LOGINnah gimana, tuh Elyssa sudah mulai mode berani, besok-besok kukasih mode iblis aja sekalian
"Dengarkan aku dulu, demi Tuhan, ini bukan soal cinta!" Sean mencengkeram kedua bahu Elyssa, memaksanya untuk menatap matanya. "Aku tidak mencintainya, Elyssa. Sama sekali tidak! Aku hanya merasa bersalah karena gagal menjaganya di masa lalu hingga dia hancur seperti ini. Tapi aku sadar, caraku salah. Seharusnya aku tidak perlu peduli lagi padanya karena sekarang aku sudah punya kamu.”Elyssa memalingkan wajah, enggan menatap Sean. "Tapi kamu membelanya di depan mataku, Mas. Kamu membentakku demi dia!""Aku salah, aku minta maaf. Aku hanya takut dia nekat melakukan sesuatu di rumah ini sebelum semuanya tuntas," ucap Sean dengan nada memohon.Ia menarik tangan Elyssa dan menempelkannya ke dadanya, membiarkan wanita itu merasakan detak jantungnya yang berpacu cepat. "Hanya ada kamu di sini. Tolong jangan pergi. Jangan menjauh dariku."Elyssa terisak, bahunya berguncang hebat. Kemarahan dan rasa cintanya berperang di dalam dada. "Kamu tau betapa sakitnya aku melihatmu menggandeng tangann
Sean menatap Olivia yang mulai gemetar hebat. Wanita itu tampak benar-benar kehilangan kendali atas dirinya sendiri. Rasa iba yang selama ini ia pendam kembali menyeruak. Bagaimanapun juga, Sean merasa ikut bertanggung jawab atas nasib malang yang menimpa wanita itu di masa lalu.Refleks, Sean melangkah maju dan berdiri di depan Olivia, menghalangi Elyssa yang terus mendesak."Cukup, Elyssa! Berhenti!" bentak Sean dengan suara meninggi.Elyssa terbelalak. Ia tak percaya Sean masih melakukan ini. "Apa maksudmu, Mas? Kamu mau membela pembunuh ini? Kamu mau jadi pelindung untuk wanita yang sudah menghilangkan nyawa seseorang?”"Aku tidak membela perbuatannya, tapi lihat kondisinya!" Sean menunjuk Olivia yang kini berjongkok di lantai sambil menutup telinga dan berteriak ‘tidak’ berulang kali. "Dia sedang sakit mental! Menekannya seperti ini tidak akan menyelesaikan masalah. Kamu hanya akan membuatnya semakin gila!""Oh, sekarang kamu mau jadi pahlawannya? Begitu?" Elyssa tertawa getir, m
"Aku mau bawa dia ke apartemen barunya, Sayang,” jelas Sean pelan, mencoba meredam ketegangan. "Kondisinya gak baik kalau terus-menerus di sini. Dia butuh suasana baru."Elyssa berjalan mendekat. Langkah kakinya yang tenang justru terasa sangat mengintimidasi. "Aku sudah bilang jangan ada yang membawanya keluar sebelum aku pulang. Kenapa kamu begitu terburu-buru, Mas? Takut aku melakukan sesuatu padanya?"“Kamu ini bicara apa sih?” Sean mengusap wajahnya, tampak lelah. "Aku cuma melakukan apa yang kita bicarakan semalam. Aku mindahin dia biar kamu gak perlu lagi melihat wajahnya di rumah ini. Ini demi kenyamananmu juga, biar kamu gak cemburu dan salah paham terus."Elyssa menatap Sean dan Olivia bergantian dengan senyum sinis yang menusuk. "Demi kenyamananku? Atau demi dia? Kamu mau melindungi dia dari aku, kan, Mas?”Sean menghela napas frustrasi. "Apa lagi sekarang? Bukannya semalam kita sudah damai? Aku cuma menuruti kemauanmu untuk mencarikannya tempat yang layak. Kenapa sekarang
"Bualan macam apa lagi ini?" Tatiana berusaha tertawa sinis, meski hatinya mulai tidak tenang. "Hanya karena wajahnya mirip, bukan berarti dia darah daging putraku. Bisa saja kau memungut anak yatim dari jalanan yang kebetulan berwajah serupa demi mencari perhatianku, atau mungkin… permintaan maafku? Jangan harap, Elyssa!”"Tante, lihatlah baik-baik," sela Elyssa, tidak membiarkan Tatiana menghindar. "Bukan hanya wajahnya, tapi sorot matanya, cara dia menatap, semuanya identik dengan Mas Albert. Apa Tante benar-benar ingin membuang satu-satunya peninggalan Mas Albert hanya karena Tante membenciku?”Tatiana mulai merasa bimbang. Bayangan tatapan Bulan di halaman tadi terus berputar di kepalanya. Ada rasa rindu yang mendadak menyeruak, rasa rindu yang membuatnya merasa sesak. Ia sangat merindukan Albert, dan jika benar anak itu adalah cucunya, maka ia masih punya alasan untuk hidup. Namun, ia terlalu takut untuk berharap lalu kecewa."Jangan mencoba mempermainkan perasaanku, Elyssa!" su
Kini, Elyssa sudah duduk di ruang tamu yang megah namun terasa dingin itu, berhadapan langsung dengan Tatiana. Bulan duduk merapat di samping Elyssa. Tangan kecilnya tak berhenti menggenggam erat jemari Elyssa karena merasa takut. Sorot mata Tatiana yang tajam dan menusuk terus mengarah pada mereka, membuat suasana semakin mencekam.“Tante, kita pulang aja yuk,” bisik Bulan dengan suara gemetar. “Bulan takut. Ibu itu kelihatan galak.”Elyssa menoleh dan menatap Bulan dengan lembut, mencoba menenangkan kegelisahan bocah itu. “Bulan jangan takut, ya. Temani Tante sebentar saja di sini, Tante ada urusan penting.”Melihat ekspresi ketakutan di wajah polos Bulan, Tatiana menghela napas panjang. Ada rasa tak tega yang tiba-tiba menyeruak di hatinya saat melihat mata yang sangat mirip dengan putranya itu berkaca-kaca. Ia pun memanggil seorang pelayan.“Bawa anak itu ke ruang bermain. Beri dia camilan dan temani dia di sana,” perintah Tatiana tanpa melepaskan pandangannya dari Elyssa.“Baik,
Pagi itu, suasana di kamar tamu terasa sangat menyesakkan. Olivia masih meringkuk di bawah selimut, tubuhnya gemetar hebat. Ia menolak bicara kepada siapa pun. Setiap kali ia mencoba mengintip dari balik selimut, ia merasa melihat bayangan Albert berdiri di dekat pintu.“Bagaimana kondisinya, Mbok?” tanya Elyssa yang sudah berdiri di depan pintu.Seorang pelayan yang baru saja keluar dari kamar menyahut dengan suara rendah, “Sudah lebih tenang dibanding semalam, Non. Gak teriak-teriak lagi, tapi sampai sekarang masih diam seribu bahasa.”Elyssa hanya mengangguk pelan dengan wajah datar. Jujur saja, ia sama sekali tidak peduli pada kondisi Olivia. Dengan gerakan tanpa beban, ia membuka pintu kamar itu sedikit kasar.Brak!Bulan yang sedang duduk di tepi ranjang tersentak kaget.Melihat wajah ketakutan bocah itu, rasa bersalah seketika menyelinap di hati Elyssa. Ia sadar, meski ia membenci Olivia, ia harus tetap menjaga sikap di depan anak kecil yang tidak berdosa ini.Elyssa pun berlut







