Sebastian membanting tubuhnya ke atas tempat tidur berukuran Queen Size. Ia baru bisa bernafas lega setelah memastikan karyawan wanita itu telah memakaikan kembali pakaian Angela dan membawanya ke tempat tidur dirumahnya.
Ia juga sudah memerintahkan pelayan wanita untuk memakaikan Angela piyama dan membersihkan wajahnya dari sisa makeup yang masih menempel di wajahnya. Sebastian sangat mengerti, wajah Angela adalah hal yang paling penting baginya.
Kejadian tadi sampai saat ini membuat detak jantungnya masih tidak beraturan. Saat pandangan matanya bertindak bodoh dengan tidak mengalihkan pandangan sedikitpun dari sesuatu yang tidak seharusnya ia lihat.
Lihat akibat dari perbuatanmu, Angela!
Ya, berkat mata kurang ajar ini, sampai sekarang sesuatu dibawah sana masih mengejeknya dengan tetap tegak berdiri, tidak turun walau sedikitpun. Mengejek ketidakmampuannya mengendalikan istrinya sendiri.
Mengingat kejadian tadi membuat emosinya naik kembali. Kemarahan sekaligus hasrat yang menginginkan sentuhan lebih dari Angela. Sentuhan yang hanya untuknya.
Jika hanya menginginkan melepaskan dahaga, ia lebih dari bisa melakukannya tadi. Angela sendiri sudah menyerahkan tubuhnya sepenuhnya padanya. Namun Sebastian sadar, ia tidak akan bertindak pengecut. Ya, menurutnya hanya laki-laki pengecut yang melumpuhkan wanita menggunakan kekuatan atau ketidakmampuan wanita itu dalam mengendalikan diri.
Jarinya tanpa sadar menyentuh bibir bagian bawah, meresapi bahwa bibir Angela tadi berada disini, menyapu lembut bibirnya, terasa manis saat di kecup dan meninggalkan efek adiksi yang menggila.
Ia menginginkannya lagi! Ia ingin Angela meneriakkan namanya dan memintanya mencium bibirnya.
Saat pandangan matanya beralih ke atas dada, ingatannya kembali membimbingnya pada Angela yang tadi berada di atas tubuhnya, dengan tubuh moleknya yang...
"Argh! Jika terus seperti ini, aku bisa jadi gila!!"
Dengan penuh emosi Sebastian bangkit dari tempat tidurnya, sudut matanya menangkap jam dinding yang menunjukkan pukul empat pagi. Sial, sudah hampir fajar dan matanya belum juga mau terpejam.
Dengan gontai ia menyeret langkah kakinya ke arah layar monitor yang memantau seluruh CCTV dari kamarnya. Saat melihat ruang bawah tanah, sudut bibirnya menyeringai menakutkan,
Aku tahu kemana kemarahan ini harus ku bawa...
--------------------------------
Ruang bawah tanah memang sengaja dikosongkan. Sebastian hanya memfungsikan ruang bawah tanah khusus untuk menyimpan minuman wine dengan kualitas terbaik. Untuk menjaga kualitas minuman, ia sengaja memerintahkan pelayan untuk menyusun minumannya disana.
Ruang yang gelap, hanya menyisakan satu lampu sudut yang memang dibiarkan menyala, memecah kegelapan. Dua orang laki-laki terlihat sedang duduk di kursi dengan tangan terikat dan mata ditutup kain.
"Tuan," panggil Edward dari luar pintu yang di tutup.
"Masuk!"
Edward melangkah masuk, ia membawa sebuah tablet ditangannya, "Ini data yang Tuan minta," katanya pelan sambil menyodorkan tablet yang langsung diambil Sebastian.
Mata pria itu memicing, sorot matanya berpindah mengikuti tulisan yang ia baca. Di bawah cahaya lampu yang temaram, ia mengerutkan keningnya, "Data ini akurat?"
"Iya, Tuan. Mendapatkan data diri kedua bocah ingusan ini bukan hal yang sulit bagi kita."
Bibir Sebastian menyeringai licik, pandangan matanya langsung tertuju pada kedua laki-laki yang sedang terikat di depannya, "Apa yang harus kulakukan pada dua cecunguk ini?"
