Malam itu. Setelah satu jam perjalanan keluar dari kota besar, taksi berhenti di sebuah tempat pengisian bensin di sudut daerah pedesaan, dengan lahan pertanian membentang luas. Suasana sekitar terasa sunyi dan redup, hanya cahaya bulan yang menerangi hamparan ladang gandum dan pepohonan rindang yang berjarak di sisi jalan.
Leo menatap wajah Claire yang masih terlelap, ingin coba membangunkan, tapi tangannya terulur berat untuk menyentuh tubuh gadis itu secara langsung. Dia akhirnya hanya berani mencolek lengan sang gadis dengan ujung ponsel. “Claire, bangunlah. Kita sudah sampai.”Claire makin meringsutkan tubuh, sambil menjawab pelan, “Sebentar lagi … aku masih ingin tidur.”
Kesal mendapat jawaban itu, Leo menggertak halus, “Bangun. Atau aku akan menciummu agar kau sulit bernapas.” Pikirannya pada Claire, tapi tatapannya tajam menatap layar ponsel.
Sontak saja, Claire membuka mata dan menegakkan posisi duduknya, “Di mana kita? Pengisian bensin? Apa kita akan menginap di motel itu?” Matanya mendelik agar terlihat segar, memberi kesan waspada.
Leo terkekeh pelan dan menyunggingkan senyum dengan deretan giginya yang putih. Tampaknya ancaman halus itu berhasil membangunkan Claire. Dia menggeleng dan beranjak keluar dari mobil, segera berjalan ke samping membukakan pintu untuk Claire.
“Ini sudah waktu makan malam. Kita perlu membeli sesuatu, kau pasti lapar, kan?” Leo berdiri, mengulurkan tangan. “Ayo, keluarlah.”Sejenak Claire menatap aneh, karena meski Leo bukan pengawalnya lagi, tapi pria itu masih saja melayaninya. Dia pun akhirnya hanya menuruti ucapan pria itu untuk keluar, tanpa menyambut uluran tangan tadi. Keduanya keluar dari taksi, kemudian masuk ke sebuah minimarket yang ada tepat di sudut belakang tempat pengisian bensin.“Kau tunggu di sini. Aku akan mencari sesuatu untuk kita makan sementara.”
Leo mengerlingkan mata sesaat, memindai situasi sekitar. Lalu tatapannya kembali pada Claire untuk meyakinkan diri bahwa gadis itu tidak akan lepas dari pandangannya. Kemudian dia berjalan kembali sambil menyematkan topi dan jaket hitam di tubuhnya. Membuat tatapan Claire memiringkan kepala seakan curiga, apakah Leo yang tidak memiliki uang kini berniat mencuri di minimarket.
Setelah membeli beberapa roti dan minuman kemasan, Leo menyodorkan sebungkus roti serta teh hangat. Tampak dilihatnya kini, Claire menerima cepat dan memakan roti itu dengan sangat lapar, hatinya pun miris melihat tubuh lesu sang istri. Perjalanan itu cukup panjang setelah kejadian berat menimpanya.
Tidak berapa lama kemudian, sebuah sedan hitam klasik yang tampak terawat memasuki area itu, lalu turut memarkir di depan minimarket. Kemudian keluar seorang pria yang tampak tidak asing bagi Leo dan Claire, memasang senyum tipis menghampiri mereka.
“Flint?” Claire mengucap dengan nada heran.“Hai, Nona. Senang bertemu lagi dengan Anda,” sapa Flint, salah satu pengawal dari keluarga Foster menyusul tanpa menggunakan seragam pengawalnya.
“Apa kau membawa kabar dari papaku? Apakah dia memintamu untuk menjemputku?” Claire bertanya dengan antusias.Leo melirik Flint, melemparkan isyarat mata. Flint yang menangkap hal itu, lalu menghela napas memberi nada penyesalan.
