Share

Bab 5

Penulis: irisamayeontan
last update Terakhir Diperbarui: 2025-06-25 22:31:51

Udara malam terasa lebih dingin dari biasanya. Cahaya dari jendela aula dansa memantul di lantai marmer lorong istana yang sunyi. Langkah Adhelard terdengar berat namun pasti saat ia meninggalkan ruangan tempat Alice berdiri canggung sendirian. Namun belum jauh dari ambang pintu, seseorang menghadangnya.

Rose Jerome.

Wanita bangsawan bergaun ungu tua itu melangkah pelan, membawa aroma lavender dan nostalgia masa lalu. Senyum tipis tergurat di wajahnya, senyum yang dulu membuat banyak pria istana terpikat, termasuk Adhelard—atau setidaknya, begitulah yang ia yakini.

“Adhelard,” sapanya dengan nada halus, “Kita perlu bicara.”

Adhelard menghentikan langkahnya, tatapannya kosong sejenak, lalu beralih pada sosok wanita itu.

Dari balik pintu, Alice muncul tanpa sengaja. Saat melihat mereka, ia tertegun, hampir saja ingin kembali masuk, tapi Adhelard sudah meliriknya duluan.

“Jangan pergi,” ucapnya datar.

Alice menunduk, canggung. Ia merasa seperti bayangan tak diinginkan, berada di antara dua dunia: seorang bangsawan yang merasa berhak dan seorang pangeran yang menyimpan rahasia kelam.

Rose menoleh cepat, terkejut melihat Alice. “Lady Anne?”

Ia tidak menyapa. Tidak memberi anggukan. Hanya nada curiga dan datar.

“Maaf... saya tak bermaksud—” Alice mencoba menyingkir, namun suara Adhelard kembali membungkam langkahnya.

“Dia tetap di sini.”

Rose melirik tajam. “Ini percakapan penting. Ia bukan bagian dari ini.”

Namun Adhelard tersenyum. Senyum dingin dan menghina.

“Nona Rose Jerome bisa mengatakannya di depan Lady Anne. Karena dia akan menjadi keluargaku juga nanti.”

Alice membeku. Rose mengerutkan kening.

“Jangan bercanda, Adhelard. Sebaiknya kita bicara empat mata... di tempat yang lebih nyaman.” Suara Rose mulai terdengar memaksa, seperti memendam banyak hal.

Alis Adhelard sedikit terangkat. “Sebaiknya?”

Diam sejenak. Ketegangan menggantung di udara.

Alice menunduk makin dalam, merasa dirinya terlalu asing di antara mereka. Tapi perintah Adhelard untuk tetap tinggal membuatnya tak bisa bergerak. Dan Rose… tak sedikit pun menganggap keberadaannya. Tak ada salam, tak ada lirikan.

Adhelard tertawa kecil, getir. “Yang kamu anggap sebaiknya itu... selalu tidak baik untukku, Lady Rose.”

Wajah Rose yang awalnya percaya diri mulai mengendur. Rona merah di pipinya memudar menjadi pucat.

“Dengarkan aku dulu, Adhelard,” suaranya bergetar sedikit, menandakan luka lama yang belum sembuh. “Aku datang bukan hanya untuk masa lalu. Aku datang untuk memperbaiki masa depan kita. Aku ingin membantumu mendapatkan kembali posisi itu. Aku akan... mengembalikan gelar putra mahkota padamu.”

Alice terdiam di tempat. Kata-kata Rose menggema di benaknya.

Tapi Adhelard… tak terlihat tersentuh.

Mata elangnya berubah dingin, hampir seperti tidak manusiawi. Ia melangkah maju, perlahan, mendekati Rose dengan sorot mengancam.

“Ingat baik-baik perkataanku, Nona Rose Jerome.”

Ia berdiri hanya satu langkah dari Rose sekarang, membuat wanita itu harus mendongak menatap matanya yang menyala seperti bara yang terpendam lama.

“Aku tidak kehilangan posisi putra mahkota.”

Rose mengerjap, bingung.

“Aku melepaskannya... dengan sukarela.”

Senyap. Sunyi. Bahkan detak jantung pun terasa seperti berhenti sejenak.

Alice mendongak, syok. Rose menggigit bibirnya, tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.

Adhelard melanjutkan, kini dengan nada lebih tajam, lebih menusuk.

“Dan kebetulan saja... kau adalah alat yang mempermudah semuanya.”

Rose membeku. Nafasnya tercekat.

“Kau pikir aku dijatuhkan karena menebas kepala ayahmu?” lanjut Adhelard. “Itu hanya cerita yang dibiarkan beredar. Kebenarannya adalah... aku ingin keluar dari kebusukan istana. Aku muak dengan semuanya. Dan saat ayahmu melakukan kebusukannya, itu hanya jembatan yang melancarkan keinginanku.”

