer! Mobil yang aku tunggu bertahun-tahun, malah kau tabrak!” Nayla memejamkan mata. Tubuhnya lunglai. Napasnya tercekat. Tubuhnya menggigil, bukan karena pendingin mobil yang dinyalakan maksimal, tapi karena rasa takut yang membekap seluruh pikirannya. “Saya tidak mau dipenjara, Pak…” bisiknya. Tangisnya belum berhenti. Satu demi satu air mata itu jatuh, seperti serpihan rasa takut yang tak bisa ia bendung. Darren menatap gadis itu. Lama. Hatinya yang beku seolah terusik, tapi dia tak punya pilihan lain. “Kalau kau tidak mau masuk penjara, berarti kau menerima tawaranku… menikah kontrak… dua tahun… tanpa melibatkan perasaan,” ucapnya. Dingin. Tegas. Seolah-olah semua ini hanyalah transaksi bisnis biasa. Hening. Nayla merasa dirinya makin kecil. Dadanya sesak. Pilihan itu seperti pisau bermata dua: satu melukai tubuhnya, yang lain melukai jiwanya. Tapi di balik jeruji besi, mungkin hidupnya akan tamat. Tidak ada yang akan peduli. Akhirnya, dengan suara lirih, ia berkata, “Baik, Pak… sa–saya mau…” Suaranya seperti embusan angin. Hampir tak terdengar. Tapi cukup bagi Darren untuk menyalakan kembali mobilnya dan memutar arah. “Oke. Kita temui pengacaraku sekarang juga.” Mobil melaju lagi. Tapi kali ini, Nayla hanya bisa bersandar lemah di kursinya. Matanya masih basah, hidupnya tak akan pernah sama lagi.Setibanya di Bandara Changi, Singapura, Darren dan Nayla langsung disambut oleh seorang pria berpakaian serba hitam yang sudah menunggu mereka di pintu kedatangan dengan papan nama bertuliskan “Mr. & Mrs. Atmaja.” Tanpa banyak bicara, pria itu mempersilakan mereka mengikuti ke arah parkiran. Sebuah mobil mewah jenis MPV dengan interior elegan dan kabin yang nyaman telah siap mengantar mereka.Perjalanan dari bandara menuju pelabuhan memakan waktu sekitar empat puluh lima menit. Sepanjang perjalanan, Nayla lebih banyak diam, matanya sibuk memandangi pemandangan kota Singapura yang begitu rapi dan bersih. Sesekali, matanya bertemu dengan pantulan Darren yang duduk di sebelahnya, sama-sama diam namun sesekali mencuri pandang ke arah Nayla.Begitu tiba di pelabuhan, mata Nayla langsung membelalak tak percaya. Di depannya, sebuah kapal pesiar raksasa tengah bersandar megah. Warnanya putih mengilap dengan beberapa tingkat seperti hotel bintang lima terapung. Nama kapal tersebut tertera de
“Maaf saya mengganggu,” ucap salah satu pramugari.“Tidak apa-apa. Istri saya masih kurang puas tadi malam.”Jawaban Darren membuat Nayla melotot. Apalagi dia pramugari itu tertawa kecil. Nayla buru-buru pindah di sebelah Darren.Lalu terdengar suara kalau pesawat yang mereka tumpangi akan segera menuju Bandara di Singapura. Pramugari memastikan kalau sabuk pengaman sudah terpasang. Mereka juga menyiapkan sarapan untuk pengantin baru itu.Setelah beberapa saat diam, suara Darren kembali terdengar."Setelah kita bercerai, apa yang akan kamu lakukan atau apa yang akan kamu kerjakan?" tanya Darren. Saat ini pesawat sudah berada di ketinggian ribuan kaki. Sudah beberapa waktu mereka hanya diam, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Pertanyaan itu datang begitu saja, memecah keheningan dan membuat Nayla yang duduk di sebelahnya menoleh cepat."Bahkan saya baru sehari menjadi istri Pak Darren, Bapak sudah menanyakan apa yang akan saya lakukan setelah bercerai. Mana mungkin saya bisa memik