“Ah … sayangnya bukan, Nona. Aku hanya akan mengantarkan kalian ke kampung halaman Leo. Perjalanan akan memakan waktu beberapa jam.”
Tatapan gadis itu seketika meredup, kesedihan muncul di raut wajah cantiknya yang tanpa riasan. “Oh …, begitu,” desah Claire dengan hampa.
Sesungguhnya tidak tega, tapi Leo berusaha menenangkan Claire. Dia tidak tahu harus berbuat apa lagi, karena tidak bisa sedikit pun menyentuh gadis itu. “Flint akan mengantarkan kita ke tujuan. Aku meminta dia menyusul dengan mobil pribadinya. Beristirahatlah di perjalanan nanti.”
“Kenapa tidak memakai taksi itu saja?” Claire masih tampak kebingungan.
“Taksi itu tidak akan bisa menjangkau. Lokasinya sangat jauh, dan tidak sembarangan orang bisa masuk,” Flint membantu menjelaskan.
“Sudahlah, jangan pikirkan itu. Habiskan saja rotimu, setelahnya kita akan melanjutkan perjalanan,” tambah Leo.
“Mulai besok aku akan menghubungi teman-temanku. Aku akan meminta bantuan pada mereka agar mencarikanmu pekerjaan. Jadi kau tidak perlu bertani di ladang,” ucap Claire dengan pemikirannya, membayangkan lokasi tujuan mereka adalah desa terpencil.
Leo mengulas senyum memandangi sang istri. “Sayang. Aku pasti akan bekerja. Dan kau tetap ratuku.” Kata-kata itu spontan meluncur dari mulutnya.
“Berhentilah memanggilku sayang,” sahut Claire datar. “Aku melakukan semua ini agar kau memiliki uang! Ingat, Leo. Kau tahu aku tidak tertarik denganmu.”
Leo mengangguk pelan dan tersenyum. Lalu dia menggeser tubuhnya berdiri persis di belakang Claire, kemudian berbisik, “Tapi kini kau adalah istriku. Berhenti membantah, karena aku bisa melakukan apa pun yang aku mau terhadapmu.” Bisikan dan embusan napas hangatnya membuat sekujur tubuh gadis itu merinding, ditambah ucapan halus yang tersirat ancaman. “Kita belum berbulan madu, bukan?”
Seketika Claire merespon, bergidik ngeri oleh ucapan Leo. Meski terdengar mengancam, tanpa disadarinya ada desiran lain yang muncul dari hatinya. Dia mempercepat langkah menuju mobil, diikuti oleh Leo dan Flint yang masuk ke kursi depan.
“Kenapa jalanan ini sepi sekali, apa benar di sekitar sini ada pemukiman?”
Leo mengangkat wajahnya sedikit, melirik agar Flint memberi penjelasan pada Claire. Selama setengah jam perjalanan, gadis itu terus bertanya macam-macam.
“Maklum saja, Nona. Ini memang kawasan yang jarang dikunjungi.”
“Tapi bagaimana kalian bisa tumbuh di lingkungan seperti ini? Apa kalian tidak kebingungan mencari bank, minimarket, sinyal atau—”
“Sebaiknya kau tidur,” sahut Leo memotong perkataan Claire. “Aku dan Flint sengaja tidak bicara karena suara manusia bisa memancing hewan buas di sekitar sini,” lanjutnya.
Flint mengulum senyum, menahan tawa. Lontaran Leo sukses membuat Claire diam. Kedua pria itu merasa bising dengan segala pertanyaan sang gadis kota.
Leo kembali melihat ke sisi jendela, kini mereka mulai memasuki sebuah jalan yang tampak lengang dan mulus. Namun, di sekitarnya terdapat pepohonan yang menjulang tinggi hingga membuat lahan dan pemandangan di belakangnya tidak kelihatan sama sekali. Dengan beberapa lampu penerangan saling berjarak 100 meter di sisi jalan.
