Malam itu hujan turun deras di Ubud. Suara tetesan air dari ateng rumah tante Sari berpadu dengan suara katak di sawah, menciptakan symphony yang biasanya menenangkan Alena. Tapi malam ini, suara-suara itu hanya membuatnya merasa semakin kesepian.Alena duduk di kamarnya yang kecil, menatap layar laptop yang kosong. Sudah tiga jam ia mencoba menulis—apapun—untuk mengalihkan pikirannya dari percakapan dengan Reno siang tadi. Tapi tidak ada kata yang keluar. Hanya kekosongan yang dalam dan pertanyaan-pertanyaan yang tidak ada jawabannya.Apakah aku benar-benar penghancur hidup orang lain?Apakah keputusan untuk meninggalkan Reno memang egois?Apakah aku menghancurkan dua keluarga hanya untuk kebahagiaan sesaat?Apakah aku pantas mendapat kebahagiaan setelah menyakiti begitu banyak orang?Ponselnya bergetar. Nadira mengirim pesan:"Len, gimana kabarmu? Udah seminggu kamu nggak bales chat aku. Aku khawatir."Alena menatap pesan itu lama sebelum mengetik balasan:"Aku okay. Cuman butuh wak
Hari itu seharusnya menjadi hari yang tenang di Ubud. Alena baru saja selesai sesi yoga pagi dan bersiap untuk memulai hari dengan membuat keramik bersama tante Sari ketika sebuah mobil rental berhenti di depan rumah.Alena mengenali sosok yang keluar dari mobil itu. Reno—dengan wajah yang lebih kurus dan mata yang sembab—berdiri di gerbang kecil rumah tante Sari."Len," katanya dengan suara yang parau. "Kita perlu bicara."Tante Sari langsung berdiri dari kursi rotan di teras, siap melindungi. "Siapa ini, Alena?""Reno. Mantan suamiku.""Yang di rumah sakit karena stroke?" tanya tante Sari dengan nada khawatir."Stroke ringan," koreksi Reno sambil menatap Alena. "Dan aku sudah keluar dari rumah sakit kemarin. Langsung terbang ke sini karena kita perlu menyelesaikan ini."Alena merasakan dadanya sesak. "Reno, kita sudah bercerai. Sudah final. Tidak ada yang perlu diselesaikan lagi.""Ada. Banyak yang perlu diselesaikan." Reno masuk ke halaman tanpa diundang. "Kamu lari dari Jakarta ta
Sudah dua minggu Alena tinggal di Ubud, dan ia mulai merasakan kedamaian yang sudah lama hilang. Rutinitas barunya sederhana: bangun pagi, yoga di teras sambil menyaksikan matahari terbit, sarapan dengan tante Sari, menghabiskan pagi di workshop keramik, dan sore hari berjalan-jalan di sawah atau membaca buku di taman.Tapi ketenangan itu terganggu ketika ponselnya berdering di pagi hari yang cerah. Nomor yang tak dikenal, tapi dengan kode area Jakarta."Halo?""Alena? Ini mama Reno."Alena tersentak. Suara ibu mertuanya yang dulu—wanita yang pernah ia anggap seperti ibu sendiri—terdengar dingin dan berbeda."Bu Sari? Apa kabar?""Kabar buruk, Alena. Sangat buruk."Alena merasakan dadanya sesak. "Ada apa, Bu?""Reno sekarang di rumah sakit. Stroke ringan. Dokter bilang karena stress berkepanjangan.""Oh my God... Bu, aku—""Aku tidak menelepon untuk minta simpati dari kamu, Alena. Aku menelepon untuk memberitahu kamu apa yang sudah kamu lakukan pada anak aku.""Bu Sari, aku tidak meng
Tiga hari setelah percakapan terakhir dengan Adrian, Alena berdiri di bandara Soekarno-Hatta dengan satu koper kecil dan backpack berisi buku-buku kesayangannya. Tiket ke Denpasar sudah di genggamannya, tapi langkah kakinya terasa berat.Bukan karena ia menyesal dengan keputusannya. Melainkan karena ia menyadari bahwa ini adalah pertama kalinya dalam hidupnya ia benar-benar memilih dirinya sendiri di atas orang lain.Nadira memeluknya erat di departure gate."Kamu pasti akan baik-baik saja di sana," bisik sahabatnya."Aku harap begitu. Aku harap tante Sari masih ingat betapa nakalnya aku dulu waktu liburan sekolah di Ubud.""Dia pasti senang banget kamu datang. Especially setelah semua yang kamu lalui."Alena mengangguk. Tante Sari—adik bungsu ibunya yang memilih hidup sederhana sebagai seniman keramik di Ubud—adalah satu-satunya keluarga yang tidak pernah menghakiminya. Yang tidak pernah bertanya kenapa ia belum menikah di usia hampir tiga puluh. Yang tidak pernah membanding-bandingk
Apartemen Alena di kawasan Kemang terasa berbeda hari itu. Lebih tenang, seolah-olah keputusan yang sudah ia buat dalam hatinya memberikan ketenangan yang sudah lama tidak ia rasakan. Di meja ruang tamu, tersusun rapi dokumen-dokumen—surat resign dari pekerjaan paruh waktunya, tiket pesawat ke Bali untuk minggu depan, dan sebuah surat yang sudah ia tulis untuk Adrian tapi belum ia kirim.Nadira duduk di seberangnya, memperhatikan dengan khawatir."Kamu yakin dengan keputusan ini, Len?""Untuk pertama kalinya dalam berbulan-bulan, aku merasa yakin dengan sesuatu.""Tapi pergi tanpa ngomong sama Adrian dulu...""Aku sudah mencoba bicara dengannya, Dira. Setiap kali aku mencoba menjaga jarak, dia jadi possessive. Setiap kali aku bilang butuh ruang untuk berpikir, dia jadi agresif. Aku tidak bisa lagi hidup seperti ini.""Tapi dia pasti akan cari kamu.""Makanya aku pergi ke Bali dulu. Ke rumah tanteeku di Ubud. Tempat yang jauh dari Jakarta, dari media, dari semua kekacauan ini. Aku butu
Kantor Adrian di lantai 40 gedung Hartono Group terasa seperti bunker yang terkepung. Di meja kerjanya bertumpuk laporan keuangan yang menunjukkan grafik merah—saham perusahaan terus merosot, beberapa klien besar membatalkan kontrak, dan yang terburuk, tiga bank mulai mempertimbangkan untuk menarik fasilitas kredit.Tapi yang membuat Adrian benar-benar terpukul bukanlah angka-angka di kertas. Melainkan email yang baru saja ia terima dari Sophia—perempuan yang selama lima tahun terakhir ia percayai untuk mengelola komunikasi strategis perusahaannya."Adrian,Saya rasa sudah waktunya untuk percakapan yang honest. Situasi perusahaan sudah tidak bisa ditolerir lebih lama. Board of directors akan bertemu minggu depan, dan saya punya informasi yang menunjukkan bahwa mereka sedang mempertimbangkan vote of no confidence.Saya juga punya dokumentasi lengkap tentang budaya kerja yang problematik di perusahaan ini—tidak hanya yang berkaitan dengan kasus Alena, tapi juga insiden-insiden lain yang