Tangan Adhelard menuntun Alice dengan tegas, meski langkah mereka pelan menyusuri koridor panjang menuju aula pesta. Jemarinya dingin namun mantap, dan cengkeramannya menyiratkan kuasa, seolah berkata: kau aman bersamaku, tapi jangan bertanya terlalu banyak.
Alice tak bisa berkata-kata. Ucapan Adhelard sebelumnya masih menggema di telinganya. “Karena dia akan menjadi keluargaku juga nanti.” Kalimat itu mengganggu pikirannya. Apakah itu hanya untuk menyingkirkan Rose? Atau… ada makna tersembunyi? Begitu mereka tiba di pintu aula, Alice ingin segera melepaskan diri. Tapi detik itu pula, seorang wanita bergaun emas dengan mahkota kristal kecil di rambut peraknya berdiri di hadapan mereka. Ibu Suri. Permaisuri Chloe. Ibu tiri Adhelard dan ibu kandung dari Pangeran Evrard. Senyum Chloe manis, tapi matanya seperti pisau yang tajam. Ia memandangi Adhelard dengan angkuh, lalu menurunkan tatapannya pada Alice, sebelum kembali ke Adhelard. “Oh, lihat siapa yang akhirnya kembali dari medan perang,” ucapnya dengan nada yang halus. “Tanpa pemberitahuan. Tanpa kabar. Tapi… tetap membawa drama, seperti biasa.” Alice menegang. Ia bisa merasakan ketegangan di antara mereka. Adhelard hanya tersenyum tipis, seolah sudah terbiasa disambut seperti itu. “Aku datang bukan untuk berpesta, Yang Mulia. Aku datang hanya untuk menyapa Anne.” Ia menoleh sekilas pada Alice. “Kami berteman lama. Dan aku dengar dia akan dijodohkan dengan Evrard. Aku hanya ingin menyampaikan harapan terbaikku… secara pribadi.” Chloe mendongakkan dagunya. “Sungguh manis. Tapi tetap saja—tidak sopan datang ke pesta keluarga kerajaan menggunakan baju zirah dan membuat perhatian para tamu tertuju padamu, bukan sang putra mahkota yang berulang tahun. Aku jadi penasaran, sedekat apa hingga membuat pangeran Adhelard berlari menemui Lady Anne tanpa mengganti bajunya.” “Aku belum sempat menemui Kaisar,” lanjut Adhelard tenang tanpa menghiraukan rah bicara ibu tirinya. “Aku akan menyapanya setelah pesta usai.” Lalu tanpa menunggu balasan, Adhelard melepaskan tangan Alice dengan lembut, dan melangkah menjauh. Alice nyaris memanggilnya—tapi tak sempat. Ia kini berdiri berhadapan langsung dengan wanita paling ditakuti di istana: Permaisuri Chloe. Chloe menatapnya lekat. “Kau tampak gugup.” Alice berusaha tersenyum sopan. “Hanya sedikit lelah, Yang Mulia.” “Lelah... atau takut?” Chloe melangkah maju, suaranya lembut namun menusuk. “Kau tidak perlu takut padaku, Nona Anne. Tidak... jika kau tahu bagaimana membawa dirimu di istana ini.” Alice menunduk. “Terima kasih atas pengingatnya.” Chloe tersenyum. “Kau tampak lebih menarik dari biasanya. Mungkin kita bisa berbincang. Aku ingin mengenal calon menantuku sedikit lebih dalam.” Ia melingkarkan lengannya ke lengan Alice. “Ikutlah denganku. Kita minum teh.” --- Di ruang perjamuan kecil, dinding-dinding dihiasi permadani emas dan lukisan para permaisuri terdahulu. Chloe menuangkan teh dari teko porselen langka. Aromanya harum dan menenangkan, tapi suasananya... mencekam. “Kau tahu,” ujar