Udara malam terasa lebih dingin dari biasanya. Cahaya dari jendela aula dansa memantul di lantai marmer lorong istana yang sunyi. Langkah Adhelard terdengar berat namun pasti saat ia meninggalkan ruangan tempat Alice berdiri canggung sendirian. Namun belum jauh dari ambang pintu, seseorang menghadangnya.
Rose Jerome. Wanita bangsawan bergaun ungu tua itu melangkah pelan, membawa aroma lavender dan nostalgia masa lalu. Senyum tipis tergurat di wajahnya, senyum yang dulu membuat banyak pria istana terpikat, termasuk Adhelard—atau setidaknya, begitulah yang ia yakini. “Adhelard,” sapanya dengan nada halus, “Kita perlu bicara.” Adhelard menghentikan langkahnya, tatapannya kosong sejenak, lalu beralih pada sosok wanita itu. Dari balik pintu, Alice muncul tanpa sengaja. Saat melihat mereka, ia tertegun, hampir saja ingin kembali masuk, tapi Adhelard sudah meliriknya duluan. “Jangan pergi,” ucapnya datar. Alice menunduk, canggung. Ia merasa seperti bayangan tak diinginkan, berada di antara dua dunia: seorang bangsawan yang merasa berhak dan seorang pangeran yang menyimpan rahasia kelam. Rose menoleh cepat, terkejut melihat Alice. “Lady Anne?” Ia tidak menyapa. Tidak memberi anggukan. Hanya nada curiga dan datar. “Maaf... saya tak bermaksud—” Alice mencoba menyingkir, namun suara Adhelard kembali membungkam langkahnya. “Dia tetap di sini.” Rose melirik tajam. “Ini percakapan penting. Ia bukan bagian dari ini.” Namun Adhelard tersenyum. Senyum dingin dan menghina. “Nona Rose Jerome bisa mengatakannya di depan Lady Anne. Karena dia akan menjadi keluargaku juga nanti.” Alice membeku. Rose mengerutkan kening. “Jangan bercanda, Adhelard. Sebaiknya kita bicara empat mata... di tempat yang lebih nyaman.” Suara Rose mulai terdengar memaksa, seperti memendam banyak hal. Alis Adhelard sedikit terangkat. “Sebaiknya?” Diam sejenak. Ketegangan menggantung di udara. Alice menunduk makin dalam, merasa dirinya terlalu asing di antara mereka. Tapi perintah Adhelard untuk tetap tinggal membuatnya tak bisa bergerak. Dan Rose… tak sedikit pun menganggap keberadaannya. Tak ada salam, tak ada lirikan. Adhelard tertawa kecil, getir. “Yang kamu anggap sebaiknya itu... selalu tidak baik untukku, Lady Rose.” Wajah Rose yang awalnya percaya diri mulai mengendur. Rona merah di pipinya memudar menjadi pucat. “Dengarkan aku dulu, Adhelard,” suaranya bergetar sedikit, menandakan luka lama yang belum sembuh. “Aku datang bukan hanya untuk masa lalu. Aku datang untuk memperbaiki masa depan kita. Aku ingin membantumu mendapatkan kembali posisi itu. Aku akan... mengembalikan gelar putra mahkota padamu.” Alice terdiam di tempat. Kata-kata Rose menggema di benaknya. Tapi Adhelard… tak terlihat tersentuh. Mata elangnya berubah dingin, hampir seperti tidak manusiawi. Ia melangkah maju, perlahan, mendekati Rose dengan sorot mengancam. “Ingat baik-baik perkataanku, Nona Rose Jerome.” Ia berdiri hanya satu langkah dari Rose sekarang, membuat wanita itu harus mendongak menatap matanya yang menyala seperti bara yang terpendam lama. “Aku tidak kehilangan posisi putra mahkota.” Rose mengerjap, bingung. “Aku melepaskannya... dengan sukarela.” Senyap. Sunyi. Bahkan detak jantung pun terasa seperti berhenti sejenak. Alice mendongak, syok. Rose menggigit bibirnya, tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Adhelard melanjutkan, kini dengan nada lebih tajam, lebih menusuk. “Dan kebetulan saja... kau adalah alat yang mempermudah semuanya.” Rose membeku. Nafasnya tercekat. “Kau pikir aku