Saat fokus Lio tertuju pada objek lain, Zian segera menjauh tanpa sepatah kata pun. Meskipun tutur katanya sebelumnya terdengar sopan dan tenang. Tapi dalam lubuk hatinya yang paling terdalam, ia benar-benar menginginkan Lili untuk kembali padanya."Aku akan melakukan apapun untuk bisa mendapatkan kamu kembali, Li," gumam Zian pelan. Langkahnya cepat meninggalkan rumah sakit, seolah tak sanggup lagi menahan sesak di dada yang meletup oleh rasa kehilangan dan penyesalan yang datang belakanga, karena ia baru sadar, Lili benar-benar perempuan yang begitu sempurna untuknya.Sementara itu, fokus Lio terus tertuju pada dua orang yang berjalan mendekati ruang perawatan di mana sang istri berada. Pandangannya tidak lepas dari Romi, sang asisten sekaligus sahabat baiknya, yang kini sedang berjalan berdampingan dengan Devi, sahabat dekat Lili.Lio sempat mengernyit, tak percaya pada pemandangan yang terpampang di depannya. Romi, pria dingin yang selalu bersikap cuek pada perempuan, kini berjala
Lio menarik kasar lengan Zian yang hendak membuka pintu ruang perawatan Lili, lalu mendorong dadanya, membuat pria itu sedikit terhuyung ke belakang."Mau apa kamu, hah?" tanya Lio penuh emosi, sorot matanya tajam seakan siap meledak kapan saja.Zian menatap balik tanpa ada niat membalas dorongan itu. "Aku hanya ingin bertemu dengan Lili," jawabnya datar, tapi cukup tegas untuk menunjukkan bahwa ia tak main-main."Untuk apa?" Lio mendengus sinis. "Untuk mengakui kalau bayi yang sedang dikandung Lili itu adalah bayimu? Jangan mimpi!" lanjutnya dengan nada tinggi. Mengingat lagi, sebelumnya Zian begitu menggebu gebu mengatakan jika bayi yang sedang Lili kandung adalah anaknya."Ingat, sudah berapa lama kamu tidak menyentuh Lili saat kalian masih sah sebagai suami istri? Sekarang kamu mau klaim anak itu anakmu? Yang benar saja! Sudah jelas, bayi itu adalah darah dagingku, Zi!"Zian menarik napas panjang. Untuk pertama kalinya, ia tidak mencoba membela diri atau membantah. "Aku tahu. Bayi
Meskipun kondisi Lili sudah lebih baik dan kini telah dipindahkan ke ruang perawatan VVIP, rasa bersalah dalam diri Lio belum juga mereda. Ia kini duduk di tepi ranjang perawatan sang istri, tangan Lio tak pernah lepas menggenggam tangan istrinya yang tampak lemah namun tetap tersenyum menenangkan."Maafkan aku, istriku," bisik Lio dengan suara serak, lalu mengecup punggung tangan Lili berkali-kali. "Ini semua karena aku. Kalau saja aku tidak memaksamu untuk tambah ronde, kamu pasti tidak akan sampai begini. Aku benar-benar sangat bersalah," kata Lio menyesali.Lili tersenyum lembut, meskipun tubuhnya belum sepenuhnya pulih. Ia tahu Lio sangat mencintainya, dan semua yang terjadi bukanlah kesalahan suaminya semata. Dengan suara tenang, ia mencoba menenangkan Lio."Lio, semua sudah terjadi. Jangan menyalahkan dirimu terus menerus. Aku dan bayi kita baik-baik saja sekarang, itu yang penting." Kata Lili.Namun, Lio tetap terlihat murung. Dengan perlahan, ia mengelus perut Lili yang masih
Sesampainya di lantai dua, Zian melangkah cepat menuju ruang praktik dokter yang dulu mengeluarkan vonis paling menyakitkan dalam hidupnya, vonis bahwa Lili, istrinya saat itu, mandul. Dada Zian bergemuruh, langkahnya mantap tapi penuh amarah. Tangannya sudah siap membuka pintu saat suara seseorang memanggil keras dari belakang."Sayang, jangan!" teriak Bela, yang baru saja menyusulnya.Zian menoleh dengan sorot mata tajam. "Kenapa? Aku harus tahu kebenarannya, Bela! Kalau memang Lili mandul, kenapa sekarang dia bisa hamil? Ada yang tidak beres!"Bela menelan ludah, gugup. Napasnya tersengal karena terburu-buru menaiki tangga. Ia mencoba menahan tangan Zian, mencoba meredam amarah suaminya yang meledak-ledak."Sayang, tolong, jangan tanya-tanya ke dokter itu. Itu sudah berlalu. Sekarang kamu adalah suamiku, dan Lili, dia sudah punya kehidupan baru. Jangan ungkit masa lalu kalian." pinta Bela, tidak ingin Zian tahu tentang kebenaran yang selama ini mama Ika buat.Zian menggeleng dengan
Lio mendorong tubuh Zian dengan kasar, membuat pria itu sedikit terhuyung ke belakang. Matanya menyala marah, suaranya meninggi. "Mau apa kamu, hah?!"Zian menahan dirinya agar tidak membalas dorongan Lio. "Aku hanya ingin bicara dengan Lili," ucapnya, berusaha tenang meski hatinya berkecamuk. Matanya penuh harap, menatap perempuan yang dulu pernah menjadi istrinya. "Hanya sebentar saja.""Tidak!" bentak Lio cepat. Ia berdiri di depan Lili, seolah menjadi benteng pelindung. "Kamu tidak punya hak bicara dengan istriku! Apalagi setelah apa yang kamu lakukan padanya. Pergi dari sini sebelum aku benar-benar kehilangan kesabaran!"Sorot mata Lio penuh amarah. Kata-kata Zian sebelumnya masih terngiang jelas di telinganya, seolah-olah bayi yang dikandung Lili adalah anak Zian. Itu sungguh menghina. Lio tahu betapa sulit dan panjangnya perjalanan yang harus ia dan Lili lewati untuk sampai ke titik ini, mendapatkan kepercayaan, melewati batas norma, hingga akhirnya dipercaya Tuhan dengan keham
Lio terus menggenggam erat satu tangan Lili yang sedang diperiksa oleh dokter kandungan. Keringat dingin membasahi pelipisnya, matanya tak lepas menatap wajah sang istri yang sesekali meringis kesakitan. Wajah cemasnya itu tidak bisa ia sembunyikan sedikit pun. Dalam hatinya, Lio berdoa agar tidak ada yang serius terjadi pada Lili dan bayi mereka. "Dok, apa yang terjadi? Kenapa istriku kesakitan? Dan bayi kami, bayi kami baik-baik saja, kan?" tanya Lio, suaranya terdengar panik dan terburu-buru. Dokter perempuan setengah baya itu mengangguk kecil, mencoba menenangkan Lio tampak gelisah itu. "Sepertinya istri anda kelelahan dan itu memicu kram perut. Tidak ada yang serius sejauh ini," jawabnya tenang. Tapi kemudian, tatapannya berpindah pada Lio dengan ekspresi sedikit menyelidik. "Kalau boleh tahu, apakah anda berdua baru saja melakukan hubungan suami-istri?" tanyanya penasaran, apalagi Lio dan juga Lili masih menggunakan jubah mandi salah satu hotel ternama. Lio menoleh pada Lili