“Sayang, ada yang nelpon!” Mas irsan berucap dari balik pintu saat aku tengah mandi.
“Angkat aja, Mas! Bilang aku lagi mandi!” Aku menjawab dengan cepat, tidak berpikir aneh-aneh. Takutnya itu panggilan penting. Surat resign yang telah kukirim, ditolak oleh pihak kantor. Aku tidak diizinkan untuk keluar. Mereka hanya memberikan izin cuti beberapa bulan, bisa balik bekerja setelah aku selesai dengan urusan yang tengah aku kerjakan. Bosku seorang wanita yang hampir separuh abat usianya. Hamble, sangat baik dan penyayang. Setiap ada pertemuan penting, aku pasti selalu diajak. Sering diberi bonus, juga hadiah. Ia layaknya ibu bagiku. Kami memang sedekat itu. Sulit katanya untuk mencari orang baru, karena telah begitu percaya terhadapku. Beberapa kali aku ditawarkan agar tidak meninggalkan pekerjaan. Hingga berakhir di sebuah keputusan bahwa aku akan cuti selama enam bulan. Mungkin ia yang menelepon. Aku keluar kamar mandi dengan handuk yang melilit dada. “Siapa, Mas?” tanyaku seraya memilih pakaian di lemari. “Celoz. Tadi aku angkat langsung mati. Gak ngomong apa-apa. Celoz itu siapa? Teman baru? Kapan kenalnya? Kok kamu gak ada cerita ke aku?” Mas Irsan langsung menyerbu dengan banyak pertanyaan. Ada nada curiga yang kutangkap dari caranya bertanya. Aku terdiam sejenak. Mencoba untuk bersikap biasa saja. Sementara jantung tengah bekerja tidak sebagaimana semestinya. Degupan itu bahkan bisa kudengar dengan jelas. “Dia rekan kerja yang bakalan jadi partner-ku di luar kota nanti, Mas.” Aku sedikit gugup dalam menjawab. Takut Mas Irsan akan tahu siapa lelaki itu. Sulit bagiku jika harus terus mengucap kebohongan demi kebohongan padanya. “Berdua aja? Dia udah nikah? Orangnya gimana?” Ia terdengar sangat ingin tahu. Aku menarik napas berat. Mengabaikan pertanyaan itu sebentar, selama aku mengenakan pakaian. Aku duduk di tepian ranjang. Tepat di hadapan Mas Irsan setelah pakaian melekat di badan. Ia tengah cemburu, aku bisa merasakan itu. Jadi, harus memberikan ia pengertian terlebih dahulu. Kembali mencekoki ia dengan banyak kebohongan. Untunglah Mas Irsan percaya begitu saja. Ponselku berdenting beberapa kali, pertanda bahwa ada pesan yang masuk. Aku bangkit berdiri, meraih ponsel yang tergeletak di atas nakas. Ada banyak pesan masuk yang datang dari Celoz. [Kau bersama lelaki?][Siapa dia?][Aku tidak suka kau berinteraksi dengan lelaki mana pun.] [Kenapa ponselmu ada padanya?][Putuskan hubungan dengannya!]Belum apa-apa saja, Celoz sudah memberikan peringatan. Ia terlihat begitu posesif. Aku semakin ragu untuk melanjutkan. Namun, kontrak telah ditandatangani dua hari lalu. Cukup berat jika harus membayar penalti sebanyak itu, apalagi ekonomi sedang benar-benar sulit sekarang. “Ada apa, kenapa kau jadi pucat begitu?” Mas Irsan bertanya seraya berusaha mendekat. Segera kumatikan layar ponsel, kemudian tersenyum menatap Mas irsan. “Gak papa, Mas.” Aku berusaha untuk bersikap baik-baik saja. Meskipun pada nyatanya ada batu besar yang tengah kupikul di pundak. ***Aku meminta saran pada Suya tentang hubungan yang akan terjalin antara aku dan Celoz. Kuberitahu wanita itu tentang semua sikap dan perlakuan Celoz selama beberapa hari ini. Ia selalu mengirim pesan setiap hari, ingin tahu aku tengah di mana. Juga tentang perlakuannya yang menurutku sedikit kurang ajar ketika di mobil waktu itu. Aku sungguh menjadi semakin ragu. Memiliki firasat tidak baik akan itu. Namun, Suya meyakinkan bahwa tidak akan terjadi apa-apa. Ia bertanya setiap poin yang tertera di dalam kontrak. Aku