dijatuhkan karena menebas kepala ayahmu?” lanjut Adhelard. “Itu hanya cerita yang dibiarkan beredar. Kebenarannya adalah... aku ingin keluar dari kebusukan istana. Aku muak dengan semuanya. Dan saat ayahmu melakukan kebusukannya, itu hanya jembatan yang melancarkan keinginanku.” “Tidak. Kamu melakukannya karena aku. Karena menyelamatkanku… karena mencintaiku…maka dari itu, biarkan aku memperbaiki nama baikmu.” Ucap Rose dengan suara bergetar. Ia menatap Rose seperti menatap bayangan masa lalu yang tak ingin dikenangnya lagi. “Kau pikir kedatanganmu malam ini akan mengubah apapun? Kau bukan penyelamatku, Rose. Kau hanyalah pintu keluar yang kupaksa terbuka—dan kini sudah kututup selamanya. Kamu tahu yang sebenarnya terjadi. Seharusnya kamu lebih tahu diri Lady Rose Jerome. ” Alice nyaris menahan napas. Di hadapannya kini bukan sekadar Adhelard sang pangeran... tapi seseorang yang menyimpan luka, pengkhianatan, dan pilihan yang tak pernah diketahui siapa pun. Rose melangkah mundur. Bahunya bergetar. Tapi ia tak menangis. “Kau berubah...” bisiknya. “Kau bukan Adhelard yang dulu kucintai.” Adhelard tersenyum tipis. “Kau salah. Justru inilah aku yang sesungguhnya.” Ia berbalik dan menoleh pada Alice. “Kita pergi.” Alice ragu sejenak, lalu mengikuti langkahnya. Sementara Rose tetap berdiri di lorong sepi itu, sendirian. Dulu, ia percaya bahwa Adhelard hanya butuh dituntun kembali ke jalannya. Tapi sekarang ia sadar—ia tak pernah benar-benar mengenal pria itu. Dan mungkin... tak akan pernah bisa lagi.Keheningan merayap di udara seperti kabut malam yang menyesakkan dada.Alice berdiri di tengah lingkaran prajurit yang mengacungkan pedang padanya, nafasnya tak beraturan, jubah kusutnya robek di beberapa tempat, dan tangan kanannya gemetar menggenggam pedang rampasan. Di sekelilingnya, tatapan curiga dan pedang - pedang tajam terarah padanya, menuntut jawaban.Namun ia tetap bungkam. Satu suara saja dan semua akan runtuh. Suaranya terlalu lembut, terlalu khas. Jika ia berbicara, penyamarannya akan sirna. Ia terus membuat pertahanan tanpa melukai bagian vital para prajurit zirah hitam.Langkah berat bergema. Adhelard memasuki lingkaran itu dengan sikap tenang dan wibawa yang tak terbantahkan. Di tangannya, seorang lelaki diseret, tubuhnya limbung dan berdarah.Maxime.Alice menahan nafasnya. Tubuh lelaki itu jatuh ke tanah, darah mengalir dari luka di pelipis dan lengan. Meski luka - luka yang parah, matanya tetap menatap lurus, tanpa rasa gentar. Kesetiaan terpatri dalam pandanganny
Mentari belum tinggi ketika Alice berdiri di depan cermin, membenarkan gaun mewah berwarna lavender pucat yang menjuntai anggun hingga lantai. Rambut merahnya ditata rapi seperti putri bangsawan pada umumnya, meski hatinya menggerutu.Di tangan kirinya, surat kecil tergenggam erat. Ia menulisnya sendiri. Tapi begitu selesai, ia tidak memanggil pelayan biasa. Alice membuka jendela dan meniupkan peluit kecil dari perak, sebuah sinyal khusus.Tak sampai lima menit, Maxime sudah melompat masuk lewat balkon seperti biasa, wajahnya tenang namun waspada."Kau memanggilku, Nona?""Aku butuh bantuanmu," ucap Alice tanpa basa-basi, menyodorkan surat itu. "Aku tidak bisa menepati janji bertemu dengan pedagang itu hari ini. Tolong temui dia dan katakan aku akan datang terlambat. Ini tempatnya dan ini kata sandinya."Maxime menerima surat itu dengan anggukan. "Saya akan menyampaikannya sendiri."Hari ini seharusnya ia menemui seseorang yang mengaku sebagai pedagang kaya dari luar wilayah kerajaan.
