"Sebenarnya apa, Dok?" tanya Ayana yang tak sabar untuk mendengar kelanjutan kata-kata dokter Althan.
Althan tampak mendesah sembari mengusap wajahnya kasar."Maaf. Sebenarnya aku kurang tahu pasti dengan sikap yang dialami oleh suami Bu Ayana. Namun menurut prediksiku yang seorang dokter. Tampaknya suami Bu Ayana mengalami kepribadian ganda. Sebab jika saya lihat sepertinya setelah ia menyakiti Bu Ayana ia sangat menyesalinya. Dan saya bisa melihat itu sendiri saat Bu Ayana tak sadarkan diri sebab kepala Bu Ayana terluka karena perbuatan suami Bu Ayana."Ayana tampak menghela nafas. Tanpa Altha jelaskan pun kalau Dindar selalu menyesali perbuatannya pada dirinya, Ayana sendiri juga tahu itu. Cuman masalahnya Ayana tak tahu cara mengatasi sikap kelainan yang Dindar miliki itu. Sedangkan ia sudah tak tahan dengan sikap kasar Dindar.Ayana menjatuhkan diri di sofa sambil mengusap wajahnya dengan kedua tangannya. "Aku sudah capek dibuat seperti ini terus, Dok," keluh Ayana. Tampak frustasi memikirkan sikap Dindar."Maaf, Bu Aya. Aku memang tak bisa memberikan informasi tentang sikap berlebihan suami Bu Aya. Tapi jika Bu Aya mau sedikit saran, lebih ba—""Aku mau, Dokter!"Ayana yang sudah merasa lelah dengan sikap Dindar yang sudah 3 bulan ini dihadapi oleh dirinya dengan sikap sabar, namun kini ia sudah tak tahan lagi. Apalagi semakin hari sikap Dindar semakin menjadi saja.Althan yang sudah tak merasa sungkan lagi dengan Ayana, perlahan duduk di sofa samping Ayana."Aku rasa…suami Bu Ayana punya penyakit. Punya kepribadian ganda. Kenapa gak Bu Ayana periksakan saja ke dokter psikiater?""Aku mana berani, Dok!" Ayana segera menimpali."Dokter tahu sendiri, kan. Mas Dindar itu seperti apa. Dia hanya mau semua keinginannya dipenuhi.""Dan itu berlaku hanya untuk Bu Ayan," sahut Althan. Cepat."Maksud Dokter?" Kening Ayana mengkerut mendengar ucapan Althan."Entah ini hanya perasaanku saja atau apa, namun aku lihat kalau Pak Dindar hanya bersikap seperti itu hanya pada Bu Ayana saja." Althan berucap dengan mata menatap serius pada istri tuannya itu."Maksud Dokter?" Ayana semakin tak mengerti.Althan tak segera menjawab. Matanya masih menatap Ayana dengan lekat."Apa ada sesuatu yang terjadi maksud Dokter?" tanya Ayana sebab tak segera mendapat jawaban dari Althan."Menurutku, Pak Dindar punya obsesi lebih pada Bu Ayana. Namun di samping itu, ia punya suatu rahasia.""Rahasia?" Kening Ayana mengkerut. Ia semakin penasaran saja."Rahasia apa? Apa Dokter tahu?" tanya Ayana antusia. Menatap serius.Althan segera menggelengkan kepalanya. "Tidak, Bu. Saya memang terlebih dahulu bertemu Pak Dindar sebelum Bu Ayana menikah dengannya. Namun saya tak pernah terlibat dengan pembicaraan serius dengannya selain saya ditugaskan untuk mengobati anggota keluarganya.""Tapi barang tidak Dokter pernah melihat sesuatu yang berhubungan dengan sikap anehnya tersebut, Dok?" Ayana menatap penuh selidik.Althan tak segera menjawab, tampak masih berpikir. "Mungkinkah…Pak Dindar punya sebuah rahasia…." Mata Althan menatap Ayana serius. "Selain apa yang tadi saya katakan pada Bu Aya. Kalau Pak Dindar memiliki obsesi berlebihan pada Bu Ayana."Ayana terdiam. Tampak mencerna kata-kata Althan."Hanya itu yang bisa saya bantu untuk Bu Ayana. Saran saya, ya seperti tadi. Bu Ayana harus periksakan suami Bu Aya pada dokter psikolog." Althan memberi saran."Sangat sulit, Dok." Ayana menyandarkan punggungnya ke sofa. "Jujur, saya sudah capek menjalani rumah tangga seperti ini." Ayana mendesah. Tampak resah."Lalu…kenapa…Bu Ayana tidak…." Althan tak meneruskan kata-katanya seolah ragu untuk melanjutkannya.Ayana yang seolah mengerti dengan apa yang ingin dikatakan Althan tersenyum seraya menoleh ke arah Althan."Aku pernah mengutarakan maksudku itu. Untuk berpisah darinya. Namun…apa yang kudapat." Ayana tersenyum kecut seraya mengalihkan pandangannya ke depan. "Aku mendapatkan amarah Dindar hingga ia hampir saja mencekik ku."Mata Althan membelalak serasa tak percaya dengan pengakuan Ayana."Oleh karena itu. Rasanya sulit untuk lepas dari Dindar. Makanya aku ingin mencari cara agar Dindar tak terus menyakitiku bahkan menyiksaku sebab kesalahanku yang menurutku tak wajar.""Aku kira Bu Ayana bertahan dengan Pak Dindar karena cinta."Ayana tersenyum seraya menggelengkan kepalanya. "Awalnya iya, Dok. Tapi sekarang…hanya wanita yang tak waras mungkin yang mencintai laki-laki seperti Mas Dindar."Althan hanya tersenyum. Untuk menanggapi kata-kata Ayana.