Setelah beberapa jam Audrey terlelap dalam delapan Denzel, dia merasa dingin menyergap kulit telanjangnya. Bau disinfektan hotel bercampur samar dengan aroma keringat dan maskulin yang ia sadari milik pria di sampingnya. Matanya mengerjap, menatap langit-langit kamar yang mewah.
“Astaga, jam berapa ini?!” gumamnya panik. Audrey menoleh. Denzel terlelap di sampingnya, bantal menutupi sebagian wajah tegasnya. Rambutnya yang gelap sedikit berantakan. Ia terlihat begitu damai, kontras dengan badai emosi yang baru saja ia ciptakan di dalam diri Audrey. ”Aku gila. Benar-benar gila.” Ia buru-buru menarik selimut tebal, menutupi tubuhnya. Penyesalan itu menenggelamkannya dalam rasa malu yang tak terhingga. Perbuatan nekatnya terasa seperti noda hitam yang tidak akan pernah bisa ia hapus. Dengan sangat hati-hati, Audrey berusaha melepaskan pelukan Denzel yang melingkari pinggangnya. Tangan kokoh itu terasa berat, namun saat ia berhasil terlepas, ia menoleh sekali lagi memperhatikan wajah tampan disampingnya. Audrey bangkit, kakinya menginjak karpet lembut. Di kursi, tampak gaun putih gadingnya tergeletak acak-acakan. Ia mengambilnya, mencium aroma alkohol yang masih melekat. Gaun yang seharusnya menjadi saksi pertunangannya, kini menjadi saksi kehancurannya sendiri. Audrey memungut pakaian dalamnya yang berserakan, ia melirik sekali lagi ke arah Denzel. Pria itu masih belum bergerak. Ini kesempatan terbaik. “Aku harus pergi sebelum pria itu bangun, sebelum kami harus bicara, sebelum dia melihat ku lagi dan mengingatkan ku pada malam gila itu..” gumamnya. Audrey menyambar tas tangannya. Ponselnya ia masukkan ke dalam. Ia harus cepat. ‘Aku harus melupakan Denzel, melupakan Aiden, melupakan kamar mandi itu. Aku harus mulai hidup baru, melupakan malam ini dan menganggapnya tidak pernah terjadi..’ monolognya. Tepat saat tangannya meraih kenop pintu, suara berat dan serak itu memecah keheningan. “Kamu mau pergi tanpa mengucapkan selamat tinggal?” Audrey mematung. Jantungnya berdebar kencang, nyaris melompat keluar dari dadanya. Ia tidak berani menoleh. “Audrey…” Suara Denzel terdengar lebih dekat, menandakan ia sudah bangun dan mungkin sudah duduk. “Putar badanmu. Aku tidak suka berbicara pada punggung orang yang baru saja menghabiskan malam terpanas dalam hidupku.” Audrey menarik napas panjang, mengumpulkan sisa-sisa keberaniannya. Ia memutar tubuhnya perlahan. Denzel sudah duduk tegak, menatapnya dengan pandangan dingin dan tajam yang sama seperti semalam. Namun kali ini, tatapan itu terasa lebih menuntut dan penuh kepemilikan. “Aku… aku harus pergi,” ujar Audrey, suaranya bergetar. Ia menggenggam erat gaunnya, seolah itu satu-satunya pelindungnya. “Pergi kemana?” Denzel mengangkat satu alisnya. “Kembali pada tunangan yang bercinta dengan wanita lain di kamar mandi? Atau kembali ke dunia yang kamu tinggalkan di koridor hotel?” Kalimat Denzel terasa seperti tamparan keras. Wajah Audrey memerah karena marah bercampur malu. “Itu bukan urusanmu!” bentaknya, meski ia tahu suaranya terdengar lemah. “Apa yang terjadi malam ini hanya kesalahan! Karena aku mabuk! Aku ingin kita lupakan semuanya. Anggap saja ini tidak pernah terjadi!” Denzel tertawa kecil, tawa yang dingin dan meremehkan. Ia bangkit dari ranjang, hanya dibalut selimut yang melilit longgar di pinggangnya, memperlihatkan dada bidang dan otot-otot perutnya yang mengagumkan. Langkahnya mantap