Hendrick terkesiap, tetapi ia berusaha mengubah ekspresinya itu kembali normal, “Karena Kau hanya mencintaiku, paham?!”
Emily tersenyum sinis. Mendengar kata ‘hanya mencintaiku’ dari mulut Hendrick, membuat jijik. Plak! Emily tiba-tiba saja menampar Hendrick! William tersentak kaget. Begitu juga dengan Robert yang masih tak percaya dengan apa yang sedang terjadi ini. Sementara itu, tatapan Hendrick berubah tajam. Tidak ada yang pernah berani memberikan tamparan seperti itu padanya. “Emily, apa yang kau lakukan? Kenapa kau menamparku, hah?” protes Hendrick. Percayalah, pria itu benar-benar sedang menahan diri agar tidak memukul Emily. Selain masih sangat membutuhkan Emily untuk rencana jahatnya, Hendrick merasa rugi jika membiarkan William menang karena Emily berpihak padanya sekarang. Namun bukannya takut, Emily justru tersenyum lalu membalas, “Aku tidak bisa menendang mu karena kakiku sakit, jadi aku pikir tamparan itu cukup untuk mengurangi sedikit rasa kesal ku.” Hendrick mengepalkan tangannya. Lagi-lagi harus menahan diri. “Apa yang kau lakukan sekarang Pasti karena kau sedang tidak sadar. Jadi, kalau kau datang lagi padaku untuk memohon pengampunan dariku, kau akan membayarnya dengan sangat mahal!” ancamnya, “aku tidak memiliki kesabaran yang terlalu banyak. Jadi, Jangan datang padaku lagi dan mengemis cinta dariku jika kau tidak benar-benar memahami kesalahanmu!” Hendrick melangkah pergi, amarahnya pun hanya bisa ia tahan di dadanya. Emily tersenyum senang karena berhasil membalas setidaknya 1% rasa sakit hatinya. Hanya saja, suara asisten William menginterupsi kebahagiaannya itu. “Wah, kalian berdua benar-benar sangat totalitas sekali, ya. Sungguh, saya benar-benar sangat tersentuh. Nona Emily, Apakah perlu Saya mendaftarkan anda untuk mengikuti casting?” cemoohnya. Emily menaikkan satu sisi bibirnya. Dia tahu perlakuannya tidak baik pada William selama ini. Akan tetapi, perilaku Robert ini kadang-kadang di luar batas wajar antara asisten dan atasan! “Jadi, apa kau iri, sekretaris Robert? Bagaimana, mau coba rasanya tamparan dariku?” kesal Emily pada pria itu. “Sudah jangan bertengkar.” Suara bariton William menginterupsi, “lagipula, masih ada tahapan pemeriksaan yang perlu Emily lakukan.” Emily dan Robert menghela napas. Mereka tampaknya harus menunda pertengkaran mereka! *** Drap! Suara langkah sepatu terdengar di lorong rumah besar itu. Emily dan William baru saja tiba setelah dokter yang untungnya, menyatakan bahwa kondisi wanita itu cukup membaik untuk pulang ke rumah. Ruang tengah yang luas dengan dekorasi klasik langsung menyambut keduanya. Emily diam-diam melirik pria yang berjalan perlahan di sampingnya, tangannya terulur memegang tongkat penuntun. Setelah duduk di sofa saling berseberangan, Emily menatap William dengan pandangan yang baru. Wajah pria itu begitu tenang, garis-garis wajahnya sempurna. Ia benar-benar tampan, sesuatu yang baru disadari Emily setelah dua tahun mereka menikah. “Ya ampun...” Emily keheran. “Tercolok apa mataku sampai-sampai bisa melihat Hendrick menjadi sangat sempurna?” bisiknya. Emily menghela napas panjang. Penyesalan menyelimuti hatinya. Betapa bodohnya ia karena selama ini mengabaikan William dan malah mengejar Hendrick, pria yang hanya membawa luka dalam hidupnya. Pikiran itu membuat dadanya sesak. Tak lama, langkah kaki lain terdengar. Robert masuk membawa selembar dokumen di tangannya. “Tuan, ini dokumennya,” katanya dengan sopan. William mengulurkan tangannya, lalu Robert menyerahkan dokumen itu. Dengan gerakan penuh kehati-hatian, William meletakkannya di meja di depannya, tepat di antara dia dan Emily. “Emily,” suara William terdengar tenang namun tegas, “ini adalah dokumen yang perlu kau sepakati jika kau benar-benar ingin tetap berada di sisiku dan mempertahankan pernikahan kita.” Emily menatap dokumen itu dengan sedikit ragu, namun rasa ingin tahu mengalahkan segalanya. Ia meraihnya dengan cepat, membuka halaman pertama, dan mulai membaca. 1. Emily tidak boleh pergi dari rumah tanpa izin William. 2. Emily tidak boleh memiliki hubungan apapun dengan Hendrick maupun pria lainnya, baik secara langsung maupun melalui media sosial. 3. Emily harus berhenti membuang uang untuk hal-hal yang tidak penting. 4. Emily tidak boleh lagi menggunakan pakaian seksi di luar rumah. 5. Emily harus mulai terbuka dalam segala hal kepada William. 