Chloe seraya menyeruput tehnya, “anak lelakiku, Evrard, terlalu mudah percaya pada orang lain. Itu kelemahan yang tidak bisa dimaafkan dalam dunia ini.” Alice mengangguk. “Mungkin itu juga yang membuatnya disukai banyak orang.” Chloe menoleh tajam. “Disukai bukan berarti dihormati.” Alice menyadari sesuatu: Chloe tidak benar-benar mempercayai anaknya sendiri. Ada jarak, kecurigaan, dan—yang lebih penting—ego. Sebuah ide muncul di benaknya. Peluang untuk mempermainkan papan catur istana. Alice meneguk tehnya pelan. Aroma melati bercampur madu memenuhi hidungnya, tetapi tak ada ketenangan di balik rasa itu. Ia duduk dengan punggung tegak di ruang perjamuan kecil bersama Permaisuri Chloe, sang ibu suri yang wajahnya seperti topeng porselen—lembut, namun rapuh karena waktu dan kekuasaan. Mereka duduk berhadapan di meja kecil, diapit tirai berat berwarna emas dan permadani bergambar lambang kerajaan. Chloe memandangi Alice dengan mata tajam yang biasa ia gunakan saat membaca laporan keuangan istana. “Kau tampak lebih dewasa dibanding terakhir kita bertemu,” ujarnya sambil meletakkan cangkir teh di piringnya. Alice tersenyum sopan. “Waktu… dan kehidupan di istana mengajarkan banyak hal, Yang Mulia.” Chloe menyesap tehnya. “Dan kau tampaknya cepat belajar.” Alice menunduk sejenak, lalu mengangkat wajah dengan senyum lembut. Tapi kali ini… senyum itu mengandung sedikit luka. Luka yang dipoles rapi. Ia berpura-pura ragu. “Saya tak tahu apakah pantas menyampaikan ini…” Chloe meletakkan cangkirnya. “Katakan saja.” Alice menahan napas sejenak. Ia harus memilih kata-kata dengan sangat hati-hati. “Saya tidak keberatan jika hati Pangeran Evrard belum sepenuhnya untuk saya,” katanya lirih, nada suaranya nyaris seperti pengakuan dosa. “Saya tahu... cinta tidak bisa dipaksakan. Tapi...” Ia berhenti. Chloe mencondongkan tubuh, penasaran. “Tapi?” ulang sang Permaisuri. Alice mengangkat matanya—bening, jujur, namun dalam. “Ada hal-hal yang... sulit saya terima. Bukan karena saya cemburu, tetapi karena saya mengkhawatirkan nama baik kerajaan.” Chloe menegakkan bahunya. “Apa maksudmu?” “Saya tidak tahu bagaimana menyampaikan ini tanpa terdengar kasar,” bisik Alice. “Namun malam ini... Pangeran Evrard datang bersama seorang wanita. Seorang perempuan muda... yang jelas bukan bangsawan, bukan terdidik... bahkan mungkin bukan rakyat bebas. Maafkan saya, Yang Mulia...” Chloe mematung. Cangkir tehnya berhenti di udara. Alice menunduk sejenak, lalu melanjutkan perlahan—masih dengan nada sedih, bukan marah. “Saya tahu saya tidak punya hak menilai. Lagipula... Yang Mulia sendiri juga bukan istri pertama Kaisar, bukan?” Diam. Alice menatap mata Chloe, memastikan pesannya tersampaikan tanpa menghina, namun tetap menggores. Ia memberi jeda yang tepat, sebelum menambahkan: “Tapi... paling tidak, Yang Mulia berasal dari darah bangsawan. Terhormat. Berpendidikan. Saya ingin seperti itu pula. Jika suatu hari saya harus menerima wanita lain disisi Pangeran Evrard, saya hanya berharap—dia bukan budak. Bukan perempuan