Edward mendekatkan bibirnya ke telinga Tuannya, "Sepertinya mereka masih belum sadar, Tuan."
Rahang Sebastian mengeras. Ia memberikan kode pada Edward untuk membangunkan mereka.
Tanpa diperintah dua kali, kaki jenjang Edward menendang kursi kedua laki-laki itu, membuat tubuh mereka seketika terkejut, kepalanya mendongak asal dan mendadak panik saat menyadari situasi berbahaya yang sedang mengancam mereka.
"T-tuan...? Siapapun anda, kami mohon maafkan kami! Ampuni kami, Tuan!" Pria bertubuh sedikit berisi dengan tato bergambar naga di dada kirinya berteriak panik. Tangannya yang terikat kebelakang terus meronta, meminta dibebaskan.
Sementara laki-laki berkulit hitam dengan tubuh yang atletis tampak lebih tenang. Namun bibirnya yang mengerucut menahan tangis tidak bisa menyembunyikan ketakutannya saat ini.
"Kelvin Stewart, 23 tahun. Bekerja sebagai asisten koki di restoran India. Saat ini hanya tinggal bersama nenek yang berusia 80 tahun. Ah, dan juga... kamu punya seorang kekasih. Siapa namanya? Gina?"
Ketenangan laki-laki berkulit hitam itu langsung menghilang. Kepalanya mendongak tidak beraturan, "Tu-tuan... saya mohon maafkan saya! Jangan... jangan sakiti keluarga saya! Saya mohon, Tuan. Mereka tidak tahu apa-apa..."
Sudut bibir Sebastian terangkat, ia berdecak kesal, "Angela juga tidak tahu apa-apa saat kalian dengan teganya melucuti pakaiannya!"
Wajah pria itu menegang, kedua kakinya hendak turun untuk berlutut namun nahas tubuhnya malah tertelungkup, dengan susah payah ia berteriak memohon belas kasihan.
"Geoff Hamlet, 20 tahun. Ya Tuhan, kamu selangkah lebih maju dari pada aku. Putri kecilmu, Virginia, dia sangat cantik, bukan?"
"Tuaann...!!" Geoff berteriak menangis. Ia menggelengkan kepalanya sambil meringis, "Jangan, Tuan. Gadis itu baru berusia dua tahun, dia tidak layak dijadikan tumbal kesalahan saya.."
"Cih!" Sebastian melengos melihat air mata kedua laki-laki itu, "Kalian punya wanita yang kalian sayangi tapi memperlakukan wanita lain seperti sampah! Kalian pikir, wanita kalian lebih berharga dibandingkan istriku, hah?!"
Kelvin berusaha bangkit, ia membalikkan badannya ke samping, sehingga memungkinkan mulutnya dapat berbicara dengan baik.
"Tuan... kami hanya melakukan apa yang disuruh. Jika tidak kami lakukan, kami akan kehilangan pekerjaan kami dan juga... kami... kami..." kalimat pria itu terhenti. Ia terlihat ketakutan membuka mulutnya.
Edward mendesah tidak sabar, "Kalian mau tahu, Raging Bull 454 ini sudah tidak sabar ingin meledakkan kepala kalian! Sialan! Jangan membuat aku harus mengotori tempat ini dengan isi kepala kalian!!"
"J-jangan, Tuaan...!!" tangan Geoff gemetar, giginya bahkan saling gemeretak. Ketakutan mengalahkan segalanya saat ini. Bayangan kematian tergambar jelas di pelupuk matanya.
"Kami hanya disuruh oleh seorang wanita muda. Sungguh, kami tidak tahu siapa dia! Dia hanya menjanjikan untuk memberi kami masing-masing lima ribu dollar dan jika kami menolak, kami bisa kehilangan pekerjaan dan orang yang kami sayangi. Kami... kami tidak punya pilihan, Tuan! Kami mohon, ampuni kami...!"
Sebastian terdiam sejenak. Jarinya mengelus dagu, sesaat kemudian bibirnya tersenyum licik, "Turuti saja mau wanita itu."
Kevin kembali mendongak, "A-apa, Tuan?"
