Se connecterIsandro bergerak cepat. Dalam satu tarikan napas, ia melompat maju, tangannya berhasil meraih tubuh kecil Yessy tepat sebelum Fika melepaskannya. Suara benturan kaki dan cipratan air terdengar bersamaan—Isandro berhasil memeluk bayi itu erat-erat, sementara Fika terhuyung di tepi danau, napasnya tersengal, matanya kosong. Semua membeku. Tak ada yang tahu siapa yang akan jatuh lebih dulu—akal sehat Fika, atau tubuhnya sendiri ke dalam danau. “FIKA!” Yessa berteriak sambil menahan lengan wanita itu kuat, sebelum Fika tercebur ke dalam danau yang cukup dalam dan gelap saat ini. “Kamu gak apa-apa, Fik?” serunya sambil menarik Fika, dan membawanya ke pelukan. Tangis Fika langsung pecah, tatapannya tertuju pada Yessy yang kini sudah berada di gendongan Isandro. “Apa yang udah aku lakuin?” gumamnya dengan suara gemetar. Yessa menatapnya dengan tatapan pilu. “Kamu sama Yessy selamat, jadi gak usah khawatir, ya? Dan aku, aku minta maaf kalau aku salah sama kamu, Fik,” ucapnya li
“Fika, tolong ... saya mohon sama kamu, jangan apa-apakan anaknya Yessa,” kata Pak RT dengan suara rendah, mencoba tetap tenang agar Fika tidak melakukan kejahatan. Saat ini wanita itu tengah berada di samping danau sambil menggendong Yessy yang tengah menjerit di pelukannya, seolah tahu akan ada bahaya yang terjadi padanya. “Pak RT gak tahu apa-apa, kenapa saya harus melakukan ini terhadap anaknya Yessa! Pak RT gak ada di posisi saya, Pak RT kalau—“ “Iya, saya paham kenapa kamu melakukan ini,” potong Pak RT, “Tapi kalau kamu marah pada Yessa, silakan bicarakan baik-baik dengan dia. Jangan mencelakai anak yang tidak berdosa,” “Tapi anak aku meninggal karena anak ini, dan juga Yessa. Gara-gara mereka berdua, Pak!” balas Fika dengan nada tajam yang menusuk, sorot matanya merah. Pak RT langsung terkejut bukan main. Bagaimana bisa anaknya meninggal gara-gara Yessa dan bayinya? “Fika, ayo kita bicarakan dulu baik-baik—jangan sampai kamu salah paham. Berikan anaknya Yessa pada saya, y
“Mas Braga, dari tadi nungguin siapa toh, Mas?” sapa Bu Siti, selaku pemilik warung yang saat ini Braga datangi. Braga, pria itu tersenyum kecil sembari mengalihkan pandangannya dari jalan. “Saya nunggu temen, Bu. Ada keperluan penting.” “Temen apa temen …,” goda Bu Siti lagi, membuat Braga menyembunyikan senyum. “Dari tadi lihatin HP sama jalan, padahal baru aja duduk.” “Iya, soalnya ... dia bilang udah berangkat dari tadi.” “Kemungkinan jalan kaki, makanya lama sampenya. Kenapa gak dijemput aja? Temennya cewek, kan? Kasihan kalau malem-malem jalan sendirian.” Braga hanya tersenyum kikuk. Bukan tak mau, tapi tak bisa—kecuali dia janjian di jalan dekat kosan. Namun, untuk jemput sampai halaman kosan, dia sangat tidak bisa. Matanya kembali melirik jalan. “Saya yakin, sebentar lagi dia akan sampai, Bu.” “Oke deh, Mas.” Sahut Bu Siti dari dalam warungnya. _____ Sementara di sisi lain, Yessa masih di jalan—di mana Isandro berdiri begitu dekat, hingga napas panas pria itu terasa d
“A-anaknya ... Yessa?” tanya Isandro terbata, masih belum bisa sepenuhnya percaya dengan ucapan Pak RT. “Maksudnya, anak yang hidup itu anaknya Yessa. Dan yang meninggal itu—“ Pak RT mengangguk tegas. “Iya, yang meninggal itu anaknya Fika. Dan yang Fika gendong setiap pagi itu, kemungkinan anaknya Yessa. Benar?” Tubuh Isandro gemetar dengan sendirinya, dia bahkan tak dapat berkata-kata lagi setelah mendengar fakta barusan. Jadi, anak kandungnya masih hidup? Anak yang selama ini dia gendong, dia juga belikan barang-barang perlengkapan bayi adalah darah dagingnya sendiri yang sebenarnya masih bernyawa di dunia. Tapi kenapa? Kenapa Yessa mengatakan kalau anaknya sudah meninggal, sementara Yessy itu anak kandung Fika. Pantas saja pikirnya, saat bertemu Fika di makam—gelagat wanita itu aneh. “Pak dokter. Saya ada pilihan untuk Pak dokter, jika Bapak masih ingin mengoperasikan klinik milik keluarga Bapak di desa kami,” kata Pak RT, suaranya rendah. “Pak,” Isandro mengangkat waja
“Maksudnya menutup, Pak?” Isandro mengernyit bingung, karena terlalu tiba-tiba setelah klinik berjalan sekitar satu bulan lebih lamanya. “Iya. Setelah melalui pertimbangan bersama warga dan perangkat desa, kami ... memutuskan untuk menunda, atau mungkin membatalkan, menutup klinik keluarga Bapak di sini.” Keheningan sejenak menggantung. Isandro menatapnya tajam, berusaha membaca maksud di balik kata-kata itu. “Boleh saya tahu alasannya, Pak?” Pak RT tersenyum tipis, namun sorot matanya berubah hati-hati. “Saya paham, niat Bapak baik. Tapi ... di desa kecil seperti ini, kabar menyebar lebih cepat daripada surat resmi.” “Dan kalau kabar buruk ini sampai pada warga, ini hanya akan membuat warga ... merasa kurang nyaman. Mereka bisa saja melakukan boikot massal. Jadi sebelum itu terjadi, lebih baik tutup dengan alasan lain.” Ia menunduk sedikit, suaranya makin pelan—karena jelas perkataannya akan membuat Isandro merasa tidak nyaman. “Saya tidak ingin menyinggung, tapi ... mun
Senyum Yessa seketika luntur mendengar perkataan Fika. Ada sesuatu yang langsung mengganggu pikirannya, sebuah kemungkinan. “Dia ada di makam anakku, Baim,” ucap Fika lagi, tatapannya masih lurus pada Yessa yang mengalihkan pandangannya pada Yessy. “Kalau hari ini aku gak barengan ke makam dengan dokter Isa, sampai kapan pun ... aku gak akan pernah tahu kalau dia—“ “Fik!” Yessa memotong cepat, tatapannya serius. Ia lantas meraih tangan Fika, menggenggamnya erat. “Jangan bilang siapa-siapa soal ini, ya?” Fika langsung mengulas senyum miring, sudah menduga Yessa akan mengatakan hal tersebut. Ia lantas menarik tangannya dari Yessa. “Aku bisa jaga rahasia. Tapi kalau kamu mau aku berbohong soal siapa anak kandung dokter Isa sebenernya, aku gak bisa!” balas Fika dengan nada tegas. “Jadi, kamu ... udah kasih tahu ke Mas Isa kalau—kalau Yessy anak kandung dia?” mata Yessa langsung berkaca-kaca, air mata menggenang di pelupuk matanya. “Oh, ini alasan kamu minta aku buat akui Yes







