LOGINBallroom mewah Hotel Grand Viera kini berubah menjadi sarang desas-desus. Musik yang tadinya mengalun lembut kini terasa sumbang. Sudah lebih dari tiga jam sejak waktu yang ditentukan, namun pasangan pertunangan, Aiden Trustin dan Audrey Ginnifer, tak kunjung muncul.
Aiden berdiri di tengah panggung yang dihiasi bunga-bunga mahal, wajahnya pucat pasi di balik senyum yang dipaksakan. Ia berusaha keras menutupi kegelisahannya. “Maafkan saya, hadirin sekalian,” ujar Aiden, meraih mikrofon. Suaranya sedikit bergetar. “Audrey… dia sedang tidak enak badan mendadak. Ada sedikit masalah pribadi yang harus kami selesaikan.” Seorang tamu penting, Mr. William, berbisik pada istrinya, “Masalah pribadi? Beberapa jam lalu harusnya cincin tunangan itu disematkan, bukan? Ini skandal, Aiden Trustin terlalu ceroboh!” Aiden melihat tatapan tajam dari Papa Audrey, Melvin Ginnifer. Melvin memberi kode keras agar Aiden segera menyelesaikan drama memalukan ini. “Kami mohon pengertian Anda,” lanjut Aiden, menelan ludah. “Pertunangan akan diundur hingga malam hari, di waktu yang lebih tenang. Kami akan mengumumkan tanggal pernikahan segera.” Di belakang panggung, atasan Audrey, perempuan yang menjadi selingkuhan Aiden menghampirinya dengan langkah tergesa-gesa. Wajahnya dipenuhi kekhawatiran yang hanya terfokus pada statusnya, bukan pada Audrey. “Aiden, apa-apaan ini? Kenapa kamu batalkan?!” desisnya, menarik lengan Aiden menjauh dari kerumunan. Aiden menepis tangan perempuan itu kasar. “Ini semua gara-gara kamu! Audrey pasti melihat kita! Tadi kamu bilang kamar mandi itu aman!” “Aku hanya menduga! Aku mana tahu dia akan masuk!” balas perempuan itu, panik. “Sekarang bagaimana? Semua orang menatap! Kalau Papa kamu tahu, dia akan membunuhmu!” Aiden meremas rambutnya frustrasi. “Aku tahu! Sekarang menyingkir! Jangan sampai ada yang melihatmu mendekatiku lagi!” Ia kembali ke hadapan Papa Audrey, Melvin Ginnifer, yang sudah berdiri dengan wajah merah padam. “Apa maksudmu ‘masalah pribadi’, Aiden?” Melvin mendesis, suaranya rendah namun mematikan. “Pertunangan ini adalah kesepakatan bisnis! Reputasi keluarga kita! Dan kemana Audrey..?! Kenapa dia bisa tidak datang..?!” “Aku sedang mencari Audrey, Om. Dia kabur. Aku tidak tahu dia ada di mana,” jawab Aiden, menahan emosi. “Kabur?! Bagaimana mungkin?! Cari dia! Sekarang juga! Sebelum berita ini menyebar ke media!” bentak Arthur, menunjuk ke arah pintu keluar. “Dan dimana Papa kamu..?! Kenapa aku belum melihatnya sejak tadi..?!” “Entahlah.. Tapi sebelum Papa datang aku harus menemukan Audrey, atau aku pun dalam masalah..!” Aiden berlari keluar dari ballroom, ponselnya kembali ia tempelkan ke telinga. Nada sambung yang terus berdering tanpa jawaban terasa seperti ejekan yang menusuk harga dirinya. ‘Tapi kenapa dia tidak angkat teleponku?! Ini sudah terlalu lama.. Kemana sebenarnya Audrey pergi..?!’ ** Audrey berjalan menyusuri koridor hotel, langsung menuju Ballroom. Ketika ia masuk, suasana sudah jauh lebih sepi. Hanya ada keluarga inti Aiden dan keluarganya. Aiden berdiri di tengah ruangan, wajahnya dipenuhi amarah dan kelegaan yang campur aduk. “Audrey! Kamu dari mana saja?!” seru Aiden, bergegas menghampirinya. Audrey menahan Aiden agar tidak menyentuhnya. Tatapan mata Audrey sedingin balok es, tak ada lagi air mata, hanya kekecewaan yang mengeras menjadi kemarahan. “Aku sudah tahu,” kata Audrey, suaranya datar namun