Pukulan itu menghantam bawah rahang. Nyaris mengenai wajah pria yang bertubuh lebih tinggi dari Steve itu. Leo pun tidak mengelak apalagi membalas. Meski tengah terjebak, dirinya mengakui telah menyerah karena juga menginginkan sosok Claire.
“Pukullah. Ini salahku!” Tubuh Leo kini menjadi tameng agar Claire tidak turut terkena imbas amukan sang papa.
“Damian akan menikahi putriku! Dan kau rusak segalanya!”Pukulan dan tendangan menyerang tubuh Leo, tanpa perlawanan darinya. Namun, seakan pria itu tidak terlalu merasakan sakit. Masih berdiri kokoh menghadapi Steve yang menyerangnya membabi buta. Bahkan, tidak luput juga dari lemparan lampu di atas nakas yang hampir mengenai bagian kepala.
Suasana memanas, kamar pun kini tampak porak-poranda. Beberapa pelayan hanya berani mengintip dari luar kamar, tidak berani mencegah. Steve melampiaskan emosinya bertubi-tubi pada Leo, yang menodai putri kesayangannya. Tiba-tiba, sebuah teriakan muncul di tengah-tengah kegaduhan. Steve menghentikan serangannya. “Hentikan! Steve. Kau mempermalukan diri!” pekik Bernadeth, menjuruskan telunjuknya pada wajah Leo dan Claire bergantian. “Dan kalian! Bereskan kekacauan ini. Sangat menjijikan!” Wanita itu menarik lengan suaminya untuk segera beranjak dari ruangan itu. “Ayo, Steve, tunggu mereka jelaskan ini semua,” bujuknya.Keduanya kini sudah kembali berpakaian. Leo perlahan menghampiri hendak memeluk Claire. Pria bermata abu-abu itu cepat melingkarkan satu lengannya kuat di pinggang Claire yang semakin memberontak. Dia menatap paksa pada mata biru sang gadis yang masih tergenang air mata, berusaha menenangkan.
“Claire, dengarkan, ada yang senga—”“Berhenti memintaku! Ini semua salahmu, kau pengkhianat!” Claire terus memukul-mukul dada pria yang semakin merapatkan tubuhnya. “Berani sekali kau, Leo! Kau sahabatku!” Claire lantas menyambar kata-kata Leo,
Leo akhirnya bungkam untuk coba menjelaskan kronologi, dari separuh kesadarannya semalam. Ini bukan saat yang tepat di tengah emosi Claire. Dia memahami kejadian ini memang tidak bisa dimaafkan dengan alasan apa pun. Mulai lelah dan tidak mampu bicara, pekik Claire perlahan melemah, parau, kerongkongannya terasa kering akibat tangis yang tanpa henti. Lututnya kini lemas dah dia pun luruh dalam pelukan Leo.“Aku hanya mengikuti permainan. Tapi percayalah, aku akan bertanggung jawab dan akan membalaskan dendam ini.” Leo membatin.****“Apa yang kau tunggu, Steve? Usirlah mereka!” titah Bernadeth.Steve cepat membalikkan tubuh ke arah istrinya. “Tapi dia putriku, juga putrimu!” Bernadeth tampak bergeming. Masih angkuh melipat tangan di dada saat Steve membantah permintaannya yang terburu-buru. “Ya, si pembangkang yang mengotori rumah ini, dan nama baikmu. Pertimbangkan itu, Steve!” lanjutnya.Kejadian itu masih menggegerkan suasana pagi di mansion Tuan Steve. Bahkan para pelayan hanya berani mencuri dengar dari balik pintu ruang keluarga. Steve memanggil salah satu penjaga keamanan untuk meminta hasil CCTV semalam di luar kamar Leo. “Maaf, Tuan. Rekaman CCTV sudah terhapus, ka-kami tidak tahu, siapa yang melakukan ini.” Kedua penjaga itu saling melirik seakan menyembunyikan sesuatu.“Bodoh! Aku ingin memastikan, apa ini kesalahan putriku atau ini pelecehan!”“Tapi, Ayah. Aku lihat mereka! Mereka mabuk dan masuk ke kamar Leo. Aku melihatnya sendiri!” sambar Vanessa. Kedua tangan Steve terkepal kuat. Entah, ucapan Vanessa dan Bernadeth mungkin saja benar, tapi amarahnya seketika meledak saat sang istri memerintahkan untuk mengusir putri kandung dari mendiang istri pertamanya, yang sangat telak dan tanpa basa-basi. Karena Bernadeth hanyalah ibu sambung, yang tidak memiliki rasa sayang tulus seperti Steve menyayangi Claire.