menyebut intinya saja. Dan ia berkata tidak ada yang salah dalam perjanjian itu. Lusa aku akan pergi, Mas Irsan kutitipkan pada Reviana. Selama beberapa hari ini, aku suka dengan caranya bekerja. Jadi, aku benar-benar telah percaya padanya. Hari ini aku menemani Mas Irsan ke rumah sakit. Ia merasa sakit di pinggang setelah aku naiki secara paksa di hari itu. Tampaknya salah urat. Ia selalu merasa nyeri setiap hari, dan baru hari ini ia mengatakan itu padaku. Setelah ia merasa nyerinya sudah tidak tertahan lagi. “Kamu kalau ada apa-apa, jangan sungkan buat ngasih tau aku, Mas. Jangan mikir masalah biaya. Kesehatan kamu paling penting buat aku.” Aku protes padanya, sebab pinggang belakang bagian atasnya tampak bengkak dan sedikit lebam saat diperiksa oleh dokter. Pantas saja beberapa hari ini ia tidak ingin kumandikan. Katanya ingin belajar mandi sendiri. Ternyata ia hanya ingin menutupi lukanya dariku. “Ini keseleo.” Dokter berucap setelah ia memeriksa luka itu. “Kalau diurut dengan cepat, tidak akan bengkak seperti ini. Ini karena dibiarkan untuk waktu yang lama. Pasti sakit ketika bergerak, karena keseleonya ada di pinggang.” Dokter itu menjelaskan. Setelah diurut dan diolesi dengan minyak oleh dokter, Mas Irsan merasa sedikit baikan. Sejalan dengan bengkak yang perlahan mengempes. Kami tidak langsung pulang sehabis dari rumah sakit. Aku ingin menghabiskan waktu beberapa hari ini dengan berjalan bersama Mas Irsan. Sebab, tidak akan bisa bertemu lagi dalam waktu yang lama. Aku membawa Mas Irsan menuju taman. Membeli gulali, lalu mendorong kursi rodanya menuju pinggir danau. Membantunya untuk turun dari kursi roda, lalu duduk berdampingan seraya menikmati gulali di tangan. Seperti dejavu, aku merasa ini seakan mengulang kencan pertama kami dulu. Duduk di atas rumput yang sedikit basah, menikmati angin sepoi-sepoi yang menampar lembut kulit wajah. “Kamu ingat kencan pertama kita dulu, Mas? Aku masih malu untuk memegang tanganmu waktu itu.” Aku berucap seraya menggenggam dan meremas lembut jemarinya. Mas Irsan hanya diam. Meskipun aku tengah menatap jauh ke depan sana, aku bisa merasakan bahwa ia tengah menatapku. Sejenak, keheningan mengukung kami. Aku melingkarkan lengan ke pinggang Mas Irsan, lalu menyenderkan kepala ke bahunya. Kurasakan elusan dan usapan lembut di puncak kepala. “Aku mencintaimu.” Lelaki itu berbisik dengan lembut, bisikannya menantang deru angin yang menerbangkan anak-anak rambut. Ponsel kembali berdenting. Aku merasa begitu terganggu setelah mengenal Celoz. Lelaki itu menghubungi tidak pernah mengenal waktu. Kusenyapkan notifikasi ponsel agar tidak ada lagi yang menjadi pengganggu saat-saat kebersamaanku dengan Mas Irsan. “Kenapa kau mau berjuang mati-matian untukku? Sementara kau bisa mendapatkan lelaki yang jauh lebih baik dariku? Harusnya kau tinggalkan saja aku.” Mas Irsan berucap dengan nada begitu lemah. Aku tidak ingin menjawab pertanyaan bodoh itu. “Kau cantik, Na, bisa dapat penggantiku dengan cepat. Jangan mau dibebani olehku. Kau sudah bertahan lima bulan ini, itu sudah lebih dari cukup. Dokter juga berkata sulit buat kakiku bisa sembuh.” Mas Irsan kembali melanjutkan. Aku mendongak, menoleh dan menatapnya dengan begitu lekat. Garis wajah itu tampak begitu sempurna. “Kau memilihku ketika kedua orangtuamu menolakku karena aku anak panti. Gak jelas siapa ibu bapaknya. Anak gak punya. Meninggalkan kemewahan hidupmu untuk hidup denganku. Kurasa itu gak sebanding dengan usahaku untukmu, Mas. Pengorbananmu jauh lebih besar.” Aku berucap dengan suara parau. Menahan tangisan. “Kita cuma bisa ngandelin satu sama lain. Gak ada yang bisa kita harapin.” Aku meremas ujung kemejanya dengan kuat. Sebuah batu yang mendarat di hadapan kami membuyarkan obrolan. Percikan air itu membasahi beberapa bagian dari tubuh kami. Kuusap pipi Mas Irsan yang basah karena percikan itu. “Hei, gak sopan!” Aku menegur. Lalu menatap sekitar, mencari si pelaku.