Malam itu, angin berhembus lembut melewati celah jendela kediaman keluarga Adelaide. Cahaya purnama menggantung penuh di langit, perak dan pucat, menerangi seisi kamar dengan keheningan yang menggoda. Di atas tempat tidur mewah milik Lady Anne yang kini digunakan oleh Alice, ia terbaring dengan nafas tak teratur dan kulit bersinar penuh peluh. Rambut merahnya tergerai kusut, pipinya memanas, dan matanya menerawang kabur.Alice menggigit bibirnya. Tubuhnya panas, lebih dari sekadar demam biasa. Ia tahu, malam ini adalah waktunya kutukan itu bangkit. Ia telah menahannya selama berada di pesta, namun setelah kembali dengan dalih sakit dan meninggalkan kereta istana lebih awal, tubuhnya mulai bereaksi. Dada sesak, kulitnya seperti terbakar dari dalam.Tiba-tiba, dari jendela terbuka, sebuah suara ringan terdengar."Kau terlihat lebih buruk daripada biasanya."Alice menoleh lemah. Sosok lelaki tinggi, ramping dengan jubah putih bersih melangkah masuk dari jendela. Matanya lembut, bersinar
Tangan Adhelard menuntun Alice dengan tegas, meski langkah mereka pelan menyusuri koridor panjang menuju aula pesta. Jemarinya dingin namun mantap, dan cengkeramannya menyiratkan kuasa, seolah berkata: kau aman bersamaku, tapi jangan bertanya terlalu banyak.Alice tak bisa berkata-kata. Ucapan Adhelard sebelumnya masih menggema di telinganya.“Karena dia akan menjadi keluargaku juga nanti.”Kalimat itu mengganggu pikirannya. Apakah itu hanya untuk menyingkirkan Rose? Atau… ada makna tersembunyi?Begitu mereka tiba di pintu aula, Alice ingin segera melepaskan diri. Tapi detik itu pula, seorang wanita bergaun emas dengan mahkota kristal kecil di rambut peraknya berdiri di hadapan mereka.Ibu Suri.Permaisuri Chloe.Ibu tiri Adhelard dan ibu kandung dari Pangeran Evrard.Senyum Chloe manis, tapi matanya seperti pisau yang tajam. Ia memandangi Adhelard dengan angkuh, lalu menurunkan tatapannya pada Alice, sebelum kembali ke Adhelard.“Oh, lihat siapa yang akhirnya kembali dari medan peran
Udara malam terasa lebih dingin dari biasanya. Cahaya dari jendela aula dansa memantul di lantai marmer lorong istana yang sunyi. Langkah Adhelard terdengar berat namun pasti saat ia meninggalkan ruangan tempat Alice berdiri canggung sendirian. Namun belum jauh dari ambang pintu, seseorang menghadangnya.Rose Jerome.Wanita bangsawan bergaun ungu tua itu melangkah pelan, membawa aroma lavender dan nostalgia masa lalu. Senyum tipis tergurat di wajahnya, senyum yang dulu membuat banyak pria istana terpikat, termasuk Adhelard—atau setidaknya, begitulah yang ia yakini.“Adhelard,” sapanya dengan nada halus, “Kita perlu bicara.”Adhelard menghentikan langkahnya, tatapannya kosong sejenak, lalu beralih pada sosok wanita itu.Dari balik pintu, Alice muncul tanpa sengaja. Saat melihat mereka, ia tertegun, hampir saja ingin kembali masuk, tapi Adhelard sudah meliriknya duluan.“Jangan pergi,” ucapnya datar.Alice menunduk, canggung. Ia merasa seperti bayangan tak diinginkan, berada di antara d
Kilau permata dan gaun sutra membanjiri aula istana utama. Pesta ulang tahun Pangeran Kedua, Evrard, telah menarik seluruh bangsawan dari empat penjuru kerajaan. Lampu gantung kristal bersinar seperti langit berbintang di atas kepala, dan aroma mawar serta anggur tua memenuhi ruangan.Di ambang pintu, Alice berdiri. Dalam balutan gaun putih keperakan milik Anne, rambutnya disanggul anggun, hanya beberapa helai dibiarkan jatuh untuk membingkai wajahnya. Dia tampak persis seperti yang diharapkan semua orang dari putri keluarga Adelaide, tenang, lembut, dan tinggi Bermartabat. Tapi di balik matanya, badai berkecamuk. Ia datang bukan sebagai tamu kehormatan, tapi sebagai penyamar. Sebagai kebenaran yang menyelinap di antara kebohongan.Saat langkahnya maju, suara langkah lain terdengar dari arah berlawanan. Seorang wanita dengan gaun merah darah, tinggi, dan percaya diri, berdiri di jalurnya. Rambut pirangnya disanggul sempurna. Senyum miringnya menilai dari ujung kepala sampai ujung kaki