"Ya! Temui wanita itu dan bilang kalian sudah melakukan pekerjaan kalian."
Wajah kevin dan Geoff tampak bingung, "T-tapi kami bahkan belum menyalakan kamera nya, Tuan. Kami tidak memiliki bukti apapun."
"Berikan saja video yang sudah aku siapkan."
Edward menatap Tuannya, "Tapi, Tuan. Ini tidak baik untuk reputasi anda."
Sebastian menyalakan cerutu. Ia dengan santai menghisap cerutunya, seolah sangat menikmati hisapannya. Bibirnya tersenyum, "Edward... sudah berapa lama kamu berada di sampingku?"
"Sekitar lima belas tahun, Tuan," jawab Edward ragu. Bukan jawabannya yang membuatnya ragu, tapi pikirannya sibuk menebak arah pertanyaan Sebastian.
"Lalu, kamu pikir aku akan membiarkan nama baik keluargaku rusak begitu saja? Rencanaku tidak pernah gagal, Edward. Apa kamu lupa itu?"
Angela membantu Sebastian mencuci peralatan makan dengan mesin cuci piring, lalu membersihkan dapur setelah mereka selesai makan. Angela tidak tahu apa yang tengah terjadi, Sebastian tiba-tiba mengajaknya berlibur ke villa dekat pantai dan menugaskan tidak ada satu pelayan pun yang ikut bersama mereka. Ini aneh, pikir Angela. Mereka terbiasa liburan ke villa tapi Sebastian tidak pernah meliburkan pelayan di villa. Apalagi, saat aku sedang hamil, pikir Angela. Tetapi ia menduga, mungkin Sebastian hanya ingin menghabiskan waktu berdua, benar-benar berdua dengan dirinya. Sudah seminggu berlalu sejak pertemuannya dengan Mark dan pria itu jelas pembual yang ulung. Kurang dari dua puluh empat jam katanya? Huh, sudah berlalu tujuh hari dan Mark belum melaporkan apapun padanya. Pria itu bahkan terkesan menghindari dirinya. Telepon iseng itu memang sudah berhenti. Tapi Angela tidak menemukan ada satu pun pelayan yang menghilang atau diberhentikan. Semua berjalan seperti biasa. Seperti tidak
Diluar dugaan, Anna justru tertawa. Suara tawa keras yang membuat Edward bingung haruskah ia ikut tertawa atau hanya menunggu tawa Anna selesai.“Apa kau berharap aku mempercayaimu begitu saja?” tanya Anna sambil menepuk pundak Edward. “Kau tidak bisa membodohiku, Ed. Aku sudah melakukan segala upaya untuk mendapatkan dirimu tapi kau jelas-jelas menolakku. Lalu tiba-tiba, setelah tiga hari aku merawatmu saat kau sakit, kau datang padaku dan bilang bahwa kau mencintaiku?”Edward tidak mengatakan apapun. Untuk sesaat mereka hanya saling memandang berlama-lama, pandangan yang makin lama membuat nafas mereka sesak dan tak pelak lagi, pandangan itu membuat mereka bergairah.Edward mengambil langkah maju. Ia mencium lagi. Lebih lembut. Semesra mungkin. Anna tidak menolak, tidak melawan, tidak berusaha lari. Edward menggoda mulut Anna dengan kecupan-kecupan lembut, gigitan mesra, dan gelitikan kecil di lidahnya.Ketika Anna mendesah senang, Edward memanfaatkannya untuk memasukkan lidahnya ke
“Kau jelas menyukainya, Mr. Harrison. Kau menyukainya lebih dari yang kau duga.”Edward terdiam. Cornelia benar. Bagaimana mungkin ia tidak menyadarinya selama ini? Bagaimana mungkin orang lain bahkan lebih mengetahuinya dibandingkan dirinya sendiri?“Lalu, bagaimana perasaanmu melihat pemandangan itu?”Edward menatap wajah Cornellia bingung lalu mengikuti arah matanya. Kini ia melihat Alex, wanita yang menjadi alasan kehadirannya ke tempat ini, wanita itu membuat seolah matanya terhipnotis. Teman lelakinya, memojokkan Alex ke tikar, rok wanita itu tersingkap sehingga menampakkan pahanya yang langsing. Lalu tangan si lelaki menyelinap ke balik rok, mendekap bokong Alex.Mulut Cornelia menganga. “Aku tidak menyangka Alex seberani itu.”Edward kehilangan kata-kata. Bagaimana mungkin Alex yang polos dan ceria, yang bahkan Edward tidak menyangka usianya sudah dua puluhan, melakukan hal itu di tengah keramaian acara yang bertema keluarga seperti ini?“Aku tanya, bagaimana perasaanmu, Ed?”