“Kurasa aku mengenalmu.” Celoz berucap dengan santai seraya memainkan batu di genggamannya. Ia menatapku dengan sorot seperti biasa. Seakan ingin menerkam. Aku terbelalak saat menatap lelaki itu. Membatu dalam sekejap ketika ia memilih duduk di sisi kananku. Lalu kembali melempar batu, kali ini lemparannya jauh ke depan sana. “Kau mengenalnya?” Mas Irsan bertanya dengan nada ingin tahu. Aku tidak sanggup membuka mulut. Sungguh, melihat Celoz berada di sini seolah membuatku jadi tidak ada keberanian sama sekali. Dengan senyum yang selalu melekat di bibirnya, Celoz tiba-tiba berucap dengan santai, “Suamimu ingin tahu. Sebaiknya, kau perkenalkan diriku.”“Kau melahirkan di sini?” Celoz menatap karpet yang tampak kotor. Aku mengangguk dengan lembut, mendongak agar bisa menatapnya. Ia hanya menghela napas kasar. Lalu terdiam. Mau bagaimana lagi, aku sudah tidak sanggup berjalan. Persalinan juga tidak bisa kutunda lebih lama, sebab Dokter Weni melarang aku menahannya. Lelaki berjas hitam itu berlutut, mengambil alih bayi mungil yang ada dalam gendonganku. Sorot matanya tampak tulus dalam menatap. Ia tidak berkedip untuk beberapa saat. Hanya hitungan menit ia menggendong, bayi itu kembali menangis.Ia kembali menyerahkan padaku setelah ia kecup kening bayi itu. “Dia pasti haus.” Aku berucap.“Beri ASI kalau begitu.”“ASI-ku belum lancar. Bisa kau buatkan susu untuknya?” Aku menatap, menunggu jawaban. Ia hanya diam dengan helaan napas kasar, tatapannya masih fokus menatap bayi mungil yang belum diberi nama itu.“Di mana Dokter Weni?” Ia mengalihkan pandang dengan menatap sekitar.“Belum kembali dari mengurus ari-ari.” Lagi, ia menari
Handphone yang sudah mati total karena tidak pernah disentuh selama kurang lebih tiga bulan ini, kembali kuisi dayanya selama sejam. Kemudian mengaktifkan kembali untuk mengecek pesan yang masuk selama aku tidak menggenggam ponsel itu.Banyak pesan bermunculan setelah ponsel kembali kuaktifkan. Rata-rata pesannya masuk sebelum ponsel benar-benar kehabisan daya untuk menyala.Terutama pesan dari Mas Irsan.[Kau sibuk sampai gak ada waktu buat datang ke persidangan?][Kupikir kau akan datang, mengingat kau menolak buat pisah.]Hanya dua pesan itu saja yang masuk darinya, tidak ada lagi pesan-pesan yang ia kirim untukku. Aku menarik napas dengan kasar. Menghapus semua riwayat pesan darinya. Tidak ingin berlarut-larut dalam kesedihan yang membuatku semakin enggan untuk melanjutkan kehidupan.“Jika dia bisa hidup tanpamu, mengapa kau tidak bisa hidup tanpa dia?” Pertanyaan sederhana yang Celoz ucapkan ketika aku mencoba untuk mengakhiri hidup beberapa saat yang lalu, terngiang-ngiang di ke
