Anastasia tersenyum puas ketika William akhirnya menginjakkan kaki di apartemennya. Hari ini, ia tidak akan membiarkan William pergi begitu saja. Ia ingin memastikan bahwa pria itu tidak akan bisa menghindarinya lagi.
“William, aku akan mandi sebentar. Anggap saja Ini rumahmu sendiri,” ujar Anastasia dengan nada menggoda sebelum masuk ke kamarnya.William hanya mengangguk tanpa ekspresi. Setelah pintu kamar tertutup, ia menghela napas pelan dan meraih ponselnya. Lemarinya bergerak cepat, membaca pesan dari Robert yang tengah mencari informasi tentang seorang wanita yang bernama Rose dan anak kecil tadi.Rose... Apakah dia Emily?Pikirannya masih penuh dengan kemungkinan itu. Hati kecilnya tidak bisa mengabaikan kecurigaan yang tumbuh sejak pertemuan dengan bocah kecil di depan kantor JB fashion tadi.Tidak lama kemudian, Anastasia keluar dari kamar mandi. Tubuhnya hanya terbungkus jubah mandi sutra berwarna merah, rambut basahnya dibiKeramaian bandara malam itu tidak menghalangi sosok Lavine dan Jordi yang berdiri di dekat gerbang kedatangan internasional. Mereka berdiri dengan wajah tegang tapi penuh harap, sesekali melirik layar kedatangan. Jordi tersenyum, dia merasa bahagia karena Lavine benar-benar akan menikah. Hubungannya dengan Ibu serta keluarga baru Ibunya juga sudah kembali terjalin. “Anda siap, Tuan?” tanyanya pelan. “Anda terlihat gugup, loh...” “Sudah bertahun-tahun aku memimpikan Ibuku datang ke sini, dan sekarang, sehari sebelum aku menikah, Ibuku datang... mereka juga benar-benar datang,” ujar Lavine, suaranya terdengar seperti menahan napas. Jordi menganggukkan kepalanya. “Anda pantas untuk semua kebahagiaan ini, Tuan.” Tak lama kemudian, sosok wanita paruh baya berjalan cepat dari arah pintu kedatangan, ibu kandung Lavine. Di belakangnya, suaminya yang sekarang dan dua anak remaja, adik
Bandara Internasional malam itu dipenuhi penumpang dari berbagai penjuru dunia. Tapi di tengah keramaian, satu sosok tampak berjalan tenang, tinggi, rapi, dan membawa koper kecil berwarna hitam. Sosoknya yang tampan dengan sorot mata yang tajam, siapapun pasti akan menoleh dan terpesona karena visualnya begitu sempurna. Itu Greyeson, adik Elle, yang selama ini menempuh pendidikan di luar negeri. Hari itu, ia kembali… bukan karena panggilan darurat, tapi karena sesuatu yang jauh lebih istimewa, yaitu pernikahan kakak perempuannya. Ya. Nyatanya, dia dipaksa pulang oleh Ayah dan Ibunya. Padahal, dia benar-benar masih ingin bersantai di negara dia tinggal sebelumnya. Di gerbang kedatangan, Emily dan William sudah menunggu. Saat melihat putranya keluar dari pintu otomatis, ia langsung memeluknya erat. “Sayang!” teriak Emily, girang. William tersenyum bahagia. Setelah beberapa tahun
Di balkon lantai dua rumah keluarga Emily dan William, angin sore berhembus lembut membawa harum bunga di musim semi. Di bawah sana, terlihat Lavine dan Elle sedang berbincang dengan senyum mengembang, tertawa ringan tanpa beban, seolah dunia yang sempat menekan mereka kini justru jadi saksi kekuatan cinta mereka yang tidak tergoyahkan. William menyeruput teh dari cangkir porselennya, lalu menoleh pada istrinya. “Dia bertahan... tanpa minta tolong sedikit pun pada kita.” Emily mengangguk, sorot matanya mulai hangat. “Bahkan saat kita tahu kita bisa menyelesaikan semuanya dalam satu momen saja…” “Dia memilih menyelesaikannya dengan kepalanya sendiri,” lanjut William. “Dan lebih hebatnya… dengan hatinya. Aku masih saja ragu melepaskan Elle untuk menikah. Tapi, beberapa waktu belakangan ini Lavine membuatku yakin tanpa banyak basa-basi.” Keduanya terdiam sejenak, menyaksikan bagaimana Lavine menatap Elle, b
Rayn tidak lagi bisa duduk diam. Setiap usaha menjatuhkan Lavine selalu berbalik menjadi kekuatan tidak terbantahkan baginya. Wawancara itu, alih-alih merusak reputasinya, justru mengangkat Lavine ke tingkat yang lebih tinggi. Ia kini bukan hanya dihormati, tapi dicintai karena masa lalunya yang kasihan itu. Dan itu membuat Rayn semakin gelap mata. Malam itu, ia memanggil seseorang ke apartemennya, seorang pria dengan koneksi ke dunia hiburan. Mereka berbicara singkat, lalu Rayn menyerahkan sebuah amplop tebal dan sebuah flash drive dari kantungnya. “Sebarkan video ini. Gunakan akun anonim, dan pastikan bisa viral. Orang-orang harus tahu siapa Lavine sebenarnya. Dia harus terhina.”Langkah yang sama, Ramon benar-benar dibutakan oleh kebencian. Padahal, akhirnya pun sudah bisa ditebak. Di dalam video itu terdapat potongan rekaman lama, disatukan secara manipulatif. Klip-klip Lavine sedang berteriak saat demo seni, cup