“Aku sangat kecewa padamu, Claire. Kami semua menyaksikan. Media pun pasti cepat mencium kabar skandal ini.” Steve mengusap wajah dengan kasar, kemudian menoleh pada Leo. “Kau, Pengawal! Kemasi barang-barangmu dan bawa Claire bersamamu! Sampah!”Leo langsung menjatuhkan pandangannya ke bawah, sebenarnya tidak tega pada Steve, dia enggan menjelaskan apa pun lagi. Akan tetapi, rahangnya masih mengeras setelah disudutkan dan dicerca oleh Bernadeth dan Vanessa, yang memberi kesaksian atas skandal itu. Sejak keluar dari kamar, dirinya dan Claire tidak henti diberondong hinaan dalam interogasi sepihak. Penjelasan Leo terus disangkal dan dianggap tidak masuk akal, hanya seperti kotoran di telinga mereka. “Aku akan mempertanggung jawabkan ini, Tuan Steve. Tapi beri kami kesempatan. Jika ingin membuat jera, hukum saja aku, Tuan!” Leo dengan tegas menjawab Steve.“Papa! Jangan, Pa. Kau satu-satunya yang kumiliki!” ucap Claire yang kini menghambur dan berlutut di hadapan Steve, meronta memeluk kaki sang ayah dengan tangisan lirih. Leo masih berdiri di tempatnya, dia sempat menggerakkan kakinya hendak menghampiri. Ingin sekali dirinya mengangkat tubuh gadis itu agar tidak perlu memohon seperti itu.“Wah, apa ini? Jadi mama bukan ibumu? Sudahlah, kau kini punya pengawal yang sudah tidur denganmu itu, kan?” sambar Vanessa.Sorot mata Leo langsung tertuju ke arah Vanessa, menatap penuh kebencian. Tangan kekarnya mengepal kuat ingin sekali membungkam mulut gadis itu.“Diam, Vanessa!” bentak Steve.“Sayang, Vanessa hanya menjelaskan. Tentu Claire tidak perlu bergantung padamu. Dia memilih pengawalnya, bahkan tidak segan-segan mencemarkan nama baikmu, bukan? Sadarlah, dia tidak peduli denganmu.” Bernadeth membujuk halus suaminya dengan tujuan menjatuhkan Claire.
Steve terdiam, menatap Claire yang bersimpuh di hadapannya. Pria tua yang masih tampak gagah itu mengerutkan dahi, menahan kesedihan terdalam untuk mengucapkan hal yang menyakitkan pada Claire nanti. Akan tetapi baginya, sengaja ataupun tidak, ini kecerobohan yang tidak pantas dimaafkan.Steve menoleh, mengarahkan pandangannya pada Leo. “Kau!” Tunjuk Steve. “Nikahi putriku. Dan jauhkan dia dariku!”
“Ap-apa? Ti-tidak, Papa, aku tidak mau!” teriak Claire histeris, menggeleng frustasi dan menangis sejadi-jadinya.
Tidak mengindahkan perkataan Claire. Steve justru melanjutkan ucapannya, “Siang ini. Segera kau urus segalanya di catatan sipil. Lalu pergi dari sini!” tegas Steve dengan suara bergetar, lalu bangkit hendak meninggalkan ruangan.Hati Steve seakan bergemuruh hebat. Di satu sisi, ucapan Bernadeth yang memanasi pikirannya sedari awal, sudah pasti akan membuat Claire jera. Sedangkan di sisi lain, dia seperti ingin melihat pertanggungjawaban Leo sebagai pelaku.
“Tuan Steve!” Leo maju mendekat.Langkah Steve berhenti, kemudian menoleh pada Leo saat melewatinya. “Beraninya kau menyebut namaku, Leo!” Tangannya mendorong sebelah bahu Leo dengan kesal. “Pegang ucapanmu untuk menjaga putriku!” Dia lantas mencengkeram kerah kemeja Leo dengan tangan bergetar. Steve sudah dibutakan oleh emosi. Ruangan megah itu seketika hening sesaat Steve meninggalkan mereka. Kini hanya menggema suara tangisan lirih Claire yang terdengar miris. Leo pun segera menghampiri untuk menguatkan, meraih kedua lengan gadis itu. Namun, Claire memberontak kasar melepaskan tangan Leo. “Lepaskan!” Dia berlari menuju kamar diiringi isak tangis. Leo pun berjalan ke luar ruangan. Dia melewati, melirik tajam pada Bernadeth dan Vanessa yang mengembangkan senyum licik.****
Sambil melangkah keluar dari gerbang tinggi mansion, matanya tidak beralih pada wajah Claire yang tampak pucat dan basah dengan air mata, gadis itu masih memandangi bangunan besar itu dengan raut kesedihan. Leo berjalan dari belakang, sambil membawakan beberapa koper milik Claire. Padahal dirinya hanya membawa pakaian yang kini melekat di tubuhTidak berapa lama kemudian, Leo menghentikan sebuah taksi. Dia menuntun Claire yang sempat tidak ingin beranjak dari depan pagar. Tangisan gadis itu semakin membuatnya miris. Karena hanya dalam hitungan jam, segalanya telah terenggut drastis akibat jebakan orang yang ingin menyingkirkannya.
