Zian memaksa Lili pulang ke rumah mereka, meskipun Lili dengan keras menolak. Dan Devi yang sejak awal berada di sisi Lili mencoba menghadang Zian, berdiri menutup pintu mobil sambil merentangkan kedua tangannya."Zian, jangan paksa dia! Lili belum siap pulang ke rumah. Kau tega setelah semua yang dia alami?" bentak Devi dengan nada bergetar.Namun, Zian hanya menatap tajam pada Devi. "Ini urusan rumah tangga kami. Jangan ikut campur!"Tanpa menunggu lagi, Zian menarik paksa tangan Lili dan menyeretnya masuk ke mobil. Lili menoleh ke arah Devi, menatap sahabatnya itu dengan mata berkaca-kaca, seakan meminta tolong. Tapi Devi hanya bisa menatap pasrah, menutup mulutnya sendiri untuk meredam tangis.Dalam perjalanan pulang, suasana di dalam mobil begitu mencekam. Lili hanya diam, menatap keluar jendela dengan tatapan kosong. Sesekali ia mengusap air mata yang jatuh. Sementara Zian menggenggam setir erat-erat, rahangnya mengeras, menahan amarah yang seakan siap meledak kapan saja.Setiba
"Jangan hanya aku yang disalahkan, tapi juga Lili. Putri papa itu tidak bisa menjaga marwahnya sebagai istri." ujar Zian dengan nada dingin. Ini adalah kesempatan emas baginya untuk membela diri, agar bukan hanya ia yang dituding sebagai pembawa masalah. Biar Lili juga mendapat cap buruk di mata keluarga.Devi yang berdiri tak jauh dari mereka sontak terbelalak. Matanya membulat, menatap Zian penuh amarah dan jijik. "Zian!" bentaknya dengan suara melengking. "Berani-beraninya kamu bicara begitu?! Kamu tahu kenapa Lili melakukan itu? Karena hutang kamu! Dia korbankan harga dirinya demi kamu, demi melunasi hutang kamu!"Wajah Zian menegang, rahangnya tampak mengeras menahan emosi. Namun, lidahnya tak berhenti melukai. "Dia tetap melakukannya, kan? Apa pun alasannya, dia sudah menyerahkan tubuhnya pada pria lain selain suaminya."Perlahan, Papa Renan yang sejak tadi hanya diam, menoleh ke arah Devi. Matanya yang mulai berkaca-kaca memohon penjelasan lebih. Kata-kata Zian barusan bagaikan
Malam hari langit begitu kelam, awan tebal menutupi bulan dan bintang seakan ikut merasakan duka yang menyelimuti hati Lili. Setelah dinyatakan cukup stabil oleh dokter, Lili diperbolehkan pulang dari rumah sakit. Namun, bukan pulang ke rumahnya bersama Zian. Tidak. Luka itu terlalu dalam untuk Lili. Lili memilih pulang ke rumah orang tuanya. Rumah yang selama ini menjadi tempat ia berteduh dari segala luka, rumah yang sekarang ia harapkan bisa mengobati rasa kecewa dan pengkhianatan.Sesampainya di rumah, Lili hanya diam. Tak banyak bicara. Tatapannya kosong, matanya sembab, dan tubuhnya lemah. Ia langsung menuju kamarnya. Di dalam kamar, Lili hanya duduk di atas tempat tidur. Menatap dinding yang membisu seperti dirinya. Air matanya kembali mengalir, tak peduli berapa kali ia mengusapnya. Sakit itu nyata, dan ia tak tahu kapan akan sembuh.Sementara itu, di ruang tamu, kedua orang tuanya bingung melihat kondisi putri mereka. Mama Rina menatap Devi penuh tanya. "Kenapa Lili seperti
Zian menatap tajam ke arah Lio. Matanya menyala penuh amarah, rahangnya mengeras saat mendengar kata-kata yang baru saja keluar dari mulut pria di hadapannya, jika sahabatnya tersebut ternyata mencintai istrinya."Dan sekarang kamu tahu aku mencintai istri kamu," ujar Lio, suaranya mantap tanpa keraguan. "Jadi aku mohon, ceraikan Lili. Biar aku yang akan membuat dia bahagia. Karena bersama kamu, dia hanya akan terus menderita."Ucapan Lio bagai cambuk yang menyayat harga diri Zian. Tangan Zian mengepal kuat, napasnya memburu. Tanpa pikir panjang, ia melayangkan pukulan, namun tangan itu segera ditahan oleh Lio."Kamu tidak mencintai Lili lagi, kan?" Lio bertanya pelan, tapi tegas. "Kalau kamu masih mencintainya, kamu tidak akan menikah diam-diam dengan perempuan lain.""Diam!" bentak Zian. Matanya menatap Lio dengan marah. "Sejak kapan kamu mencintai istriku?""Itu tidak penting." Lio menarik napas. "Yang penting, sekarang kamu tahu kalau aku mencintainya. Dan satu hal lagi yang perlu
Di atas ranjang rumah sakit, Lili terus menangis, tubuhnya yang lemah karena sempat pingsan kini seolah tak lagi memiliki semangat hidup. Tangisnya pecah tanpa bisa ditahan setelah Devi, sahabatnya, membuka kebenaran paling menyakitkan. Zian, suami yang ia cintai, diam-diam telah menikah lagi dengan wanita lain. Bukan hanya itu, wanita tersebut kini tengah hamil, dan semuanya terekam jelas dalam video yang Devi tunjukkan padanya.Rekaman itu memperlihatkan Zian yang sedang tersenyum mesra, menggenggam tangan wanita itu dengan penuh kasih sayang. Mereka tampak bahagia, seolah tak ada luka yang mereka tinggalkan untuk Lili. Hatinya terasa remuk. Bagaimana bisa seseorang yang selama ini ia cintai dengan tulus, mengkhianatinya tanpa sedikit pun rasa bersalah?Devi yang duduk di sisi ranjang ikut menangis, tak kuat melihat penderitaan sahabatnya. Ia menghapus air matanya dengan kasar lalu menggenggam tangan Lili dengan erat."Jangan menangis, Li. Pria seperti Zian itu tidak pantas kamu dit
Entah mengapa hari ini kepala Lili terasa begitu berat dan berdenyut nyeri. Pandangannya kabur, seolah segala sesuatu yang berada di hadapannya menjadi buram. Jari-jarinya bahkan gemetar saat menyentuh tumpukan berkas yang belum juga ia sentuh sejak pagi tadi.Lili menghela napas pelan, menatap jam meja yang menunjukkan pukul tiga sore. Satu jam lagi akan diadakan rapat penting bersama para petinggi perusahaan. Tapi pikirannya sama sekali tidak bisa fokus. Ada sesuatu yang mengganggu, namun Lili tidak bisa menjelaskan dengan pasti apa itu. Ia mencoba bangkit dari duduknya, berniat mengambil dokumen penting yang tersimpan di lemari belakang, untuk ia bawa nanti saat rapat.Namun, baru saja berdiri, pandangannya berputar. Tubuhnya tiba-tiba terasa ringan dan kosong, seperti tidak berpijak pada lantai. Kakinya lunglai. Lili hampir ambruk jika saja Lio tidak muncul tepat waktu dan menangkap tubuhnya."Li, kamu kenapa?" suara Lio terdengar penuh kekhawatiran. Ia menahan tubuh Lili yang nya