Dari kejauhan, Rayn terus memperhatikan Lavine dan Elle. Matanya tajam, penuh bara. Ia berdiri diam di antara para tamu, tapi pikirannya berkecamuk hebat. Senyuman-senyuman yang ditujukan kepada Lavine, pujian-pujian yang terus mengalir, semua itu terasa seperti hinaan yang menusuk harga dirinya. “Sejak kapan dia bisa seperti ini? Kenapa dia jadi lebih dari aku?” batinnya mendidih. Dia adalah anak sah Ramon, pewaris resmi. Ia tumbuh dengan semua fasilitas, pendidikan terbaik, dan lingkungan yang eksklusif. Tapi malam ini, semua sorotan justru tertuju pada adik tirinya, Lavine. Seorang anak dari perempuan rendahan yang dulu bahkan tidak dianggap oleh keluarga.Kenapa bisa begini?Kenapa dunia justru begitu baik pada anak seorang rendahan? Dan yang lebih menghinanya lagi ternyata Lavine adalah Zero, seniman yang paling fenomenal yang selama ini dielu-elukan. Bahkan Rayn sendiri sempat mencoba membeli salah satu luk
Setelah pidato dan pembuktian bahwa Lavine adalah seorang Zero, seketika itu Lavine pun menerima banyak ucapan selamat, permohonan maaf, dan pujian-pujian yang terdengar begitu indah di telinganya. Yah... mirip seperti para penjilat. Namun, lavine sendiri tidak bisa bertindak frontal dan berbicara semaunya. “Tuan Lavine, saya benar-benar meminta maaf karena begitu lepaskan dari tadi. Nama Zero telah saya anggap sebagai simbol dari kebanggaan. Jadi, rasanya berat sekali jika ada orang yang mengaku-ngaku sebagai Zero tanpa ada pembuktian,” ucap salah satu tamu undangan dengan ekspresinya yang terlihat cukup tulus. Yang selain juga mengucapkan hal yang sama. “Tidak masalah. Saya sendiri memahami situasinya,” balas Lavine. Elle yang berada di samping Lavine tersenyum. Melihat Lavine memiliki kepercayaan diri seperti sekarang ini membuat perasaan khawatir dan g
Begitu nama Zero dipanggil untuk naik ke podium, semua mata menatap ke arah panggung dengan penuh antusias dan antisipasi. Namun yang mengejutkan, bukan sosok asing dengan pakaian formal atau wajah yang misterius yang melangkah maju seperti penampilan Zero biasanya. Justru Lavine, pria yang sejak awal dicemooh dan dianggap tidak pantas, bangkit dari tempat duduknya di barisan depan dan berjalan perlahan menuju ke podium. Kebisuan seketika menyelimuti ruangan itu. Bisik-bisik mulai terdengar, makin lama makin riuh. “Apa-apaan ini?” “Apa yang sedang dia lakukan di sana?” “Itu Lavine, bukan? Pria sampah itu. Kenapa dia yang maju ke sana?” “Jangan bilang dia benar-benar Zero?” “Ah, itu jelas tidak mungkin!” Ramon dan Rayn yang duduk tak jauh dari panggung mengepalkan tangan mereka dengan kuat.
Suara Ramon menggema di seluruh galeri, tajam dan tanpa sedikit pun keraguan. Ia melangkah maju satu langkah, menatap langsung ke arah Lavine, lalu berkata dengan suara lantang yang membuat semua tamu menghentikan napas mereka “Anda semua menjadi saksi ku hari ini. Dengarkan baik-baik! Mulai hari ini, aku tidak memiliki hubungan apa pun dengan Lavine! Apa pun yang terjadi padanya di masa depan, baik atau buruk, tidak ada sangkut pautnya denganku. Tidak ada lagi ikatan darah. Tidak ada lagi ikatan keluarga di antara kami.” Orang-orang di sana pun kompak terdiam. Bisik-bisik yang sebelumnya beredar kini sepenuhnya berubah menjadi keheningan penuh perhatian. Suara musik latar di galeri bahkan terasa tidak terdengar, seolah seluruh ruangan membeku dalam satu momen dramatis. “Jangan pernah lagi mencatut namaku dalam situasi apapun. Jangan pernah lagi mengaku sebagai anakku. Karena kau... bukan siapa-siapa mu lagi,” lanjut Ramon dengan dingi
Langkah Elle mantap memasuki gedung galeri, suara hak sepatunya menggema lembut di lantai marmer. Seperti biasa, aura elegan dan wibawa yang mengiringi kehadirannya berhasil menyita perhatian banyak tamu. Namun, kali ini ada yang agak berbeda. Elle hanya datang sendiri. Setelah hubungannya dengan Lavine terkuak, gadis itu justru datang tanpa Lavine di sisinya, seolah diam-diam membenarkan rumor yang selama ini bergulir bahwa hubungan mereka sedang berada di ujung tanduk. Gaun malam berwarna gelap yang membalut tubuhnya menambah kesan dingin dan tegas. Namun, senyuman sopan tetap ia berikan kepada tamu-tamu yang menyapanya, seolah tidak ada yang salah. Tatapan penuh tanya, bisikan-bisikan lirih, dan pandangan yang mencoba menebak-nebak alasan Lavine tidak terlihat bersamanya, semuanya tidak ia hiraukan. Elle terus berjalan, memba