Share

Bab 3 Menolak perjodohan

Author: LibraRahutia
last update Last Updated: 2023-11-21 14:02:14

"Apa? Menikah?"

Jaka terkejut mendengar penuturan bapaknya, sebab ia yakin, jika wanita yang bapaknya maksud itu pasti bukanlah kekasihnya, Neng Indah, sebab Jaka sendiri tahu, jika orang tuanya Indah, lebih tepatnya ayah dari kekasihnya itu, kurang setuju, jika Indah menjalin hubungan dengan dirinya, yang hanya seorang buruh pabrik dengan gaji yang rendah. Dan sialnya, Pak Agus, orang tua Jaka mengetahui, jika ayahnya Indah, yang bernama Wongso, tidak menyukai putranya menjalin hubungan dengan anak gadisnya.

"Jaka, kau dengar apa yang bapak katakan, tadi kan?" tanya Pak Agus lagi. Sesekali lelaki paruh baya itu memegangi dadanya yang terasa sedikit sesak, sebab Pak Agus memang memiliki penyakit asma, yang saat ini sedang kambuh. Sedangkan Jaka sendiri hanya menganggukkan kepalanya lemah, tanpa berniat untuk menjawab.

"Jaka, kamu masih ingat Pak Budi, kan? Mandor yang bekerja di perkebunan milik Juragan Wildan?" sambung Pak Agus

Dan Jaka kembali menganggukkan kepalanya sebagai jawaban, sepertinya pemuda berusia 23 tahun itu sama sekali tidak berminat, dengan apa yang akan disampaikan selanjutnya oleh bapaknya tersebut. Namun, sebagai anak yang baik, tak urung pemuda itu tetap mendengarkan apa yang ingin bapaknya itu sampaikan.

"Tadi malam, Pak Budi datang ke rumah kita, dan beliau ingin kamu menikah dengan putrinya, Neng Silvi," jelas Pak Agus. Lalu menatap wajah putranya yang saat itu masih duduk di hadapannya, menunggu jawaban apa yang akan keluar dari mulut pemuda tersebut.

Sebelum menjawab, Jaka menarik nafas dalam, lalu membuangnya perlahan. "Maaf Pak, Jaka tidak bisa. Bapak dan Ibu tau kan, kalau Jaka sudah memiliki Neng Indah? Dan Jaka sangat mencintainya," jawab Jaka tegas

Tiba-tiba saja Pak Agus memegangi dadanya yang kembali terasa sesak. Membuat Bu Romlah khawatir.

"Pak, sudahlah, ibu bilang juga apa, Jaka tidak akan setuju dengan perjodohan ini," ucap sang istri sambil melirik ke arah putranya yang tertunduk.

"Maafkan Jaka, Pak, Bu, tapi Jaka tidak bisa. Kalau tidak ada lagi yang ingin Bapak dan Ibu bicarakan, Jaka pergi dulu," ucap Jaka.

Pemuda itu langsung bangkit dari duduknya, lalu melangkah menuju kedua orang tuanya untuk berpamitan. Setelah mencium punggung tangan mereka, Jaka langsung melangkah keluar.

***

"Ayo, turun, Sayang. Dan jangan lupa bawa barang yang ada di belakang," ucap Pak Wildan mengarahkan sang putri. Setelahnya, lalu membuka pintu mobil yang ada di sampingnya.

Meskipun malas, namun Ayuna tetap turun dari mobil tersebut, tak lupa dengan buah tangan yang tadi sempat mereka beli di jalan.

Ayuna melangkah menuju rumah bercat putih yang ada di depannya, rumah yang cukup sederhana, namun terlihat asri dan sejuk, karena di setiap sudutnya terdapat tanaman hias. Juragan Wildan membuka pagar bambu yang ada di depannya, dan kembali melangkahkan kakinya.

Tok ... tok ... tok ....

"Permisi. Assalamu' alaikum," ucap Pak Wildan dari luar.

Akan tetapi, sekian lama menunggu, belum ada tanda- tanda pintu tersebut akan dibukakan oleh pemiliknya.

"Yah, sepertinya tidak ada orang deh, sebaiknya kita pulang saja. Lagi pula, ini kan masih terlalu pagi, mungkin mereka masih tidur. Besok saja kita datang lagi," ucap Ayuna memberi saran.