*****Entah kenapa setelah mendengar saran Althan, tiba-tuba Ayana tergerak untuk pergi ke dokter psikolog. Sendirian. Sebab untuk membawa Dindar ikut serta tentu ia selamanya tak akan pernah berhasil. Yang ada Ayana akan mendapat amarah dan tak segan-segan Dindar menyiks4 Ayana.Oleh karena itu, sore ini Ayana keluar dari rumah, bertepatan juga sekarang Dindar belum pulang semenjak kepergiannya.Ayana segera masuk ke dalam mobil taksi yang tadi di pesannya lewat online.Setelah Ayana masuk, taksi itu segera membawa Ayana pergi.Selama dalam perjalanan, Ayana menyibukkan diri dengan ponselnya.Sesekali Ayana menoleh ke arah luar jendela. Namun saat ia menyadari sesuatu, Ayana sontak menatap ke arah sopir taksi."Pak, maaf. Ini sepertinya bukan alamat yang saya inginkan," ucap Ayana. Namun tak mendapati jawaban dari sopir taksi tersebut."Eh, Pak." Lagi, Ayana tak mendapati jawaban. Malahan sopir taksi tersebut semakin melajukan mobilnya."Pak, berhenti!" titah Ayana. Berteriak.Sontak taksi berhenti. Karena penasaran, Ayana memajukan tubuhnya ke depan agar bisa melihat wajah dari sopir taksi tersebut."Kamu bukan sopir taksi langgananku." Mata Ayana membelalak."Kau siap…umpph…." Tangan laki-laki kekar tersebut segera menyumpal mulut Ayana dengan kain yang sudah dikasih obat bius.Dalam hitungan detik, Ayana sudah tak sadarkan diri.*****"Byur…!"Ayana tersadar dari pingsannya saat wajahnya disiram dengan seember air.Ayana terkejut saat melihat dirinya dalam keadaan terikat di sebuah kursi dan tersekap di gudang."Hai, Nyonya Ayana Durfandes!" Seorang pria yang duduk di kursi tepat depan Ayana menyapa Ayana. Dengan senyuman sinisnya."Siapa kamu!" tanya Ayana dengan suara bergetar."Masa kamu tak tahu aku. Sedangkan aku tahu siapa kamu.""Tidak. Aku tidak kenal kamu. Kenapa kau menculikku?" tanya Ayana. Menatap tajam pada pria di depannya tersebut.Pria itu mencondongkan tubuh dan wajahnya ke hadapan Ayana."Serius kamu ingin tahu siapa aku?" tanya pria itu. Tak kalah taj4mnya menatap Ayana."I-iya. Katakan si-siapa kamu." Ayana gugup. Menahan takut."Aku adalah…."______"Mas…aku akan berhenti kuliah!" ucap Ayana yang panik dengan cepat. Memdengar itu, Perlahan Dindar menurunkan senjatanya. Dan Ayana pun menangkupkan kedua tangannya di dada. "Agar Mas Dindar percaya, kalau aku tak akan bertemu lagi dengan pria itu, maka aku lebih baik berhenti saja. Aku akan menuruti semua kemauan Mas Dindar. Aku juga akan selalu bersamamu…aku tak akan melakukan pelanggaran dan melakukan sesuatu yang tak disukai Mas Dindar…." Semakin deras mengalir air mata Ayana saat mengatakannya.Dindar masih bergeming dengan tatapan tajam namun menakutkan menatap lekat Ayana yang menangis tersedu-sedu."Aku tak akan kemana-mana lagi…aku juga tak akan keluar rumah jika tidak dengan Mas Dindar…aku akan menuruti semuanya…." Ayana berucap sambil menangis tersedu-sedu. Bahkan semakin menjadi setelah menyadari apa yang dikatakannya."Semuanya?" Dindar maju satu langkah