“Tidak. Kamu melakukannya karena aku. Karena menyelamatkanku… karena mencintaiku…maka dari itu, biarkan aku memperbaiki nama baikmu.” Ucap Rose dengan suara bergetar.

Ia menatap Rose seperti menatap bayangan masa lalu yang tak ingin dikenangnya lagi.

“Kau pikir kedatanganmu malam ini akan mengubah apapun? Kau bukan penyelamatku, Rose. Kau hanyalah pintu keluar yang kupaksa terbuka—dan kini sudah kututup selamanya. Kamu tahu yang sebenarnya terjadi. Seharusnya kamu lebih tahu diri Lady Rose Jerome. ”

Alice nyaris menahan napas. Di hadapannya kini bukan sekadar Adhelard sang pangeran... tapi seseorang yang menyimpan luka, pengkhianatan, dan pilihan yang tak pernah diketahui siapa pun.

Rose melangkah mundur. Bahunya bergetar. Tapi ia tak menangis.

“Kau berubah...” bisiknya. “Kau bukan Adhelard yang dulu kucintai.”

Adhelard tersenyum tipis. “Kau salah. Justru inilah aku yang sesungguhnya.”

Ia berbalik dan menoleh pada Alice. “Kita pergi.”

Alice ragu sejenak, lalu mengikuti langkahnya.

Sementara Rose tetap berdiri di lorong sepi itu, sendirian. Dulu, ia percaya bahwa Adhelard hanya butuh dituntun kembali ke jalannya. Tapi sekarang ia sadar—ia tak pernah benar-benar mengenal pria itu. Dan mungkin... tak akan pernah bisa lagi.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Gairah Sang Penyihir Menawan   Bab 56

    Alice berusaha menggerakkan tubuhnya, namun tubuh itu seakan diikat dengan rantai tak kasatmata. Matanya melebar, penuh amarah. Ingin ia berteriak, memaki, mengusir, atau sekadar melepaskan diri—tapi bibirnya kaku, seolah suara pun telah dicuri. Hanya matanya yang bergetar, menunjukkan perlawanan yang tak bisa diwujudkan dengan gerakan.Teon duduk di pinggir ranjang Alice. Wajahnya yang pucat. Ia menjulurkan tangannya, menempelkan telapak pada luka leher Alice yang masih belum sembuh. Kilatan cahaya suci muncul, hangat merambat ke kulit Alice, meredakan luka yang masih terbuka.Sambil menyalurkan kekuatan sucinya, suara Teon terdengar rendah mencoba menjelaskan, "Alice… aku minta maaf."Suaranya bergetar. "Aku tidak bisa hidup tanpamu. Jika kau membenciku, aku menerima. Jika kau tak ingin menatapku lagi, aku rela. Tapi… aku mohon, jangan tinggalkan aku. Setidaknya biarkan aku tetap ada di sisimu, berjalan bersamamu, meski kau tak lagi percaya padaku."Detak jantung Alice berdegup kenc

  • Gairah Sang Penyihir Menawan   Bab 55 Rahasia Kekuatan Teon

    Alice menopang tubuhnya dengan pedang. Darah mengalir dari lehernya, menetes ke lantai dan mengenai liontin batu pada kalung yang ia kenakan. Begitu darah itu menyentuh permukaan batu, cahaya terpancar. Batu itu berkilau, menyala seakan merespons darah yang melumuri permukaan batu.Maxime dan Louis, yang panik melihat luka Alice, kini membelalak mata kaget. “Batu itu... bersinar?” bisik Louis dengan wajah pucat.Alice tersenyum samar, senyum yang lebih mirip kepuasan getir. Saat itu juga, hembusan angin berdesir kencang. Tirai kamar terangkat, dan dari jendela, sosok yang paling tidak diinginkan Alice masuk dengan gesit—Teon.“ALICE!” serunya terkejut melihat darah mengalir dari leher wanita yang ia cintai.Tanpa berpikir, Teon mendorong Maxime agar memberinya ruang, lalu berjongkok di hadapan Alice untuk melihat lukanya.Alice melepaskan pedang dari tangannya. Tubuhnya sedikit goyah, langkahnya pelan untuk mundur. Louis buru-buru meraih tangannya agar tidak jatuh, tapi Alice justru m