"Masa sih, tidak ada orang? Coba ayah ketuk sekali lagi," ucap Juragan Wildan. Lelaki paruh baya itu kembali mengangkat tangannya untuk mengetuk pintu rumah tersebut. Namun, sebelum lelaki tersebut mengetuknya, pintu itu sudah dibuka dari dalam.

"Wa'alaikum salam, eh, Juragan Wildan, mari masuk, juragan! Silakan masuk," ucap seorang wanita paruh baya menyambut kedatangan Juragan Wildan yang memiliki perkebunan kelapa sawit terbesar di kampungnya.

Tempat di mana suaminya bekerja selama ini. Wanita itu sempat melirik ke arah Ayuna sambil tersenyum, dan dibalas senyum kikuk oleh gadis itu.

"Silahkan masuk, Neng," sambungnya pada Ayuna.

"Terimakasih, Bu," ucap Ayuna mengangguk. Setelahnya beranjak masuk, tanpa melepaskan sepatunya. Gadis itu lupa jika masuk ke rumah orang sederhana seperti mereka, harus melepaskan alas kakinya terlebih dahulu, sedangkan gadis ini sudah terbiasa selalu memakai alas kaki jika di dalam rumah, kecuali di kamar baru ia akan melepasnya.

"Neng, maaf, sepatunya bisa dilepas?" tanya wanita paruh baya itu sedikit merasa tidak enak. Namun berhasil membuat Ayuna langsung terbengong.

"Hah? Kenapa, Bu?" tanya gadis itu memastikan.

Pak Wildan yang kala itu sudah masuk terlebih dahulu, langsung menoleh, karena mendengar ucapan pemilik rumah.

"Sayang, sepatu kamu itu dilepas, ini rumah orang, jangan dianggap rumah sendiri," Pak Wildan langsung menjawab. Membuat wanita paruh baya itu kembali merasa tak enak hati.

"Oh, maaf, Bu, soalnya sudah kebiasaan kalau di rumah," ucap Ayuna. Sambil melepaskan alas kakinya, sebenarnya sih enggan. Apa lagi saat melihat lantai yang ia pijak, yang hanya terbuat dari semen, dan dalam hati gadis itu sempat berpikir jika lantai itu kotor.

"Tidak masalah, Neng, pakai saja sepatunya, lantainya kotor," ucap seseorang yang baru saja keluar dari kamar.

Seorang pria paruh baya dengan wajah pucat dengan syal yang melilit di lehernya, Ayuna bisa menebak jika orang tersebut adalah suami dari wanita tersebut.

"Beneran tidak apa-apa, Pak?" tanya Ayuna memastikan. Ayuna juga sebenarnya masih enggan membuka sepatu miliknya, bukan karena sok bersih, namun merasa risih saja, karena memang sudah terbiasa dengan alas kaki yang selalu melekat meski di dalam rumah sekalipun.

"Ah, iya, Neng, tidak apa, kalau mau dipakai sepatunya," sambung wanita paruh baya yang masih belum Ayuna ketahui namanya tersebut.

"Silahkan duduk, juragan, maaf, keadaannya seperti ini," ucap lelaki tersebut, mempersilahkan Pak Wildan duduk di atas kursi kayu.

"Silahkan, Neng," sambungnya kepada Ayuna yang hanya dijawab anggukkan kepala oleh gadis itu.

"Bagaimana keadaanmu, Gus, apa masih sakit?" tanya pak Wildan.

Juragan Wildan memperhatikan wajah Pak Agus, sekaligus bawahannya tersebut, yang masih terlihat sedikit pucat.

Ya, saat ini juragan Wildan memang sedang bertamu ke rumah Pak Agus, salah satu pekerjanya yang sedang sakit, dan sudah hampir sepuluh hari belum bisa kembali bekerja.

"Beginilah, juragan," jawabnya pasrah.

"Sudah berobat?" tanya Pak Wildan lagi.

"Sudah. Tapi hanya berobat kampung, juragan," jawab Pak Agus

"Loh, kenapa tidak ke puskesmas, atau ke bidan desa? Pastikan obatnya lebih manjur dari pada berobat kampung," ucap Pak Wildan.

