"Aku rasa aku belum menceritakan semuanya," kata Adrian sambil menatap kosong ke luar jendela restoran. "Cinta... itu adalah konsep yang sulit bagi aku. Aku selalu merasa tidak pantas untuk dicintai. Bukan hanya karena ayahku yang kasar atau ibu yang meninggalkanku. Tapi karena setiap orang yang kupercayai, selalu meninggalkanku."
Alena merasa ada kedalaman dalam suara Adrian, yang jarang ia dengar sebelumnya. Ia tidak bisa tidak merasa terenyuh oleh keterbukaan Adrian, yang selama ini tampak begitu tegar dan penuh kontrol.
Hujan mulai turun di luar, membuat jendela kaca besar itu dipenuhi aliran air yang semakin deras. Suasana restoran yang remang-remang, dengan cahaya lilin yang bergoyang pelan di meja mereka, menciptakan atmosfer intim yang tidak pernah mereka alami sebelumnya.
"Kenapa kau berpikir seperti itu?" tanya Alena lembut, jemarinya perlahan menyentuh tangan Adrian yang terkepal di atas meja.
Adrian menarik napas dalam-dalam. Ada jeda panjang
Ketiga pasang mata secara refleks menyapu ruangan kafe, mencari sosok Adrian di antara para pengunjung. Kafe itu cukup ramai, dipenuhi pengunjung mall yang menikmati minuman pagi atau brunch. Alena merasakan jantungnya berdebar kencang."Dia bisa berada di mana saja," bisik Reno, wajahnya tegang. "Mungkin di kafe seberang, atau di lantai atas mall.""Kita perlu pergi dari sini," kata Dina dengan suara rendah tapi tegas. "Sekarang."Alena mengangguk, ketakutan membuat tangannya gemetar hebat saat ia mengumpulkan dokumen-dokumen yang Reno berikan. "Menurutmu apakah dia benar-benar melihat kita atau hanya menggertak?""Jangan ambil risiko," Reno menyerahkan tasnya pada Alena. "Simpan semua bukti ini. Aku akan keluar lebih dulu dan memastikan tidak ada Adrian di sekitar pintu keluar utama.""Bagaimana jika dia melihatmu?" tanya Alena, kekhawatiran terpancar di matanya."Aku sudah menghadapinya selama bertahun-tahun," jawab Reno dengan senyum tip
"Memang," Dina menatap Alena dengan serius. "Itulah mengapa kita perlu memastikan keselamatanmu. Setelah bertemu Reno, kita langsung ke kantor polisi untuk melaporkan Adrian."Alena mengangguk, meski dalam hatinya ia masih sulit menerima bahwa Adrian—pria yang telah mencintainya selama lima tahun—kini menjadi seseorang yang harus ia takuti dan laporkan ke polisi."Apa kita perlu sarapan dulu?" tanya Dina, mencoba mengalihkan pembicaraan ke hal yang lebih ringan."Boleh," jawab Alena, menyadari bahwa ia memang lapar. "Tapi... bisakah kita makan di sini saja? Aku belum siap keluar.""Tentu. Aku akan pesan room service." Dina meraih gagang telepon di samping tempat tidur.Sementara Dina memesan sarapan, Alena kembali menatap ke luar jendela. Cahaya matahari kini lebih terang, menerangi gedung-gedung pencakar langit Jakarta. Di suatu tempat di luar sana, Adrian sedang mencarinya. Dan di tempat lain, Reno sedang menunggunya, siap membongkar
