Selama ini, Emily selalu memandang rendah William dan merasa bahwa kebersamaan mereka adalah beban perjodohan dua keluarga.
Namun kini, pria itu justru menunjukkan cinta yang lebih besar daripada yang pernah dia bayangkan? Air mata Emily jatuh semakin deras. Dalam hati, ia bertekad, ‘Aku harus memperbaiki segalanya.’ Grep! Emily meraih tangan William. Dengan ekspresi wajah penuh keyakinan, ia langsung tegas berkata, “Berikan aku waktu lagi, William, aku belum ingin bercerai...” “Aku tahu aku salah. Aku….” Ucapan Emily terputus. Dia sudah kehilangan kata-kata. Perilakunya selama ini rasanya terlalu kurang ajar sebagai seorang istri dan dia telat menyadarinya. Di sisi lain, William menghela napas. “Emily, aku akan menegaskan bahwa aku tetap tidak bisa kehilangan proyek besar itu. Aku tidak bisa menghancurkan para pegawai kantor yang sudah ikut berusaha keras.” Cepat Emily pun menggelengkan kepalanya, “Tidak, aku tidak mau proyek itu lagi. Hanya, biarkan aku berada di sisimu lebih lama lagi, ya...” mohonnya pilu. Dapat Emily lihat, alis William terangkat sebelah–seolah kebingungan dan tak percaya dengan apa yang didengarnya. Sepertinya, William yakin istrinya itu ingin merebut proyek besar yang sedang menjadi prioritas perusahaannya dengan cara yang lebih halus, licik. “Kalau kau benar-benar ingin tetap di sisiku,” kata William akhirnya. Suaranya tenang tapi dingin, “Kau harus mengikuti semua aturan yang aku berikan nantinya. Tidak ada pengecualian.” Meski tidak bisa melihat, Emily merasakan tubuhnya merinding kala suaminya itu menunjukkan ekspresi tajam. Hanya saja, tekad Emily sudah bulat. Tanpa ragu sedikit pun, wanita itu menganggukkan kepala. “Aku setuju. Apa pun peraturan yang akan kau buat, aku akan mengikutinya.” William sontak menggerakkan tangannya mencari wajah Emily, lalu menempelkan punggung tangannya ke dahi Emily. “Kau demam?” tanyanya, lebih kepada dirinya sendiri. Namun, dahi Emily terasa normal. Tidak ada panas yang menandakan demam tinggi atau kondisi tidak sadar. Tapi tetap saja, William tampak sulit percaya. “Kau benar-benar bicara serius?” Emily sendiri menghela napas. Ia merasa wajar jika suaminya itu bertindak demikian. Tadi pagi, dia masih bersikeras merebut proyek itu untuk diserahkan pada Hendrik. Emily bahkan mengancam untuk bercerai. Tak hanya itu, Emily pernah menyabotase proyeknya, mencoba merusak kepercayaan mitranya, dan bahkan memanfaatkan posisinya sebagai istri untuk keuntungan pribadi. Lalu sekarang mendadak berubah? Siapa yang dapat percaya? “Ya, William. Aku serius.” Meski ia tahu William tak dapat melihatnya, Emily menatap pria itu lurus, tanpa ragu. Menghela napasnya, William memegang tongkat penuntun miliknya dengan erat. “Baik,” katanya akhirnya. “Kalau memang begitu, kau akan membuktikan ucapanmu. Tapi ingat, Emily, kali ini aku tidak akan segan-segan. Sekali saja kau melanggar aturanku, aku tidak akan memberi kesempatan lagi.” Emily mengangguk lagi padahal jelas William tuda bisa melihatnya, kali ini lebih mantap. “Aku mengerti.” Senyuman puas tersemat di bibir Emily, merasa yakin kalau ketulusan William memang tidak akan ada yang menandingi. ’Bodoh sekali aku selama ini,’ pikir Emily, kesal pada dirinya sendiri. William mengangguk. “Oh iya, Emily. Nanti orang tuamu akan datang. Aku harap—” Sayangnya, ucapan pria itu berhenti kala pintu rawat inap Emily terbuka tiba-tiba. Hendrick datang dengan wajah prihatin dan sedih melihat Emily. “Ya ampun, Emily...” ucapnya tanpa tahu wajah palsu itu sudah diketahui Emily dan membuatnya muak dan mual. Hanya saja, Hendrick justru mendekat dan tanpa tahu malu, langsung menyingkirkan tubuh William hingga pegangan tangan Emily terlepas. Pria bajingan itu langsung saja menyentuh wajah Emily dan memeluknya. Emily jelas ingin menolak. Tapi, tubuhnya yang terluka membuat ruang geraknya terbatas. Belum lagi, Hendrick kembali berbicara semaunya. “Emily, kenapa bisa begini? Aku benar-benar menyesal untuk apa yang terjadi denganmu, kenapa tidak aku saja yang terluka? Sungguh, aku siap menggantikan mu.” Cih! ‘Keparat satu ini,’ batin Emily kesal Di sisi lain, William terdiam sambil mengepalkan tangannya. “Aku keluar dulu,” ucapnya. Sambil