Perlahan namun menakutkan, Dindar melangkah menuju tempat di mana Ayana berdiri, seorang diri.Iya, saat mendengar suara Dindar, Aham langsung pergi. Tubuh Ayana semakin bergetar tatkala sosok tinggi tegap suaminya tersebut sudah ada di hadapannya. "Katakan! Siapa pria itu!" bentak Dindar dengan raut wajah bengisnya."Ayana!" Bentakan Dindar kali ini membuat Ayana terperanjat. Dindar menatap begitu menakutkan."S-siapa yang Mas Dindar tanyakan?" Ayana tergugu menahan takut. Bahkan suaranya bergetar.Ia tak tahu, dengan apalagi kali ini akan menyelamatkan Aham dari amarah Dindar. Jangankan Aham, untuk menyelamatkan dirinya saja ia tak tahu.Gigi Dindar bergemeletuk menahan amarah. Tangannya terangkat mencengkram kuat wajah Ayana. Hingga wanita itu harus mendesis kesakitan."Jangan pikir aku tak melihatnya meskipun aku tak sempat melihat wajahnya, Aya!" Semakin kuat cengkraman tangan Dindar di wajah Ayana membuat kuku-kuku tajamnya melukai kulit halus itu. Dan mengeluarkan darah. M
"Senyum, Ayana!" bisik Dindar di telinga Ayana saat sudah tiba di pesta.Ayana yang enggan tersenyum sebab memang hatinya sedang bingung juga saat ini akhirnya tersenyum."Kenapa kau susah sekali tersenyum saat lagi bersamaku. Apa kau ingin menampakkan ke semua orang bahwa kau tidak bahagia hidup denganku, heum?" Dindar menekan setiap kata-katanya saat berbisik ke dekat Ayana, yang saat ini duduk di sampingnya. Sontak Ayana segera menggelengkan kepalanya. "T-tidak, Mas. Aku sama sekali tak ada niatan seperti itu." Ayana kembali memaksakan senyum. Sekalipun itu sangat susah. Namun jika tidak begitu, sudah pasti Dindar akan melakukan hal buruk lagi padanya. Bahkan tak segan-segan pria bengis itu akan menghukum dirinya berat hanya karena hal sepele yang membuatnya tidak senang."Bagus. Kau tunggulah di sini. Aku harus menemui teman-temanku di se
"M-Mas…ini…i-ini aku—""Kenapa kau tak menghilangkannya?" Dindar memotong cepat. Membuat Ayana ternganga."Aku memang tak bisa menahan diri untuk tidak melakukan itu padamu, tapi bukan berarti kau bisa seenaknya membiarkan tanda merah itu terpajang di lehermu itu," ucap Dindar dengan sengit. Sedangkan Ayana hanya bisa menelan ludah tanpa berkata-kata.Jadi Dindar mengira kalau tanda merah yang ada di leher jenjang putih istrinya tersebut adalah hasil perbuatan dirinya. Tentu saja hal itu membuat Ayana lega.Kiranya Ayana pikir tadi adalah hari terakhir ia akan hidup, sebab Dindar akan menghabisinya setelah tahu ia memiliki hubungan gelap dengan Aham di belakang pria kejam berstatus suaminya tersebut."Hilangkan tanda merah itu dari sana, aku tak suka melihatnya." Setelah berucap dengan sengitnya, Dindar kembali melanjutkan langkahnya masuk ke kamar mandi.Ayana segera terduduk di sofa merasa lega. Tangannya mengusap keringat yang membanjiri wajahnya. Kali ini ia berhasil lolos dari D
"Kenapa terkejut gitu?""Kamu serius dengan apa yang kamu katakan tadi?" Ayana masih tak percaya."Iya, aku tak pernah main-main dengan ucapanku. Apalagi sama kamu.""Iya, tapi untuk apa kamu mau bawa aku ke rumahmu dan mempertemukan aku dengan orang tuamu?" Mata Ayana semakin melebar."Untuk memperkenalkan kamu ke ibuku.""Sebagai apa?"Aham tak segera menjawab, ditatapnya wajah cantik Ayana dengan lekat. "Kamu maunya sebagai apa?""Apa?""Kekasih!""Jangan gila, Aham!""Kenapa?" Aham sedikit tersenyum."Aku tak mau." Ayana kembali melangkah meninggalkan Aham."Ya sudah…." Aham ikut melangkah mengejar langkah Ayana. "Aku kenalkan kamu sebagai calon istri." Sontak A
Maaf, Aham. Aku tadi refleks saja." Ayana segera menjauhkan wajahnya dari Aham setelah menyadari keberaniannya yang menyentuh bibir Aham tanpa persetujuannya.Bahkan kali ini Ayana tak hanya menjauhkan wajahnya, namun juga tubuhnya dari Aham.Melihat itu, Aham hanya bisa tersenyum. "Tidak perlu merasa tak nyaman seperti itu. Bukankah aku kekasihmu," ucap Aham dengan senyuman yang masih terpatri di wajahnya."Kemarilah!" Aham mengulurkan tangannya lagi, kembali ingin menarik Ayana agar kembali dekat dengannya."Tidak, Aham." Ayana segera berdiri dan merasa gugup. Entahlah, bisa-bisanya tadi ia saking bapernya dengan kata-kata Aham sampai seberani itu."Kamu kenapa, sih, Ay?" Aham juga ikutan berdiri. Menatap Ayana dengan kening mengkerut. Bingung."Maaf, aku tak akan mengulanginya." Ayana memalingkan pandangannya ke sembarang arah. Tiba-tiba