Setelah sekian lama, Claire sudah tertidur dengan pulas meringkuk di kursi belakang mobil. Cuaca dingin malam mulai menusuk kulit, membuat sang gadis begitu nyenyak memeluk erat jaket milik Leo.
Kini ditatapnya Claire dengan lembut, tanpa sadar Leo mengembangkan senyum tipis. Sungguh tidak menyangka, sang nona manja yang selalu bergantung pada dirinya, kini telah menjadi istri dalam hitungan jam. Pria itu pun mengalihkan tatapannya kembali pada jalanan yang tampak kosong dan gelap.
“Apa kau membawa barang-barangku di dalam bagasi berikut semua yang kuminta kemarin?” Leo bertanya pelan pada Flint, sambil mengawasi sisi kursi belakang, memastikan Claire benar-benar lelap dan tidak mendengar ucapannya.
“Semuanya sudah, Tuan Muda.” Flint mengangguk sambil fokus mengemudi.
“Kerja bagus. Terima kasih, Flint.”
Semenjak kejadian makan malam itu, aura ketegangan semakin menyelimuti suasana mansion antara keluarga Goldstein dan Claire. Di sebuah ruang kerja dengan cahaya yang redup, Robert dan Ivand berdiskusi tentang keberadaan Alexandra yang dianggap menghalangi segala rencana. “Ayah. Aku tidak bisa membiarkan Alex tetap berada di mansion. Kau lihat bagaimana dia terus melindungi wanita itu!” Ivand bersandar di kursi sambil menggigit kepalan tangannya. Muncul perasaan khawatir dan geram atas sikap Alexandra yang tidak mendukung segala tujuannya. “Keterlibatan Alex tidak akan menghentikan langkahku memisahkan Leo dari wanita itu,” ucap Robert dengan nada ragu, “dan kau sangat
Ketegangan terus bergulir hari demi hari, Claire tetap merasakan aura yang sama setiap kali berada di tengah-tengah keluarga Goldstein. Dia mulai tidak yakin keberadaan Alexandra akan membawanya pada kedamaian di dalam mansion itu. Entah sampai kapan dirinya bertahan sebagai menantu dan adik ipar yang tidak pernah diharapkan.Alexandra mengantar Claire ke dalam kamar, berusaha menenangkan sang adik ipar yang kembali terlihat ketakutan. Gemetar tubuh gadis itu bisa dirasakan olehnya, saat merangkul dan mengajak kembali ke dalam kamar. Ditambah sikap sinis Robert mengetahui Claire tidak menghabiskan makan malamnya, hal yang melanggar aturan keluarga Goldstein sejak dulu. Kamar Claire tampak nyaman dengan perabotan mewah, tetapi atmosfernya terasa suram, mencerminkan suasana hati penghuninya. Claire masih tampak gelisah, tetapi Alexandra berusaha menenangkan dengan senyuman hangat dan sikap lembut."Claire, maafkan sikap ayah dan adikku. Kami memiliki aturan yang kuat di dalam keluarga
“I-iya. Siapa kau?” ucap Claire sembari meremas dan memeluk selimut tebalnya. Tatapan Alexandra semakin aneh, bingung, kenapa gadis ini melihatnya seperti hantu. Namun, menyadari ini semua hasil tekanan dari Robert dan Ivand, seketika dia pun mengubah ekpresinya. Langsung mengembangkan senyum dan menatap Claire dengan iba. “Perkenalkan. Alexandra, anak tertua Goldstein.” Dengan gaya bicara tegas, tapi ramah. Alexandra mengulurkan jabat tangan. Claire masih mendelik karena tengah waspada, perlahan menurunkan pandangan pada uluran tangan Alexandra. “Se-senang bertemu denganmu.” Telapak tangan Claire terasa dingin, bukan karena udara malam di dalam ruangan. Akan tetapi, sebuah ketakutan mendalam begitu terasa, hingga tubuhnya merespon berlebihan. “Ada apa, Claire? Kenapa kau makan malam di kamarmu. Sebaiknya kau bergabung dengan kami di ruang makan, ayolah,” ajaknya sambil tersenyum ramah. Wanita bertubuh tinggi itu tahu, dia tidak boleh membuat Claire semakin takut.