"Pergilah, Adrian," Dina akhirnya bersuara, berdiri di depan pintu yang masih terkunci. "Alena tidak ingin bicara denganmu sekarang.""Kau tidak mengerti," Adrian terdengar frustasi. "Reno sangat berbahaya. Dia memanipulasi Alena, seperti dia memanipulasiku dulu. Aku hanya ingin melindunginya!""Alena bisa menjaga dirinya sendiri," jawab Dina tegas. "Dan jika kau tidak pergi sekarang, aku akan memanggil keamanan."Hening sejenak. Lalu, suara Adrian terdengar berbeda—dingin dan mengancam. "Ini belum berakhir. Sampaikan pada Alena bahwa aku akan selalu menemukannya. Dia milikku."Langkah kaki Adrian yang menjauh terdengar di koridor. Dina mengintip lewat lubang pintu sekali lagi untuk memastikan ia benar-benar pergi, sebelum berbalik menghadap Alena yang gemetar di sofa."Kita perlu pergi sekarang," kata Dina dengan urgensi dalam suaranya. "Kemas barangmu. Kita langsung ke hotel."Alena mengangguk lemah, masih syok mendengar nada ancaman dalam suara Adrian. Pria yang ia pikir mencintain
"Dia datang ke sini," kata Alena, suaranya nyaris tidak terdengar. "Apa yang harus kulakukan?""Kita perlu pergi sekarang," tegas Dina. "Ambil tasmu, kita keluar lewat pintu belakang.""Tapi pekerjaanku—""Aku akan bicara dengan Pak Dirga. Keselamatanmu lebih penting." Dina sudah mulai mengumpulkan barang-barang Alena. "Ayo, sebelum dia masuk ke gedung."Dengan terburu-buru, mereka mengemas barang Alena. Dina menghampiri supervisor mereka dan berbicara singkat. Dari kejauhan, Alena melihat Pak Dirga mengangguk serius, sesekali melirik ke arahnya dengan wajah prihatin."Pak Dirga setuju kau butuh istirahat. Dia juga akan memastikan satpam tidak mengizinkan Adrian masuk," kata Dina setelah kembali ke meja Alena. "Ayo, lewat sini."Mereka bergegas menuju lift yang mengarah ke tempat parkir bawah tanah, bukan ke lobi utama. Jantung Alena berdebar kencang sepanjang perjalanan turun. Lift berdenting terbuka, dan mereka setengah berlari menuju mobil Dina."Kau akan tinggal di tempatku malam
"Tidak," jawab Alena jujur. "Aku tidak baik-baik saja.""Apa yang terjadi?" Dina duduk di kursi sebelah Alena, memegang tangannya yang dingin.Alena menceritakan segalanya—telepon dari Reno, klaim bahwa ia berada di Bali selama dua minggu terakhir, tuduhan bahwa Adrian lah yang sebenarnya menguntit dan mengontrol, dan penemuan aplikasi pelacak di ponselnya.Dina mendengarkan dengan mata melebar, terkejut tapi tidak sepenuhnya kaget. "Aku selalu merasa ada sesuatu yang tidak beres dengan Adrian akhir-akhir ini," katanya perlahan. "Tapi ini... ini di luar dugaanku.""Bagaimana jika Reno yang berbohong?" Alena menatap Dina, mencari jawaban. "Bagaimana jika ini hanya taktiknya untuk memisahkan aku dari Adrian?""Mungkin," Dina mengakui. "Tapi Alena, aplikasi pelacak di ponselmu itu nyata. Dan kau sendiri yang mengatakan bahwa perilaku Adrian telah berubah drastis belakangan ini. Lebih posesif, lebih mengontrol." Dina meremas tangan Alena lembut. "Coba ingat, kapan tepatnya perubahan itu t
"Bagaimana kau mendapatkan nomorku?" tanya Alena dengan suara tegang, jantungnya berdebar kencang. Ia melirik sekeliling kantor, memastikan tidak ada yang memperhatikannya."Dari direktori kantor desainmu. Maaf menelepon tiba-tiba, tapi ini penting," jawab Reno. Suaranya tidak terdengar mengancam atau terobsesi seperti yang Adrian gambarkan. Malah, ia terdengar... khawatir?"Apa maumu?" tanya Alena, berusaha terdengar tegas meskipun dalam hati ia ketakutan."Dengar, aku tahu kau mungkin takut dan bingung sekarang. Adrian pasti sudah menceritakan banyak hal tentangku—kebanyakan tidak benar." Reno terdiam sejenak sebelum melanjutkan. "Aku baru kembali dari Bali kemarin dan mendapati namaku disebut dalam laporan polisi—tuduhan menguntit dan melecehkan. Aku bahkan tidak tahu di mana apartemenmu, Alena."Alena merasa seperti tercekik. "Kau tidak membuat keributan di depan apartemenku dua minggu lalu?""Dua minggu lalu aku berada di Bali untu
