Alexander tidak lagi mempedulikan ucapan sang tuan rumah. Dia duduk di kursi dengan bersandar mantap tajam kepada Tuan rumah tersebut."Bertha, aku tidak menyangka jika kau selicik ini. Aku tidak menyangka jika aku mempunyai teman sepicik kau!" ucap Alexander dengan nada tajam dan penuh kekecewaan. Bertha terdiam sejenak, matanya mencari jawaban atas tuduhan yang dilemparkan padanya.Bertha terkejut dengan ucapan pedas Alexander. Dia terlihat gugup, "A-apa maksud kamu?" gumamnya pelan sambil mencoba merangkai kata-kata untuk membela diri dari serangan tak terduga itu.Tanpa berkata-kata lagi, Alexander dengan cepat menarik lengan Bertha menuju ke mobilnya tanpa memberikan penjelasan apapun. Bertha semakin bingung dan cemas akan nasibnya yang belum jelas.Mereka akhirnya tiba di depan kantor polisi setempat, membuat Bertha semakin panik melihat tempat yang sama sekali tidak ia inginkan untuk berada di dalamnya. Semampunya dia berusaha bersikap tenang tapi denyut nadi yang semakin cepat
Clara, kau dan suami kamu telah menuduh kita yang bukan-bukan. Lihatlah, semua orang telah memandang rendah kita berdua. Kalian harus bertanggung jawab atas semua yang terjadi." Abigail berkata dengan suara yang lantang memenuhi ruang tamu Penthouse AlexanderClara hanya tersenyum miring, dia mengerti kemana arah pembicaraan mereka. Dia merasa bahwa ini adalah konsekuensi dari keputusan yang pernah diambilnya."Berapa banyak yang kalian butuhkan? Aku harap setelah menerima uang dariku, kalian tak lagi menampakkan diri kalian!" hardik Clara membuat Rilla terlihat tidak terima dengan ucapan Clara. Rilla merasa bahwa permintaannya tidak dipahami sepenuhnya oleh Clara."Clara, jangan pikir kau sekarang menjadi istri orang terkaya nomor dua di negara ini, kau bisa merendahkan kami. Kami ke sini hanya ingin menuntut tanggung jawabmu dan suamimu bukan mengemis uang darimu!" bantah Rilla dengan suaranya yang tegas. Dia ingin agar Clara menyadari betapa pentingnya pertanggungjawaban dalam situ
"Tuan, kenapa kau memberikan uang sebanyak itu kepada mereka? Mereka hanya ingin memeras kita," protes Clara kepada suaminya.Alexander menatap mata Clara dengan penuh cinta. Dia membelai rambut istrinya yang tergerai hingga ke pundak. "Aku hanya tidak ingin mereka akan mengganggumu lagi. Jika mereka tidak mendapatkan apa yang mereka mau, pasti mereka akan kembali lagi ke sini dan terus menerormu dengan permintaan mereka. Aku hanya ingin kita hidup dengan tenang dan kau menjalani kehamilanmu saat ini dengan hati yang bahagia, Clara."Clara membalas tatapan Alexander dengan mata berbinar. Sungguh dia sangat terharu dengan ucapan sang suami."Kau memang yang terbaik," ucap Clara melingkarkan tangannya ke pinggang Alexander dan menyandarkan tubuhnya ke dada bidang suaminya.Matahari semakin meninggi, tapi suasana damai masih mengiringi kedekatan antara Alexander dan Clara di tepian kolam renang rumah mewah milik keluarga tersebut. Mereka duduk bersama di kursi panjang berwarna putih sam
Malam itu, Clara di temani oleh Alexander pergi ke kantor polisi. Saat mereka berada di ruang pengunjung, Clara tampak terkejut ketika mengetahui siapa pembunuh ayahnya."Bertha, kau..." ucap Clara dengan suara gemetar.Bertha hanya memandang Alexander dan Clara dengan tatapan sinis. "Puas kau wanita sialan. Puas kau sudah menghancurkan hidupku!" hardik Bertha tanpa ada rasa penyesalan sedikitpun.Clara merasa campur aduk antara marah dan sedih. Dia tidak pernah membayangkan bahwa sahabat karibnya sendiri akan melakukan sesuatu sekejam ini. "Kenapa kau tega membunuh Papaku? Apakah dia memiliki salah kepadamu?" tanya Clara berusaha untuk bersikap tenang meskipun hatinya hancur berkeping-keping.Bertha hanya mengangkat sudut bibirnya, "Aku sama sekali tidak ada masalah dengan lelaki tua itu. Kaulah yang membuat aku melakukannya."Clara mengepalkan tangannya dengan erat, mencoba menahan amarah yang menyala di dalam dirinya. Alexander melihat bagaimana istrinya sangat emosi saat itu dan m