Kalau di desa, posisi seorang bidan, selain untuk membantu orang melahirkan, juga merangkap sebagai pengganti dokter bagi warganya, terkecuali jika penyakit yang parah, barulah dirujuk ke rumah sakit yang ada di kota.

Saat ketiganya asik berbicara, Ayuna malah terlihat sibuk memperhatikan sebuah bingkai poto yang terletak di atas sebuah meja kayu, matanya memicing saat merasa pernah melihat gambar seorang pria yang ada di dalam bingkai tersebut.

"Dia kan ...."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Gairah Terpendam Anak Juragan Kampung   Bab 100 .

    Indah masih melamun memikirkan perasaan Jaka terhadapnya sekarang, apakah perasaan pemuda itu telah berubah terhadapnya? Atau yang lebih menyakitkan apakah mungkin sekarang pemuda yang sangat dicintainya tersebut sudah tidak perduli lagi dengannya, dan sudah jatuh cinta kepada istrinya? "Bang, apa kamu sudah tidak perduli lagi denganku?" Jaka menghela nafas panjang, lalu menatap wanita di depannya yang menunduk dengan wajah sedih karna perkataan Jaka barusan. "Justru karena aku perduli padamu Neng, sebaiknya kamu turuti saja permintaan Bapakmu, dan cobalah, walaupun kamu belum mencintai Ciko, tetapi cinta itu bisa tumbuh dengan seiring berjalannya waktu," "Bang! Kenapa Bang Jaka berubah? Kenapa kamu tega memintaku untuk menerima lelaki lain di hidupku? Aku tidak mau Bang, aku cinta kamu, dan aku maunya hanya sama kamu Bang Jaka," pekik Indah dengan suara lantang, membuat dada seseorang bergemuruh karena ucapan tersebut. "Mengapa kau berteriak kepada suamiku?" Deg Indah k

  • Gairah Terpendam Anak Juragan Kampung   Bab 99 . Perasaan yang memudar

    Jaka masih membeku, merasa bingung tidak tahu harus menjawab apa, sedangkan Ayuna yang melihat keterdiaman suaminya, kembali memeluk Jaka. Namun kali ini Jaka pasrah, tidak mungkin dirinya kembali menolak, bisa-bisa Ayuna akan semakin bertingkah dan kembali mengomel padanya. "Uh, nyaman sekali memeluk suami," gumam Ayuna sambil mencari kenyamanan dari tubuh sang suami. Ayuna mendongak untuk melihat Jaka, lelaki itu sedikit gelisah, dan merasa kurang nyaman dengan pelukan sang istri, namun Jaka tidak bisa melakukan apapun, matanya mencoba fokus menatap layar televisi yang ada di depannya. "Kenapa sih Mas, kok sepertinya gelisah banget?" Jaka menunduk, untuk melihat Ayuna yang ternyata juga sedang menatap kearahnya. Deg Tatapan keduanya bertemu, jarak wajah mereka hanya satu jengkal, bahkan hembusan nafas dari keduanya dapat mereka rasakan, Ayuna tersenyum manis, lalu tanpa aba-aba gadis itu langsung menempelkan bibirnya di atas bibir Jaka. Glek Jaka menelan ludah saat mer

  • Gairah Terpendam Anak Juragan Kampung   Bab 98 . Janji Jaka

    Ayuna masih menunggu jawaban yang akan diberikan oleh Jaka, Ayuna berharap jika suaminya itu akan mengatakan tidak. Namun jika pemuda itu memang ingin berpisah darinya, mungkin gadis itu akan mempertimbangkan permintaan suaminya tersebut. 'Ya Tuhan, begini kah rasanya mencintai tanpa dicintai? Padahal belum ada satu bulan kami menikah, namun rasanya hati ini sudah tidak kuat. Kenapa sangat sulit bagiku untuk mendapatkan cinta suamiku Tuhan? Apa karena aku tidak pantas untuknya? Atau karena aku telah menyakiti hati Indah, makanya Engkau menghukum ku dengan cara ini? Agar aku juga merasakan sakit hati, seperti apa yang Indah rasakan karena aku telah merebut Jaka darinya? Jika memang dengan cara ini Engkau mau mengampuniku, aku ikhlas Tuhan. Aku rela sakit hati, asalkan Engkau mau bermurah hati untuk membuat suamiku mencintaiku,' batin Ayuna penuh permohonan kepada yang Maha Kuasa. Jaka sendiri masih membeku, bingung. Itulah yang Jaka rasakan saat ini, dalam hati pemuda itu merutuki