mendekati Audrey. “Lupakan? Setelah kamu membuatku kehilangan akal sehat, memanggil namaku berulang kali, dan bilang kamu merasa hidup lagi?” Denzel berhenti hanya beberapa jengkal di hadapan Audrey. “Maaf, Sayang. Denzel Shaquille tidak pernah lupa. Dan dia tidak suka ditinggalkan.” Mata Audrey berkaca-kaca, dadanya naik turun menahan emosi yang memuncak. Pria di depannya terlalu dekat, terlalu intens. Aura maskulin dan dominan yang dipancarkannya begitu kuat, membuat penyesalannya beradu dengan gejolak hasrat liar yang ia paksakan untuk mati. “Aku minta maaf, Om Denzel. Aku hanya… aku sedang kalut,” Audrey berbisik, berusaha memohon. “Aku tidak bermaksud memanfaatkanmu. Aku hanya ingin pergi.” Denzel mengulurkan tangannya, menyentuh lembut pipi Audrey. Jari-jarinya yang kasar terasa hangat di kulitnya. Sentuhan itu merobohkan lagi dinding pertahanan yang susah payah ia bangun. “Kamu tidak memanfaatkan aku, Audrey,” kata Denzel dengan suara yang kini melunak, berat, dan penuh pesona yang memabukkan. “Justru kamu memberiku sesuatu yang sudah lama aku cari. Keberanian liar. Dan hasrat yang nyata.” Ia mendekatkan wajahnya. Napas Denzel yang hangat menyapu telinga Audrey, membuat bulu kuduknya meremang. “Malam ini adalah takdir. Kamu datang padaku, bukan aku yang mencarimu.” “Tapi aku tidak bisa…” Audrey memejamkan mata. “Aku tidak mengenalmu…” “Memangnya kamu mengenal tunanganmu?” potong Denzel sinis, namun kemudian nadanya berubah sensual. “Kamu mengenalnya selama bertahun-tahun, tapi baru aku yang bisa membuatmu merasakan apa itu kehidupan yang sebenarnya, kan?” Audrey terdiam. Kata-kata Denzel benar. Aiden tidak pernah membuatnya merasa sehidup ini. Di pelukan pria asing ini, ia merasa menjadi dirinya sendiri, seseorang yang bebas dari ekspektasi dan kepura-puraan. “Jangan lari dari rasa yang kamu rasakan, Audrey,” bisik Denzel, jemarinya kini turun membelai leher jenjang Audrey, sedikit menekan di area sensitif yang semalam ia eksplorasi. Audrey mendesah tanpa sadar. Sentuhan itu seperti percikan api yang langsung menyulut sisa-sisa bara hasrat yang ia pikir sudah padam. Denzel menyeringai tipis, penuh kemenangan. “Lihat? Tubuhmu tidak bohong. Dia menginginkan aku. Dia butuh aku.” Ia menarik gaun yang dipegang Audrey, meletakkannya kembali ke kursi. Gaun itu meluncur lembut ke lantai, seolah menerima takdirnya. Lalu ia melingkarkan tangannya di pinggang Audrey, menarik tubuh wanita itu mendekat, menempelkan dada bidangnya yang hangat ke kulit telanjang Audrey. “Audrey…” Suara Denzel kini lebih berat dan dalam, menggetarkan gendang telinga dan hatinya. “Aku tidak akan membiarkanmu pergi dan menyesal. Aku tidak akan membiarkanmu kembali ke pria yang sudah mengkhianatimu.” Audrey mendongak, menatap mata tajam Denzel yang kini diselimuti oleh kabut hasrat. Ada kepastian yang membuat jantungnya berdebar bukan karena ketakutan, melainkan karena antisipasi. “Apa yang akan kamu lakukan?” tanya Audrey, suaranya sudah berubah menjadi bisikan penuh gairah. “Aku akan membuatmu benar-benar melupakannya,” jawab Denzel. “Aku akan mengklaimmu, seutuhnya. Agar tidak ada tempat di pikiranmu untuk pria lain selain aku.” Tanpa menunggu jawaban, Denzel menunduk, bibirnya langsung melahap bibir Audrey dengan ciuman yang mendalam dan rakus. Ciuman itu lebih liar dari semalam, lebih menuntut, dan penuh kepemilikan. Audrey merasakan sisa penyesalannya