Kantor desain grafis tempat Alena bekerja biasanya selalu dipenuhi energi kreatif dan tawa. Tapi hari ini, suasananya terasa berbeda begitu ia melangkah masuk. Beberapa rekan kerjanya melirik dengan tatapan penasaran, lalu berbisik-bisik. Alena berusaha mengabaikannya dan berjalan lurus menuju mejanya."Hei," sapa Dina yang sudah menunggunya di sana. "Kau baik-baik saja? Wajahmu pucat."Alena mengangguk lemah. "Sudah ke kantor polisi tadi.""Bagaimana?" tanya Dina, suaranya rendah agar tidak terdengar oleh yang lain."Mereka akan menyelidikinya. Tapi inspektur yang menangani kasusku mengatakan sesuatu yang membuatku berpikir..."Sebelum Alena bisa melanjutkan, ponselnya berdering. Pesan dari Adrian."Sudah sampai kantor?"Alena memutar matanya, kelelahan dengan rutinitas ini. "Ya, baru saja," balasnya singkat."Dina sudah di sana?"Alena mengernyitkan dahi membaca pesan itu. Bagaimana Adrian tahu Dina menunggunya?"Ya. Kenapa?" balasnya."Tidak apa-apa. Hanya bertanya. Jam makan siang
Alena terdiam di tengah apartemennya, pikirannya masih berkecamuk tentang pilihan sulit yang harus ia hadapi. Di satu sisi, ada Reno dengan ancaman nyatanya yang telah terbukti—foto-foto yang mengintip ke sudut paling privat kehidupannya. Di sisi lain, ada Adrian dengan cintanya yang semakin lama semakin terasa mengekang. Menghela napas panjang, ia memutuskan untuk pergi ke kantor polisi sebelum memulai harinya.Di kantor polisi, Alena menceritakan semua yang terjadi—dari keributan yang dibuat Reno di depan apartemennya dua minggu lalu, hingga foto-foto mengerikan yang Adrian tunjukkan pagi ini. Petugas polisi wanita yang menangani laporannya, Inspektur Ratna, mendengarkan dengan penuh perhatian, sesekali mencatat detail penting."Jadi, Anda belum melihat laporan resmi tentang penyelidikan ini? Hanya foto-foto yang ditunjukkan oleh kekasih Anda?" tanya Inspektur Ratna, alisnya terangkat sedikit."Benar," jawab Alena. "Adrian bilang dia sudah melaporkan ini ke polisi dan mengontak dete
Air mata mulai menggenang di mata Adrian. "Aku melakukan semua ini karena aku mencintaimu.""Aku tahu," Alena menggenggam tangan Adrian. "Dan aku juga mencintaimu. Tapi cinta seharusnya tidak terasa seperti ini—mencekik, mengawasi, menakutkan.""Apa kau tidak percaya padaku tentang Reno?" tanya Adrian, suaranya terdengar terluka.Alena menarik napas dalam-dalam. "Aku ingin percaya. Tapi aku butuh bukti, Adrian. Kau bilang ada detektif, ada laporan, ada foto-foto. Tunjukkan padaku."Adrian melepaskan tangannya dari genggaman Alena, mundur selangkah. Ekspresinya berubah menjadi campuran terkejut dan... sesuatu yang lain. Kemarahan? Kekecewaan?"Kau tidak percaya padaku," katanya, lebih sebagai pernyataan daripada pertanyaan."Aku ingin percaya," ulang Alena. "Tapi aku juga perlu tahu bahwa semua ini nyata, bukan hanya... ketakutanmu yang berlebihan."Adrian terdiam lama, menatap Alena dengan tatapan yang sulit dibaca. Akhirnya, ia