Share

Bab 3 Menolak perjodohan

"Apa? Menikah?"

Jaka terkejut mendengar penuturan bapaknya, sebab ia yakin, jika wanita yang bapaknya maksud itu pasti bukanlah kekasihnya, Neng Indah, sebab Jaka sendiri tahu, jika orang tuanya Indah, lebih tepatnya ayah dari kekasihnya itu, kurang setuju, jika Indah menjalin hubungan dengan dirinya, yang hanya seorang buruh pabrik dengan gaji yang rendah. Dan sialnya, Pak Agus, orang tua Jaka mengetahui, jika ayahnya Indah, yang bernama Wongso, tidak menyukai putranya menjalin hubungan dengan anak gadisnya.

"Jaka, kau dengar apa yang bapak katakan, tadi kan?" tanya Pak Agus lagi. Sesekali lelaki paruh baya itu memegangi dadanya yang terasa sedikit sesak, sebab Pak Agus memang memiliki penyakit asma, yang saat ini sedang kambuh. Sedangkan Jaka sendiri hanya menganggukkan kepalanya lemah, tanpa berniat untuk menjawab.

"Jaka, kamu masih ingat Pak Budi, kan? Mandor yang bekerja di perkebunan milik Juragan Wildan?" sambung Pak Agus

Dan Jaka kembali menganggukkan kepalanya sebagai jawaban, sepertinya pemuda berusia 23 tahun itu sama sekali tidak berminat, dengan apa yang akan disampaikan selanjutnya oleh bapaknya tersebut. Namun, sebagai anak yang baik, tak urung pemuda itu tetap mendengarkan apa yang ingin bapaknya itu sampaikan.

"Tadi malam, Pak Budi datang ke rumah kita, dan beliau ingin kamu menikah dengan putrinya, Neng Silvi," jelas Pak Agus. Lalu menatap wajah putranya yang saat itu masih duduk di hadapannya, menunggu jawaban apa yang akan keluar dari mulut pemuda tersebut.

Sebelum menjawab, Jaka menarik nafas dalam, lalu membuangnya perlahan. "Maaf Pak, Jaka tidak bisa. Bapak dan Ibu tau kan, kalau Jaka sudah memiliki Neng Indah? Dan Jaka sangat mencintainya," jawab Jaka tegas

Tiba-tiba saja Pak Agus memegangi dadanya yang kembali terasa sesak. Membuat Bu Romlah khawatir.

"Pak, sudahlah, ibu bilang juga apa, Jaka tidak akan setuju dengan perjodohan ini," ucap sang istri sambil melirik ke arah putranya yang tertunduk.

"Maafkan Jaka, Pak, Bu, tapi Jaka tidak bisa. Kalau tidak ada lagi yang ingin Bapak dan Ibu bicarakan, Jaka pergi dulu," ucap Jaka.

Pemuda itu langsung bangkit dari duduknya, lalu melangkah menuju kedua orang tuanya untuk berpamitan. Setelah mencium punggung tangan mereka, Jaka langsung melangkah keluar.

***

"Ayo, turun, Sayang. Dan jangan lupa bawa barang yang ada di belakang," ucap Pak Wildan mengarahkan sang putri. Setelahnya, lalu membuka pintu mobil yang ada di sampingnya.

Meskipun malas, namun Ayuna tetap turun dari mobil tersebut, tak lupa dengan buah tangan yang tadi sempat mereka beli di jalan.

Ayuna melangkah menuju rumah bercat putih yang ada di depannya, rumah yang cukup sederhana, namun terlihat asri dan sejuk, karena di setiap sudutnya terdapat tanaman hias. Juragan Wildan membuka pagar bambu yang ada di depannya, dan kembali melangkahkan kakinya.

Tok ... tok ... tok ....

"Permisi. Assalamu' alaikum," ucap Pak Wildan dari luar.

Akan tetapi, sekian lama menunggu, belum ada tanda- tanda pintu tersebut akan dibukakan oleh pemiliknya.

"Yah, sepertinya tidak ada orang deh, sebaiknya kita pulang saja. Lagi pula, ini kan masih terlalu pagi, mungkin mereka masih tidur. Besok saja kita datang lagi," ucap Ayuna memberi saran.

"Masa sih, tidak ada orang? Coba ayah ketuk sekali lagi," ucap Juragan Wildan. Lelaki paruh baya itu kembali mengangkat tangannya untuk mengetuk pintu rumah tersebut. Namun, sebelum lelaki tersebut mengetuknya, pintu itu sudah dibuka dari dalam.