6. Emily tidak boleh lagi tinggal di kamar terpisah dari William. 7. Jika Emily kedapatan membantu Hendrick untuk merebut proyek besar di perusahaan William, maka Emily akan menanggung biaya ganti rugi secara keseluruhan. Emily menyelesaikan bacaannya dengan ekspresi yang sulit diterjemahkan. Ia menatap William, yang wajahnya tetap tenang tanpa emosi berlebih. “Apakah ada yang tidak kau setujui?” tanya William, kepalanya sedikit miring ke arah Emily. Emily menggeleng perlahan. “Tidak, aku setuju,” jawabnya dengan suara lembut. Tidak ada poin dalam dokumen itu yang terasa memberatkan. Ia bahkan merasa lega. Baginya, William, dengan kondisinya yang buta, tidak mungkin melakukan sesuatu yang aneh atau berbahaya. “Baiklah,” kata William singkat. “Jika begitu, tanda tangani.” Emily mengambil pena yang telah disiapkan di samping dokumen, lalu menuliskan namanya di bawah perjanjian itu. “Sudah ditandatangani, Tuan,” ucap Robert, mengabarkan. William tersenyum samar, sebuah senyum yang sulit diartikan. “Kau sudah membuat keputusan, Emily,” ucap William perlahan. “Dan aku harap kau tidak akan menyesalinya.” Emily merasa ada sesuatu di balik kata-kata itu, namun ia memilih untuk mengabaikannya. Ini hanyalah awal baru dalam memperbaiki hubungan pernikahan mereka. Ia tidak tahu bahwa keputusan ini akan membawa hidupnya ke arah yang sama sekali tidak pernah ia bayangkan. Beberapa saat kemudian. William duduk di ruang kerjanya, jari-jarinya mengetuk pelan permukaan meja kayu mahoni. Suara langkah Robert terdengar semakin dekat, lalu pria itu masuk. “Tuan, Nyonya Emily sudah menandatangani dokumen itu, bagaimana selanjutnya?” kata Robert. William menegakkan kepalanya sedikit, ekspresi wajahnya tetap tenang meski ada sedikit kerutan di dahinya. “Biarkan saja, Robert. Aku pun menginginkan Emily, seperti ini juga bagus,” jawabnya. “Ngomong-ngomong, bagaimana ekspresi Emily saat menandatanganinya?” “Tidak ada keraguan atau ekspresi yang menunjukkan ketidaksetujuan. Nona Emily membacanya dan langsung menandatanganinya.” William terdiam. Pikiran di kepalanya berputar cepat. Kenapa Emily berubah begitu drastis? Apa yang membuatnya begitu mudah menyetujui perjanjian itu? Padahal, poin ke-7 dalam dokumen itu jelas ditulis dengan cetakan tebal agar Emily bisa memahaminya dengan baik: Emily akan menanggung biaya ganti rugi bila dirinya kedapatan membantu Hendrick. William sengaja menambahkan poin itu untuk menguji kesungguhan Emily. Ia ingin tahu apakah Emily benar-benar siap berkomitmen atau hanya mencoba memperbaiki kesan buruknya di mata William. Namun, kenyataan bahwa Emily tidak menunjukkan keberatan justru membuatnya bingung. “Apakah dia ada mengatakan sesuatu tanpa aku tahu?” tanya William akhirnya.Ruangan rapat utama dipenuhi para eksekutif dan kepala divisi. Suasana tegang, sebagian besar dari mereka masih menyangsikan kemampuan Greyson. Bagi sebagian orang, dia hanyalah ‘anak bos’ yang belum teruji. Tapi hari itu, mereka akan melihat sesuatu yang berbeda. Greyson masuk dengan jas rapi, rambut tersisir bersih, dan langkah mantap. Tatapannya tajam, wajahnya serius. Ia membuka laptopnya, menyapa semua orang dengan tenang. “Selamat pagi. Mulai hari ini, saya akan bekerja langsung di bawah arahan Ayah saya, untuk dua tahun ke depan. Dan saya tidak datang ke sini untuk main-main lagi.” Beberapa orang bertukar pandang, sebagian masih skeptis. Tapi Greyson tidak goyah. Greyson mulai ikut dalam setiap rapat penting, menganalisis laporan keuangan, bahkan terjun langsung ke lapangan untuk memahami bisnis secara menyeluruh. Ia tid
Suasana rumah yang biasanya tenang berubah drastis. Teriakan William menggema dari kamar utama, nadanya bukan sekadar panik, melainkan ketakutan yang dalam, seperti pria yang baru saja melihat dunianya runtuh di depan matanya. “Emily! Sayang, bangun! Jangan seperti ini! Emily! Jangan menakuti ku!” Greyson yang sedang berada di ruang kerjanya di lantai atas langsung berdiri, memegang. Napasnya seketika tercekat. Ia belum pernah mendengar ayahnya, sosok yang selalu tenang dan tangguh itu berteriak dengan suara seperti itu. Ia melesat menuruni tangga dan menerobos pintu kamar orang tuanya tanpa izin. Di sana, ia melihat ayahnya bersimpuh di samping tempat tidur, memeluk tubuh Emily yang terkulai lemah, tidak sadarkan diri. Wajah William penuh air mata, tangannya gemetar saat menyentuh wajah istrinya. “Ayah! Apa yang terjadi?!”