Aku benar-benar tidak bisa ke mana-mana. Seperti seorang tahanan yang hanya bisa menghabiskan waktu di dalam apartemen. Tidak ada kesempatan sedikit pun untuk keluar, sebab pintu selalu terkunci dengan rapat. Terlebih ada dua penjaga di depan sana. Juga bu dokter yang dua puluh empat jam selalu bersama denganku. Aku sungguh tidak punya privasi sekarang. Makan, mandi, tidur selalu ditemani oleh dokter itu. Sebab takut terjadi sesuatu terhadapku. Celoz selalu rutin mengunjungi sekali dalam sehari. Tidak ada kalimat sama sekali yang terlontar dari mulutnya. Ia datang hanya mengantar makanan, menatapku sekilas, lalu pergi lagi. Aku mulai bosan dengan rutinitas yang kujalani setiap hari. Seolah dejavu, hal sama yang terjadi berulang kali. Bangun, makan, nonton televisi, olah raga ringan bersama dokter itu, lalu tidur. Seperti itu setiap hari. Aku mulai rindu menginjak tanah. Menghirup polusi di jalanan yang biasanya selalu kubenci. Mendengar klakson yang bising saat terjadi macet. Juga
Mobil berbelok menuju arah lain ketika kami hampir tiba di tempat tujuan. Celoz memutar arah laju kendaraan. Aku mengerutkan dahi, bingung. Menoleh ke luar jendela dengan kaca yang masih tertutup rapat. Menatap hotel yang berdiri di depan sana. Kami berjalan menjauh dari bangunan itu. “Kenapa putar balik?” Akhirnya aku mengutarakan pertanyaan yang mengukung dada. Menatap Celoz yang tampak fokus dalam menyetir. Ia tidak menjawab sama sekali. Terus menancap laju mobil. Aku berusaha untuk membuka pintu, tapi terkunci. Tidak bisa dibuka sama sekali. “Kita mau ke mana?” Aku mulai panik. Sebab ini tengah malam, jalanan sudah mulai sepi meskipun masih ada beberapa kendaraan yang lalu lalang. “Pulang.” Celoz menjawab dengan santai. “Aku mau bertemu suamiku.” “Aku juga suamimu.” Ia mengingatkan. Aku berdecak kesal. Pusing memikirkan cara untuk menghentikan laju mobil. Aku ingin bertemu dengan Mas Irsan sekarang. Tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Sebab, semakin lama aku menunggu den
“Gila kamu! Kenapa Nina sampai begini?!” Suya marah besar saat Celoz akhirnya datang juga ke rumah sakit setelah ia coba hubungi berkali-kali. Aku hanya bisa menatap dari brankar tempatku berbaring dengan lemah. Andai Suya tidak datang ke rumah, tidak akan ada yang membawaku ke rumah sakit untuk dirawat. Celoz tidak menjawab, ia hanya diam saat Suya melampiaskan amarah dengan memaki dan memukul dadanya berkali-kali. “Dia itu lagi hamil, yang ada di kandungannya itu anak kamu! Tega kamu mukul dia?” Suya tampak benar-benar peduli. Ada luapan amarah saat ia menatap sosok Celoz. Mungkin juga merasa bersalah, sebab ia yang menjadi jembatan atas pertemuan dan perkenalan kami. Celoz menoleh padaku saat Suya tidak juga kunjung berhenti memarahi. Aku membuang muka, tidak ingin membalas tatapan itu. Yang kuinginkan sekarang hanyalah Mas Irsan. “Aku masih ada urusan, dia tampak baik-baik saja. Tagihan rumah sakit biar aku yang melunasi. Kalian menghubungiku karena menginginkan itu bukan?”
Aku kembali mengaktifkan ponsel yang telah kumatikan beberapa saat lalu. Ingin menghubungi Suya untuk meminta bantuan darinya. Sebab, aku tidak tahu harus ke mana sekarang. Terlebih sudah tidak ada pegangan. Setiap uang yang kudapat dari transferan Celoz, selalu kuteruskan ke rekening Mas Irsan untuk tambahan biaya pengobatan. Hanya tersisa beberapa lembar berwarna merah di dalam tas. Ada banyak pesan masuk dari Celoz setelah ponsel kembali aktif. Ia sangat marah saat tahu aku tidak ada di apartemen ketika ia kembali lagi. Berkata akan menghajarku jika kami bertemu nanti. Kuabaikan rentetan pesan itu. Mencari nomor Suya untuk lekas menghubungi. Panggilan langsung diterima sejenak setelah terdengar nada sambung. “Ada masalah?” Pertanyaan itu langsung menyambut, sebab aku hanya diam dengan isakan setelah panggilan tersambung. “Dia mau cerai.” Aku menjawab dengan tangisan yang menyertai. Tidak sanggup untuk menjelaskan lebih detail lagi, sebab lidah terasa berat untuk berucap. “Di