Edward Harrison mengedarkan pandangannya ke lapangan tempat para pengunjung membentangkan selimut di tanah di depan panggung, dan asyik menikmati daging panggang sambil mendengarkan musik yang dibawakan band berirama country dan penyanyi lokal.Ia bertanya-tanya, dimana Alexandria di tengah lautan manusia ini. Ia tadi mengunjungi toko roti Alex dan menurut karyawannya, Alex menghadiri perayaan tanggal empat juli yang selalu diadakan setiap tahun di taman ini, jadilah Edward tahu gadis itu ada disini.Terlintas dalam benaknya untuk mengajak Alex datang bersamanya, tapi, itu sungguh perbuatan yang lancang. Ya, setelah apa yang dilakukannya pada gadis itu. Edward cukup tahu diri untuk tidak terlalu bertingkah meski tahu bahwa ia menguasai hati dan pikiran Alex.Banyak lelaki hari ini merasa iri padanya karena seorang wanita seksi, berambut panjang dan pirang dengan kedua tonjolan yang memukau di dadanya, duduk di sebelahnya. Ya, ia sengaja mengajak Cornellia Marshall, Asistennya di kanto
Callahan’s ramai oleh suara tamu mengobrol selama jam makan siang di rumah makan itu, sejak jam sebelas sampai jam dua selama hari kerja. Terletak di pusat kota, bangunan yang sudah di restorasi itu, yang dulu pernah dipakai sebagai toko obat pada awal tahun tiga puluhan hingga pertengahan tahun delapan puluhan.Mereka menempati lokasi yang sangat strategis untuk melayani kegiatan bisnis sehari-hari, termasuk karyawan pengadilan, perbankan serta para karyawan yang kantornya tersebar di segala penjuru kota. Pesaing mereka hanya rumah kana cepat saji yang melayani pengendara mobil, dan restoran kecil yang melayani roti isi.Jika seseorang ingin mengadakan rapat atau pertemuan sambil makan siang, Callahan’s-lah tempat yang paling nyaman.Ketika Angela tiba, pelayan mengantarkannya ke meja di belakang yang agak terpencil, di tempat Mark sudah menunggu. Mark, kepala keamanan rumah Sebastian dan Angela yang menggantikan posisi Zoe.Angela sengaja mengajak Mark bertemu di luar. Selain ia tid
Diluar dugaan, Anna mengantar Edward sampai ke depan pintu. Hal itu membuat Edward merasa, minimal ia harus mengundang wanita itu bertemu atau makan malam. Jika ia memang belum yakin dengan perasaannya, bukankah seharusnya ia membalas budi?“Bukankah banyak hal yang harus kau kerjakan, Ann?” tanya Edward. “Dan kau bisa tidak menunggu dan mengantarkanku seperti ini, lagipula...”“Jangan terlalu percaya diri, Ed.”Edward tergagap mendengar ucapan itu. Merasa malu tapi juga sekaligus membenarkan ucapan Anna. Ya, ada apa dengannya? Mengapa ia mengeluarkan kalimat sampah itu dari mulutnya?“Aku hanya terlambat karena mengerjakan beberapa hal tadi. Dan kebetulan waktu selesainya bersamaan dengan waktu kau keluar.”“Ya. Kau benar. Maafkan aku.”Pengecut. Anna mengumpat dirinya sendiri setelah ia mengatakan kalimat itu. Sistem pertahanan dirinya memang luar biasa. Entah ia harus bangga atau marah pada dirinya sendiri saat ini. Ia bangga karena mampu membuat wajah Edward memerah malu sekaligus