เข้าสู่ระบบ“Mas Braga, dari tadi nungguin siapa toh, Mas?” sapa Bu Siti, selaku pemilik warung yang saat ini Braga datangi. Braga, pria itu tersenyum kecil sembari mengalihkan pandangannya dari jalan. “Saya nunggu temen, Bu. Ada keperluan penting.” “Temen apa temen …,” goda Bu Siti lagi, membuat Braga menyembunyikan senyum. “Dari tadi lihatin HP sama jalan, padahal baru aja duduk.” “Iya, soalnya ... dia bilang udah berangkat dari tadi.” “Kemungkinan jalan kaki, makanya lama sampenya. Kenapa gak dijemput aja? Temennya cewek, kan? Kasihan kalau malem-malem jalan sendirian.” Braga hanya tersenyum kikuk. Bukan tak mau, tapi tak bisa—kecuali dia janjian di jalan dekat kosan. Namun, untuk jemput sampai halaman kosan, dia sangat tidak bisa. Matanya kembali melirik jalan. “Saya yakin, sebentar lagi dia akan sampai, Bu.” “Oke deh, Mas.” Sahut Bu Siti dari dalam warungnya. _____ Sementara di sisi lain, Yessa masih di jalan—di mana Isandro berdiri begitu dekat, hingga napas panas pria itu terasa d
“A-anaknya ... Yessa?” tanya Isandro terbata, masih belum bisa sepenuhnya percaya dengan ucapan Pak RT. “Maksudnya, anak yang hidup itu anaknya Yessa. Dan yang meninggal itu—“ Pak RT mengangguk tegas. “Iya, yang meninggal itu anaknya Fika. Dan yang Fika gendong setiap pagi itu, kemungkinan anaknya Yessa. Benar?” Tubuh Isandro gemetar dengan sendirinya, dia bahkan tak dapat berkata-kata lagi setelah mendengar fakta barusan. Jadi, anak kandungnya masih hidup? Anak yang selama ini dia gendong, dia juga belikan barang-barang perlengkapan bayi adalah darah dagingnya sendiri yang sebenarnya masih bernyawa di dunia. Tapi kenapa? Kenapa Yessa mengatakan kalau anaknya sudah meninggal, sementara Yessy itu anak kandung Fika. Pantas saja pikirnya, saat bertemu Fika di makam—gelagat wanita itu aneh. “Pak dokter. Saya ada pilihan untuk Pak dokter, jika Bapak masih ingin mengoperasikan klinik milik keluarga Bapak di desa kami,” kata Pak RT, suaranya rendah. “Pak,” Isandro mengangkat waja
“Maksudnya menutup, Pak?” Isandro mengernyit bingung, karena terlalu tiba-tiba setelah klinik berjalan sekitar satu bulan lebih lamanya. “Iya. Setelah melalui pertimbangan bersama warga dan perangkat desa, kami ... memutuskan untuk menunda, atau mungkin membatalkan, menutup klinik keluarga Bapak di sini.” Keheningan sejenak menggantung. Isandro menatapnya tajam, berusaha membaca maksud di balik kata-kata itu. “Boleh saya tahu alasannya, Pak?” Pak RT tersenyum tipis, namun sorot matanya berubah hati-hati. “Saya paham, niat Bapak baik. Tapi ... di desa kecil seperti ini, kabar menyebar lebih cepat daripada surat resmi.” “Dan kalau kabar buruk ini sampai pada warga, ini hanya akan membuat warga ... merasa kurang nyaman. Mereka bisa saja melakukan boikot massal. Jadi sebelum itu terjadi, lebih baik tutup dengan alasan lain.” Ia menunduk sedikit, suaranya makin pelan—karena jelas perkataannya akan membuat Isandro merasa tidak nyaman. “Saya tidak ingin menyinggung, tapi ... mun
Senyum Yessa seketika luntur mendengar perkataan Fika. Ada sesuatu yang langsung mengganggu pikirannya, sebuah kemungkinan. “Dia ada di makam anakku, Baim,” ucap Fika lagi, tatapannya masih lurus pada Yessa yang mengalihkan pandangannya pada Yessy. “Kalau hari ini aku gak barengan ke makam dengan dokter Isa, sampai kapan pun ... aku gak akan pernah tahu kalau dia—“ “Fik!” Yessa memotong cepat, tatapannya serius. Ia lantas meraih tangan Fika, menggenggamnya erat. “Jangan bilang siapa-siapa soal ini, ya?” Fika langsung mengulas senyum miring, sudah menduga Yessa akan mengatakan hal tersebut. Ia lantas menarik tangannya dari Yessa. “Aku bisa jaga rahasia. Tapi kalau kamu mau aku berbohong soal siapa anak kandung dokter Isa sebenernya, aku gak bisa!” balas Fika dengan nada tegas. “Jadi, kamu ... udah kasih tahu ke Mas Isa kalau—kalau Yessy anak kandung dia?” mata Yessa langsung berkaca-kaca, air mata menggenang di pelupuk matanya. “Oh, ini alasan kamu minta aku buat akui Yes
“Kamu ... ngapain ke sini?” tanya Isandro seraya berdiri, tatapannya lurus pada wanita itu. “Kamu mau ... ke makam siapa?” Fika hanya diam, tatapannya tertuju pada nisan sang anak—Ibrahim Bin Abdullah. Lalu beralih pada Isandro, matanya mulai panas. “Seharusnya saya yang tanya sama Pak dokter, ngapain di sini. Dan ... di makamnya Baim?” “Ah ...,” Isandro mengepalkan tangannya pelan, menatap makam itu sekilas sebelum kembali menatap Fika. Apa mungkin ini yang dimaksud Yessa, kalau Fika itu sangat mudah terbawa perasaan, pikir Isandro. Dan sekarang, wanita itu menyusulnya ke makam sang anak. “Saya lagi ziarah ke makam ini,” kata Isandro, suaranya rendah dan tenang. “Kamu sendiri, mau ke mana? Makam orang tua?” Fika menggeleng singkat. “Saya mau tanya lagi, dok. Kenapa Pak dokter ziarah ke makamnya Baim? Memang dokter ada hubungan apa sama dia?” Rahang Isandro seketika menegang, mulutnya terbuka—tapi tak ada satu kata yang keluar dari sana. Haruskah dia mengatakan yang sebe
“Udah mandi, ya?” ujar Aurora sambil merentangkan tangannya, hendak mengambil alih Arsy dari gendongan sang ayah—Luke. Arsy langsung memberontak di gendongan sang ayah, namun bukan karena ingin menghamburkan tubuhnya pada sang ibu—melainkan takut diambil dari Luke. “Tinggal nyusu yang belum,” kata Luke sambil mengulurkan sang anak pada ibunya, namun si kecil enggan lepas. “Kenapa, Nak?” “Gak mau dia kalau sama aku!” bibir Aurora mengerucut sebal. “Mungkin karena dari merah langsung digendong bapaknya, jadi chemistrynya lebih bagus sama kamu.” Luke tersenyum kecil. “Ya makanya, mulai sekarang lebih rajin lagi main sama Arsy. Nanti malem dia tidur sama kamu.” Mata Aurora menyipit. “Apa mungkin, karena dia cewek. Jadi lebih lengket sama Papanya, bukan Mamanya? Soalnya dulu, Arby nempel banget ke aku—walaupun dari bayi sama Isa.” Luke mengkerutkan kening, melirik sang anak yang mata polosnya menatap lurus padanya sambil tersenyum dan berceloteh ria. “Arsy cuma mau sama Papa,







