Malam itu, angin berhembus lembut melewati celah jendela kediaman keluarga Adelaide. Cahaya purnama menggantung penuh di langit, perak dan pucat, menerangi seisi kamar dengan keheningan yang menggoda. Di atas tempat tidur mewah milik Lady Anne yang kini digunakan oleh Alice, ia terbaring dengan nafas tak teratur dan kulit bersinar penuh peluh. Rambut merahnya tergerai kusut, pipinya memanas, dan matanya menerawang kabur.
Alice menggigit bibirnya. Tubuhnya panas, lebih dari sekadar demam biasa. Ia tahu, malam ini adalah waktunya kutukan itu bangkit. Ia telah menahannya selama berada di pesta, namun setelah kembali dengan dalih sakit dan meninggalkan kereta istana lebih awal, tubuhnya mulai bereaksi. Dada sesak, kulitnya seperti terbakar dari dalam. Tiba-tiba, dari jendela terbuka, sebuah suara ringan terdengar. "Kau terlihat lebih buruk daripada biasanya." Alice menoleh lemah. Sosok lelaki tinggi, ramping dengan jubah putih bersih melangkah masuk dari jendela. Matanya lembut, bersinar keperakan seperti bulan itu sendiri. "Teon," gumam Alice, nyaris seperti rintihan. Sang calon pendeta agung, yang sejak kecil telah menjadi sahabat rahasianya, menutup jendela dengan hati-hati. Di tangannya terdapat botol kecil berisi air suci, dan dari napasnya terpancar ketenangan seperti milik dewa. "Hari ini malam purnama, bukan?" Alice hanya mengangguk, menggeliat lemah di bawah selimut. Teon duduk di tepi ranjang. "Aku baru saja dari ruang penyembuhan. Kondisi Anne masih stabil, tapi belum ada perubahan. Tapi sepertinya bukan itu yang membuatku harus datang ke sini lebih cepat." Alice tersenyum kecut. "Kau datang bukan karena aku memanggil. Tapi karena kau tahu aku akan seperti ini lagi." Teon tak menjawab. Ia meletakkan telapak tangannya di atas dahi Alice. "Seperti terbakar. Kutukannya membuat suhu tubuhmu tinggi, ya?" Alice hanya bisa mengangguk pelan. "Tenang saja. Seperti biasa… aku akan membantumu." Dengan lembut, Teon menempelkan telapak tangannya ke dahi Alice dan satu lagi di dada bagian atas. Cahaya lembut berwarna biru keperakan mulai merambat dari tangannya, menyalurkan kekuatan suci penyembuh yang selama ini menjadi keahliannya. Tubuh Alice perlahan menggigil, bukan karena dingin, tapi karena konflik dalam dirinya. Aroma Teon begitu menenangkan, pancaran energinya memabukkan. Nafas Alice berubah cepat, matanya menatap Teon yang tengah menunduk dalam konsentrasi penuh. Seketika kesadaran Alice hilang. Sekarang wajah tampan Teon yang menjadi fokus utamanya. Tiba-tiba, jari-jari Alice naik, menyentuh tangan Teon yang ada di dadanya. Sentuhan itu ringan, namun cukup untuk membuat Teon menoleh. "Alice?" Matanya terbelalak. Alice menarik tubuhnya perlahan, mendekatkan wajahnya. Bibirnya terbuka pelan. Dalam sekejap, jarak di antara mereka lenyap. Teon tidak sempat mundur. Bibir Alice menyentuh bibirnya, lembut dan panas. Tidak ada gerakan liar, hanya kehangatan yang menyelimuti. Sejenak, Teon memejamkan mata. Entah kenapa ia tidak bisa menolak seperti biasanya. Dan di balik ketenangannya, ia adalah manusia biasa yang menyimpan perasaan, yang lama mengagumi Alice dari kejauhan. Tapi tepat saat napas mereka menyatu, suara Alice berbisik lirih, menggoda. "Bagaimana jika kita tak menahannya malam ini, Teon? Bagaimana jika kita coba saja… aku melampiaskan semuanya padamu…" Mata Teon terbuka seketika. Suara Alice yang menggoda menusuk kesadarannya. Dengan cepat ia menarik wajahnya menjauh dan kembali meletakkan kedua tangannya di atas tubuh Alice, kali ini lebih erat. "Maafkan aku... aku tak bisa membiarkanmu terbakar dan dikendalikan oleh kutukanmu." Alice kaget dan terlihat kesal, “Kenapa kamu begitu munafik dan tidak kau sentuh saja aku?” Teon tidak menghiraukan. Ia memejamkan mata dan mulai menyalurkan energi suci lebih kuat. Cahaya keperakan kini lebih terang, mengaliri tubuh Alice hingga rasa