  • Gairah Terpendam Anak Juragan Kampung   Bab 97 . Saya bersedia melepasmu

    Saat ini Ayuna dan Ciko sudah berada di depan rumah Indah, namun tidak begitu dekat dengan rumah tersebut, karena Ayuna tidak ingin dicurigai sebagai penguntit oleh para tetangga, saat ini keduanya berada di bawah pohon mangga yang cukup rindang, di pinggir jalan, keduanya duduk di atas motor masing-masing sambil memperhatikan rumah yang ada di depan mereka. "Bukankah itu motor milik Ayahmu? Jadi aku tidak berbohong kan, saat mengatakan jika suamimu sekarang ada di dalam rumah mantannya," ucap Ciko sambil menyeringai. Ayuna tidak menjawab, gadis itu hanya diam sambil terus memperhatikan rumah tersebut. Di dalam hatinya, Ayuna sangat penasaran dengan apa yang Jaka lakukan di dalam rumah mantan kekasihnya itu. Sedangkan di dalam rumah, terlihat Pak Wongso menatap Jaka dengan tajam, pemuda itu baru saja menyampaikan maksud dan kedatangannya ke rumah itu, seperti permintaan Indah. Yang meminta dirinya untuk bicara pada orang tua Indah, agar mereka mau membatalkan perjodohan tersebut

  • Gairah Terpendam Anak Juragan Kampung   Bab 96 . Menagih janji

    Saat ini Jaka sedang di sibukkan oleh pekerjaannya, memantau setiap pekerjaan karyawan perkebunan. Di sisi lain terlihat ada beberapa orang pemuda yang sedang bergosip sambil menatap kearah Jaka. "Enak ya jadi Jaka, sekarang kerjaannya sudah terjamin, tinggal suruh sana, suruh sini," "Kau benar, sudah gitu dapat istri cantik pula, anak tunggal, warisannya banyak pula," sambung yang lain. "Huus, kalian jangan bergosip terus, nanti kedengaran Juragan Wildan bisa kena marah, kalian jangan iri, itu namanya nasib Jaka yang mujur, jadi jangan sirik," sambung Wawan sahabat Jaka. "Hem, iya deh yang punya sahabat," "Sudah-sudah sebaiknya kita kerja lagi," sambung yang lain. Di saat Jaka sibuk dengan pekerjaannya, tiba-tiba ponsel miliknya berdering, membuat Jaka langsung mengangkat panggilan tersebut, yang ternyata berasal dari Indah, mantan kekasihnya.Meskipun malas, Jaka tetap mengangkat panggilan dari wanita itu. "Iya Indah, ada apa?" "Aku ada di depan Bang, Abang bisa ke s

  • Gairah Terpendam Anak Juragan Kampung   Bab 95 . Mencoba membuka hati

    Saat ini sepasang suami istri tersebut ada di sebuah gazebo, yang berada di belakang rumah orang tua Jaka. Di samping gazebo tersebut ada beberapa tanaman sayur dan juga beberapa pohon buah-buahan, seperti pepaya, jambu air, dan juga mangga. Ayuna tidak menyangka jika di belakang rumah mertuanya ada kebun, yang membuat matanya terasa di manjakan. Terlihat sejuk karena rindangnya pohon mangga yang ada di samping gazebo tersebut. "Maaf karena saya tidak memberitahumu tentang kondisi Bapak," jelas Jaka setelah dia beberapa saat. "Tidak masalah, toh aku tidak terlalu penting untuk mengetahuinya, benarkan?" Jaka yang tadinya menatap lurus ke depan, langsung menoleh pada sosok wanita cantik di sampingnya. "Kenapa berkata seperti itu?" "Lalu harus bagai mana? Toh kenyataannya memang seperti itu kan? Sekarang aku tanya sama kamu Mas, apa kamu ada memikirkan aku saat kamu memeluk wanita itu?" Jaka membeku, sejujurnya Jaka memang tidak memikirkan perasaan Ayuna saat memeluk Indah, s

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status