meraba, William mencoba keluar dengan hati-hati. “Eh, Will—” Emily mencoba meraih tangan William, namun Hendrick menahan tangan Emily, hingga William keluar dari ruangan itu. Emily membuang napas kesal. Seketika itu mendorong Hendrick lalu berkata, “Kenapa kau ke sini sih, Hendrick?” pertanyaan itu bentuk protes Emily. Hendrick jelas melihat perubahan yang signifikan dari sikap Emily. Pria itu coba mengacuhkan, yakin benar Emily tidak mungkin membencinya. “Sayang,” panggil Hendrick. “Bagaimana keadaanmu? Kau baik-baik saja, kan? Ya Tuhan... hampir saja jantungku copot.” Emily membuang napas, coba menenangkan dirinya. Namun, siapa yang akan mengira kalau saat ini jantung Emily berdegup sangat keras. Kebencian... Itulah yang tersisa sekarang terhadap Hendrick. Padahal, dia mencintai sampai ke tulang sumsum sebelumnya. Penghinaan, pengkhianatan, intrik licik, dan rasa sakit yang Emily dapatkan akan dia balas secara tuntas. ‘Ah, sial! Kenapa aku bodoh sekali selama ini?’ batin Emily, lagi-lagi merutuki kebodohannya. “Sayang...” panggil Hendrick lagi dengan nada lembut, hampir seperti bisikan mesra. Emily tersadar, merinding ngeri mendengarnya. “Keluar. Aku ingin istirahat, jangan ganggu aku!” titah Emily, matanya tajam dan tegas. Hendrick terdiam sesaat. Mata kemarahan itu tidak biasa, Hendrick bertanya di dalam hati, ‘Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa Emily aneh?’ “Sayang, apa kau marah karena aku datang terlambat?” tanya Hendrick. Tangannya coba mengusap wajah Emily dengan lembut, namun gagal karena Emily menepisnya. “Bukan. Aku marah karena kau datang ke sini, paham?” balas Emily. Hendrick memaksakan senyumnya, “Wah... gadis cantikku ini sedang merajuk, ya?” Emily tercengang melihat kepercayaan diri yang tak masuk akal itu. ‘Merajuk, katanya? Kepalanya ini minta di-bor, ya?!’ batin Emily. Hanya saja, Hendrick mendadak mencoba untuk memeluk Emily yang sontakmelihat noda merah di leher Hendrick. Jelas itu perbuatan Jessica. Wanita rendahan, pria bajingan. Yah, mereka benar-benar sangat serasi! Untungnya, dia sudah sadar. “Enyahlah, Hendrik,” titah Emily, mendorong Hendrick menjauh darinya. Namun, pria itu justru bingung karena tidak paham apa yang sebenarnya terjadi dengan Emily. Pria itu jelas tak mungkin membiarkan hubungannya dengan Emily memburuk. Hendrick perlu Emily untuk mendapatkan proyek besar milik William. Namun, sorot mata Emily yang tajam seolah menyalak marah, dan tegas, Hendrick tidak bisa merayunya saat ini. “Kenapa masih diam?” tanya Emily, dingin. Hendrick lagi-lagi memaksakan senyumnya. “Sayang, aku lihat kepalamu diperban. Aku tidak akan menyalahkan mu untuk sikapmu kali ini. Kau pasti tidak melakukannya dengan sengaja. Aku akan kembali besok, jaga dirimu baik-baik, ya...” Mendengar itu, Emily pun berdecih kesal. Tapi, Emily tidak ingin terlalu menunjukkan rasa muak yang ia miliki terhadap pria itu saat ini! Dia akan balas dendam padanya!Langkah Elle mantap memasuki gedung galeri, suara hak sepatunya menggema lembut di lantai marmer. Seperti biasa, aura elegan dan wibawa yang mengiringi kehadirannya berhasil menyita perhatian banyak tamu. Namun, kali ini ada yang agak berbeda. Elle hanya datang sendiri. Setelah hubungannya dengan Lavine terkuak, gadis itu justru datang tanpa Lavine di sisinya, seolah diam-diam membenarkan rumor yang selama ini bergulir bahwa hubungan mereka sedang berada di ujung tanduk. Gaun malam berwarna gelap yang membalut tubuhnya menambah kesan dingin dan tegas. Namun, senyuman sopan tetap ia berikan kepada tamu-tamu yang menyapanya, seolah tidak ada yang salah. Tatapan penuh tanya, bisikan-bisikan lirih, dan pandangan yang mencoba menebak-nebak alasan Lavine tidak terlihat bersamanya, semuanya tidak ia hiraukan. Elle terus berjalan, memba