murahan yang dipungut dari jalan.” Chloe tidak menjawab. Tangannya perlahan meletakkan cangkir ke piring porselen dengan bunyi klik kecil. Alice melihat tatapan itu—dingin, menahan murka, dan tersinggung bukan karena dirinya disinggung, tapi karena statusnya sebagai selir dulu juga sedang dibandingkan. Dengan lembut, Alice berdiri dan membungkuk hormat. “Saya hanya ingin melindungi kehormatan keluarga kerajaan, Yang Mulia. Bukan karena saya ingin menguasai. Tapi karena saya ingin... dihargai.” *** Lorong menuju kamar pangeran sunyi, hanya diiringi derap langkah Permaisuri Chloe yang cepat dan menghentak. Gaunnya berkibar, suaranya nyaris lebih keras dari napas para pelayan yang menunduk ketakutan saat ia lewat. Ia mendorong pintu kamar Evrard dengan kasar, membuat engselnya berderit. “Di mana dia?” tanyanya tajam, tanpa basa-basi. Evrard, yang tengah melepaskan mantel luar pestanya, menoleh cepat. “Siapa?” “Jangan pura-pura bodoh,” desis Chloe sambil menutup pintu di belakangnya. “Gadis rendahan yang kau sembunyikan itu. Wanita jalang dengan gaun murah yang bahkan tidak layak berdiri di aula kerajaan.” Evrard menarik napas panjang. “Ibu... dia tidak ada di sini.” Chloe berjalan ke sudut ruangan. Membuka tirai, membuka lemari, menyibak lipatan kain di balik kursi besar. Hanya udara kosong yang menyambutnya. Tak ada siapa pun. Ia kembali menatap anaknya, wajahnya sudah merah karena murka yang ditahan. “Kau pikir bisa mempermainkan istana seolah ini panggung pasar? Membawa wanita simpanan seolah dia harta rahasia?” Chloe berdiri tegak. “Jika kau punya harga diri sebagai putra mahkota, sembunyikan setidaknya dengan elegan.” Evrard tidak menjawab. “Aku tidak akan membiarkan perempuan biasa—bahkan budak!—mengotori garis keturunan ini!” lanjut Chloe. “Kau adalah pewaris kerajaan ini! Bukan pedagang yang tidur dengan pelacur jalanan!” Hening sesaat. Chloe mengatur napas, lalu mengeluarkan sebuah surat dari balik mantel panjangnya. “Dan seakan itu belum cukup,” ucapnya dingin, “kau bahkan tidak sadar ada konspirasi yang kau biarkan tumbuh di bawah hidungmu.” Ia melempar surat itu ke dada Evrard. Pangeran itu menangkapnya. Kertasnya ringan, tapi mengandung beban yang tak bisa ditimbang. Dengan wajah tegang, ia membuka dan membaca tulisan tangan halus itu: Adhelard... aku akan melakukan apapun agar kau kembali ke tempatmu yang sejati. Jika rakyat kembali percaya padamu, maka mereka akan tahu siapa yang pantas berdiri di sisimu dari dulu hingga sekarang.— R.J. “Rose Jerome,” bisik Evrard. Matanya menyipit. “Ya,” kata Chloe cepat. “Dan aku berhasil menghentikan surat itu sebelum sampai ke Adhelard. Tapi berapa banyak surat seperti ini yang sudah kau biarkan lolos?” Evrard meremas surat itu. Tangannya gemetar. Tapi bukan karena takut. Melainkan karena, ia sudah muak dikendalikan. Ia menatap ibunya dengan pandangan yang tak pernah ia tunjukkan sebelumnya—tenang, berbahaya, penuh perhitungan. “Kalau begitu, izinkan aku memperjelas satu hal, Ibu,” ucapnya, datar. Chloe mengangkat dagu. “Apa