panasnya perlahan surut. Alice terisak kecil, tapi matanya mulai tertutup. Wajahnya tenang, beban di dadanya perlahan menghilang. Setelah beberapa menit, Alice tertidur. Nafasnya teratur, pipinya kembali dingin. Teon menarik nafas panjang, lalu menyelimuti tubuhnya dengan selimut hangat. Ia menatap wajahnya sejenak wajah gadis kuat yang terjebak dalam nasib menyakitkan. Ia membelai rambut Alice dengan lembut, lalu membalik tubuh dan keluar lewat jendela seperti bayangan malam. --- Pagi berikutnya. Alice terbangun dengan kepala ringan. Namun rasa tenang itu langsung lenyap saat pintu kamar dibuka kasar. Ibunya berdiri di ambang pintu dengan mata penuh amarah. Gaunnya masih formal, seolah baru kembali dari jamuan pagi. "Apa yang terjadi saat pesta semalam?" suaranya dingin dan tinggi. Alice terduduk perlahan. "Aku tidak merasa sehat. Jadi aku pulang lebih dulu." Wanita itu melempar selembar surat ke atas tempat tidur. Gulungan segel kerajaan itu jatuh di pangkuannya. "Pangeran Evrard mengirim surat pagi ini. Dia meminta kehadiranmu segera di istana. Kau tahu apa artinya ini?" Alice membuka gulungan itu. Kalimatnya manis, formal, tapi tekanan maknanya jelas. Pangeran menuntut penjelasan. "Aku akan menghadap nanti," jawab Alice tenang. "Kau tak boleh membuat masalah, Alice. Setelah semua ini, hanya tinggal kau satu-satunya harapan menjaga martabat keluarga kita. Jika rencanamu ketahuan, kehormatan kita hancur." Alice menggenggam surat itu erat. "Aku tahu, Ibu. Aku akan hadapi ini dengan caraku." Ibunya menatapnya lama, lalu memalingkan wajah. Tapi sebelum pergi, ia berbisik, "Jangan ulangi kesalahan yang membuat Anne berakhir seperti sekarang." Alice memejamkan mata. Seketika, bayangan ciuman panas yang ia berikan pada Teon malam sebelumnya terlintas. Dan ketakutan menyusul dalam diam. Kutukan itu semakin sulit dikendalikan. To be continued...Keheningan merayap di udara seperti kabut malam yang menyesakkan dada.Alice berdiri di tengah lingkaran prajurit yang mengacungkan pedang padanya, nafasnya tak beraturan, jubah kusutnya robek di beberapa tempat, dan tangan kanannya gemetar menggenggam pedang rampasan. Di sekelilingnya, tatapan curiga dan pedang - pedang tajam terarah padanya, menuntut jawaban.Namun ia tetap bungkam. Satu suara saja dan semua akan runtuh. Suaranya terlalu lembut, terlalu khas. Jika ia berbicara, penyamarannya akan sirna. Ia terus membuat pertahanan tanpa melukai bagian vital para prajurit zirah hitam.Langkah berat bergema. Adhelard memasuki lingkaran itu dengan sikap tenang dan wibawa yang tak terbantahkan. Di tangannya, seorang lelaki diseret, tubuhnya limbung dan berdarah.Maxime.Alice menahan nafasnya. Tubuh lelaki itu jatuh ke tanah, darah mengalir dari luka di pelipis dan lengan. Meski luka - luka yang parah, matanya tetap menatap lurus, tanpa rasa gentar. Kesetiaan terpatri dalam pandanganny
Mentari belum tinggi ketika Alice berdiri di depan cermin, membenarkan gaun mewah berwarna lavender pucat yang menjuntai anggun hingga lantai. Rambut merahnya ditata rapi seperti putri bangsawan pada umumnya, meski hatinya menggerutu.Di tangan kirinya, surat kecil tergenggam erat. Ia menulisnya sendiri. Tapi begitu selesai, ia tidak memanggil pelayan biasa. Alice membuka jendela dan meniupkan peluit kecil dari perak, sebuah sinyal khusus.Tak sampai lima menit, Maxime sudah melompat masuk lewat balkon seperti biasa, wajahnya tenang namun waspada."Kau memanggilku, Nona?""Aku butuh bantuanmu," ucap Alice tanpa basa-basi, menyodorkan surat itu. "Aku tidak bisa menepati janji bertemu dengan pedagang itu hari ini. Tolong temui dia dan katakan aku akan datang terlambat. Ini tempatnya dan ini kata sandinya."Maxime menerima surat itu dengan anggukan. "Saya akan menyampaikannya sendiri."Hari ini seharusnya ia menemui seseorang yang mengaku sebagai pedagang kaya dari luar wilayah kerajaan.