menguap, digantikan oleh panas yang membakar dan gejolak yang tidak bisa ia kendalikan. Tangannya merangkul leher Denzel, membalas ciuman itu dengan intensitas yang sama. Tubuhnya, sekali lagi, mengkhianati akal sehatnya. Ia menginginkannya, sentuhan itu. Denzel mengangkat tubuh Audrey ke pelukannya, membawanya kembali ke ranjang. “Aku ingin kamu mengatakan namaku lagi, Audrey,” bisik Denzel, tatapannya membara. “Denzel…” rintih Audrey, air matanya kini bercampur dengan desahan. Ia tahu ini salah, tapi kenikmatan yang ditawarkan pria ini terlalu kuat untuk ia tolak. Denzel menekan tubuh Audrey ke ranjang, memastikan tidak ada ruang di antara mereka. Di bawah sentuhan pria itu, Audrey kembali menemukan pelepasan yang membuatnya lupa pada dunia luar, pada Aiden, dan pada semua masalahnya. ‘Audrey.. Aku gak akan membiarkanmu kembali padanya..’ **Jantung Audrey seketika terasa berhenti berdetak, darahnya beku. Di sana, di balik meja kayu yang mahal, berdiri sosok yang sangat ia kenal, Denzel Shaquille. "Selamat datang, Audrey," sapa Denzel, senyum miringnya muncul. Senyum yang sama persis seperti saat ia mencium Audrey di koridor. "K-kamu... Denzel?" Audrey tergagap, mundur satu langkah. "K-kamu... CEO perusahaan?" "Terkejut?" Denzel melangkah mendekat, matanya berkilat penuh kemenangan. "Aku sudah bilang, aku akan menemukan mu. Dan aku tidak akan membiarkan kamu melarikan diri dariku, Audrey." "Ini... ini tidak mungkin," bisik Audrey, ia mencoba lari, tapi kakinya kaku. "Aku harus pergi." "Duduk," perintah Denzel, suaranya rendah dan dalam, membuat Audrey tanpa sadar mematuhinya. Ia berjalan ke belakang meja, menuju kursi CEO yang besar. Denzel menepuk pangkuannya. "Di sini." "Denzel! Apa-apaan ini?! Ini kantor! Aku sedang bekerja!" seru Audrey, menahan diri. "Sekarang kamu bekerja untukku," Denzel menyeringai, l
Dua hari telah berlalu sejak kekacauan di Hotel Grand Viera. Dua hari di mana Audrey mengurung diri di apartemennya, sibuk dengan pemikiran dan keputusan gilanya seakan merasakan sakit yang belum sembuh. Namun hari ini, ia memaksa dirinya kembali ke kantor. Bagaimanapun, hidupnya harus terus berjalan. Di dalam lift kantor, napas Audrey tertahan. Ia mengenakan blus putih profesional dan rok pensil, berusaha memancarkan ketenangan yang jauh dari yang ia rasakan. Ia bekerja di departemen pemasaran, dan sayangnya, di bawah pengawasan langsung Stella, wanita yang mendesah nikmat bersama Aiden, tunangannya, di kamar mandi. "Selamat pagi, Bu Audrey," sapa resepsionis, senyumnya ramah, tapi Audrey tahu sorot mata karyawannya dipenuhi keingintahuan akan drama pertunangan yang gagal. Audrey hanya mengangguk tipis. Ia berjalan menuju mejanya, berusaha fokus pada tumpukan file di hadapannya. Namun, fokus itu adalah ilusi. Setiap kali matanya terpejam, bayangan wajah Denzel muncul. Bukan
Ballroom mewah Hotel Grand Viera kini berubah menjadi sarang desas-desus. Musik yang tadinya mengalun lembut kini terasa sumbang. Sudah lebih dari tiga jam sejak waktu yang ditentukan, namun pasangan pertunangan, Aiden Trustin dan Audrey Ginnifer, tak kunjung muncul.Aiden berdiri di tengah panggung yang dihiasi bunga-bunga mahal, wajahnya pucat pasi di balik senyum yang dipaksakan. Ia berusaha keras menutupi kegelisahannya.“Maafkan saya, hadirin sekalian,” ujar Aiden, meraih mikrofon. Suaranya sedikit bergetar. “Audrey… dia sedang tidak enak badan mendadak. Ada sedikit masalah pribadi yang harus kami selesaikan.”Seorang tamu penting, Mr. William, berbisik pada istrinya, “Masalah pribadi? Beberapa jam lalu harusnya cincin tunangan itu disematkan, bukan? Ini skandal, Aiden Trustin terlalu ceroboh!”Aiden melihat tatapan tajam dari Papa Audrey, Melvin Ginnifer. Melvin memberi kode keras agar Aiden segera menyelesaikan drama memalukan ini.“Kami mohon pengertian Anda,” lanjut Aid