tajam. “Aku melihatmu, Aiden. Dengan Stella, bosku sendiri, di kamar mandi,” bisiknya lirih tapi tatapannya begitu tajam. Seketika wajah Aiden memucat, lebih pucat dari riasannya yang berantakan. Para anggota keluarga saling berpandangan melihat reaksi Aiden dan Audrey. “Audrey, dengar dulu, aku bisa jelaskan! Itu hanya… hanya kesalahan sesaat! Kami sedang mabuk! Itu tidak berarti apa-apa!” pinta Aiden, mencoba meraih tangannya. “Mabuk..?! Tidak berarti apa-apa?” Audrey tertawa sinis. “Kamu bercinta dengan atasan kantorku, calon suamiku! Sementara kamu memintaku menunggumu di sini untuk bertunangan! Kamu pikir aku bodoh?! Kamu pikir aku tidak punya harga diri?!” “Aku minta maaf! Aku janji tidak akan mengulanginya! Kita lupakan saja! Demi keluarga kita!” pinta Aiden, suaranya terdengar frustasi. “Tidak ada ‘kita’ lagi, Aiden.” Audrey menatapnya lurus. Ia melepas cincin tunangan yang sudah disiapkan Aiden, menjatuhkannya ke lantai marmer hingga berbunyi nyaring. “Pertunangan ini batal. Hubungan kita selesai.” Suara kegaduhan langsung pecah. Melvin Ginnifer berteriak murka, menghampiri Aiden dan Audrey. “Audrey Ginnifer! Kamu tidak bisa melakukan ini! Kamu merusak reputasi keluarga kita! Kamu akan membuat Papa kehilangan proyek besar!” Melvin menggeram. “Kamu harus menikah dengan Aiden! Ini sudah kesepakatan keluarga kita!” “Proyek besar? Uang?” Audrey menggeleng. “Uang tidak bisa menjual martabatku, Pa.. Aiden terlalu menjijikkan untuk menikah dengan ku!” Aiden, yang kini sudah dikuasai amarah karena harga dirinya tercabik, berteriak. “Kamu pikir kamu siapa, hah?! Kenapa kamu begitu sok suci?! Kamu pikir aku tidak tahu kamu mabuk dan tidur dengan pria lain di hotel ini juga, kan?!” dia hanya sekedar menuduh. Namun itu membuat mata Audrey terbelalak. ‘Bagaimana Aiden tahu?!’ Ia refleks melihat ke belakang, mencari Denzel. Pria itu tidak ada di sana. “Aku tidak tahu kamu tidur dengan siapa, tapi aku yakin kamu melakukannya untuk membalasku! Jadi jangan sok suci!” caci Aiden, nafasnya memburu. Audrey tidak membantah. Itu benar. Tapi ia tidak akan membiarkan Aiden meremehkan dirinya. “Ya, aku tidur dengan pria lain,” Audrey mengaku dengan lantang. “Setidaknya pria itu membuatku merasa seperti manusia, tidak seperti dirimu yang membuatku merasa seperti boneka yang bodoh!” Melvin Ginnifer mencengkeram lengan Audrey. “Cukup, Audrey! Jangan bicara lagi! Jangan drama dan membuat masalah ini lebih besar!” teriaknya. “Aiden..! Bawa dia, kalian menikah sekarang..!” Perintahnya. Audrey berbalik cepat, meninggalkan ballroom yang kini dipenuhi kekacauan. Ia tidak peduli lagi. Ia hanya ingin kembali pada satu hal yang membuatnya merasa aman. “Audrey..! Jangan pergi..! Kita akan menikah sekarang juga..!” teriak Aiden, dua melangkah cepat mengikuti Audrey. Wanita itu berlari setelah melepaskan high heels yang mengganggu langkahnya, dan saat ia berjalan menuju lift, ia menemukan Denzel sudah menunggunya di koridor. Pria itu menariknya, memeluknya erat. Audrey menyandarkan kepalanya di dada bidang Denzel, menghirup aroma maskulin yang kini terasa seperti rumah. “Semua sudah selesai,” bisik Audrey lega, memejamkan mata. Denzel mengangguk, lalu menunduk, mencium keningnya. “Selamat datang di dunia yang baru, Audrey. Dunia yang hanya ada kita berdua.” Ia membimbing Audrey masuk ke dalam lift. Denzel menekan tombol paling atas, Suite Presidential. Saat pintu lift