maksudmu?” Evrard maju satu langkah. “Jika Ibu tidak bisa menerima keberadaan Carolie... jika Ibu tidak bisa menerima bahwa aku butuh kendali atas hidupku, maka... aku tidak akan menikahi Lady Anne.” Chloe menegang. “Apa kau bilang?” “Aku akan memilih Natalie sebagai istriku. Meskipun dia tidak punya darah sihir, meskipun dia bukan keturunan keluarga besar. Tapi setidaknya dia milikku, bukan milik Ibu.” Chloe membeku. Matanya melebar. “Kau... tak akan berani.” Evrard menyeringai tipis. “Justru karena aku putra mahkota... aku berhak memilih.” “Lady Anne membawa garis keturunan sihir yang dibutuhkan kerajaan!” bentak Chloe. “Kau tahu betul, hanya dengan sihir itu... cucuku bisa menjadi penguasa sejati!” “Tapi Kaisar... tidak pernah memaksaku. Ayah hanya berkata, pilih yang kau yakini mampu berdiri di sisimu.” Evrard menoleh. “Dan mungkin aku akan memilih seseorang yang tidak mencoba mengendalikan ibu kandungku dengan provokasi.” Chloe tercekat. Untuk pertama kalinya, ia merasa seperti catur yang terjebak di sudut papan. ***Keheningan merayap di udara seperti kabut malam yang menyesakkan dada.Alice berdiri di tengah lingkaran prajurit yang mengacungkan pedang padanya, nafasnya tak beraturan, jubah kusutnya robek di beberapa tempat, dan tangan kanannya gemetar menggenggam pedang rampasan. Di sekelilingnya, tatapan curiga dan pedang - pedang tajam terarah padanya, menuntut jawaban.Namun ia tetap bungkam. Satu suara saja dan semua akan runtuh. Suaranya terlalu lembut, terlalu khas. Jika ia berbicara, penyamarannya akan sirna. Ia terus membuat pertahanan tanpa melukai bagian vital para prajurit zirah hitam.Langkah berat bergema. Adhelard memasuki lingkaran itu dengan sikap tenang dan wibawa yang tak terbantahkan. Di tangannya, seorang lelaki diseret, tubuhnya limbung dan berdarah.Maxime.Alice menahan nafasnya. Tubuh lelaki itu jatuh ke tanah, darah mengalir dari luka di pelipis dan lengan. Meski luka - luka yang parah, matanya tetap menatap lurus, tanpa rasa gentar. Kesetiaan terpatri dalam pandanganny
Mentari belum tinggi ketika Alice berdiri di depan cermin, membenarkan gaun mewah berwarna lavender pucat yang menjuntai anggun hingga lantai. Rambut merahnya ditata rapi seperti putri bangsawan pada umumnya, meski hatinya menggerutu.Di tangan kirinya, surat kecil tergenggam erat. Ia menulisnya sendiri. Tapi begitu selesai, ia tidak memanggil pelayan biasa. Alice membuka jendela dan meniupkan peluit kecil dari perak, sebuah sinyal khusus.Tak sampai lima menit, Maxime sudah melompat masuk lewat balkon seperti biasa, wajahnya tenang namun waspada."Kau memanggilku, Nona?""Aku butuh bantuanmu," ucap Alice tanpa basa-basi, menyodorkan surat itu. "Aku tidak bisa menepati janji bertemu dengan pedagang itu hari ini. Tolong temui dia dan katakan aku akan datang terlambat. Ini tempatnya dan ini kata sandinya."Maxime menerima surat itu dengan anggukan. "Saya akan menyampaikannya sendiri."Hari ini seharusnya ia menemui seseorang yang mengaku sebagai pedagang kaya dari luar wilayah kerajaan.