"Alex, Mama menyesal telah membela Bertha yang ternyata manusia licik. Mama baru dapat kabar, jika Bertha telah membunuh Papa Clara demi egonya. Clara maafkan saya, karena telah salah menilai mu selama ini," sesal Selma dengan raut wajahnya yang sedih.Clara tersenyum bahagia, akhirnya Selma kini menerimanya sebagai menantu."Nyonya Selma, jangan meminta maaf. Anda tidak salah, wajar saja seorang ibu selalu ingin yang terbaik untuk anak-anak mereka."Selma tak menyangka jika hati Clara sangatlah besar untuk menerima maafnya. Dia memeluk Clara dengan rasa haru."Mulai sekarang, jangan panggil aku 'nyonya', panggillah aku dengan Mama seperti Alex memanggilku," pinta Selma dengan senyumnya yang menawan.Hari itu terasa begitu berat bagi Selma ketika dia menyadari bahwa keputusannya untuk membela Bertha adalah sebuah kesalahan besar. Ia merasakan penyesalan mendalam saat mendengar kabar bahwa Bertha telah melakukan tindakan keji tersebut demi ego dirinya sendiri. Hatinya hancur dan ia tid
"Mama?" gumam Clara menggelengkan kepalanya pelan ketika. Dia merasa hatinya berdebar kencang, tidak yakin dengan apa yang akan terjadi selanjutnya.Selma terlihat gugup, keringat dingin mengucur di badannya. Matanya berkaca-kaca, mencerminkan rasa takut dan kecemasan yang mendalam. Dia merasakan tekanan besar untuk memberikan kesaksian yang sebenarnya."Nyonya Selma, bisakah Anda ke kotak saksi?" pinta hakim kepada Selma yang terlihat sangat ketakutan. Suaranya gemetar saat dia menjawab bahwa ia siap untuk memberikan kesaksian.Alexander memandang Selma dengan penuh kekecewaan dan rasa khawatir kepadanya, berharap jika semuanya tidak benar. Hatinya hancur melihat ibunya dalam kondisi seperti itu, namun dia tetap bersikeras untuk percaya pada kemampuan dan integritasnya.Dalam keheningan ruang sidang yang tegang, Selma bangkit dari kursinya dengan langkah ragu. Setiap langkahnya terasa begitu berat karena beban emosional yang sedang dialaminya. Tatapan semua orang tertuju padanya saat
Di ruang sidang yang ramai, Selma duduk tegang di kursi terdakwa, mata penuh harap pada pengacara Alexander. Wanita paruh baya itu merasa gelisah namun tetap percaya pada kemampuan pengacara anaknya untuk membela dirinya. Alexander sendiri tampak tenang dan yakin bahwa ibunya akan dibuktikan tidak bersalah.Dengan langkah mantap, pengacara Alexander berdiri di hadapan juri dan mulai memaparkan bukti-bukti baru yang menunjukkan keberadaan saksi kunci yang sebelumnya terlewatkan. Suasana ruangan menjadi semakin tegang dengan setiap kata yang keluar dari mulut sang pengacara."Tuan Hakim yang terhormat," ucap pengacara tersebut dengan tegas, "anting itu memang milik nyonya Selma tapi Nyonya Bertha sengaja mencurinya untuk menjebak Nyonya Selma." Penjelasan tersebut membuat seisi ruangan terkejut dan beberapa orang bahkan mengeluarkan desahan tidak percaya. Semua mata tertuju pada Selma, yang wajahnya masih dipenuhi ketegangan namun juga sedikit lega karena akhirnya kebenaran mulai terung
"Clara, maafkan Mama. Sebenarnya saat itu tengah di hasut oleh Barbara. Mama termakan ucapannya jika Alexander tidak lagi peduli dengan Mama karena hasutanmu."Clara merasa hatinya teriris mendengar penjelasan dari Selma. Dia tidak pernah menyangka bahwa Bertha bisa begitu jahat dan licik untuk memanipulasi ibu mertuanya. Clara mencoba memahami situasi yang rumit ini, sambil tetap mencerna informasi yang baru saja dia dengar.Selma terus menjelaskan dengan penuh emosi, "Bertha benar-benar ingin menghancurkan hubunganmu dan Alexander. Dia iri dengan kebahagiaanmu yang bisa bersama dengan Alexander." Clara semakin terkejut mendengar semua ini. Hatinya campur aduk antara marah pada Bertha dan iba pada ibu mertuanya yang telah menjadi korban tipu daya Bertha.Sementara itu, di taman halaman pengadilan yang dipenuhi dengan pepohonan rindang dan bunga-bunga yang bermekaran, suasana semakin hening ketika Selma melanjutkan ceritanya. Bertha, wanita licik berambut pirang panjang, ingin tahu s