Setelah beberapa jam Audrey terlelap dalam delapan Denzel, dia merasa dingin menyergap kulit telanjangnya. Bau disinfektan hotel bercampur samar dengan aroma keringat dan maskulin yang ia sadari milik pria di sampingnya. Matanya mengerjap, menatap langit-langit kamar yang mewah. “Astaga, jam berapa ini?!” gumamnya panik. Audrey menoleh.Denzel terlelap di sampingnya, bantal menutupi sebagian wajah tegasnya. Rambutnya yang gelap sedikit berantakan. Ia terlihat begitu damai, kontras dengan badai emosi yang baru saja ia ciptakan di dalam diri Audrey.”Aku gila. Benar-benar gila.”Ia buru-buru menarik selimut tebal, menutupi tubuhnya. Penyesalan itu menenggelamkannya dalam rasa malu yang tak terhingga. Perbuatan nekatnya terasa seperti noda hitam yang tidak akan pernah bisa ia hapus.Dengan sangat hati-hati, Audrey berusaha melepaskan pelukan Denzel yang melingkari pinggangnya. Tangan kokoh itu terasa berat, namun saat ia berhasil terlepas, ia menoleh sekali lagi memperhatikan wajah
Nada dering ponsel di meja samping ranjang terus bergetar, seolah menuntut perhatian. Nama Aiden berkedip di layar, memecah keheningan kamar hotel yang kini dipenuhi desahan dan napas berat.Audrey menoleh, tapi tidak ingin meresponnya. Sekejap tubuhnya menegang. Namun bukannya meraih ponsel itu, tangannya justru melayang, meraih wajah pria asing yang masih menindih tubuhnya. Bibirnya bergetar, penuh emosi yang bercampur hasrat.Namun pria asing itu mengambil jarak, menatap Audrey, penuh tanya. “Ponsel kamu berdering, mau terima dulu?!“Aku.. Sudah gak peduli,” bisiknya dengan napas terengah.Tanpa berkata banyak, Audrey meraih ponsel itu, menekan tombol, dan mematikan panggilan masuk. Bunyi klik dari layar yang gelap seolah jadi tanda bahwa malam ini Audrey resmi mengambil keputusan paling gila dalam hidupnya.Jemari Audrey menekan dada bidang pria asing itu yang menatapnya mendalam, rahangnya tampak mengeras, tapi tatapan matanya dipenuhi hasrat yang tak kalah liar. “Siapa namamu..
“Ah…” Suara perempuan itu bergetar tertahan di sela napasnya, “Jangan terlalu keras.”“Mmhh… jangan di sini…” ujarnya mendorong dada bidangnya dengan gemetar. “Kalau ada yang lihat—”“Tidak akan ada yang melihat,” potong Aiden cepat, tatapannya membakar. “Kamar mandi ini masih tertutup. Aku sudah menahan diri seharian.” Lengan kokohnya melingkari pinggangnya, menariknya lebih dekat, seakan takut ia terlepas.“Tapi… sebentar lagi pertunanganmu..” bisiknya nyaris tak terdengar.Aiden menahan napasnya, lalu dengan lirih penuh hasrat berkata, “Kalau begitu, kita lanjutkan nanti.”Wajah perempuan itu menegang, bibirnya bergetar. “Bagaimana dengan Audrey…?” Tatapan Aiden mengeras, dalam dan tajam. “Jangan sampai dia tahu.”Gaun putih gading itu masih melekat di tubuh Audrey saat ia membuka pintu kamar mandi hotel. Detik berikutnya, dunianya runtuh. Calon tunangannya—laki-laki yang beberapa jam lagi akan melingkarkan cincin di jarinya—tengah menindih perempuan lain. Perempuan itu bukan or