Ketika Alexandra tiba di mansion, suasana tegang langsung terasa. Mobil mewah yang dikendarainya berhenti tepat di depan pintu utama, menarik perhatian semua orang di sekitar. Pintu mobil terbuka, dan Alexandra keluar dengan anggun, mengenakan pakaian desainer yang menunjukkan kesuksesannya di dunia fashion. Rambut pirangnya tergerai sempurna, dan tatapan matanya yang tajam menunjukkan bahwa dia bukan lagi gadis yang pernah meninggalkan rumah ini.Saat memasuki ruang utama, Alexandra menurunkan kacamata hitamnya dan melihat suasana mansion yang masih sama seperti dia tinggalkan dulu. “Bau yang masih sama,” ucapnya sambil menghirup dalam-dalam, lalu mengempaskan napas lega. “Kau,” panggil seorang pria paruh baya.Alexa membalikkan tubuhnya dan dilihatnya kini wajah Robert, sang ayah, menatapnya dengan heran. “Ya, aku. Terkejut?”Robert Goldstein, dengan pandangan tajamnya, menyambut kedatangan putrinya yang sudah lama pergi. "Alexandra, apa yang membawamu kembali?" tanyanya dengan su
Di saat yang sama, Claire di mansion keluarga Goldstein merasakan kesepian dan ketidakpastian yang semakin dalam. Meskipun dia tahu apa yang Leo hadapi, dia berharap sang suami akan segera kembali dan membawanya keluar dari mimpi buruk.Claire merasa semakin tertekan. Di samping itu, Ivand terus membuatnya merasa tidak nyaman dengan pandangan sinis dan sikapnya yang misterius. Gadis itu tidak tahu apa-apa tentang dendam keluarga Goldstein, hanya merasakan ketegangan yang menyelimuti rumah besar itu.Sedangkan Robert, kini telah melarang Leo mengakses mansion untuk sementara waktu, hingga membuat Claire merasa semakin terisolasi. Tanpa ada yang bisa diandalkan di mansion dalam waktu dekat. Gadis itu mulai berpikir untuk kabur dan mencari bantuan di luar yaitu Flint.Malam itu, di balkon kamar, Claire memandang ke arah langit dengan perasaan cemas. Dia memikirkan Leo, berharap akan kembali dengan selamat. Sang gadis menghela napas panjang, mencoba mengusir rasa cemas yang menggerogoti pi
Di sebuah ruang briefing yang tersembunyi, Leo berdiri di depan papan digital yang memproyeksikan peta kawasan konflik. Di sekelilingnya, lima anggota tim utama intelijen terbaiknya duduk dan siap untuk memberikan instruksi pada para agen lapangan."Baiklah, semua," kata Leo, membuka rapat dengan nada tegas. "Kita punya misi kritis di depan kita. Agen kita, John, telah ditawan oleh kelompok pemberontak di sektor ini," ujarnya sambil menunjuk pada titik merah di peta."Informasi terbaru yang kita dapatkan menunjukkan bahwa mereka menggunakannya sebagai alat tawar-menawar," tambah Leo. "Pemimpin pemberontak, dikenal sebagai Kael, meminta tebusan besar. Tapi kita tidak akan menyerah pada tuntutan mereka."Ethan, seorang ahli strategi, mengangkat tangan. "Bagaimana kita memastikan keselamatan John tanpa menuruti tuntutan mereka?""Kita akan menggunakan elemen kejutan dan strategi psikologis. Rencana kita adalah menyerang markas mereka secara diam-diam, menciptakan kekacauan dan ketakutan