Dalam perjalanan malam itu, masih di pertengahan kepadatan kota. Nampaknya tangisan Claire mulai mereda, karena kelelahan. Sesekali Leo mengawasi gerak-gerik gadis itu sambil memegang ponselnya, mengabari seseorang. Ingin rasanya memeluk, tapi dia belum siap akan sebuah penolakan lagi.
“Ke mana kita akan pergi? Kita akan menetap di mana, Leo. Cepat katakan!” tuntut Claire dengan suara parau.
“Perjalanan ini sedikit memakan waktu. Jangan pikirkan apa pun, istirahatlah.” Tangan Leo terangkat hendak menyentuh rambut pirang keemasan gadis itu, tapi sekali lagi tangannya pun ditepis.“Ugh! Berhenti menyentuhku. Itu saja kemampuanmu, huh?” Claire memicingkan mata dengan geram. “Kau bisa apa, Leo, hum? Lihat semua ini akibat kebodohanmu!” Sang pengemudi taksi sempat tersentak dan melirik dari kaca spion, kemudian sedikit membesarkan volume radio, tidak peduli dan tidak ingin terganggu.Leo menyugar rambut hitamnya dan menghela napas, menahan diri dari kemarahan Claire. Dia mengubah posisi duduk menghadap Claire, melempar tatapan dingin.“Tenanglah. Kecuali, jika kau masih ingin tahu perlakuanku yang lebih dari semalam,“ ucapnya sambil merendahkan suara. “Bagaimana …, Istriku?” “Penculik …!” teriak Claire.Semenjak kejadian makan malam itu, aura ketegangan semakin menyelimuti suasana mansion antara keluarga Goldstein dan Claire. Di sebuah ruang kerja dengan cahaya yang redup, Robert dan Ivand berdiskusi tentang keberadaan Alexandra yang dianggap menghalangi segala rencana. “Ayah. Aku tidak bisa membiarkan Alex tetap berada di mansion. Kau lihat bagaimana dia terus melindungi wanita itu!” Ivand bersandar di kursi sambil menggigit kepalan tangannya. Muncul perasaan khawatir dan geram atas sikap Alexandra yang tidak mendukung segala tujuannya. “Keterlibatan Alex tidak akan menghentikan langkahku memisahkan Leo dari wanita itu,” ucap Robert dengan nada ragu, “dan kau sangat
Ketegangan terus bergulir hari demi hari, Claire tetap merasakan aura yang sama setiap kali berada di tengah-tengah keluarga Goldstein. Dia mulai tidak yakin keberadaan Alexandra akan membawanya pada kedamaian di dalam mansion itu. Entah sampai kapan dirinya bertahan sebagai menantu dan adik ipar yang tidak pernah diharapkan.Alexandra mengantar Claire ke dalam kamar, berusaha menenangkan sang adik ipar yang kembali terlihat ketakutan. Gemetar tubuh gadis itu bisa dirasakan olehnya, saat merangkul dan mengajak kembali ke dalam kamar. Ditambah sikap sinis Robert mengetahui Claire tidak menghabiskan makan malamnya, hal yang melanggar aturan keluarga Goldstein sejak dulu. Kamar Claire tampak nyaman dengan perabotan mewah, tetapi atmosfernya terasa suram, mencerminkan suasana hati penghuninya. Claire masih tampak gelisah, tetapi Alexandra berusaha menenangkan dengan senyuman hangat dan sikap lembut."Claire, maafkan sikap ayah dan adikku. Kami memiliki aturan yang kuat di dalam keluarga
“I-iya. Siapa kau?” ucap Claire sembari meremas dan memeluk selimut tebalnya. Tatapan Alexandra semakin aneh, bingung, kenapa gadis ini melihatnya seperti hantu. Namun, menyadari ini semua hasil tekanan dari Robert dan Ivand, seketika dia pun mengubah ekpresinya. Langsung mengembangkan senyum dan menatap Claire dengan iba. “Perkenalkan. Alexandra, anak tertua Goldstein.” Dengan gaya bicara tegas, tapi ramah. Alexandra mengulurkan jabat tangan. Claire masih mendelik karena tengah waspada, perlahan menurunkan pandangan pada uluran tangan Alexandra. “Se-senang bertemu denganmu.” Telapak tangan Claire terasa dingin, bukan karena udara malam di dalam ruangan. Akan tetapi, sebuah ketakutan mendalam begitu terasa, hingga tubuhnya merespon berlebihan. “Ada apa, Claire? Kenapa kau makan malam di kamarmu. Sebaiknya kau bergabung dengan kami di ruang makan, ayolah,” ajaknya sambil tersenyum ramah. Wanita bertubuh tinggi itu tahu, dia tidak boleh membuat Claire semakin takut.