Malam itu, angin berhembus lembut melewati celah jendela kediaman keluarga Adelaide. Cahaya purnama menggantung penuh di langit, perak dan pucat, menerangi seisi kamar dengan keheningan yang menggoda. Di atas tempat tidur mewah milik Lady Anne yang kini digunakan oleh Alice, ia terbaring dengan nafas tak teratur dan kulit bersinar penuh peluh. Rambut merahnya tergerai kusut, pipinya memanas, dan matanya menerawang kabur.Alice menggigit bibirnya. Tubuhnya panas, lebih dari sekadar demam biasa. Ia tahu, malam ini adalah waktunya kutukan itu bangkit. Ia telah menahannya selama berada di pesta, namun setelah kembali dengan dalih sakit dan meninggalkan kereta istana lebih awal, tubuhnya mulai bereaksi. Dada sesak, kulitnya seperti terbakar dari dalam.Tiba-tiba, dari jendela terbuka, sebuah suara ringan terdengar."Kau terlihat lebih buruk daripada biasanya."Alice menoleh lemah. Sosok lelaki tinggi, ramping dengan jubah putih bersih melangkah masuk dari jendela. Matanya lembut, bersinar
Tangan Adhelard menuntun Alice dengan tegas, meski langkah mereka pelan menyusuri koridor panjang menuju aula pesta. Jemarinya dingin namun mantap, dan cengkeramannya menyiratkan kuasa, seolah berkata: kau aman bersamaku, tapi jangan bertanya terlalu banyak.Alice tak bisa berkata-kata. Ucapan Adhelard sebelumnya masih menggema di telinganya.“Karena dia akan menjadi keluargaku juga nanti.”Kalimat itu mengganggu pikirannya. Apakah itu hanya untuk menyingkirkan Rose? Atau… ada makna tersembunyi?Begitu mereka tiba di pintu aula, Alice ingin segera melepaskan diri. Tapi detik itu pula, seorang wanita bergaun emas dengan mahkota kristal kecil di rambut peraknya berdiri di hadapan mereka.Ibu Suri.Permaisuri Chloe.Ibu tiri Adhelard dan ibu kandung dari Pangeran Evrard.Senyum Chloe manis, tapi matanya seperti pisau yang tajam. Ia memandangi Adhelard dengan angkuh, lalu menurunkan tatapannya pada Alice, sebelum kembali ke Adhelard.“Oh, lihat siapa yang akhirnya kembali dari medan peran
Udara malam terasa lebih dingin dari biasanya. Cahaya dari jendela aula dansa memantul di lantai marmer lorong istana yang sunyi. Langkah Adhelard terdengar berat namun pasti saat ia meninggalkan ruangan tempat Alice berdiri canggung sendirian. Namun belum jauh dari ambang pintu, seseorang menghadangnya.Rose Jerome.Wanita bangsawan bergaun ungu tua itu melangkah pelan, membawa aroma lavender dan nostalgia masa lalu. Senyum tipis tergurat di wajahnya, senyum yang dulu membuat banyak pria istana terpikat, termasuk Adhelard—atau setidaknya, begitulah yang ia yakini.“Adhelard,” sapanya dengan nada halus, “Kita perlu bicara.”Adhelard menghentikan langkahnya, tatapannya kosong sejenak, lalu beralih pada sosok wanita itu.Dari balik pintu, Alice muncul tanpa sengaja. Saat melihat mereka, ia tertegun, hampir saja ingin kembali masuk, tapi Adhelard sudah meliriknya duluan.“Jangan pergi,” ucapnya datar.Alice menunduk, canggung. Ia merasa seperti bayangan tak diinginkan, berada di antara d
Kilau permata dan gaun sutra membanjiri aula istana utama. Pesta ulang tahun Pangeran Kedua, Evrard, telah menarik seluruh bangsawan dari empat penjuru kerajaan. Lampu gantung kristal bersinar seperti langit berbintang di atas kepala, dan aroma mawar serta anggur tua memenuhi ruangan.Di ambang pintu, Alice berdiri. Dalam balutan gaun putih keperakan milik Anne, rambutnya disanggul anggun, hanya beberapa helai dibiarkan jatuh untuk membingkai wajahnya. Dia tampak persis seperti yang diharapkan semua orang dari putri keluarga Adelaide, tenang, lembut, dan tinggi Bermartabat. Tapi di balik matanya, badai berkecamuk. Ia datang bukan sebagai tamu kehormatan, tapi sebagai penyamar. Sebagai kebenaran yang menyelinap di antara kebohongan.Saat langkahnya maju, suara langkah lain terdengar dari arah berlawanan. Seorang wanita dengan gaun merah darah, tinggi, dan percaya diri, berdiri di jalurnya. Rambut pirangnya disanggul sempurna. Senyum miringnya menilai dari ujung kepala sampai ujung kaki