tertutup, Denzel menatap Audrey, sorot matanya yang tadi protektif kini kembali dipenuhi hasrat. “Kamu berani sekali,” bisik Denzel, jemarinya membelai lembut rahang Audrey yang kini tanpa riasan. “Aku suka keberanianmu. Itu membuatku ingin…” Ia tidak menyelesaikan kalimatnya, tapi ia mencium Audrey dengan rakus. Ciuman itu dalam, intens, dan menuntut. Kedua tangan Denzel mengangkat tubuh Audrey ke dalam pelukannya, memojokkan ke dinding lift yang dingin. “Malam ini, Sayang,” bisik Denzel di antara ciuman, nafasnya hangat dan memberatkan. “Aku akan membuatmu melupakan rasa sakitmu sepenuhnya, sampai kamu tidak bisa lagi berjalan tanpaku.” Tubuh Audrey melengkung dalam dekapan Denzel, ia tahu ia seharusnya takut, tapi ia justru merasa bersemangat. Ia membalas ciuman Denzel dengan penuh gairah, siap untuk kembali tenggelam dalam pusaran yang ia ciptakan sendiri. **Denzel menyimpan kembali ponselnya, wajahnya yang tadi menunjukkan keragu-raguan saat berbicara dengan Bu Helena kini kembali digantikan oleh tatapan dingin penuh perhitungan. Audrey merasakan aura berbahaya itu kembali tampak dari wajah suaminya.“Kejutan apa lagi, Denzel?” tanya Audrey, penasaran campur khawatir. Setiap ‘kejutan’ Denzel selalu berarti kehancuran total bagi musuhnya.Denzel memutar tubuhnya, menghadap Audrey, dan mengusap pipinya lembut.“Giselle berani menuntut Shaquille Corporation? Itu artinya dia sedang menggali kuburnya sendiri, baby,” Denzel menyeringai. “Dia pikir aku hanya akan membiarkan dia menuntut ganti rugi? Tentu saja tidak. Aku akan memastikan dia tidak hanya bangkrut, tetapi juga menghadapi tuntutan kriminal.”“Kriminal? Untuk apa?” alis Audrey terangkat penuh tanya. “Untuk manipulasi saham. Ingat, Trustin masih sebagian besar di bawah kendali Papa. Giselle menjual saham Trustin di bawah harga pasar, baby. Padahal ia dapat saham itu dari Velove
Denzel mengabaikan panggilan masuk dan pertanyaan Audrey. Ia menoleh ke depan, kearah Aksa, ekspresi kemenangan kini tampak jelas di wajahnya.“Aksa, siapa yang meneleponmu?” tanya Denzel memastikan dugaannya. “Pemegang saham Trustin Group, Denzel. Sepertinya mereka panik,” jawab Aksa, tanpa menoleh.Denzel tertawa kecil, tawa yang dingin dan penuh kuasa. “Tentu saja. Mereka juga menelponku. Dan aku yakin, mereka sudah menghubungi Papa yang sekarang sedang sibuk berhadapan dengan Stella, Aiden dan Velove.”Audrey memiringkan kepalanya. “Kenapa mereka panik sampai menelponmu Denzel?”“Karena mereka pasti tau saat ini saham Trustin terus menurun drastis, baby. Dan yang lebih penting, kabar pengunduran diriku dari CEO Trustin telah tersebar ke publik. Aku pastikan itu tersebar. Mereka tahu, tanpa Denzel Shaquille di pucuk pimpinan, Trustin akan tenggelam, seperti dulu..” jelas Denzel.Denzel melihat sekilas ke ponselnya. Lalu ia tersenyum, senyum yang menunjukkan semua rencanany
Ciuman itu singkat, mendadak, dan mengejutkan. Aksa tidak meminta izin, ia mengambilnya. Dia menarik diri secepat dia datang, seolah-olah tidak terjadi apapun diantara mereka. Dia terlihat santai. Sementara Fiona masih membeku. ‘Dia… Dia menciumku?!’ batin Fiona, ia masih tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Dunia seolah berhenti berputar beberapa detik disekitarnya, seakan menjadi saksi apa yang baru saja ia alami. Fiona menatap Aksa dengan mata terbelalak, napasnya sedikit tersengal-sengal. Ciuman yang sangat profesional dan formal dari asisten CEO!Namun sebaliknya, Aksa, sudah kembali fokus mengemudi tangannya baru saja menyesuaikan kaca spion. Ekspresinya tenang, nyaris tanpa emosi.“Itu adalah peringatan, Fiona. Aku tidak suka digoda,” ujar Aksa datar, nadanya kembali dingin, kontras dengan apa yang baru saja terjadi.Fiona meledak. Ciuman itu menghancurkan semua batasan yang ia coba pertahankan.“Peringatan?! Itu bukan peringatan, Pak Aksa! Itu adalah pelec