  • Gairah Sang Penyihir Menawan   Bab 54 Bukti dan Keputusan

    Suasana kamar Carolie masih diliputi aroma dupa yang sengaja disiapkan untuk menenangkan rasa cemasnya. Tapi tubuhnya tampak menegang menatap Teon yang berdiri di hadapannya. Setelah Teon melepas cengkraman kasar di wajahnya, jantungnya berdetak kencang tak terkendali. Rasa sakit menjalar dari pipinya yang memerah akibat genggaman kuat itu.Teon menatapnya dingin, lalu dengan cepat menampar wajah Carolie. Suara tamparan itu menggema di kamar yang hening, membuat Carolie terperanjat dan nyaris menangis.“Kau tidak berguna, Carolie.” Suara Teon serupa bisikan, rendah dan penuh amarah. “Seharusnya aku tidak pernah membuang waktuku menolongmu, apalagi menyuruhmu menggoda Pangeran Evrard.”Carolie sontak turun dari tempat tidur. Lututnya gemetar, tubuhnya jatuh bersujud di hadapan Teon. Air mata mengalir, bukan hanya karena sakit, melainkan juga karena takut akan kehilangan nyawanya.“Tuan, ampun... beri aku kesempatan lagi!” suaranya parau.Namun Teon tidak bergeming. Ia mengangkat kakiny

  • Gairah Sang Penyihir Menawan   Bab 53 Dalang dibalik tragedi

    Louis tidak menjawab pertanyaan Alice. Rahangnya mengeras, seakan ada kata-kata yang tertahan di ujung lidahnya, namun ia memilih bungkam. Tanpa sepatah kata pun, ia berbalik dan melangkah cepat keluar dari ruangan.Alice hanya bisa menatap punggung sahabatnya itu menghilang di balik pintu, dadanya terasa sesak oleh kebisuan yang menggantung.Di koridor, langkah Louis terhenti sesaat ketika berpapasan dengan sosok tegap Pangeran Adhelard. Sorot mata tajam Adhelard menelusuri wajah Louis, seakan berusaha membaca emosi yang meluap. Louis menunduk, menempatkan tangan di dada sebagai salam hormat singkat. Lalu ia berjalan melewatinya tanpa sepatah kata, hanya meninggalkan jejak langkah berat yang cepat menjauh.Adhelard berdiri tegak, sedikit mengerutkan alisnya. Ia menyaksikan Louis menghilang, lalu melangkah masuk ke ruang tamu dengan tatapan penuh selidik.Alice segera berdiri dan memberi salam anggun. “Yang Mulia Pangeran Adhelard.”Daniel, yang duduk di sampingnya, ikut bangkit dan m

  • Gairah Sang Penyihir Menawan   Bab 52

    Riuh rendah terdengar dari arah kastil yang menjadi kediaman Pangeran Evrard dan selir kesayangannya, Lady Carolie. Kerumunan pelayan memenuhi halaman depan, beberapa di antaranya berbisik-bisik, sementara yang lain menutup mulut menahan keterkejutan.Pangeran Adhelard baru saja menuruni kudanya, Arthur berada tepat di sisinya. Adhelard tidak mengatakan apa-apa, hanya mengerling sekilas dengan tatapan dingin, lalu memberi isyarat dengan tangannya. Arthur langsung mengangguk paham dan mempercepat langkah masuk ke dalam halaman.Begitu mereka tiba di aula depan, pemandangan yang mengejutkan menyambut mereka. Carolie tampak menangis terisak, wajahnya bersembunyi di pelukan Pangeran Evrard. Air matanya membasahi pakaian tipisnya, sementara dari atas terlihat seutas tali menjuntai, menggantung seperti bukti nyata dari niatnya yang nekat.“Ya Tuhan… dia benar-benar mencoba melakukannya lagi?” salah satu pelayan berbisik dengan nada gentar.Pelayan lain menimpali dengan suara lebih lirih, “D

  • Gairah Sang Penyihir Menawan   Bab 51 Strategi Perdagangan

    Udara pagi di kediaman keluarga Adelaide terasa segar. Matahari baru saja naik, sinarnya lembut menembus dedaunan dan menari di permukaan cangkir teh yang dipegang Alice. Ia duduk anggun di bawah naungan paviliun kecil di kebun belakang, ditemani harum bunga mawar yang bermekaran. Gaun santainya berwarna biru pucat, rambut panjangnya digelung sederhana, dan parasnya begitu cantik walaupun tanpa dandanan yang mencolok.Alice mengangkat cangkir porselen itu, menyesap sedikit teh hangat, lalu menutup matanya sebentar untuk menikmati rasanya. Pagi seperti ini jarang ia dapatkan, apalagi setelah hari-hari penuh masalah dan pertempuran.“Lady Alice,” suara Reina terdengar dari arah jalan setapak. Gadis itu berjalan tergesa - gesa, membawa buku catatan di tangan, wajahnya tampak puas seperti seseorang yang baru menyelesaikan tugas penting. Ia lalu membungkuk dengan sopan. “Saya sudah mengatur pengiriman kue dari toko baru Anda. Semua bangsawan yang memiliki hubungan baik dengan Anda akan men

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status