"Wa'alaikum salam, eh, Juragan Wildan, mari masuk, juragan! Silakan masuk," ucap seorang wanita paruh baya menyambut kedatangan Juragan Wildan yang memiliki perkebunan kelapa sawit terbesar di kampungnya.

Tempat di mana suaminya bekerja selama ini. Wanita itu sempat melirik ke arah Ayuna sambil tersenyum, dan dibalas senyum kikuk oleh gadis itu.

"Silahkan masuk, Neng," sambungnya pada Ayuna.

"Terimakasih, Bu," ucap Ayuna mengangguk. Setelahnya beranjak masuk, tanpa melepaskan sepatunya. Gadis itu lupa jika masuk ke rumah orang sederhana seperti mereka, harus melepaskan alas kakinya terlebih dahulu, sedangkan gadis ini sudah terbiasa selalu memakai alas kaki jika di dalam rumah, kecuali di kamar baru ia akan melepasnya.

"Neng, maaf, sepatunya bisa dilepas?" tanya wanita paruh baya itu sedikit merasa tidak enak. Namun berhasil membuat Ayuna langsung terbengong.

"Hah? Kenapa, Bu?" tanya gadis itu memastikan.

Pak Wildan yang kala itu sudah masuk terlebih dahulu, langsung menoleh, karena mendengar ucapan pemilik rumah.

"Sayang, sepatu kamu itu dilepas, ini rumah orang, jangan dianggap rumah sendiri," Pak Wildan langsung menjawab. Membuat wanita paruh baya itu kembali merasa tak enak hati.

"Oh, maaf, Bu, soalnya sudah kebiasaan kalau di rumah," ucap Ayuna. Sambil melepaskan alas kakinya, sebenarnya sih enggan. Apa lagi saat melihat lantai yang ia pijak, yang hanya terbuat dari semen, dan dalam hati gadis itu sempat berpikir jika lantai itu kotor.

"Tidak masalah, Neng, pakai saja sepatunya, lantainya kotor," ucap seseorang yang baru saja keluar dari kamar.

Seorang pria paruh baya dengan wajah pucat dengan syal yang melilit di lehernya, Ayuna bisa menebak jika orang tersebut adalah suami dari wanita tersebut.

"Beneran tidak apa-apa, Pak?" tanya Ayuna memastikan. Ayuna juga sebenarnya masih enggan membuka sepatu miliknya, bukan karena sok bersih, namun merasa risih saja, karena memang sudah terbiasa dengan alas kaki yang selalu melekat meski di dalam rumah sekalipun.

"Ah, iya, Neng, tidak apa, kalau mau dipakai sepatunya," sambung wanita paruh baya yang masih belum Ayuna ketahui namanya tersebut.

"Silahkan duduk, juragan, maaf, keadaannya seperti ini," ucap lelaki tersebut, mempersilahkan Pak Wildan duduk di atas kursi kayu.

"Silahkan, Neng," sambungnya kepada Ayuna yang hanya dijawab anggukkan kepala oleh gadis itu.

"Bagaimana keadaanmu, Gus, apa masih sakit?" tanya pak Wildan.

Juragan Wildan memperhatikan wajah Pak Agus, sekaligus bawahannya tersebut, yang masih terlihat sedikit pucat.

Ya, saat ini juragan Wildan memang sedang bertamu ke rumah Pak Agus, salah satu pekerjanya yang sedang sakit, dan sudah hampir sepuluh hari belum bisa kembali bekerja.

"Beginilah, juragan," jawabnya pasrah.

"Sudah berobat?" tanya Pak Wildan lagi.

"Sudah. Tapi hanya berobat kampung, juragan," jawab Pak Agus

"Loh, kenapa tidak ke puskesmas, atau ke bidan desa? Pastikan obatnya lebih manjur dari pada berobat kampung," ucap Pak Wildan.

Kalau di desa, posisi seorang bidan, selain untuk membantu orang melahirkan, juga merangkap sebagai pengganti dokter bagi warganya, terkecuali jika penyakit yang parah, barulah dirujuk ke rumah sakit yang ada di kota.

Saat ketiganya asik berbicara, Ayuna malah terlihat sibuk memperhatikan sebuah bingkai poto yang terletak di atas sebuah meja kayu, matanya memicing saat merasa pernah melihat gambar seorang pria yang ada di dalam bingkai tersebut.

"Dia kan ...."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status