Ketika Alexandra tiba di mansion, suasana tegang langsung terasa. Mobil mewah yang dikendarainya berhenti tepat di depan pintu utama, menarik perhatian semua orang di sekitar. Pintu mobil terbuka, dan Alexandra keluar dengan anggun, mengenakan pakaian desainer yang menunjukkan kesuksesannya di dunia fashion. Rambut pirangnya tergerai sempurna, dan tatapan matanya yang tajam menunjukkan bahwa dia bukan lagi gadis yang pernah meninggalkan rumah ini.Saat memasuki ruang utama, Alexandra menurunkan kacamata hitamnya dan melihat suasana mansion yang masih sama seperti dia tinggalkan dulu. “Bau yang masih sama,” ucapnya sambil menghirup dalam-dalam, lalu mengempaskan napas lega. “Kau,” panggil seorang pria paruh baya.Alexa membalikkan tubuhnya dan dilihatnya kini wajah Robert, sang ayah, menatapnya dengan heran. “Ya, aku. Terkejut?”Robert Goldstein, dengan pandangan tajamnya, menyambut kedatangan putrinya yang sudah lama pergi. "Alexandra, apa yang membawamu kembali?" tanyanya dengan su
Di saat yang sama, Claire di mansion keluarga Goldstein merasakan kesepian dan ketidakpastian yang semakin dalam. Meskipun dia tahu apa yang Leo hadapi, dia berharap sang suami akan segera kembali dan membawanya keluar dari mimpi buruk.Claire merasa semakin tertekan. Di samping itu, Ivand terus membuatnya merasa tidak nyaman dengan pandangan sinis dan sikapnya yang misterius. Gadis itu tidak tahu apa-apa tentang dendam keluarga Goldstein, hanya merasakan ketegangan yang menyelimuti rumah besar itu.Sedangkan Robert, kini telah melarang Leo mengakses mansion untuk sementara waktu, hingga membuat Claire merasa semakin terisolasi. Tanpa ada yang bisa diandalkan di mansion dalam waktu dekat. Gadis itu mulai berpikir untuk kabur dan mencari bantuan di luar yaitu Flint.Malam itu, di balkon kamar, Claire memandang ke arah langit dengan perasaan cemas. Dia memikirkan Leo, berharap akan kembali dengan selamat. Sang gadis menghela napas panjang, mencoba mengusir rasa cemas yang menggerogoti pi
Di sebuah ruang briefing yang tersembunyi, Leo berdiri di depan papan digital yang memproyeksikan peta kawasan konflik. Di sekelilingnya, lima anggota tim utama intelijen terbaiknya duduk dan siap untuk memberikan instruksi pada para agen lapangan."Baiklah, semua," kata Leo, membuka rapat dengan nada tegas. "Kita punya misi kritis di depan kita. Agen kita, John, telah ditawan oleh kelompok pemberontak di sektor ini," ujarnya sambil menunjuk pada titik merah di peta."Informasi terbaru yang kita dapatkan menunjukkan bahwa mereka menggunakannya sebagai alat tawar-menawar," tambah Leo. "Pemimpin pemberontak, dikenal sebagai Kael, meminta tebusan besar. Tapi kita tidak akan menyerah pada tuntutan mereka."Ethan, seorang ahli strategi, mengangkat tangan. "Bagaimana kita memastikan keselamatan John tanpa menuruti tuntutan mereka?""Kita akan menggunakan elemen kejutan dan strategi psikologis. Rencana kita adalah menyerang markas mereka secara diam-diam, menciptakan kekacauan dan ketakutan