“Kamu ini, Miranda! Mulutmu itu lho, nggak pernah bisa dikontrol. Mama kadang nggak percaya kalau Mama benar-benar ngelahirin kamu. Apa jangan-jangan kamu tertukar di rumah sakit waktu masih bayi?” ujar Nyonya Amira sambil menatap putrinya yang duduk di seberang meja makan.Bayu yang duduk tak jauh dari mereka menahan senyum. Tangannya meraih cangkir kopi, pura-pura menyeruput agar tidak terdengar suara cekikikannya. Bagaimanapun, wajah Miranda dan Nyonya Amira memang sangat mirip. Pipinya, bentuk hidungnya, bahkan sorot mata mereka tak bisa bohong—bagai pinang dibelah dua.Miranda mendengus, wajahnya merengut. Ia menaruh garpunya dengan suara cukup keras ke atas piring, menandakan kesal yang mulai memuncak. “Mama tuh yang terlalu manjain Darren. Perempuan itu sengaja banget bujuk Darren biar mau nikah sama dia. Padahal Miranda tahu betul, wanita itu sudah tunangan dan sebentar lagi mau nikah. Tapi dia malah milih Darren—jelas karena Darren lebih kaya. Mama jangan tutup mata, perempu
“Nek, kerjaan Darren sangat banyak di kantor. Jadi Darren rasa, kami tak membutuhkan bulan madu untuk saat ini. Mungkin nanti, ketika pekerjaan Darren sudah tidak terlalu banyak jelang akhir tahun,” ucap pria tampan itu sambil menyodorkan kembali tiket bulan madu di atas kapal pesiar yang sebelumnya diberikan sang nenek.Wajah wanita berusia senja itu tetap tersenyum lembut. Tak terlihat sama sekali kalau beliau sedang marah atas penolakan sang cucu. Karena nyonya Amira yakin, dirinya yang akan selalu menjadi pemenang. Nyonya Amira melirik Bayu yang duduk di samping Papanya Darren.“Apa gunanya kamu punya asisten, Sayang, kalau tidak bisa mengambil alih pekerjaanmu? Serahkan saja semua pada Bayu. Nenek yakin, dia pasti bisa meng-handle semuanya,” balas sang nenek tenang, tatapannya lembut mengarah ke cucu laki-laki kesayangannya, seolah tak ingin menerima penolakan.“Kau bisa diandalkan kan, Bayu?” Nyonya Amira bertanya pada asisten sang cucu.Dengan jawaban mantap, Bayu pun berkata,
Tak butuh waktu lama, Darren keluar dari kamar mandi dengan pakaian tidur. Rambutnya masih setengah basah, dan aroma sabun masih menempel di kulitnya."Sana mandi. Bau tahu," ucapnya datar.Pandangan matanya langsung tertuju ke arah sofa. Nayla sudah duduk di sana dengan pakaian lengkap. Di sampingnya, bantal dan selimut sudah tertata. Sepertinya, perempuan itu memilih tidur di sofa daripada kembali ke ranjang yang baru saja mereka pakai bersama.Wajah Nayla tampak pucat. Tidak ada kata yang keluar dari bibirnya. Tanpa menanggapi ucapan Darren, dia langsung berdiri dan berjalan masuk ke kamar mandi. Langkahnya pelan, sedikit tertahan. Sesekali dia meringis, menahan rasa sakit yang masih terasa di tubuh bagian bawah.Darren memperhatikan langkahnya, lalu pandangannya beralih ke ranjang. Ada noda merah yang masih terlihat jelas di seprai putih. Dia menarik napas dalam, lalu menghembuskannya pelan."Jadi Bima belum sempat menyentuhnya," gumamnya sambil mengangguk kecil. “Atau jangan-jang
Karena sudah tak tahan, Darren pun akhirnya melakukan penyatuan. Hentakan pertama, tidak berhasil menembus gawang Nayla. Bahkan dia sampai mencoba sebanyak 5 kali. Dan percobaan ke-6, Darren berhasil menjebol selaput darah sang istri.“Sakiiiiiiiit,” pekik Nayla. Matanya terpejam, dia menggigit bantal yang ada di sampingnya. Air mata sudah keluar dari kedua sudut matanya. Tubuhnya terasa terbelah ketika Darren berhasil melakukan tugasnya.Sementara itu, Darren shock bukan main. Wanita yang disangkanya tidak perawan, ternyata masih perawan. “Ternyata dia masih perawan,” gumam Darren. Jantungnya berdetak dengan kencang, meski ini adalah haknya sebagai seorang suami, namun, tetap saja niat awalnya dia ingin hubungan mereka tanpa hubungan intim seperti ini. Pengingat 2 tahun lagi mereka akan berpisah. Setelah Nayla mulai tenang. Darren yang tak menyia-nyiakan waktunya. Dia menghentak Nayla dengan gerakan maju mundur di atas tubuh wanita itu. Yang tersisa adalah kenikmatan yang tak bisa