Pagi hari menyambut mereka dengan cahaya lembut yang masuk melalui jendela kayu klasik hotel bergaya renaisans di tepi kanal. Lavine membuka mata lebih dulu, lalu menoleh dan menatap Elle yang masih tertidur di sampingnya. Ia tersenyum kecil, sebuah senyum penuh syukur dan rasa takjub yang begitu luar biasa. Beberapa menit kemudian, Elle terbangun. Ia mendapati Lavine menatapnya dengan penuh cinta. “Good morning, Sayangku?” sapa Lavine. Elle menggeliat. Wajahnya sampai memerah membuat Lavine terkekeh. “Apa?” tanya Elle sambil menyembunyikan wajahnya dengan selimut. “Aku cuma mengagumi wajah cantik istriku saja,” bisik Lavine. “Cih! Gombal saja sepagi ini,” ujar Elle. Lavine tersenyum. Ia langsung membawa Elle ke dalam pelukannya. “Hari ini kita mau pergi ke luar atau di kamar saja, Sayang?” Pertanyaan itu membuat Elle merinding. Di kamar saja?
Ramon tengah terduduk di sofa ruang tamunya yang mulai terasa kosong. Beberapa furnitur sudah dijual diam-diam untuk menutupi biaya hidup mereka selama dua bulan terakhir ini. Kini, surat pemberitahuan penjualan rumah sudah tiba, lengkap dengan tanda tangan pengacara. Rumah itu akan segera dilelang, dan hasilnya akan dibagi dua. Tidak ada lagi yang bisa dipertahankan, baik hartanya, maupun pernikahannya dengan Casandra. Casandra berdiri di ambang pintu, tangan bersedekap, matanya merah karena menangis, tapi juga penuh dengan kemarahan. “Jadi... kau benar-benar menggugat ceraiku?” tanyanya, suaranya nyaris gemetar. Ramon mengangguk tanpa menatapnya. “Perusahaan kita sudah hancur, Casandra. Aku sudah coba segala cara, tapi semuanya berakhir sia-sia. Dan kita… kita juga sudah tidak punya alasan untuk tetap bersama, bukan? Aku tidak sanggup menghadapai sikap mu, begitu juga dengan
Beberapa hari setelah kemarahan besar Ramon, berita mulai bermunculan bukan tentang Lavine, melainkan tentang Rayn dengan narasi yang buruk. Salah satu media besar yang sebelumnya diam, tiba-tiba merilis artikel panjang investigasi berjudul, “Uang Kotor di Balik Serangan terhadap Dunia Seni. Siapa Dalang yang Sebenarnya?” Artikel itu menyebutkan aliran dana mencurigakan yang dikaitkan dengan salah satu keluarga pebisnis kaya. Nama Rayn pun muncul, bersama bukti dokumen dan testimoni dari jurnalis bayaran yang kini memilih untuk bicara karena tekanan hukum yang jelas. Media sosial meledak. Netizen yang sebelumnya ikut terpancing isu palsu tentang Lavine kini berbalik arah, “Jadi semua itu cuma fitnah buatan kakak tirinya sendiri? Dia pasti sangat iri.” “Zero tetap terbaik. Rayn harus bertanggung jawab atas apa yang dilakukannya!” “Dia terlihat seperti seorang pengecut. Dia pasti sangat iri dengan kesuksesan yang dirai
Lampu kristal raksasa bergemerlap di langit-langit ballroom mewah. Karpet merah terbentang dari pintu masuk hingga ke pelaminan. Dekorasi bernuansa emas-putih memantulkan cahaya dengan indah, menambah aura eksklusif dari pesta pernikahan Elle dan Lavine. Para tamu berdatangan satu per satu, kolektor lukisan internasional, pengusaha, sosialita, hingga sesama seniman yang pernah bekerja dengan Lavine. Mereka berdesakan di lobi hotel, menanti giliran untuk masuk ke ruangan utama.Tamu undangan kelas atas dari William dan Emily pun ikut berdatangan. “Lihat, itu Lavine. Dan Elle. Mereka benar-benar seperti pasangan dari cerita dongeng,” bisik salah satu tamu dengan kagum. Lavine dan Elle berdiri di pelaminan. Keduanya tersenyum, menyapa satu per satu tamu yang menghampiri. Meski wajah mereka cerah, sorot mata keduanya menyiratkan kelelahan yang tidak bisa disembunyikan. Bukan hanya karena pesta hari itu, tapi karena seluruh perjalanan