Lavine menyandarkan punggungnya ke sofa dengan santai, satu tangan memegang ponsel yang masih terhubung dengan panggilan dari Ramon. Di seberang sana, suara Ramon terdengar meninggi, penuh kemarahan dan kekecewaan yang tidak terbendung lagi. “Aku sudah berikan aset, uang, bahkan dukungan di belakang layar untukmu, Lavine! Dan sekarang kau bilang tidak bisa membantuku masuk ke galeri Zero? Setidaknya hubungi William, atau hubungi Elle! Mereka bisa mengatur satu undangan untukku, kan?!” Lavine terkekeh pelan, nadanya dingin namun tenang. “Ayah pikir setelah berita-berita busuk yang beredar soal aku, mereka akan begitu saja membuka pintu untuk orang yang masih keluarga ku? Ayah terlalu percaya diri sekali. Keluarga Elle tidak bisa Ayah perlakukan seperti anak buah Ayah sendirian.” “Jangan main-main denganku, Lavine!” bentak Ramon. “Kalau kau tidak bisa memberi manfaat, maka semua yang kuberika
Rayn berdiri mematung, rahangnya mengeras saat mendengar pengakuan Ramon barusan. Kata-kata ayahnya itu terasa seperti tamparan keras yang menghantam sisi kepalanya. “Ayah memberikan aset… dan uang… untuk pria brengsek itu?” tanyanya dengan suara serak, matanya menatap Ramon tajam penuh luka. Ramon menghela napas berat, tidak menampik. “Itu juga demi kelangsungan hubungan bisnis kita dengan keluarga Elle. Demi masa depan kita juga, Rayn. Itulah kenapa harusnya kau tidak mengusik Lavine dulu!” Rayn mengepalkan tangannya begitu kuat hingga buku-buku jarinya memutih. “Masa depan siapa? Masa depanku, atau masa depan dia?” Suaranya bergetar, antara kemarahan dan rasa terbuang yang tak mampu ia bendung. “Jadi, Ayah sudah memilih dia. Anak haram yang bahkan tidak tumbuh di rumah ini. Ayah pikir dia lebih pantas dari pada aku yang anak sah di keluarga ini?” “Rayn, jangan—” “Aku ini anak kandung Ayah, aku anak sah!” seru Rayn, matanya berkaca-kaca. “Bukan dia! Tapi sekarang Ayah bahk
Berita tentang Lavine semakin meluas dan tidak terkendali. Foto dirinya saat tengah duduk di kafe outdoor, mengenakan pakaian santai, menikmati semangkuk mi instan cup sambil merokok tersebar luas di media sosial. Banyak akun anonim maupun publik ikut menyebarkan gambar itu disertai narasi yang menyudutkan dan menghina. Komentar-komentar tajam dan menyudutkan mengalir deras di kolom tanggapan. “Inikah pria yang melamar gadis konglomerat bernama Elle? Makan mi instan di kafe dan merokok seolah hidup tidak punya arah.” “Dia berpenampilan seperti preman. Bahkan aku sampai tidak berani menebak kapan dia terakhir mandi.” “Dasar pria pemalas! Mau hidup enak dengan menumpang ke perempuan kaya! Dia benar-benar tidak tahu malu.” “Pantas saja wajahnya tidak pernah muncul di acara besar, ternyata dia tidak punya apa-apa.” Lavine dijuluki dengan berbagai sebutan kasar, sampah masyarakat, penumpang kelas elit, pengangguran tampan, hingga manipulator cinta. Banyak yang menuduhnya mendek
Lavine sedang duduk santai di balkon apartemennya bersama Elle, menyeruput teh hangat dari cangkir putih polosnya. Udara pagi itu sejuk, suasananya pun begitu tenang hingga detik Elle menyodorkan ponselnya ke arah Lavine. “Jangan terlalu santai. Ini… kau lihat sendiri,” ucap Elle pelan, namun jelas terdengar serius. Lavine menerima ponsel itu tanpa banyak curiga, namun begitu matanya menangkap judul berita di layar, tubuhnya refleks tersentak. Teh yang baru saja masuk ke mulutnya langsung disemburkan ke udara, nyaris mengenai meja kecil di depan mereka. Brep...! “Apa-apaan ini?” serunya, nyaris tidak percaya dengan apa yang dibacanya. “Wah, aku jadi artis, ya?” “Lavine, Tunangan Elle yang Tidak Layak, Latar Belakang Miskin dan Tak Diketahui!” “Elle dari Keluarga William Menerima Lamaran dari Sampah Sosial?” Kalimat demi kalimat yang terpampang di artikel itu menghujam sepe
Begitu sampai di negaranya, Rayn duduk terdiam di kursi belakang mobil mewah yang datang untuk menjemputnya. Kepalanya masih terasa berat akibat perjalanan dan hari-hari melelahkan yang baru saja ia lewati selama proses kepulangannya. Namun rasa lelah itu langsung lenyap saat ponselnya menyala, sebuah notifikasi berita dan pesan pribadi masuk hampir bersamaan. “Pria bernama Lavine Melamar Putri kebanggaan keluarga William, Elle atau ‘Merielle Jenn William’ Lamaran Penuh Kejutan dan Cinta.” Judul itu terpampang jelas di layar ponsel barunya. Rayn membaca cepat isi artikelnya. Foto Lavine, dengan setelan sederhana namun elegan, sedang menyematkan cincin di jari manis Elle, terlihat diambil dari jarak jauh. Di bawahnya, komentar netizen dan media pujian terhadap hubungan rahasia mereka memenuhi kolom berita.