Aksa justru tersenyum tipis, sebuah seringai kecil yang menawan. Ia tidak perlu melihat ke belakang untuk tahu apa yang terjadi. Goyangan itu adalah ulah Denzel, sebuah live action yang sekarang menjadi rahasia intim mereka berdua. “Bannya tidak kempes, Fiona,” bisik Aksa, suaranya semakin berat, kata-kata itu memancing imajinasi liar Fiona. Namun Fiona tetap memaksakan diri untuk menatap mata Aksa, mencari kebohongan. Tapi yang ia temukan hanyalah kejujuran yang membuatnya terpesona. Aksa selalu jujur, bahkan ketika kejujuran itu memalukan. “Lalu kenapa mobil ini bergoyang begitu tidak wajar?” tanya Fiona, suaranya kini benar-benar gugup, menyadari implikasi dari getaran itu. Aksa mendekatkan wajahnya sedikit ke Fiona. Aroma maskulin parfumnya langsung tercium, menenggelamkan Fiona dalam sensasi yang tidak pernah ia duga dari asisten Denzel yang selalu tampak kaku. “Itu adalah ‘hadiah’ Denzel untuk kita berdua, Fiona. Sebagai peringatan,” bisik Aksa, nadanya penuh makn
Aksa menoleh sebentar, matanya yang tajam dan dingin bertemu dengan mata Fiona yang penuh amarah. “Aku hanya memastikan kamu tidak hilang akal karena membayangkan yang tidak-tidak, Nona Fiona.”Fiona segera memalingkan wajahnya ke jendela, panik. “Apa?! Aku tidak membayangkan apa-apa! Aku hanya.. Aku hanya memikirkan detail dokumen yang harus kita urus selanjutnya!”Aksa tertawa kecil, suara tawa yang jarang terdengar, kering dan singkat. “Dokumen? Kamu baru saja melihat live action yang jauh lebih menarik daripada dokumen, Fiona. Apa yang sebenarnya kamu pikirkan, hmm?”Aksa kembali fokus pada jalanan, tetapi sudut bibirnya terangkat. Ia membiarkan Fiona gelisah dalam kebingungan dan kegugupan.Fiona merasakan pipinya panas. ‘Sialan!’ umpatnya dalam hati. ‘Bagaimana Aksa bisa tahu persis apa yang ia pikirkan?’**Di balik sekat buram, Denzel menarik Audrey lebih dekat, senyum puas bermain di bibirnya. Ia tahu, di tengah semua kekacauan, Audrey adalah kekuatan yang paling ia but
Audrey menatap Denzel dengan tatapan penuh tanya, matanya tampak rasa ingin tahu yang mendalam bercampur dengan kekhawatiran. Ia tahu, Denzel adalah pria yang kejam dalam strategi, tetapi ia tidak akan mengorbankan orang tanpa alasan yang sangat kuat.“Denzel, apa Stella hamil? Kenapa kamu diam saja? Jawab Denzel.. Apa yang kamu sembunyikan?!” Audrey mengernyitkan dahi, menunggu jawaban Denzel. Tuntutan pernikahan tanpa kehamilan adalah hal gila, tetapi tuntutan dengan bukti adalah bom waktu yang nyata di mansion itu.Denzel membelai lembut rahang Audrey. Senyumnya kini lebih tenang, penuh rasa puas.“Awalnya, aku tidak tahu, baby,” jawab Denzel, suaranya rendah dan jujur. “Aku hanya memanggilnya dan memberinya tawaran, ia mau tetap bekerja di Trustin Grub tanpa posisi yang jelas dan sewaktu-waktu bisa tersingkirkan atau menuntut pertanggungjawaban dari Aiden dan membuatnya mempunyai kedudukan dan status sebagai istri Aiden. Karena aku ingin dia mengikat Aiden agar fokus laki-laki