Malam itu, angin berhembus lembut melewati celah jendela kediaman keluarga Adelaide. Cahaya purnama menggantung penuh di langit, perak dan pucat, menerangi seisi kamar dengan keheningan yang menggoda. Di atas tempat tidur mewah milik Lady Anne yang kini digunakan oleh Alice, ia terbaring dengan nafas tak teratur dan kulit bersinar penuh peluh. Rambut merahnya tergerai kusut, pipinya memanas, dan matanya menerawang kabur.Alice menggigit bibirnya. Tubuhnya panas, lebih dari sekadar demam biasa. Ia tahu, malam ini adalah waktunya kutukan itu bangkit. Ia telah menahannya selama berada di pesta, namun setelah kembali dengan dalih sakit dan meninggalkan kereta istana lebih awal, tubuhnya mulai bereaksi. Dada sesak, kulitnya seperti terbakar dari dalam.Tiba-tiba, dari jendela terbuka, sebuah suara ringan terdengar."Kau terlihat lebih buruk daripada biasanya."Alice menoleh lemah. Sosok lelaki tinggi, ramping dengan jubah putih bersih melangkah masuk dari jendela. Matanya lembut, bersinar
Tangan Adhelard menuntun Alice dengan tegas, meski langkah mereka pelan menyusuri koridor panjang menuju aula pesta. Jemarinya dingin namun mantap, dan cengkeramannya menyiratkan kuasa, seolah berkata: kau aman bersamaku, tapi jangan bertanya terlalu banyak.Alice tak bisa berkata-kata. Ucapan Adhelard sebelumnya masih menggema di telinganya.“Karena dia akan menjadi keluargaku juga nanti.”Kalimat itu mengganggu pikirannya. Apakah itu hanya untuk menyingkirkan Rose? Atau… ada makna tersembunyi?Begitu mereka tiba di pintu aula, Alice ingin segera melepaskan diri. Tapi detik itu pula, seorang wanita bergaun emas dengan mahkota kristal kecil di rambut peraknya berdiri di hadapan mereka.Ibu Suri.Permaisuri Chloe.Ibu tiri Adhelard dan ibu kandung dari Pangeran Evrard.Senyum Chloe manis, tapi matanya seperti pisau yang tajam. Ia memandangi Adhelard dengan angkuh, lalu menurunkan tatapannya pada Alice, sebelum kembali ke Adhelard.“Oh, lihat siapa yang akhirnya kembali dari medan peran
Udara malam terasa lebih dingin dari biasanya. Cahaya dari jendela aula dansa memantul di lantai marmer lorong istana yang sunyi. Langkah Adhelard terdengar berat namun pasti saat ia meninggalkan ruangan tempat Alice berdiri canggung sendirian. Namun belum jauh dari ambang pintu, seseorang menghadangnya.Rose Jerome.Wanita bangsawan bergaun ungu tua itu melangkah pelan, membawa aroma lavender dan nostalgia masa lalu. Senyum tipis tergurat di wajahnya, senyum yang dulu membuat banyak pria istana terpikat, termasuk Adhelard—atau setidaknya, begitulah yang ia yakini.“Adhelard,” sapanya dengan nada halus, “Kita perlu bicara.”Adhelard menghentikan langkahnya, tatapannya kosong sejenak, lalu beralih pada sosok wanita itu.Dari balik pintu, Alice muncul tanpa sengaja. Saat melihat mereka, ia tertegun, hampir saja ingin kembali masuk, tapi Adhelard sudah meliriknya duluan.“Jangan pergi,” ucapnya datar.Alice menunduk, canggung. Ia merasa seperti bayangan tak diinginkan, berada di antara d
Kilau permata dan gaun sutra membanjiri aula istana utama. Pesta ulang tahun Pangeran Kedua, Evrard, telah menarik seluruh bangsawan dari empat penjuru kerajaan. Lampu gantung kristal bersinar seperti langit berbintang di atas kepala, dan aroma mawar serta anggur tua memenuhi ruangan.Di ambang pintu, Alice berdiri. Dalam balutan gaun putih keperakan milik Anne, rambutnya disanggul anggun, hanya beberapa helai dibiarkan jatuh untuk membingkai wajahnya. Dia tampak persis seperti yang diharapkan semua orang dari putri keluarga Adelaide, tenang, lembut, dan tinggi Bermartabat. Tapi di balik matanya, badai berkecamuk. Ia datang bukan sebagai tamu kehormatan, tapi sebagai penyamar. Sebagai kebenaran yang menyelinap di antara kebohongan.Saat langkahnya maju, suara langkah lain terdengar dari arah berlawanan. Seorang wanita dengan gaun merah darah, tinggi, dan percaya diri, berdiri di jalurnya. Rambut pirangnya disanggul sempurna. Senyum miringnya menilai dari ujung kepala sampai ujung kaki