Di sudut belakang sebuah toko roti yang mulai gelap karena menjelang malam, Rayn berjongkok sambil memunguti sisa roti yang tidak laku dan dibiarkan dalam kotak kardus, sudah dimasukkan ke dalam tempat sampah. Roti-roti itu sudah mulai keras, dingin, sebagian bahkan sudah mengering. Tapi Rayn tidak punya pilihan lagi. Dengan tangan gemetar dan tubuh yang lusuh, dia menyobek satu roti, lalu menyuapkannya ke mulut. Rasanya hambar, bahkan pahit karena bercampur dengan rasa malu dan luka yang tidak kasat mata. Air matanya mengalir deras diam-diam. Dulu, dia terbiasa duduk di restoran mahal, memesan makanan tanpa melihat harganya lagi. Kini, dia berjongkok di trotoar kotor, makan seperti pengemis. Tidak ada lagi teman, tidak ada keluarga, tidak ada siapa pun yang mencarinya. Dunia yang dulu merasa akrab, kini memunggunginya dengan acuh. Sambil mengunyah roti y
Malam itu, Lavine mengajak Elle makan malam di sebuah restoran outdoor yang terletak tidak jauh dari pusat kota. Suasana tempat itu hangat dan intim, diterangi cahaya lampu gantung yang menggantung di antara pepohonan kecil, menampilkan keindahan yang begitu sempurna. Angin malam berhembus pelan, membawa aroma masakan dan bunga-bunga yang tumbuh di sekeliling area makan menjadi aroma yang justru menyenangkan hati. Lavine menarik kursi untuk Elle sebelum duduk di hadapannya. Mereka saling tersenyum, menikmati ketenangan yang jarang mereka dapatkan belakangan ini. Maklum saja, masalah datang silih berganti hingga waktu tenang seperti ini seperti sesuatu yang begitu mahal. “Senang sekali rasanya bisa duduk tenang seperti ini,” ucap Elle pelan, menatap Lavine dengan tatapan yang hangat. Lavine mengangguk sambil menyesap air mineralnya. “Aku juga. Kadang, hal sederhana seperti ini justru yang paling berarti
Lavine melangkah keluar dari rumah Ramon dengan senyum tipis yang penuh dengan arti. Angin sore itu menyentuh wajahnya, seolah ikut merayakan kemenangan kecil yang baru saja diraihnya. Tanpa Ramon sadari, ia telah mengambil sedikit keuntungan yang lumayan. Di dalam genggamannya, ia membawa berkas-berkas legal yang menunjukkan kepemilikan atas beberapa aset strategis, tanah, saham, dan sejumlah besar dana yang ditransfer ke rekening bisnisnya hari itu juga. Ramon, meski keras kepala, akhirnya memilih untuk berkorban demi satu hal saja, menjalin hubungan baik dengan keluarga Elle. Bagi Lavine, itu langkah yang menarik juga terlambat, tapi tidak sia-sia untuknya. Ia tahu, Ramon bukan pria yang akan memberi sesuatu tanpa maksud tersembunyi seperti ini. Namun Lavine juga bukan anak yang mudah dijatuhkan begitu saja. “Aku tidak akan membuang peluang ini," gumamnya pelan, memandangi cakrawala yang mulai menguning indah. “Kalau si Ramon ingin menebus masa lalu, biar saja di